Oleh Guriang

“Di sana!” kata Marga, sambil menunjuk ke arah topi yang berada di atas lemari pajangan di ruang tamu rumahnya di Belanda kepada Wijnt van Asselt. “Di sana”adalah di Hindia Belanda, di wilayah pergunungan perbatasan antara Pangalengan dengan Garut. Negla.

Para pembaca novel Heeren van de Thee karya Hella S. Haase tentu ingat bagaimana novel itu dibuka dengan kata-kata “Di sini” oleh kakek Marga, Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918), ketika memutuskan bahwa itulah tempat yang tepat, kawasan pergunungan Gamboeng, untuk membuka usaha perkebunannya.

Terasa nian nuansa berbeda antara “Di sini” dari Ru(dolf) Kerkhoven dan “Di sini” dari Marga. Ru mengucapkannya dengan rasa optimis, dengan bayangan masa depan yang akan ditempuhnya dengan bekerja keras. Masa depan yang gemilang.

Marga mengucapkan “Di sana” dengan rasa berat. Ada rasa kehilangan. Masa lalu yang panjang di lembah-lembah berhutan lebat di antara pergunungan Kancana, Papandayan, dan Kendeng. Topi yang ditunjuknya itu adalah simbol semua masa lalunya di Negla. Topi itu pemberian dari tukang kebun keluarganya yang bernama Ardi sebagai kado perpisahan ketika Marga dan keluarganya akan berangkat menuju negeri leluhurnya dan meninggalkan Hindia Belanda. Topi itu terus berada di sana, di atas lemari pajangannya, sebagai pengingat pada apa yang telah hilang.

Van Asselt menemukan salinan puisi karya Leo Vroman yang sudah diedit oleh Marga dari tumpukan arsip keluarga Kerkhoven. Begini bunyinya: Korn malam ini dengan cerita  /  Tentang bagaimana Indie menghilang  /  Saya akan mendengarkan seratus kali  /  Dan aku akan menangis selamanya. Baris kedua itu sebenarnya berbunyi: Tentang bagaimana perang menghilang.

Apa yang dapat diserap dari cerita ini selain kesan kehilangan yang begitu mendalam dirasakan oleh Marga.

Margaretha Cornelia Kerkhoven (1923-2013) adalah putri kedua pasangan Karel Felix Kerkhoven (1887-1966) dengan Cornelia Wiegert (1895-1983). Ia dilahirkan di Bandung pada 18 Maret 1923. Kakaknya, Charlotte Elfriede Kerkhoven yang biasa dipanggil Carla, berusia selisih tiga tahun, juga dilahirkan di Bandung pada 9 Juni 1920. Sejak kecil, kedua anak perempuan ini tinggal bersama orang tuanya yang baru saja membuka perusahaan perkebunan di lembah antara pergunungan Kendeng, Papandayan, dan Kancana. Saat ini merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Bila nama Karel Felix Kerkhoven kurang dikenal, mungkin perlu diingatkan bahwa ia adalah putra kelima pendiri perusahaan perkebunan terkemuka, Gamboeng, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918). Ibunya, Jenny Elisabeth Henriette Roosgaarde Bisschop (1858-1907). Setelah wafat, kedua orang tuanya dimakamkan di belakang rumah tinggal mereka yang besar di Gamboeng.

Rudolph pula yang memilih tempat dan mengusahakan hak sewa lahan di kaki Gunung Papandayan itu pada tahun 1898. Ketika itu nama daerahnya masih disebut sebagai Kantjana, sesuai dengan nama gunung yang ada di dekatnya. Ia membagi lahan itu menjadi empat petak, Kantjana I, II, III, dan IV, dan menyimpan dana di Kantjanafond’s untuk kelak digunakan anak-anaknya membangun dan mengelola perkebunan yang sudah sejak lama direncanakannya itu.

Pembukaan hutan di Kantjana. Foto tahun 1921.

Dimulai pada tahun 1919, Karel Felix Kerkhoven merintis pekerjaan pembukaan perkebunan di tempat itu. Tahun berikutnya, perusahaannya berdiri dengan nama NV Cultuur Onderneming Negla. Marga menduga, nama Negla diberikan oleh ayahnya. Dalam bahasa Sunda, berarti pemandangan yang indah. Tidak sulit untuk membuktikannya. Ke arah mana pun mata memandang, bentang alam tampak begitu indah. Nama Negla sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut nama kawasan perkebunan ini.

Sebelum dibuka untuk lahan perkebunan, kawasan Kantjana masih merupakan hutan belantara. Setahap demi setahap, hutan itu dibuka secara manual, dengan gergaji tangan. Beberapa dengan ukuran yang sangat besar dan harus dioperasikan oleh dua orang.

Karel dan istrinya, Nelly, tinggal sementara di sebuah gubuk sederhana di atas sebidang tanah gundul, seraya menyiapkan sebuah rumah untuk administratur yang diberi nama Pakoedjadjar. Bersamaan dengan pendirian perusahaan Negla, perusahaan John Peet en Co dari Batavia mendapat izin untuk membuka pabrik peti kemas (kistenfabriek) di dekat rumah Pakoedjadjar dan akan membeli sebagian besar kayu yang ada di sana. Pabrik ini mendapatkan kontrak untuk sepuluh tahun, namun berhenti beroperasi pada 1927 setelah seluruh target dalam kontraknya dapat diselesaikan saat itu.

Rumah administratur lama (kiri) dan pabrik peti kemas (kistenfabriek) di Negla. Foto sekitar tahun 1921

Pada tahun 1920 pabrik pengelolaan teh sudah berdiri, jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari rumah Pakoedjadjar. Dari 54 hektare lahan, setengahnya sudah ditanami teh, terutama di Pertjobaan, Pakoedjadjar, dan Kipoetri. Lahan terjal yang bernama Pasir Adjag seluas satu hektare disiapkan untuk ditanami kina. Jalur jalan dan drainase juga dibangun, bahkan sampai ke Pangalengan. Pipa-pipa air dipasang dari sungai Tjikawoenganten dan diperluas sampai Tjigamboeng. Di kedua jalur sungai ini dibangun bendungan yang membentuk kolam besar.

Pembangkit listrik semula dipasang di Negla, tapi kemudian dibangun di luar perbatasan Tjiboetaroewa yang pasokan airnya lebih bagus dan dapat diselesaikan seluruhnya pada 1924. Pembangunannya sangat tidak mudah, karena berada di tengah hutan purba yang lebat. Dari titik sadapan sungai, air dialirkan ke sebuah bukit dengan kemiringan yang curam. Selokan sepanjang 1,5 kilometer seluruhnya ditutup oleh bata sebagai upaya mencegah penyumbatan akibat erosi di tepinya. Sejak dulu orang menyebut sistem pembangkit ini, sekaligus lokasinya, sebagai Kintjir. Penamaan ini masih dikenal sampai sekarang.

Setelah pembangunan Kintjir selesai, diadakan acara perayaan atau slametan yang dihadiri oleh banyak orang. Penduduk setempat percaya bahwa tanpa slametan bisa terjadi kecelakaan kelak. Sebuah rangkaian ritual dan pesta pun digelar. Dalam foto terlihat ada sebuah spanduk dengan tulisan “Slametan Kintjir Negla Soewarta.” Warga pribumi beserta para pemimpin wilayahnya, juga para komisari dan pengelola perusahaan ikut hadir. Seluruh acara berlangsung sukses.

Slametan Kintjir Negla Soewarta. Foto kemungkinan tahun 1925.

Dalam lingkungan seperti inilah Marga dan Carla tumbuh. Selalu dekat dengan alam dengan segala hal yang menyertainya, termasuk yang penuh bahaya, seperti keberadaan macan kumbang di sekitar tempat tinggal mereka. Di rumah, mereka memelihara mencek yang jinak dan lembut. Sekali waktu, macan kumbang menyusup dan membawa lari mencek mereka.

Marga dan Carla punya beberapa teman main seusia mereka, di antaranya, Theo dan Elsje Mayer, anak dari karyawan Mayer yang bergabung di Negla pada 1925. Mereka tinggal di kompleks rumah karyawan di dekat pabrik. Keempatnya juga belajar bersama seperti sekolah biasa di rumah dengan bimbingan Nelly.

Carla seorang yang aktif, menyukai kegiatan teknis dan memasak, dan bermain di luar rumah. Ia mempunyai dapurnya sendiri di taman, juga membuat pelabuhan di sepanjang parit yang melintasi rumah mereka. Carla kadang harus mencengkram Marga agar ikut menggali membuat saluran dan membuat perahu dari balok-balok kayu. Berbeda dengan Carla, Marga lebih pendiam, kontemplatif, dan senang membaca, terutama cerita-cerita Karl May.

Karel membuatkan bangunan dengan batu bata di taman yang menjadi rumah indah bagi Carla dan Marga. Di dalamnya dibuatkan perapian yang sering digunakan Carla dan Marga untuk memasak. Tukang kebun selalu mengantarkan balok-balok kayu berukuran kecil untuk menyalakan perapian. Carla dan Marga dapat menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Saat hujan, mereka tetap tinggal dengan nyaman di dalam rumah batu bata itu. Kenangan indah ini membekas lama bagi Marga.

Selain itu, Karel juga memelihara beberapa mencek (kijang), rusa, angsa, dan burung merak. Semua mencek itu diberi nama dik-dik, berdasarkan sejenis rusa kecil Afrika. Belakangan, burung-burung merak ini dipindahkan ke kawasan hutan perburuan Tjikepoeh, di selatan Sukabumi. Karel sangat senang berburu di Tjikepoeh. Kadang ia membawa seluruh keluarganya ke sana menggunakan beberaapa mobil.

Sekali-kali situasi bisa cukup mencemaskan dengan kemunculan para pemburu liar yang beraksi terutama di sekitar Tjikawoeng yang termasuk bagian Negla. Bahkan beberapa perampok bersenjata tombak dan pedang sering bersembunyi di hutan sekitar Negla. Karel pun harus memasang papan-papan peringatan larangan berburu di sepanjang perbatasan Negla.

Di sisi lain, macan kumbang cukup sering datang ke taman rumah Karel. Kadang berdiam di situ cukup lama. Namun bila sudah masuk ke perkampungan, Karel terpaksa menembak mereka karena bisa membahayakan warga di sana.

Marga dan seekor macan kumbang yang tertembak di halaman rumah mereka. Foto tahun 1935.

Pada bulan Juni 1937, Carla, Marga, dan Nelly, berangkat ke Belanda. Rencananya mereka akan melanjutkan pendidikan, lalu kembali lagi ke Hindia. Mungkin juga mereka akan menikah dengan insinyur Belanda yang diharapkan akan dapat melanjutkan usaha perkebunan keluarga mereka kelak. Karel kemudian menyusul ke Belanda, tapi dengan mampir dulu ke Afrika untuk beberapa waktu. Pada bulan November, Karel kembali seorang diri ke Negla.

Kontak dengan keluarga tentu saja dilakukan dengan surat menyurat. Bila sedang berada di Bandung, Karel dapat menelepon melalui kantor telepon di Oude Hospitaalweg. Melalui surat-surat, Karel dan seluruh anggota keluarganya saling bertukar cerita dengan detail setiap apapun yang mereka alami. Dalam salah satu suratnya Karel bercerita kesannya menonton film De Wiite Angel di bioskop Oriental, juga berkomentar tentang perangkatnya yang jelek.

Karel juga bercerita pengalamannya menginap di Malabar. Ia diajak berkeliling oleh administratur Van der Meer dan membicarakan banyak hal, termasuk tentang Bertling yang membangun rumah dengan pemandangan yang indah di atas turunan Pacet ke arah Bandung. Rumah itu dinamainya Arke Noah atau Bahtera Nuh. Bentuknya memang seperti kapal, setengah lingkaran, dengan atap jerami dan papan.

Rumah administratur perkebunan Negla yang baru. Foto tahun 1938.

Semua pertukaran cerita dalam bentuk surat itu terhenti sejak awal bulan Mei 1940. Keadaan perang membuat banyak hal tidak dapat lagi berlangsung seperti biasanya. Saat itu Carla sudah menyelesaikan sekolahnya dan bekerja. Begitu juga dengan Marga, sudah lulus dari sekolah tata bahasa. Kemudian baru diketahui bahwa sejak 1942 Karel dimasukkan ke dalam kamp interniran Jepang, mula-mula di Bandung, kemudian dipindahkan ke Cimahi. Sebelum ditahan Karel masih sempat menyembunyikan arsip dan surat-surat di antara dinding berlubang di rumahnya di Negla. Arsip-arsip ini selamat selama masa pendudukan Jepang, tapi kemudian hancur pada masa revolusi kemerdekaan.

Kabar pertama setelah perang adalah surat panjang dari Marga kepada Karel yang diterima pada 17 Oktober 1945, saat ia masih berada di dalam Kamp Cimahi. Marga menulis surat yang panjang, mengabarkan perkembangan keluarganya, kerabat-kerabat yang sudah wafat, termasuk tentang ditembaknya Anda Kerkhoven di Groningen. Anda Kerkhoven adalah sepupu mereka yang juga datang dari Bandung dan di Belanda aktif dalam organisasi perlawanan bawah tanah terhadap NAZI dan bergabung dengan Sociaal Democratische Studenten Club.

(Bersambung)