Minggu,10 Mei 2009
7:33
Ngaleut menyusuri aliran Sungai Cikapundung bagian 2 ini diikuti 28 orang pegiat yang sebagian besar masih ‘segar’ alias pendatang baru. Seperti biasa, kami memulai perjalanan dari Markas Besar aleut alias Sumur Bandung 4, dan seperti biasa juga ada beberapa pegiat yang mampir ke Circle-K untuk beli perbekalan. Sebenarnya kunjungan ini inisiatif Bang Ridwan (a.k.a Paman Mooi) untuk beli MIZONE, eh ga taunya teman-teman yang lain jadi ikutan ;p (pesan: kalo mau sehat dan kuat kayak BR, perbanyaklah konsumsi MIZONE setiap hari…)
Oiya, rute kali ini tidak se-ekstrim ngaleut Cikapundung bagian 1 karena sekarang kita mencoba menelusuri daerah pemukiman kota Bandung, bukan menelusuri pesawahan dengan tanjakan dan turunannya yang menyengsarakan itu ;( Rute singkatnya; Pemukiman daerah Babakan Siliwangi – Wastukancana – Braga. Pemandunya? Yup, seperti biasa lagi, kita selalu berpedoman pada yang lebih tua jadi siapa lagi kalau bukan BR… hihi.
Seperti apakah perjalanan kita hari ini?? Hehe, just enjoy and see!
7:36
Kami berjalan memasuki pemukiman melewati jalan pinggir Sasana Budaya Ganesha, dan berhenti sebentar di atas jembatan untuk mengamati sebuah pintu air dan sungai yang (!@#$%^&*). Di atas sungai berdiri rumah-rumah sederhana yang dibangun dengan bahan seadanya; seng, triplek, atau bilik. Teman-teman yang membawa kamera langsung memanfaatkan momen untuk mengabadikan pemandangan unik tersebut. Begitu turun ke pemukiman, kami berhenti lagi di sebuah jembatan dan menyaksikan pemandangan yang sama. Di pinggir sungai saya melihat ada sebuah tambak, dan otak saya langsung berputar; sungai sekotor ini ternyata masih menyimpan potensi, hahaha… kata BR sih itu tambak ikan mas. Waduh2. Setelah itu kita langsung berhadapan dengan perkampungan penduduk yang sempit nauzubilah, yang gang-gangnya cuma muat untuk lewat satu orang dan gelap banget. Suasananya mirip perkampungan kumuh India seperti yang digambarkan di film Children of Heaven dengan tangga-tangga sempit dan susunan rumah-rumahnya yang terkesan tumpang tindih. Karena nggak ada orang yang nggak suka difoto, sepanjang perjalanan kami tidak pernah melewatkan sesi foto bersama ;p Yang saya rasakan lagi di sini adalah suasana perkampungannya yang sangat kental, di mana terdapat para ibu berdaster yang sedang ‘bersocieteit’ di teras rumah sambil mengerjakan pekerjaan dapur seperti memarut, mengiris, dsb. Hiruk-pikuk anak-anak kecil yang sedang berkejar-kejaran juga mewarnai perkampungan ini. Supaya tidak tersesat dan keluar dengan selamat kami mengandalkan informasi dari warga yang umumnya ramah-ramah.
-Memasuki Pemandian Cihampelas d/h Bandoeng Badplaats-
Waduh saya lupa lihat jam. Kami muncul dari belakang gedung Cihampelas Walk dan disambut pohon-pohon bambu. Kami menemukan reruntuhan bangunan yang ternyata adalah bekas bangunan Pemandian Cihampelas. Ugh, sepertinya para investor dan pemerintah kita memang tidak pernah tertarik pada pelajaran sejarah semasa sekolahnya, makanya mereka tidak pernah bisa menghargai sejarah dan cagar sejarah seperti ini main dibabat saja. Kali ini kami mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam pemandian berkat bantuan A Yanto si pemanjat ulung hehe. Banyak hal menarik yang saya temukan di sini. Di antaranya tulisan-tulisan dengan ejaan lama seperti ‘Bagian Pria – Pasti hilang – Djangan meninggalkan barang-barang di kamar pakaian’,’Djagalah Kebersihan’. Dilihat dari ejaannya mungkin itu ditulis sekitar tahun 50an. Juga ada plakat merah besar berbunyi ‘Pemandian Tjihampelas’ di atas dinding kolam. Nah yang paling menarik ada sebuah patung besar berwujud Dewa Neptunus sambil menuang air dari gentong yang dipegangnya. Beberapa pegiat langsung mengabadikan dirinya lewat kamera dengan berdiri di samping sang dewa (pasti buat dipajang di Facebook.. haha..) Di pemandian ini terdapat 3 buah kolam. Kolam pertama yaitu kolam tempat patung tersebut berada, kolam kedua dibuat khusus untuk anak-anak karena ada papan luncur pelangi-nya, dan kolam ketiga kolam besar yang dipakai untuk pertandingan. Menurut sejarah, pemandian ini adalah pemandian pertama di Hindia Belanda, dirintis oleh istri pendiri Hotel Savoy Homann pada tahun 1902. Dulu pemandian ini bentuknya masih sederhana, berbentuk empang dan belum ada pagar pembatas hingga kodok dan ular pun bisa masuk dan ikut berenang, hii.. ( Wajah Bandoeng Tempo Doeleoe, Haryoto Kunto )
Teruuss, pemandian ini juga yang dijadikan tempat tes berenang untuk para calon anggota Heiho alias tentara Jepang. Jadi kalo kamu mau jadi Heiho harus lulus tes berenang di Pemandian Tjihampelas dulu… Terus lagi, tempat ini masih dipergunakan sebagai tempat perlombaan waktu masih jaman-jamannya PON (Pekan Olahraga Nasional). Itulah sedikit kenangan masa keemasan Pemandian Cihampelas… hiks.
-Pohon besar, Jalan Pelesiran, dan Kampung Bongkaran-
Hehe saya mulai mengacuhkan waktu entah karena capek, malas, atau keasyikan dengan perjalanan. Keluar dari pemandian kami langsung disambut oleh jembatan yang lagi-lagi ada tambak ikan masnya dan sekumpulan ibu-ibu yang sedang mencuci perabot. Sampai di jalan masuk kampung –err.. saya nggak catat namanya– kami terpesona oleh sebuah pohon yang sangat sangat besar. Tapi sayang dahannya banyak yang ditebang karena menghalangi rumah- rumah yang dibangun di pinggirnya. Dan tidak hanya satu, tetapi ada 2 lagi pohon serupa yang berdiri tak jauh dari pohon pertama. Ternyata pohon-pohon ini sengaja ditanam oleh orang Belanda sebagai penyerap dan penyimpan cadangan air. O iya ada satu pemandangan unik yang saya lihat di pemukiman ini. Ada warga yang sempat-sempatnya memelihara kambing di samping rumahnya… Kasihan si Kambing, dikurung di kandang yang cuma muat sebadan-badan plus di atas sungai pula.. kalo jatuh terus keseret arus gimana ya? hiks…
Keluar dari sini kami menembus jalan Pelesiran, yang ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan lokalisasi pelacuran atau ‘pelesir’. Keluar dari jalan Pelesiran kami sampai di Kampung Bongkaran yang letaknya persis di bawah jembatan layang Pasupati. Kabarnya penduduk sini nggak rela kampungnya digusur buat dibangun jembatan. bahkan ada warga yang ngancam mau bunuh diri segala… Tapi kan mereka juga nggak punya izin bangunan dari pemerintah tuh, jadi ya terima risiko saja deh…
-Jalan Lingga Wastu — Merdeka Lio —
Dari sepanjang perjalanan inilah objek yang paling saya senangi karena di sini masih banyak terdapat rumah-rumah peninggalan Belanda dengan ciri jendela-jendela tingginya yang khas. Dari lingga wastu kami berhenti untuk beristirahat di muka jalan Merdeka Lio. Hm, nama yang unik untuk sebuah jalan. Lio, dalam bahasa Cina berarti genteng. Merdekanya? Dulu, penduduk yang tinggal di sini dibebaskan dari pajak oleh pemerintah karena mereka membuat perabot dari tanah liat dan bahan-bahan bangunan termasuk genteng untuk pembangunan komplek Pangdam. Jadi para penduduk itu ‘merdeka’ dari pajak berkat si Lio ini ^^
-Kebon Sirih — Babakan Ciamis — Landraad-
Ke pemukiman lagi! Kalau di sini rumahnya lebih ‘koeno’ lagi. Kami menemukan beberapa rumah gaya abad 19 yang kata BR ‘wah mantap sekali rumahnya’. Memang mantap sih, rumah-rumah itu sederhana, mungil, tapi asri. Ada yang temboknya sudah pakai bata tapi ada juga yang masih pakai bilik. Di sini juga kami merasakan suasana ‘hari minggu banget’ saat melihat beberapa orang tua yang sedang bercengkrama di teras rumah tua dan dirindangi pohon, wihh asyik banget kayaknya. Daaann setelah berjalan berpuluh langkah lagi sampailah kami ke perkotaan, tepatnya di samping Landraad alias Gedung Indonesia Menggugat. Di sini kami duduk-duduk melepas lelah dan rupanya para pegiat baru yang belum pernah berkunjung ke sini memanfaatkan kesempatan untuk melihat-lihat isi gedung di mana Soekarno pernah diadili ini.
-Suniaraja-
Lanjut! Lewat Viaduct, kami berjalan menuju sebuah pemukiman yang diharapkan akan membawa kami ke gang Afandi. Suasana di pemukiman ini terasa berbeda dengan pemukiman-pemukiman sebelumnya karena penduduknya yang kurang ramah dan terkesan acuh tak acuh menanggapi kami. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melihat turis-turis atau orang-orang dari pemerintahan yang hanya datang ke sana untuk meninjau tanpa memberi kontribusi buat kesejahteraan mereka. Atau mungkin juga karena mereka sudah antipati terhadap ‘orang kota’ yang terkesan sombong dan seenaknya (gara-gara pembangunan hotel di braga city walk).
Hal itu membuat kami kesulitan dalam menemukan jalan keluar, dan yang semula berencana ingin muncul dari gang affandi eh malah keluar lewat banceuy u_u
-Pendopo — Braga-
Haha.. untuk menuju ke alun-alun tentu kita harus menyebrang. Karena tidak ada zebra cross dan lalu lintas yang ramai kami terpaksa menyebrang menggunakan sang jembatan legendaris: jembatan pesing! yang tentunya beraroma.. hm.. nice..nice! Turun dari jembatan beraroma saya harus berhadapan matahari yang mulai terik dan errgh… rasanya pengen pingsan… mudah-mudahan bisa diobati oleh Oom Adi humas andalan kita yang memperoleh izin masuk ke pendopo. Tapi sayang beribu sayang karena hari libur pak penjaga tidak mengizinkan kami masuk… Yah, nggak apa-apa deh, masih ada lain waktu…
Kami terus berjalan menuju Braga dan berhenti di Majestic alias AACC. Tapi berhubung tempatnya tidak kondusif untuk diadakan evaluasi akhirnya kita pindah ke Braga Café untuk sekalian makan siang.
Hmmp, tentunya dari perjalanan yang tidak begitu panjang (kalo dibandingin sama yang kemarin) ini saya harus mendapatkan sesuatu bukan hanya capek atau panasnya saja. Yap, banyak hal yang saya dapat, di antaranya saya baru tahu kalau ternyata penduduk Bandung itu banyak-banyak-banyak sekaliii… Yang nggak habis pikir (tentunya dari sudut pandang saya sebagai warga yang tinggal di pusat kota) bagaimana bisa penduduk sebanyak itu hidup di lingkungan yang sempit, dengan sanitasi yang buruk pula, plus jalannya yang bikin pusing kayak labirin.. (terutama yang di gang suniaraja) waduh kalo saya tinggal di sana kayaknya nggak akan sanggup ngapalin jalan masuk sama keluar dari sana ;p
Oiya selama perjalanan kami juga tidak hanya foto-foto, bercanda, dan bercerita saja tetapi belajar Biologi juga, haha.. dan A Yanto serta BR lah yang banyak berperan di sini. Misalnya soal pohon besar yang tadi diceritakan, sempat terjadi perdebatan apakah itu pohon Ki Hujan atau pohon Loa? atau pohon Asem? Haha.. Juga banyak tanaman-tanaman yang sebenarnya sering lihat tapi nggak tahu namanya, jadi tahu juga akhirnya.
Kesimpulan yang bisa saya ambil, sungai Cikapundung yang merupakan sumber daya alam milik kota Bandung seharusnya menjadi sesuatu yang menjadi tanggung jawab bersama, tanggungan semua kalangan masyarakat bukan hanya dari pemerintah saja, bukan dari masyarakat sekitar bantaran sungai saja, atau bukan dari kita saja sebagai generasi muda. Harapannya, teman-teman yang mengikuti perjalanan ini bisa menjadi lebih sensitif terhadap isu apapun yang menyangkut lingkungan kita, karena itu yang akan merangsang kita untuk berbuat sesuatu yang berarti untuk lingkungan kita.
Jangan sampai Cikapundung yang dulu menjadi kebanggaan Bandung malah menjadi senjata makan tuan bagi kita semua… Ok… Bersama Kita Bisa!! (kayak iklan caleg????)
Leave a Reply