Adapun jalur yang ditempuh dalam kegiatan tersebut sesuai dengan jalur Geotrek 1, Mengungkap Di Balik Perahu Yang Terbalik Itu, dalam buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung”.
Meeting point kegiatan bertempat di Taman Ganesha, sekitar pukul tujuh pagi seluruh peserta sudah berkumpul. Setelah pengantar dari panitia dan perkenalan masing-masing peserta, kegiatan dimulai. Dua bis yang sudah disiapkan, mengangkut seluruh peserta ke Kawasan Wisata Gunung Tangkuban Perahu yang kini sudah resmi dikelola oleh perusahaan PT. GRPP. Di areal parkir kami berganti kendaraan menuju ke areal kawah Ratu.
Gunung Tangkuban Parahu terletak di sebelah utara kota Bandung. Secara administratif gunung ini termasuk kedalam wilayah administratif Kab. Bandung Barat dan kab. Subang. Memiliki ketinggian 2.084 mdpl, merupakan gunung dengan tipe strato (stratovolcano) dengan kawah kembar. Merupakan gunung api yang masih aktif hingga sekarang, ini dapat dilihat dari kegiatan di kawah seperti keluarnya uap belerang dan sumber air panas di Ciater. Gunung Tangkuban Parahu memiliki 9 kawah. Kawasan hutan di gunung ini terbagi menjadi kawasan hutan dipterokarp bukit, hutan dipterokarp atas, hutan montane dan hutan gunung. Perjalanan menuju Gunung Tangkuban Parahu dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor (mobil, motor), perintisan jalan menuju puncak telah dimulai sejak tahun 1900-an. Pada tahun 1930 jalan yang ada memungkinkan perjalanan sampai bibir kawah Ratu.
Pendakian pertama kali ke Gunung tangkuban Parahu dilakukan pada tahun 1713 oleh Abraham Van Riebeek. Dia mengemban misi pencarian belerang sebagai bahan campuran pembuatan bubuk mesiu untuk meriam dan bedil. Karena kelelahan yang luar biasa, Abraham Van Riebeek meninggal dunia dalam perjalanan pulang tepatnya tanggal 13 November 1713.
Gunung Tangkuban Parahu sendiri terbentuk setelah melalui beberapa tahapan.
Tahapan 1. Sekitar 560.000-500.000 tahun yang lalu, Gunung Pra-Sunda (yang dinamai oleh Pak T. Bachtiar Gunung Jayagiri) meletus dahsyat hingga bagian tengahnya hancur dan membentuk sebuah kawah yang besar (kaldera). Dari kaldera itu muncul sebuah Gunung Sunda yang tumbuh menjadi gunungapi raksasa dengan ketinggian sekitar 4000 mdpl.
Tahapan 2. Gunung Sunda lahir dari kaldera Gunung Jayagiri, meletus sekitar 210.000-105.000 tahun yang lalu. Letusannya membentuk kaldera Gunung Sunda seluas 6,5×7,5 km2. Letusan Gunung Sunda itulah yang diperkirakan membuat Citarum di utara Padalarang terbendung, yang menjadikan Danau Bandung Purba.
Tahapan 3. Dari kaldera Gunung sunda itulah lahir Gunung Tangkuban Parahu. Gunung Tangkuban Parahu tidak berbentuk kerucut karena, di tengahnya terdapat kawah kembar yang berdampingan, sehingga dilihat dari arah selatan akan seperti perahu yang terbalik. Letusannya terjadi dari 90.000 tahun yang lalu sampai sekarang.
Titik pertama dalam Geotrek 1 adalah Kawah Ratu, merupakan kawah aktif terbesar dari semua kawah yang ada. konon dinamai Kawah Ratu, menurut legenda Sangkuriang, Dayang Sumbi melompat ke arah kawah tersebut.
Titik kedua adalah Kawah Upas. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2 km dari kawah Ratu. Tidak seperti kawah Ratu yang masih aktif sehingga tidak bisa dituruni, kawah Upas dapat dituruni hingga dasarnya.Upas sendiri berarti racun, maka tidak mengherankan kalau banyak sekali plang yang memperingati pengunjung untuk tidak mendekat. Beberapa titik diperkirakan mengeluarkan gas yang beracun. Di dekat kawah ini, dengan berjalan kaki sekitar 500m, terdapat sebuah bungker dan tugu peninggalan Belanda, yang kemungkinan besar sebagai pos pertahanan (atau radio) juga terdapat tempat penampungan air diduga untuk persediaan atau penampungan air. Kini plangnya menunjukkan mata air Cikahuripan, yang dipercaya tempat Dayang Sumbi mandi dan memohon kepada Dewata agar awet muda, dengan harapan dapat dipertemukan kembali dengan anaknya Sangkuriang. Kini, sejarah bungker itu tidak banyak yang mengetahui, lagipula pengunjung lebih tertarik akan khasiat dari Cikahuripan sendiri yang dapat membuat awet muda. Kemungkinan besar perintisan jalan menuju Gunung Tangkuban Parahu, selain untuk memudahkan penelitian juga untuk pembangunan lokasi strategis bagi pemerintahan kolonial Belanda. Beberapa benteng dan tempat pertahanan juga mudah ditemui di sekitar gunung ini, seperti di Gunung Putri dan Pasir Ipis.
Titik ketiga adalah perjalanan menurun dari Kawah Ratu ke Kawah Domas, peserta kembali dibawa melewati kawah Ratu. Sekitar 2 km perjalanan menuruni anak tangga alami, vegetasi Cantigi yang berdahan kemerah-merahan dan Pohon Puspa. Di satu titik, terdapat sebuah warung, pemandangan ke bawah sangat indah. Di bawahnya tepat berada kawah Domas, dan ke timurnya membentang hutan yang hijau.
Titik yang keempat adalah kawah Domas. Kawah ini merupakan kawah solfatara. Di banyak tempat, terdapat beberapa lubang yang mengeluarkan uap gas belerang yang panas, kawah utamanya adalah lubang berdiameter dua meter berisi air yang mendidih. Di kawah ini kristal-kristal belerang berwarna kuning cerah terbentuk di sekitar lubang uap. Kejadian inilah yang dipercaya sebagai asal muasal nama kawah Domas, karena arti kata Domas yaitu emas. Warna kuning yang muncul seperti warna emas, sehingga dinamai Kawah Domas.
Titik yang kelima adalah perjalanan menyusuri hutan. Hutan hujan tropis dengan dominasi tanaman pakis, paku-pakuan, rotan, bambu dan pandan. Sepanjang jalan wangi hutan benar-benar menyegarkan, setelah lama bergelut dengan bau belerang. Setelah itu muncul padang ilalang, menghalangi pandangan. Hingga pada akhirnya memasuki areal perkebunan teh, yang pada kali ini tidak semua hijau, karena sebagian sudah disemai. Namun tetap menyegarkan pandang.
Dari titik kelima peserta di evakuasi menuju tempat coffebreak, hehe…
Akhir perjalanan diramaikan dengan kuis, dan ramah tamah dari tiap-tiap peserta. Kesan dan pesan yang terlontar jelas mengarah kepada perubahan tingkah laku, untuk menghargai alam dengan tidak merusaknya. Semoga kegiatan seperti ini dapat terus berlangsung dan melibatkan banyak peserta muda (komunitas-komunitas).
Bahan Bacaan :
Panduan Lapangan Gunung Tangkuban Parahu, T. Bachtiar.
Wisata Bumi Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar. 2009. Penerbit Truedee Pustaka Sejati.
http://www.facebook.com/profile.php?id=519229089&ref=search&sid=1575196128.2302217639..1#!/profile.php?v=app_2347471856&ref=search&id=519229089
Arti kata Domas semestinya 800 (delapan ratus), yang mungkin digunakan oleh orang dulu untuk menggambarkan kawah yang jumlahnya banyak itu. Istilah yang sama juga dipakai untuk situs Arca Domas di Cikopo, bukan karena jumlahnya memang bener2 800 tapi karena saking banyaknya arca di lokasi tersebut..
dipukul rata jadi 800 gitu ya.. tapi sayang2 beribu2 sayang.. ludes semua 🙁
Tentang Kawah Upas kayanya asik juga kalo diperiksa lagi berbagai sumber yang mungkin berkaitan.. Beberapa catatan lama lebih mengaitkan istilah “upas” dengan “pos upas” (atau opas) di dekat Kawah Upas atau bisa juga mungkin dengan pohon upas seperti yang dulu banyak terdapat di dekat Ciwidey (sekarang Ranca Upas) yang juga pernah dibahas di bukunya Raffles “History of Java”.
wihh, terimakasih, nanti kita ubek2 lagi referensinya!