Oleh Irfan Pradana Putra

Memasuki libur panjang dengan hari-hari kejepitnya kemarin ini, sudah bisa dipastikan wilayah Bandung Raya akan dipadati oleh banyak orang dan kendaraan. Apalagi di daerah-daerah yang memiliki kawasan wisata yang populer seperti Ciwidey. Kebetulan sejak Kamis lalu kegiatan momotoran minggu ini sudah disepakati akan ke Ciwidey dengan syarat sedapat mungkin tidak melewati jalan umum yang pasti akan banyak menyita waktu dalam perjalanan.

Sampai Sabtu malam kami sudah menimbang sejumlah beberapa jalur alternatif yang dapat kami ditempuh dengan menggunakan google maps. Membuatnya tidak sekali jadi, karena sedapat mungkin jalurnya tidak melewati jalan tanah atau yang kondisinya rusak parah. Di musim hujan seperti sekarang, kondisi seperti ini harus skip dulu. Maunya bisa lebih banyak menikmati perjalanan dan lingkungan alam yang kami lewati.

Kami berangkat lewat Taman Kopo Indah, lalu melaju sampai ke stadion Si Jalak Harupat. Benar saja apa yang kami khawatirkan. Dari kejauhan sudah tampak antrean kendaraan mengular tepat di depan stadion. Tidak bergerak saking padatnya. Untungnya kami ada di bagian ekor karena memang baru tiba, jadi kami memutar balik dan spontan saja masuk ke kawasan Kutawaringin. Ini bukan jalur yang sudah kami buat, tapi nantinya akan bertemu juga di satu titik. Dari sini kondisi lingkungan sudah langsung berubah drastis, memasuki wilayah perkampungan dan melipir pematang sawah.

Persis pukul sembilan kami mampir ke sebuah rumah makan yang dari jauh sudah terlihat asyik tempatnya. Namanya Sanona, terlihat seperti bertengger di atas lereng perbukitan Kutawaringin Soreang. Katanya, setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai oleh pengunjung, terutama para goweser(pesepeda). Ya melihat lokasinya serta pemandangan yang menghampar di belakangnya sih tidak heran bila rumah makan ini selalau ramai.

Pemandangan dari Warung Sanona. Aya kuendah kitu.. Foto Komunitas Aleut.

Tempat makannya berkonsep bungalow sehingga pengunjung bisa duduk lesehan atau selonjoran di pendopo kayu yang tersedia. Apa yang bisa menandingi sensasi makan dan minum sambil memandangi langit biru, bukit-bukit, dan persawahan yang menghijau sekaligus? Apalagi jika ditemani oleh orang tersayang.

Kami memesan berbagai penganan ringan. Mulai dari tahu rebus, omelette, gehu, dan kue balok, namun menu yang paling spesial di sini adalah es serai lemon gula aren. Bisa dibayangkan setelah lelah bersepeda lalu menenggak segelas minuman segar dengan perasan lemon dan wanginya serai? Kalau kata Dede Inoen mah, “Mantapnyoooo!”

Menikmati beberapa menu Warung Sanona. Minuman di kiri itu segarrrr.. Foto Irfan Pradana Putra.

Selain menu yang kami pesan, Sanona juga menyediakan menu makanan berat semacam nasi goreng, ayam goreng atau bakar, sampai ikan gurame asam manis. Karena masih pagi, jadi kami hanya memesan makanan-makanan yang ringan saja. Semakin siang Sanona semakin ramai didatangi oleh para pesepeda dan rombongan keluarga. Kami segera bergegas meninggalkan Sanona untuk memberi kesempatan bagi pengunjung lainnya mendapatkan tempat duduk dan menikmati suasana. Di ruang-ruang publik seperti ini sudah seharusnya semua orang punya kesadaran untuk saling berbagi.

Keluar dari gerbang Sanona jalanan langsung menanjak sampai  ketemu pertigaan di atasnya. Kami ambil jalan yang ke kiri. Mulai dari sini, jalanan yang kami tempuh sudah mulai naik turun curam melewati kawasan perkampungan. Lepas dari setiap kampung, kami akan selalu berjumpa dengan pemandangan persawahan dan bukit-bukit hijau. Hari ini banyak sekali bonus perjalanannya.

Kali ini saya berjalan di urutan paling depan dengan bekal google maps. Menghabiskan dulu Jalan Cikadu, lalu Jalan Bangsaibane. Nama jalan terakhir ini terdengar sangat unik dan langka, tapi entah apa maknanya. Tidak sempat juga mencari keterangannya. Di sisi timur, berdasarkan peta digital panduan kami ini, ada beberapa gunung yang tidak terlalu tinggi, di antaranya Puncak Cadas Gantung dan Puncak Pasirmalang.

Dari titik ini maps sempat membawa kami ke arah jalan yang tidak kami inginkan, karena tiba-tiba di depan kami sudah  melintang jalan raya Sadu yang sudah tidak asing lagi. Jalanan padat dan ramai. Ternyata setelah memasuki Jalan Cadasngampar, maps-nya aktif sendiri dan mengarahkan ke jalan utama Soreang-Ciwidey. Sedari awal kami ingin menghindari jalan utama, jadi kami putar balik, kembali ke arah Jalan Cikadu.

Kemudian masuk ke Jalan Kutawaringin di Desa Sukamulya. Di sebelah kiri, atau arah selatan, selalu terlihat Gunung Singa. Selama ini Gunung Singa selalu hanya terlihat dari jalan raya utama Soreang-Ciwidey saja dan kali ini saya berkesempatan melihatnya dari arah yang berlawanan. Kapan-kapan sekalian naik saja ke puncaknya, amanlah, tidak terlalu tinggi, dari browsing sih katanya 1089 mdpl.

Di Sukamulya ini perjalanan terus mengarah ke barat. Mendekati ujung jalan, di sebelah kiri jalan atau arah selatan, terlihat pemandangan Gunung Aul. Di ujung jalan ini ada pertigaan dan SD Puncak Mulya. Dari sini kami ambil jalur jalan ke selatan menempuh jalur jalan Gunung Geulis Sukamulya. Sampai di Simpang Lima Gunung Geulis, lagi-lagi ada spontanitas, tidak mengikuti jalur yang sudah disusun, yaitu menuju Cioyod, melainkan mengambil jalan ke arah barat, yaitu Jalan Ciririp-Bangsaya.

Pada bagian ini saya tidak tahu alasan mengambil jalur jalan berbeda itu karena yang membawa jalan di depan sudah berganti oleh Rani. Sangat mungkin karena ingin menghindari jalur jalan tanah atau jalan yang kondisinya rusak parah. Sejak Gunung Geulis kondisi jalan sebenarnya sudah berkurang kemulusannya, selain itu, umumnya sempit-sempit, mungkin hanya pas buat satu mobil. Bila dua mobil berpapasan bakal perlu atur-atur posisi agar bisa lewat. Jalannya datarnya pun jarang panjang, umumnya pendek-pendek karena kemudian selalu naik turun.

Di sisi lain, jalur spontan ini ternyata memberikan pengalaman lain pula. Di sini saya menemukan sebuah fenomena unik. Kami mampir ke sebuah warung yang ternyata memang sudah dikeceng oleh Rani untuk dimampiri., namanya Warung Bi Oon. Ya kebetulan juga sih, beberapa rekan sudah kebelet perlu ke toilet pula.

Warung Bi Oon COD di Kampung Balekambang, persis di garis perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat. Foto Komunitas Aleut.

Sambil pesan minuman panas, kami dengar satu cerita menarik dari Bi Oon yang juga ditanyakan oleh Rani, yaitu bahwa warungnya juga dikenal baik dengan nama Warung COD. Di google maps, lokasinya tertera dengan nama Warung Bi Oon COD. Ibunya engga terlalu mengerti soal nama warungnya di google maps, tapi beliau bercerita bahwa warga sekitar sering berbelanja online dan menggunakan warungnya sebagai alamat kirim. “Seueur da nu sok naritip teh, aya ti lajada, sopi, duka naon deui. Nya panginten ameh gampil we dikirimna ka dieu, engke teh anu pesen nya nyarandakna ka dieu.”

Ditanya siapa yang menyematkan nama warungnya di google maps, beliau ternyata tidak mengetahui persis. “Nya panginten eta weh nu sok ngaririman barangna,” kata si Ibu sambil menunjukkan Perkembangan teknologi internet memang banyak memberikan pengaruh di berbagai lini kehidupan. Mulai dari pola komunikasi, interaksi, hingga pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti berbelanja. Toko-toko offline kini mulai berguguran, digantikan oleh etalase di dunia maya yang daya jangkaunya bahkan bisa sampai pelosok-pelosok desa yang terpencil.

Bi Oon dan warungnya secara tak langsung telah terseret masuk mewarnai kebiasaan baru ini. Ia berperan sebagai lokasi transit untuk barang yang dipesan oleh warga di kampungnya. Alih-alih mengirimkan langsung pada pemesan, para kurir akan menaruh paket kiriman di warung Bi Oon. Nantinya si pemesan yang akan mengambil paket tersebut.

Taktik ini muncul untuk menyiasati sulitnya akses yang lebih jauh ke alamat pemesan. Sementara itu kurir harus memastikan paket diterima dan sampai dengan selamat. Maka Warung Bi Oon yang lokasinya berada di depan kampung adalah solusinya.

Bi Oon sendiri tidak memasang tarif atas jasanya tersebut, meski begitu para pemesan yang terbantu, tak jarang memberi uang tip jasa. Semua pihak bahagia. Karena itulah warungnya kini memiliki nama tambahan, “COD” yang berasal dari istilah Cash on Delivery.

Selalu menyenangkan melihat cara-cara adaptif manusia dalam menyiasati perkembangan zaman. Bi Oon hadir dalam cepatnya arus perputaran informasi. Membantu warga kampung sekaligus para kurir. Menjadi jembatan dalam rantai distribusi yang semakin serba instan.

Jalur jalan di depan Warung Bi Oon COD dan patok perbatasan kabupaten. Foto Komunitas Aleut.

Setelah dua kali hujan seperti akan berhenti tapi tiba-tiba membesar lagi, akhirnya kami bersepakat untuk melanjutkan saja perjalanan ini walaupun bakal didera hujan lebat. Harus ekstra hati-hati saja, biar lambat asal selamat. Ga ada yang dikejar juga selain pengalaman, dan pengalaman tidak butuh kecepatan kan?

Akhirnya kami berhujan-hujan menghabiskan jalur jalan Ciririp Bangsaya sampai Nanggerang. Sejak meninggalkan Warung Bi Oon COD, jalur jalan konsisten naik-turun dengan belokan tajam yang pendek-pendek. Sebagian ternyata memang cukup licin. Tanjakan-tanjakan dan turunan-turunannya benar-benar memberikan banyak ujian, bukan cuma soal skill, tapi juga kehati-hatian, kewaspadaan, sekalian kesabaran dan ketabahan haha…

Bagian lanjutan perjalanan yang cukup berbahaya ini semoga bisa saya sampaikan dalam tulisan berikutnya. Salam. ***