Category: Sejarah (Page 3 of 3)

Prasasti Kawali – Situs Astana Gede

Buat yang mau jalan-jalan ke Ciamis, atau kebetulan lewat kota itu, coba mampir ke Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.

Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam buku History of Java (1817).

Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).

Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.

Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi.  Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.

Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.

Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini. Continue reading

Pemboman Radio Malabar

J.C. Bijkerk dalam bukunya “Vaarwel tot Betere Tijd” menulis bahwa pada tanggal 6 Maret 1942 para pembesar Pemerintah Hindia Belanda (Jend. Ter Poorten, G.G. Tjarda, Maj. Bakkers, dan Gubernur Jabar Hogewind) mengadakan suatu pertemuan di rumah Residen Bandung, Tacoma. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan menjadikan Bandung sebagai kota terbuka dengan maksud agar Jepang dapat masuk Bandung tanpa harus terjadi  peperangan.

Peristiwa ini tentu dapat dimaklumi mengingat sebelumnya Jepang telah memborbardir pertahanan sekutu Pearl Harbour di Lautan Pasifik (8 Desember  1941) yang dilanjutkan dengan siaran gencar radio propaganda Nippon yang dipancarkan dari Tokyo. Siaran dalam bahasa Indonesia ini berisi : “Sebentar lagi Tentara Dai Nippon akan tiba di Indonesia. Kami akan datang bukan sebagai musuh, tetapi bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.” Sebagai pembuai, siaran gombal dari Jepang ini selalu diakhiri dengan pemutaran lagu Indonesia Raya yang ternyata memang mampu membuai kebanyakan rakyat Indonesia.

Propaganda balik dari pihak Belanda dilakukan melalui radio-radio Nirom Surabaya dan Nirom Batavia, isinya agar rakyat Indonesia jangan memercayai siaran radio propaganda Jepang tersebut. Namun serangan balik ini sama sekali tidak berhasil karena tak lama kemudian Suarabaya, Malang, dan Madiun telah dibombardir (ejaan Hindia Belanda) angkatan udara Nippon.

Serangan berikutnya terjadi di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Jepang berhasil menenggelamkan kapal-kapal Exeter, Kortenaer, Java, dan Encouter milik sekutu yang disusul oleh dua kapal terakhir, Houston dan Perth. Continue reading

Thilly Weissenborn, Perempuan Fotografer Pertama di Hindia Belanda

Tjipanas, Garoet. Tropen Museum.

Tjipanas, Garoet. Tropen Museum.

Hingga saat ini rasanya informasi tentang Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda ini, masih sangat sedikit tersedia. Di media internet pun tidak mudah mencari informasinya. Karya-karya fotonya memang banyak beredar, terutama di situs Tropen Museum, tapi tidak informasi yang berkaitan dengan manusianya.

Dari yang sedikit itu, mungkin hanya halaman ini saja yang cukup banyak bercerita tentang Thilly: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=P8095. Berikut ini saya tulis ulang berdasarkan terjemahan oleh @yoyen.

Thilly dilahirkan tahun 1889 di Kediri, Jawa Timur, dengan nama Margarethe Mathilde Weissenborn. Tentang tahun kelahirannya ini, ada juga yang mengatakan ia dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1883. Pasangan orang tuanya, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, adalah keturunan Jerman yang sudah menjadi warga negara Belanda. Mereka mempunyai perkebunan kopi di Kediri.

Pada tahun 1892, Paula Roessner kembali ke Den Haag, Belanda, membawa serta Thilly dan kakak-kakaknya, dua perempuan dan dua laki-laki. Ayahnya menyusul setahun kemudian. Pada tahun 1897 ayah Thilly dan kakak tertuanya pindah ke Tanganyika dan menjadi pengusaha perkebunan di sana.

Selama di Den Haag, Thilly belajar fotografi kepada kakaknya, Else, yang membuka studio fotografi di Den Haag pada tahun 1903. Thilly dan kakaknya, Theo, kembali ke Hindia Belanda dan tinggal bersama kakaknya yang lain, Oscar, di Bandung. Kemudian Thilly ke Surabaya mengikuti Theo yang mendapatkan pekerjaan di sana.

Thilly juga mendapatkan pekerjaan di sebuah studio foto, Atelier Kurkdjian. Di sini Thilly bekerja di bawah pengawasan fotografer Inggris yang berbakat, G.P. Lewis. Atelier Kurkdjian dimiliki oleh seorang fotografer keturunan Armenia, Onnes Kurkdjian. Studio ini mempekerjakan 30 orang pegawai dan Thilly adalah satu dari dua perempuan yang bekerja di sana.

Atelier Kurkdjian banyak membuat karya fotografi yang sekarang menjadi sangat berharga karena menyimpan informasi masa lalu yang dianggap penting. Sejumlah koleksi studio foto ini diterbitkan sebagai bagian panduan wisata oleh biro pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1922 dengan judul Come to Java.

Pada tahun 1917, Thilly pindah dan menetap di Garut, di tengah-tengah wilayah pergunungan yang beriklim sejuk. Di kota ini, Thilly dipercaya untuk mengelola G.A.H. Foto Atelier Lux milik pendiri N.V. Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming yang juga fotografer amatir yang fanatik, Dr. Denis G. Mulder. Pada tahun 1920, Mulder pindah ke Bandung dan Thilly secara resmi mengambil alih Foto Atelier Lux serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Lux dengan alamat di Societeitstraat 15 (sekarang Jl. Ahmad Yani). Pada tahun 1930 Thilly meresmikan perusahaannya sebagai N.V. Lux Fotograaf Atelier.

Thilly Weissenborn mengembangkan kemampuan tekniknya dalam bidang fotografi potret dan arsitektur-interior. Foto-foto lansekap serta human interest-nya menarik perhatian banyak orang. Selama lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut sampai kedatangan Jepang membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees, Bandung, sejak tahun 1943.

Setelah Perang Dunia II dan Kemerdekaan RI, kota Garut termasuk yang cukup banyak mengalami kerusakan. Pada tahun 1947, Foto Lux milik Thilly sudah dalam keadaan rata dengan tanah. Semua koleksi foto dan studionya ikut hilang dan rusak.

Pada tahun 1947 itu pula Thilly menikah dengan Nico Wijnmalen dan menetap di Bandung. Kedua kawan sejak lama ini menikah dalam usia tua, masing-masing 58 tahun dan 60 tahun. Belum ada informasi di mana ia tinggal bersama suaminya dan bagaimana kelanjutan pekerjaannya sebagai fotografer. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di Baarn, pada 28 Oktober 1964.

Koninklijk Indische Tropenmuseum mempunyai foto album (koleksi nomor 270) yang menurut perkiraan kurator adalah album utamanya di Foto Lux. Di album utama ini foto-foto Weissenborn ditempel supaya calon pembeli dapat melihat dan memesan. Masa itu hal yang biasa untuk membuat album utama dengan bahan yang profesional. Semua fotonya dicetak menurut proses gelatin perak dengan sinar alami. Dan di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut.

Selama berkarya sebagai fotografer, Thilly telah membuat rekaman foto di banyak tempat di Hindia Belanda, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, dan Bandung. Karya-karya fotonya di Bali termasuk yang mendapatkan apresiasi tinggi. Selain itu, Thilly juga membuat foto di Pasuruan dan daerah-daerah lain di Jawa Timur hingga Bali dan Flores. Sejak tinggal di Garut, banyak sekali foto pemandangan dan suasana sekitar Garut yang telah dibuatnya.

Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn diterbitkan dalam buku Vastgelegd voor Later. Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly Weissenborn. Thilly Weissenborn (photographer) ; Ernst Drissen (compiler), 151 hlm, thn terbit 1983 , penerbit Sijthoff, Amsterdam.[1]

Thilly Weissenborn book


[1] Informasi dan foto buku ditambahkan oleh @htanzil

 

Di bawah ini beberapa karya Thilly Weissenborn yang diambil dari situs Tropen Museum.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_pottenbakkerij_van_Tjiboejoetan_bij_het_meer_van_Bagendit._TMnr_60002516

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_rivier_de_Tjimanoek_bij_Garoet._TMnr_60002545

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_tempel_Pura_Beji_bij_Sangsit_in_Noord-Bali_gewijd_aan_Dewi_Sri_godin_van_de_landbouw_TMnr_60018434

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_weg_naar_Pameunkpeuk_aan_de_zuidkust._TMnr_60002544

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_Balinees_mannenbad_TMnr_60022923

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_tempelcomplex_in_Zuid-Bali_TMnr_60022930

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Fragment_van_een_reliëf_op_een_tempelwand_van_Tjandi_Mendoet._TMnr_60002515

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Grot_met_altaren_TMnr_60022927

Terima kasih @yoyen (Lorraine Riva) yang sudah membantu menerjemahkan sebagian artikel dari bahasa Belanda.

Kejanggalan dalam Biografi Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Bacaan ini perlu dibagikan terus nih..

7962310

Saya baru saja membaca tulisan Asvi Warman Adam, “Kasus Biografi Sukarno”, ternyata ada beberapa masalah dalam terjemahan buku biografi Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams yang diterbitkan sejak tahun 1966 oleh penerbit Gunung Agung. Salah satu yang dibahas adalah penghilangan sebuah kalimat dan penambahan dua paragraf yang belum jelas siapa yang melakukannya.

Biografi Sukarno ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris dengan judul Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams pada tahun 1965. Versi terjemahan bahasa Indonesia terbit tahun 1966 dengan penerjemah Mayor Abdul Bar Salim. Dalam pengantar edisi pertama itu, disebutkan bahwa tugas sang penerjemah sudah direstui oleh Panglima Angkatan Darat, Letnan Jendral Soeharto, yang juga memberikan kata sambutan.

Bagian yang dipermasalahkan terdapat pada bab Proklamasi. Asvi Warman Adam menyebutkan terdapat di halaman 341[1]. Kebetulan saya memiliki edisi pertama buku Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Lalu saya buka halaman yang dimaksud. Berikut ini saya kutipkan saja seluruh bagiannya sesuai yang tercetak dalam buku:

“Sekarang, Bung, sekarang…..!” rakjat berteriak. “Njatakanlah sekarang…..” Setiap orang berteriak padaku. “Sekarang, Bung….. utjapkanlah pernjataan kemerdekaan sekarang, ….hajo, Bung Karno, hari sudah tinggi….. hari sudah mulai panas….. rakjat sudah tidak sabar lagi. Rakjat sudah gelisah. Rakjat sudah berkumpul. Utjapkanlah Proklamasi.” Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesakku, anehnja aku masih dapat berpikir dengan tenang.

“Hatta tidak ada,” kataku. “Saja tidak mau mengutjapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.”

Tidak ada orang jang berteriak “Kami menghendaki Bung Hatta”. Aku tidak memerlukannja. Sama seperti djuga aku tidak memerlukan Sjahrir jang menolak memperlihatkan diri disaat  pembatjaan Proklamasi. Sebenarnja aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannja sendirian. Didalam dua hari jang memetjah uratsjaraf itu  maka peranan Hatta dalam sedjarah tidak ada.

Peranannja jang tersendiri selama masa perdjoangan kami tidak ada. Hanja Sukarnolah jang tetap mendorongnja kedepan. Aku memerlukan orang jang dinamakan “pemimpin” ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannja oleh karena aku orang Djawa dan dia orang Sumatra dan dihari-hari jang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah djalan jang paling baik untuk mendjamin sokongan dari rakjat pulau jang nomor dua terbesar di Indonesia.

Dalam detik jang gawat dalam sedjarah inilah Sukarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.

Buku-Bung-Karno-by-Cindy-Adams

Dengan membandingkan tulisan ini dengan versi aslinya dalam bahasa Inggris, ditemukanlah bahwa telah ada penambahan dua paragraf di antara dua kalimat bercetak tebal di atas. Kalimat-kalimat yang menyakatan bahwa Sukarno tidak membutuhkan Hatta (dan Syahrir) dan bahwa selama ini ia berjuang sendiri serta tidak ada peranan Hatta dalam sejarah ternyata telah ditambahkan oleh seseorang sejak edisi pertama terjemahan buku ini terbit. Apakah penerjemah yang menambahkan kalimat-kalimat itu? Atau ada pesanan dari pihak lain? Belum ada keterangan tentang ini.

Yang jelas, Yayasan Bung Karno kemudian menerbitkan ulang buku Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia pada bulan Agustus 2007 dan menyebutnya sebagai edisi Revisi. Terbitan revisi ini diterjemahkan dengan mengacu secara ketat kepada buku aslinya, Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams. Penerjemahan dikerjakan oleh Syamsul Hadi. Pada bagian depan terdapat sambutan dari Ketua Yayasan Bung Karno, Guruh Sukarno Putra, dan pengantar dari sejarahwan Asvi Warman Adam dengan judul “Kesaksian Bung Karno”.

Pada bagian sambutannya, Guruh Sukarno mengutip cerita Guntur Sukarno dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan karangan Meutia Farida Swasono (Sinar Harapan, 1980): “Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi, menghilangkan Hatta dari teks Proklamasi itu perbuatan pengecut!!”

penyambung lidah rakyat (1)

[1] Sepertinya Asvi Warman Adam salah menulis halaman (341) karena dalam buku saya bagian yang dimaksud itu ada di halaman 331. Tapi pengantar edisi revisi juga menyebut nomor halaman yang sama (341), apakah mungkin buku edisi pertama ini ada yang berbeda format?

Sekilas Geusan Ulun (1558-1601)

Image

Repost

Gara2 diingatkan pengalaman beberapa waktu lalu berkunjung ke situs makam Dayeuhluhur di Sumedang, jadi ingat postingan ini. Pada publikasi lama cerita ini pernah diprotes oleh mereka yang punya versi cerita berbeda. Tapi saya memang tidak mempunyai pendapat apa pun dan tidak menambahkan apa pun dalam/tentang cerita ini, sepenuhnya hanya mencoba mengenalkan ulang satu tokoh sejarah yang namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Bandung.

Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑