Oleh : Ridwan Hutagalung
…and then the journey..

16 peserta :
Adi, Budhi, Ceppy (mpiw), Ari Yanto, Anna, Icha(nya) Indra, Naluri, DIlla, Ayan, Dimas, Yanstri, Ebi, Cici, Bey, Elgy, dan saya sendiri, Minyak Sereh.

Perjalanan Gunung Puntang yang sudah sempat batal minggu sebelumnya, terlaksana juga hari ini. Dari sekitar 20 pendaftar, 16 saja yang hadir di tempat berkumpul di Tegallega. Adi dan Budhi berangkat secara terpisah menggunakan sepeda motor (untuk keperluan mobile) dan sisa rombongan menggunakan angkot jurusan Banjaran yang kami minta mengantarkan sampai gerbang Wanawisata Gunung Puntang.

Perjalanan Gunung Puntang semestinya adalah perjalanan yang cukup santai, namun seperti halnya perjalanan-perjalanan sebelumnya dari komunitas Aleut, perjalanan ini pun segera menjadi suatu petualangan seru yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sementara rekan-rekan memanfaatkan waktu untuk berfoto, sarapan, dan mempersiapkan berbagai keperluan lainnya, saya bertemu dan berbincang dengan pengelola baru Wanawisata Gunung Puntang. Pembicaraan seputar beberapa program wisata yang ingin dikembangkan oleh pihak pengelola, kebutuhan pengembangan informasi sejarah kawasan, sampai objek-objek menarik yang belum banyak diketahui publik di kawasan Gunung Puntang.

Pemandangan dan tatangkalan di sekitar eks stasiun radio Malabar

Yang juga sangat menarik, sesuai dengan salah satu tujuan ke Gunung Puntang kali ini, adalah ditemukannya sejumlah informasi seputar sejarah Radio Malabar dan berbagai peristiwa sekitar tahun 1942-1946. Informan yang berhasil saya temui adalah Pak Edi (57 tahun), warga asli Puntang, yang ayahnya dulu bekerja di Radio Malabar sampai tahun 1942 (kemudian pindah ke stasiun radio Palasari di Dayeuhkolot). Pak Edi juga memberikan dua nama lain yang masih dapat kami hubungi berkaitan dengan keadaan radio ini pada masa-masa terakhirnya, salah satunya adalah Cep Kandil (80an tahun). Tentang topik ini tentunya masih diperlukan sejumlah kunjungan lainnya.

Bekas kompleks Radiodorf

Sekarang kita kembali ke “the journey” dulu..
Sebagai upaya pendekatan kepada warga dan pengenalan medan yang lebih baik, kami sengaja menyewa 4 orang guide (termasuk 1 orang khusus pemandu gua) untuk membawa kami ke tujuan : Gua Belanda, Curug Siliwangi, menemukan puing-puing menara radio di lereng pegunungan.

Gua Belanda.
Sebutan Gua Belanda sebenarnya kurang meyakinkan. Lorong yang sempit dengan ketinggian bervariasi antara 150-180 cm (perkiraan berdasarkan ketinggian badan saya saja) dan lebar sekitar 150 cm ini rasanya akan cukup menyulitkan untuk orang Belanda yang memiliki badan jauh lebih besar. Karakter dinding yang terlihat tidak rapi juga menunjukkan bahwa gua ini tidak dibuat dalam waktu yang cukup banyak (terburu-buru). Pada masa Hindia Belanda, pembuatan gua pertahanan dan perlindungan selalu dibuat dengan rapi seperti yang masih dapat kita lihat di benteng-benteng Gunung Kunci dan Gunung Palasari, Sumedang, atau gua bekas saluran air di THR Djuanda. Saya cenderung mengambil simpulan bahwa gua ini dibuat pada masa dan untuk keperluan Jepang. Walaupun begitu, bagian dalam gua ini cukup aneh juga karena cukup lebar dan memiliki lapisan beton pada dindingnya. Jadinya lebih mirip Gua Belanda… Nah, lieur kan? Beberapa teman yang memperhatikan bagian dinding gua malah meragukan keaslian dinding itu. Rasanya seperti lapisan beton yang dipasang kemudian. Tapi sang guide keukeuh mengatakan bahwa semua bagian beton itu masih asli peninggalan Belanda. Baiklah kami simpan saja pertanyaan-pertanyaan ini untuk kunjungan berikutnya…

Oya, total panjang gua sekitar 200 meteran. Pada bagian tengah dibuat cabang yang saling berhubungan membentuk jalur segi empat.

Kompleks perkantoran dan stasiun pemancarnya

Curug.
Tujuan utama adalah Curug Siliwangi. Namun karena pertimbangan waktu dan jarak, kordinator guide kami menyarankan sebuah curug lain yaitu Curug Gentong yang konon belum pernah dikunjungi wisatawan. Kami setuju.
Trek ini ternyata menjadi sangat menarik dan di luar bayangan kami sebelumnya. Setelah cukup saling mengenal, guide kami menyarankan untuk membuka jalur melalui sisi hutan. Kami setuju lagi.
Saya ringkaskan saja beberapa hal dari trek curug ini :
Jaraknya sekitar 3,5 km dari Kolam Cinta.
Waktu tempuh dengan shortcut sambil membuka jalur jalan baru sekitar 3 jam sekali jalan.
Hutan belukar yang kami lalui memiliki sangat banyak tumbuhan tereptep dan salah suatu jenis pulus yang sama-sama bikin ateul. Tereptep bila tersentuh kulit terasa seperti yang nyetrum. Untunglah guide dan salah seorang peserta kami membawa bedog yang segera merapikan jalan lebih dulu sebelum kami lalui dengan aman.
Beberapa bagian trek ini memiliki kecuraman yang hampir vertikal (90 derajat) sehingga beberapa kali kami mesti pasang tali untuk naik-turun.
Sebagian besar jalur jalan adalah tanah lembab yang licin dengan jurang vertikal juga di satu sisinya. Bagian berjurang ini umumnya tertutupi oleh belukar lebat sehingga kami harus berjalan dengan ekstra hati-hati agar tidak terperangkap dan terjerumus ke dalam rimbunan tereptep di dinding jurang.
Ada banyak jenis jamur yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Sayang tidak semua yang terlihat dapat kami buat fotonya karena cahaya yang sangat kurang (tertutupi oleh pepohonan yang cukup tinggi) dan tidak banyaknya waktu tersedia untuk sesi foto dalam cahaya minim.

Jalur Sungai Cigeureuh

Dalam trek ini kami menyusuri dan menyeberangi badan Sungai Cigeureuh total sebanyak 8 kali.
Di beberapa titik dalam perjalanan ini kami juga menemukan puing-puing bekas bangunan yang kemungkinan berasal dari pondasi-pondasi bagi menara pemancar Radio Malabar dulu.
Tikusruk, tisoledat, tijalikeuh, dan tikosewad menjadi salah satu menu utama perjalanan.
Konon, selain sedikit orang dari kelompok-kelompok Pecinta Alam, belum pernah ada kunjungan wisatawan umum lainnya ke curug ini.

Tiba di depan curug masih menyisakan persoalan yang juga tidak mudah. Satu-satunya akses jalan mendekati curug bertingkat tiga ini hanyalah bentangan batang pohon yang sudah lumayan lapuk karena lembab. Di bawah bentangan batang pohon ini adalah bebatuan yang menjadi badan untuk curug ketiga. Semua peserta menyeberang dengan ekstra hati-hati sambil berpegangan pada bentangan tambang yang sudah dipasang oleh the guide.

Curug Gentong yang sempit dan terpencil

Tiba di curug (dasar curug kedua) ternyata tempatnya sangat sempit, sehingga kami berenambelas agak berhimpitan duduk di bebatuan yang tidak terendam air. Sebatang pohon lain melintang di atas kolam curug juga kami pergunakan untuk tempat duduk. Saatnya murak bekel…
Ini adalah botram yang mantap karena hampir semua perbekalan kami tamdaskan. Nasi rames, mie, kue-kue kering, kue-kue basah, agar-agar, kopi, air jeruk, air mineral, jeruk santang, mangga, coklat, dan entah apa lagi. Bila saja ada gula pasir, mungkin minyak kayu putih pun bakal digulaan…
Kuliner fantastis di lokasi hang-out yang spektakuler…
Suasana fantastis masih ditambah oleh turunnya kabut yang lumayan tebal..

Curug ini sempit sekali areanya, makanya diisi 16 orang saja sudah terasa sangat sempit. Kita menikmati suasana yang cukup langka ini sambil duduk saling mepet..

Dalam suasana berkabut kami putuskan untuk pulang, kuatir gelap segera turun dan perjalanan akan semakin sulit. Perjalanan pulang relatif lebih lancar walaupun masalah-masalah tijalikeuh tetap saja terjadi bergantian menimpa para peserta, apalagi dalam keadaan cahaya yang semakin berkurang. Yang cukup aneh adalah beberapa peserta perempuan kami yang sepanjang jalan pulang masih mampu menyanyikan puluhan lagu secara acak-acakan. Dalam perjalanan dengan medan yang sulit kami memang membutuhkan stamina dan kegilaan yang seperti ini. Salutlah buat Ebidilla Choir…

Perjalanan pulang kurang dari 3 jam. Kami tiba di kompleks warung sudah lewat jam 1900. Sasaran-sasaran impian langsung saja ditindaklanjuti, mie rebus, kopi, kurupuk, dan penganan sisa lainnya. Menunggu guide mencarikan angkot ternyata lebih dari 1 jam yang untungnya kami isi dengan obrolan riuh agak berguna seperti membicarakan karakter penyiaran berita TVOne, MetroTV, Tina Talissa, Ariel Peterpan, sampai gaya nyanyi dan kostum D’lloyd di tahun 1970an…

Dengan elf sewaan kami tiba di Kebon Kalapa sekitar jam 2100 dengan membawa kesan spektakuler dan berbagai luka kecil di sekujur badan yang baru terasa usai mandi…

Minyak Sereh.
15 Desember 2009