Di bawah ini adalah peta para arsitek di masa Hindia-Belanda beserta daftar karyanya di Bandung. Untuk melihatnya silakan klik link yang ada di halaman ini. Sambil jalan informasi ini akan terus dilengkapi sedikit demi sedikit.
Di bawah ini adalah peta lokasi Stilasi Bandung Lautan Api di Bandung. Aslinya ada 10 stilasi yang tersebar di pusat Kota Bandung. Pada bagian akhir ditambahkan satu lokasi ketika pusat perjuangan mundur ke daerah Ciparay. Nanti peta ini akan dikembangkan lagi dengan menambahkan lokasi monumen-monumen dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan peristiwa Bandung Lautan Api dengan cakupan wilayah yang lebih luas.
https://arcg.is/zvDnj0
Kantor Berita Domei
Segala cara dilakukan Jepang untuk menutupi berita kekalahannya pada Perang Dunia II. Pemerintah Jepang tidak ingin kabar ini sampai kepada warga pribumi, khususnya para pemuda revolusioner yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Demi penyensoran ini pemerintah Jepang mendorong kepala bagian siaran Radio Hoshokyoku di Bandung, Hideki Zenda, untuk mengeluarkan pengumuman di kantornya yang melarang penyiaran informasi yang diambil dari surat kabar Tjahaya Bandoeng.
Bukannya berhasil, pengumuman ini justru memantik rasa penasaran di kalangan pemuda dan pegawai radio yang ingin mengetahui isi lengkap berita tersebut. Meskipun surat kabar Tjahaja Bandoeng tidak bisa ditemukan, para wartawan di kantor tersebut telah membahas kekalahan Jepang. Namun, mereka tidak bisa menyebarkan berita tersebut lebih lanjut karena pihak Jepang menolak mengonfirmasi kebenaran berita tersebut.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda yang bekerja di Stasiun Radio Hoshokyoku di Bandung diminta untuk mengirimkan dua teknisi ke Jakarta untuk membantu pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, ketika waktu yang ditunggu tiba, berita tersebut tidak disiarkan di radio karena Jepang telah menduduki studio radio, menghambat siaran proklamasi. Meskipun demikian, berita proklamasi akhirnya tersebar dengan bantuan kawat dari Kantor Berita Domei di Bandung, yang kemudian dimuat dalam Buletin Berita Domei.
Belakangan ini beberapa rekan di Komunitas Aleut belajar mandiri membuat beberapa macam peta, tentunya masih jauh dari baik, tapi sambil terus belajar ya dipost aja dulu.
Sementara ini hanya bisa post link saja karena untuk embed ke website ini perlu biaya yang lumayan yang belum tersedia. Jadi ya beginilah mampunya.
Bandung Timur memiliki cerita heroik seputar masa revolusi. Dari desas-desus hingga monumen, kami menapakinya melalui kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut.
Hari Minggu kemarin, untuk ke sekian kalinya, kami mampir lagi ke lokasi puing-puing Candi Bojongemas yang terletak di tepi Jalan Babakan Patrol, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Dari foto-foto kunjungan selama ini terlihat kondisi saat candi belum berpagar, kemudian diberi pagar, dan sekarang pagarnya hilang. Plang yang terpasang di depan pun kondisinya mengenaskan, semua bidang mukanya habis oleh karat. Harus mau bersusah payah untuk coba membacanya.
Sudah sedari awal pun sebenarnya kami tahu soal ketiadaan informasi mengenai keberadaan candi ini, tapi ya tidak membuat situs ini jadi harus diskip dari perhatian. Dari pengalaman selama ini, bila kebetulan lewat jalan ini, ya pasti berhenti mampir sebentar, melihat-lihat lagi, walaupun pasti tidak akan ada informasi tambahan yang akan kami dapat. Jadi yang dimaksud dengan kabur pada judul di atas adalah ya informasinya.
Dua foto di atas adalah kondisi Candi Bojongemas pada saat kami berkunjung, 10 Maret 2024. Foto Komunitas Aleut. Pada cuplikan peta di bawahnya tertera nama Bodjongomas. Sialnya, pada saat memotong bagian yang diperlukan malah terlupa menyalin judul petanya. Nanti bila sudah ketemu akan kami cantumkan sumbernya.
Pulang dari perjalanan momotoran ini, iseng lagi browsing sana-sini tentang Candi Bojongemas, paling tidak, niatnya hanya ingin mengumpulkan atau mencatat ulang apa yang pernah ditulis orang dan dipublikasikan, baik di internet ataupun di buku-buku. Anggap saja bagian dari kerja pengumpulan data awal, ya walaupun hanya sekadar.
Dari internet, masih ketemu berita yang itu-itu juga, seputar kondisinya yang semakin memprihatinkan dan kekurangtanggapan pihak terkait untuk mengurusnya. Dugaan yang pernah diajukan mengenai latar belakang keberadaan candi ini dimention juga sedikit-sedikit, walaupun tidak banyak berarti. Misalnya soal periodenya yang mungkin semasa dengan Kerajaan Tarumanagara, atau kemungkinan keterhubungannya dengan Kerajaan Kendan dan Candi Bojongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Mengenai penemuannya, tidak ada catatan angka tahun yang cukup jelas, namun dari cerita yang banyak diulang, disebutkan ditemukan di dalam sungai Ci Tarum pada saat pengerjaan pelurusan sungai itu, bisa jadi penemuannya berlangsung pada awal tahun 2000-an. Wartawan Kompas, Cornelius Helmy, yang menulis artikel dengan judul “Sungai Cikapundung; Rumah bagi Tiga Peradaban,” dan muncul pada HU Kompas edisi 9 Oktober 2010, menyebutkan: Jawa Barat ternyata juga memiliki tinggalan percandian. Pada 1984, ditemukan sejumlah candi di Jabar, seperti Batujaya dan Cibuaya di Karawang. Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung menyusul pada 2002. Batujaya dikatakan sebagai yang tertua di Jawa dan Candi Bojongmenje dan Bojongemas diyakini berasal dari zaman yang sama dengan candi tua di kompleks Dieng.
Pada bagian lain tulisan itu: Buktinya adalah penemuan Candi Bojongmenje di Cicalengka dan Bojongemas di Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Candi ini sebagian ahli memperkirakan dari abad ke-7 M. Ada juga penemuan arca di sekitar Kebun Binatang Bandung, diduga dari era yang sama.
Ada juga yang mengatakan bahwa keberadaan candi itu sudah diketahui oleh masyarakat pada sekitar tahun 1980-an, seperti yang ditulis di Tribun Jabar ini. Repot juga sih, penemuannya yang baru berselang beberapa tahun ke belakang saja begitu sulit mendapatkan informasinya, apalagi soal kapan didirikannya dan bagaimana keberlangsungannya hingga akhirnya berada di tengah aliran Ci Tarum sebagaimana yang juga disampaikan di Tribun Jabar di atas.
Dulu ada warga lokal bernama Pak Adam yang mengetahui banyak soal penemuan dan hal-hal yang berhubungan dengan batuan candi, termasuk proses pemindahannya dari dalam sungai ke tepi jalan, namun beliau telah wafat beberapa tahun lalu dan tak ada yang menyimpan ingatan tentang cerita-cerita yang diketahui oleh Pak Adam. Hanya seorang warga lokal lain yang masih ingat sedikit-sedikit, misal bentuk awal susunan batuan candi tersebut seperti yang disampaikannya kepada Kompas.
Plang candi yang sudah lama mulai menunjukkan karat, akhirnya habis juga semua permukaannya. Tulisan di atasnya semakin kabur, semakin sukar dibaca, membuat pemandangan situs ini semakin aneh: tumpukan batuan yang entah apa ceritanya dan plang atau papan informasi yang entah apa isi tulisannya.
Dari arsip foto lama yang kami punya, kami salinkan saja di sini tulisan utamanya:
Sejarah: Candi Bojongemas yang selama ini dikenal masyarakat, sebenarnya dahulunya merupakan bangunan Pasaduan yaitu tempat yang dianggap suci dan sangat disakralkan oleh pemeluk ajaran Kandaan penganut mayoritas masyarakat Sunda, ada pun tokoh ajaran Kandaan adalah Rajaresiguru Manikmaya seorang Waisnawa (penganut agama Syiwa). Sebagai bukti telah ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Sedikit informasi lain kami dapatkan dari buku Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Edisi Revisi). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011. Pada bagian yang khusus membahas tentang Candi Bojongmenje sebanyak tiga setengah halaman, paragraf terakhirnya ternyata mengenai Candi Bojongemas, namun hanya begini bunyinya: Runtuhan bangunan candi juga ditemukan di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongemas, Kecamatan Solokan Jaya. Lokasi ini berada di tepi barat Sungai Citarum Lama. Batu-batu candi ini dipindahkan karena di lokasi tersebut dilakukan pelurusan sungai. Bagian candi yang masih tersisa adalah pipi tangga, ambang pintu, dan balok-balok batu yang kemungkinan merupakan bagian tubuh candi. Ya segitu saja.
Dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Endang Widyastuti (Balai Arkeologi Bandung) dengan judul “Di Situs Indihiang Kota Tasikmalaya” dan dimuat dalam majalah Purbawidya Vol. 6, No.1, Juni 2017, disebut nama Candi Bojongemas satu kali, demikian … “Beberapa tinggalan yang telah diyakini sebagai bangunan suci atau candi yang telah tercatat adalah kompleks percandian Batujaya, Cibuaya, Cangkuang, Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, dan Bojongemas. Bangunan-bangunan suci tersebut selain kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang diyakini berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Sunda.” Jadi ada dugaan periodenya dari masa Kerajaan Sunda, namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang ini.
Masih dari Endang Widyastuti, kali ini dalam sebuah hasil penelitian berjudul “Bentuk dan Pola Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat Bagian Timur” yang dimuat dalam Ringkasan Hasil Penelitian Balai Arkeologi Jawa Barat Tahun 2019. Demikian kutipannya: Lokasi-lokasi yang ditengarai menyimpan tinggalan berupa bangunan suci tersebut diantaranya Candi Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, Bojongemas, dan Lingga yoni Indihiyang. Bangunan-bangunan tersebut diyakini sebagai bangunan suci meskipun ditemukan dalam kondisi yang sudah runtuh berdasarkan adanya temuan berupa arca nandi, lingga, yoni, atau gabungan dari arca-arca tersebut serta beberapa bongkah batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan. Adanya arca-arca tersebut mengindikasikan adanya bangunan suci di lokasi tersebut, meskipun secara untuh bentukbangunan belum terungkap. Ada penjelasan tambahan untuk Candi Bojongemas, yakni sebagai sebuah bangunan suci, mungkin sama maksudnya dengan istilah Pasaduan seperti yang tercantum pada plang Situs Candi Bojongemas.
Untuk menambah ketidakjelasan, di plang itu ada tertulis ditemukannya arcaDurga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Kami coba cari informasi tentang arca ini, tapi tidak ada yang cukup meyakinkan, yang jelas ejaan umum untuk nama itu adalah Durga Mahisasuramardini dan bukan Nahesasuramardini. Ya mungkin salah ketik saja.
Website wikipedia mempunyai satu halaman sendiri tentang arca Durga yang pernah ditemukan, tapi dari daftar yang ada, tidak ada yang dari sekitar Bandung. Di situs KITLV ada foto sebuah arca Durga dengan keterangan dari Bandung dan sudah dipindahkan ke Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia (sekarang Museum Nasional), namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang nama lokasi yang lebih spesifik. Foto ini dibuat oleh Isidore van Kinsbergen sebelum tahun 1900. Dari keterangan yang ditulis oleh Junghuhn (1844), sepertinya patung Durga ini adalah yang ditemukannya di daerah pergunungan utara Bandung, di suatu tempat bernama Pamoyanan, tidak jauh dari Cipanjalu.
Arca Durga dari Pamoyanan, dekat Cipanjalu. KITLV 87628. Foto oleh Isidore van Kinsbergen, sebelum 1900. Caption asli: Beeld van Doerga afkomstig uit Bandoeng, overgebracht naar het Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia.
Arca Durga yang disebut berasal dari Tenjolaya, Cicalengka. Caption asli: Beeld uit Tendjolaja bij Tjitjalengka bij Bandoeng. KITLV 162754. Circa 1890.
Masih dari situs KITLV, ada satu foto arca Durga lainnya yang diberi keterangan “dari Tjitjalengka.” Foto ini sudah sering kami lihat dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986) dan disebutkan berasal dari Desa Tenjolaya, Cicalengka. Tentang arca ini tercatat juga dalam laporan N.J. Krom, pada nomor 115 dan 116.
Pada nomor 115 dari Cicalengka, disebutkan: Di halaman tempat kediaman kontrolir (dahulu) sebuah patung batu Polynesis kasar batu, mungkin berasal dari Tenjolaya. Sedangkan nomor 116 dari Tenjolaya dengan informasi awal dari katalog Verbeek nomor 58: Bekas-bekas tangga dan terras dari tanah, pada bagian teratas terdapat tiga alas kaki dan patung-patung. Salah satu dari patung-patung tersebut kini terdapat di Cicalengka (no 115). Dari desa ini terdapat juga sebuah kala dari batu, kini disimpan di Museum Pusat Jakarta; dari koleksi penggalian purbakala yang dikirim kesana itu terdapat patung Durga dari batu, tasbih, cincin mas, kalung, pecahan mas, senjata-senjata dari besi, kepingan arca batu dari sebuah bangunan, tempat penemuannya disebut “Warung Peuteuy”. Dari tempat tersebut ditemukan juga sisa-sisa bangunan diduga dari tempat yang sama ialah bukit Pamuruyan; dimana terdapat juga sebuah patung dan sebuah cincin.
Dari situs wikimedia commons, ada satu foto arca Durga dengan caption: Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, National Museum, Jakarta, Java (By Photo Dharma from Sadao, Thailand – 091P1010349 Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, CC BY 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50791558). Dari hasil penelusuran internet, ditemukan foto arca yang sama dengan keterangan asal dari Damping, sebuah nama tempat di Losari, Cirebon. Dari catatan-catatan di atas, tidak ada informasi tentang arca Durga dari Bojongemas. Mungkin satu saat nanti perlu mencari dan melihat langsung ke Museum Nasional.
Yang menarik, saat menelusuri informasi arca ini malah ketemu satu artikel dari situs Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyebutkan keberadaan batu prasasti Candi Bojongemas. Disebutkan bahwa prasasti itu ditemukan di dasar sungai Ci Tarum, dengan kondisi tulisan yang sudah tidak terbaca. Saat ini prasasti disimpan oleh salah seorang warga Kampung Sapan. Informasi mengenai batu prasasti ini, ya lebih gelap lagi. ***
Dari sebuah buku berjudul Kereta Terakhir; Memoar Gadis Djoang yang ditulis oleh Oetari (Gramedia, Jakarta, 2015), saya menemukan satu nama yang selama ini jarang disebut dalam kisah-kisah masa Revolusi Kemerdekaan RI di Bandung. Dalam buku ini namanya disebut sebagai Kapten Hoetagaloeng. Kapten adalah pangkatnya dalam kemiliteran, sedangkan Hoetagaloeng atau menurut ejaan baru, Hutagalung, adalah nama marga suku Batak dari Sumatra Utara. Sedangkan nama dirinya, sepembacaan saya, tidak pernah disebut.
Kapten Hutagalung semula adalah seorang pedagang di daerah Cijerah. Pada masa awal revolusi, 1945, ia membentuk dan memimpin satu kelompok perjuangan bersenjata setaraf kompi dan bermarkas di sekitar perbatasan antara Bandung-Cimahi. Dalam buku memoar tersebut, pasukan ini sering disebut sebagai Kompi Istimewa Hutagalung. Dalam mengelola pasukannya, Hutagalung dibantu oleh Letnan Anang, seorang mantan guru sekolah dasar.
Hutagalung memanfaatkan sebuah bangunan bekas sekolah di Desa Warung Muncang, di persimpangan jalan raya dengan Andir, sebagai markas pasukannya. Pada waktu itu disebutkan bahwa lokasi ini terletak sekitar 3 kilometer dari Bandoeng. Bermarkas di tempat ini tidak selalu aman, apalagi lokasi ini tidak begitu jauh dari lapangan terbang Andir yang saat itu berada dalam kekuasaan tentara Sekutu. Mencari lokasi bekas sekolah ini sekarang ternyata tidak mudah juga. Bangunan-bangunan kebanyakan sudah berganti, begitu pula dengan penghuni kawasan, kebanyakan sudah orang baru.
Penelusuran ini berawal dari satu paragraf catatan kaki dalam buku “Preanger Schetsen” karya P. De Roo De La Faille. Berikut keterangan dalam catatan kaki di buku tersebut:
Preanger Schetsen 1895 (halaman 12)
“Mungkin representasi ini adalah suatu “keterlibatan yang sangat kontroversial”: para pertapa umumnya tinggal di dalam gua. Namun, mengingat bahwa di pegunungan di sekitar sini tidak banyak gua atau setidaknya sangat jarang; mengingat bahwa di sini kita menemukan jejak-jejak penghormatan terhadap dewa, maka saya cenderung mengambil contoh desa di pegunungan, seperti yang masih sering kita temukan, misalnya di Pasir Roembija, di mana terdapat lonceng-lonceng kuil dan sebagainya.”
Terdapat informasi mengenai sebuah desa di pegunungan yang memiliki benda-benda purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya. Desa tersebut bernama Pasir Rumbia. Dari keterangan ini saya coba mencari lokasi persisnya lewat peta lama. Tak sulit menemukan lokasi pasti desanya, hingga akhirnya awal Oktober 2023 kami melakukan Momotoran ke sana.
Di Desa Rumbia terdapat sebuah mata air yang disakralkan oleh warga dan terdapat juga makam keramat. Sebenarnya tujuan kami bukanlah desanya tetapi Pasir Rumbia atau dalam Bahasa Indonesia artinya Bukit Rumbia. Menuju lokasi Pasir Rumbia medannya sulit karena kami harus mendaki bukit yang jalannya curam.
Untunglah ada jalan untuk motor dapat naik ke bukit itu pun hanya cukup untuk satu motor saja. Motor kami parkirkan di sisi bukit. Kata pertama yang saya ucapkan di posisi parkiran tersebut adalah “spektakuler”. Di depan saya terhampar sebuah pemandangan yang saya rasakan memang spektakuler, ada banyak undakan seperti teras yang tingginya sekitar 1-2 meter dengan batu kali sebagai penyusunnya. Batu kali ini banyak sekali, rasanya tak mungkin ada orang yang iseng menyusun banyak sekali batu-batu tersebut. Jika berfungsi sebagai tanggul, pondasi atau terasering untuk bercocok tanam rasanya kok tidak mungkin juga, karena lebar teras antar undakan terlalu pendek.
Undakan batu di Pasir Rumbia (Komunitas Aleut)
Undakan batu yang berada di punggung bukit sebelah kiri foto ini, saat kami datang digunakan untuk berladang. Tidak ada tanda-tanda untuk dibuka juga. Hanya punggungan sebelah kanan ini saja yang dibuka untuk berladang (Komunitas Aleut)
Apakah mungkin Pasir Rumbia dahulunya merupakan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat peribadatan orang-orang di masa lampau? Inilah pendapat yang terus saya pikirkan saat berada di Pasir Rumbia. Berdiri di atas bukit dengan pemandangan yang luas ke arah barat, rasa-rasanya jika membayangkan sebuah tempat peribadatan masa lampau di Pasir Rumbia tidak ada salahnya. Lokasinya cocok betul!
Setelah selesai Momotoran dan sampai di Bandung, seperti biasa saya kembali mengulang atau mencari kembali materi-materi seputar Momotoran. Ternyata ada koreksi informasi seputar Pasir Rumbia. Barang-barang purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya terletak bukan di Pasir Rumbia melainkan di Desa Selakaso. Informasi ini saya dapatkan dalam:
Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Tahun 1894:
“Bahwa dia telah menerima surat dari anggota, Tuan P. de Roo de la Faille, calon pengawas di Tjitjalengka, tertanggal 21 Mei, yang berisi hal-hal berikut:
Selama verifikasi di lokasi di distrik Madjalaja, kami – Tuan de Graaff dan saya – di desa Selakaso, dekat pasir Roembija, tidak jauh dari Tjitaroem, menemukan beberapa senjata kuno. Senjata-senjata ini disimpan oleh seorang koentjen di sebuah saoeng yang cukup tinggi, berdiri di atas tiang, yang dapat diakses dengan tangga. Di dalamnya, kami menemukan: tiga lonceng kuil, disimpan dalam dua kotak bambu sederhana yang teranyam; dari salah satu lonceng tembaga, pegangannya berbentuk naga atau figur naga yang cukup bagus; selanjutnya, dibungkus dalam kulit daloewang, sebuah kris, sebilah klewang, sebilah pisau tembaga kasar, tujuh tombak yang kasar dengan sarung kayu mereka, dan sebuah ujung tombak yang dihiasi dengan beberapa helai daun emas; dan akhirnya dua lela tembaga berukuran sekitar 0,80 meter, dengan mulut lebih dari 1 cm diameter, bersama dengan yang ketiga yang lebih kecil, yang kurang dari 3 dm panjangnya: lela-lela ini memiliki tonjolan runcing di bagian bawahnya (mungkin untuk menopang meriam atau menancapkan ke tanah?). Selain itu, ada juga sebuah bak kayu berbentuk panjang yang tampaknya digunakan untuk gambang kayu.
Koentjen awalnya mengklaim tidak tahu benda-benda ini milik siapa; kemudian ia menyebutkan nama-nama pemukim terdahulu yang dikuburkan tidak jauh dari saoeng di bawah kiara tinggi, yaitu Embah Roembija, E. Anggem, E. Djagaraksa, E. Djagajoeda, dan E. Hadji Doerahman, tetapi nama-nama yang tidak bermakna ini tidak layak mendapat perhatian yang besar. Selain itu, ia tidak tahu atau tidak mau memberikan informasi lebih lanjut; ia mengklaim tidak memiliki piagem atau tulisan-tulisan kuno lainnya. Menurut Patih Tjitjalengka, kepercayaan rakyat mengatakan bahwa semua ini pernah dimiliki oleh Kjai Hjang Santang, sebelum putra kerajaan Padjadjaran ini memeluk Islam; makamnya – dikenal sebagai “Soennan Godog” terletak di Limbangan, dalam distrik Soetji.”
Peta tahun 1919 oleh Army Map Service U.S. (oldmapsonline)
Tahun 1906:
Pada bulan Juli yang lalu selama saya berada di Madja Laja, saya mendengar bahwa di Sela Kaso, di bawah kecamatan Patjet, Preanger-Regentschappen, ada beberapa benda purbakala logam dari zaman Hindu yang dijaga oleh seseorang bernama Pa Arsah. Penelitian lokal menunjukkan bahwa benda-benda tersebut meliputi:
1 Patung Akshobhya yang indah dari perunggu.
5 lonceng doa dengan pegangan yang berbeda, disebut Sangjang Këling.
4 senjata pukulan.
4 ujung tombak, salah satunya dihiasi dengan emas.
2 pisau belati.
1 kris.
1 pisau.
3 lonceng kecil.
1 tongkat besi, disebut entjis.
2 gunting pinang besi.
3 meriam tembaga.
Masih ada sebilah kropak yang harusnya ada, yang pada tahun 1902 dibawa oleh Wadana dari Tji-keulang ke Bandoeng. Terkait dengan barang-barang purbakala ini, saya diberitahu:
“Te djaman baheula doemoegi ka ajeuna dismipènan dina hidji saoeng sapertos papangopengan de Roembia.”
Mereka masih disimpan di sini sampai sekarang.
Awit ti nalika ratoe boeda djoemënèngan Ratoe Manabaja doemoegi kana sapoeloeh padjënëngan anoe masih kawëngkoe koe alam agama boeda.
anoe parantas islam. Itulah beberapa catatan informasi yang berhasil saya dapatkan mengenai Desa Selakaso. Semoga dapat kesempatan untuk berkunjung ke Selakaso, mencari jejak-jejak masa lampau yang mungkin saja terlupakan.
Peta awal abad 19 oleh Bik. Selakaso ditunjukan oleh panah warna merah (Nationaal Archief)
Tulisan ini postingan ulang dari aslinya yang berupa storymap di situs online arcgis.
Pada hari Minggu, 3 Maret 2024 pagi itu sinar mentari tak menampakan wajahnya. Saya mengikuti kegiatan reguler Aleut yang biasa dilakukan rutin sertiap minggu. Kegiatan kali ini yaitu momotoran menyusuri daerah Cililin Kabupaten Bandung Barat untuk melihat peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, selain itu juga pengenalan beberapa kawasan seperti Jatisari, Cibodas, Situwangi, Kp. Baru, Kidangpananjung, Walahir, Wisata Langit Gantole, dan seterusnya menuju Cililin.
Ide perjalanan ini sebetulnya telah disusun dua minggu lalu, namun baru minggu ini bisa melakukan perjalanan karena ada satu dan lain hal yang mengakibatkan diundur. Awal perjalanan dimulai dari SE Aleut melewati padatnya jalan M. Toha, Kopo, hingga Soreang. Setelah itu berbelok ke arah kanan menuju Desa Jatisari, suasana mulai berbeda rumah-rumah berderet berganti menjadi perbukitan di sebelah kiri, sedangkan di kanan jalan terdapat area pesawahan khas perdesaan.
Tanjakan yang terletak di Desa Jatisari, Tanjakan ini merupakan awal dimulainya perjalanan kami yang akan menyusuri naik turun pebukitan. Komunitas Aleut, 2024.
Perjalanan berlanjut menyusuri Desa Jatisari dan sampailah kami dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang lumayan panjang dan berkelok kelok. Untungnya jalanan bagus telah diaspal sehingga cukup membantu untuk melewatinya, tapi tetap saja harus berhati-hati. Tanjakan ini merupakan titik awal perjalanan kami yang segera akan naik turun perbukitan. Saya mengikuti rekan yang berada di depan untuk berhenti menunggu kawan-kawan yang tertinggal di belakang, maka saya sempatkan untuk mengambil beberapa foto. Tempat kami berhenti merupakan area pertigaan, jika melihat ke jalur sebelah kiri sepertinya jalur menuju perkebunan warga setempat yang belum diaspal, hanya tanah dan rerumputan.
Perjalanan tidaklah mudah, kami dihadang oleh jalan penuh lumpur dan genangan air yang tentunya licin dan membuat motor kami kepayahan melewatinya. Komunitas Aleut, 2024.
Memasuki wilayah perkampungan, saya melihat warga berlalu lalang beraktivitas yang mungkin kebanyakan berprofesi sebagai penggarap ladang. Tak banyak rumah yang dilewati di sana hanya beberapa saja. Jalanan pun cukup sepi kami tak banyak berpapasan dengan pengendara lain, tak heran juga karena orang yang mau lewat sini mestilah yang punya tujuan khusus, kalo engga, mana ada orang lewat, lokasinya agak terpencil.
Saya tercengang seketika melihat jalur di depan dipenuhi lumpur dan genangan air. Bagaimana tidak, kami yang hanya menggunakan motor standard melewati jalur seperti ini sudah dipastikan akan kesulitan. Dengan usaha bahu membahu tolong menolong satu sama lain, kami pun dapat melewatinya. Dengan bekerjasama saat melewati genangan air dan lumpur yang licin satu demi satu motor didorong supaya melaju kembali. Belakangan mendengar beberapa cerita, katanya memang jalur ini adalah jalur khusus motor trail. Jalur lumpur ini tidak terlalu panjang, namun tetap saja cukup menguras tenaga.
Saat hendak menyerah, seorang petani di lembah menyemangati: Sayang, Pak, ga jauh lagi udah nyampe dataran di atas, setelah itu jalannya beton semua. Komunitas Aleut, 2024.
Kami berhenti sesaat di tengah jalur yang masih berlumpur, sembari menunggu rekan yang masih di belakang, kami membersihkan outsol sepatu yang penuh dengan tanah. Saat saya membersikan sepatu tiba-tiba terpeleset di rumput yang licin. Sontak membuat rekan melihat ke arah saya yang tengah terduduk di rerumputan. Saat Teh Rani mengulurkan tangannya untuk membantu, eh malah jadi teringat kejadian beberapa minggu sebelumnya ketika momotoran ke daerah Kutawringin, waktu itu saya terpental saat mencoba menahan motor Adit yang tidak bisa menanjak. Hanya saja waktu itu Insan yang mengulurkan tangan untuk menolong. Kedua momen ini terekam pula dalam foto. Jadinya seperti reka ulang kejadian saja haha. Saya mudah terjatuh karena lutut sebelah kanan saya sedang mengalami cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament), sehingga tidak kuat dijadikan tumpuan atau saat menahan beban berat.
Setelah lewat jalur trail kami sampai di rest area di atas, sebuah dataran tidak terlalu luastempat biasa para pengendara motor trail beristirahat. Benar saja, tak lama kami duduk beristirahat para pengendara motor trail berdatangan. Dari kejauhan sudah terdengar suara motor trail, seketika saya mengikuti rekan Aleut yang melihat ke arah jalan untukmelihat pengendara motor trail begitu mudah melewatinya berasa jalur tak ada halangan yang sulit. Berbeda dengan kami yang menggunakan motor standard, kebanyakan menggunakan motor matic pula. Sembari beristirahat di sebuah saung, sementara beberapa rekan Aleut yang lainya membeli air mineral dan jajan di warung parapatan Ibu Adah. Saya mendengar cerita dari rekan yang telah mengobrol di warung, ternyata jalur ini merupakan jalur motor trail yang dengan sengaja tidak diaspal oleh pemerintah desa setempat. Tempat kami beristirahat ini terletak di Kampung Baru perbatasan antara Desa Cibodas dan Desa Jatisari.
Atas: Pertigaan menuju Puncak Batu Nini. Bawah: Puncak Batu Nini. Komunitas Aleut, 2024.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Buleud, dengan tujuan Puncak Batu Nini. Sesampainya di pertigaan jalur Gunung Buleud, Batu Karut, dan Puncak Batu Nini, kami lihat ada beberapa petani dan di belakangnya ada sebuah saung kosong. Seperti biasa, kami sempatkan untuk bertegur sapa sambil bertanya ini-itu seputar Gunung Buleud dan kawasan setempat. Menurut bapak-bapak tanu itu Puncak Batu Nini sempat menjadi objek wisata yang viral, selalu dipenuhi kunjungan wisatawan setiap akhir pekan. Sambil bercerita itu, tangannya menunjuk ke sana-sini juga menggambarkan bagaimana padatnya kendaraan memenuhi hampir seluruh ruas jalan di sekitar waktu itu. Selain ke Puncak Batu Nini, Ada juga orang-orang yang khusus datang untuk berziarah ke Batu Karut. Mereka berjalan kaki dari arah kampung lalu dari pertigaan ini memutari Gunung Buleud dari arah sebelah kiri. Fenomena batu yang terlilit oleh akar-akar pohon tua itu dikeramatkan oleh sebagian orang.
Setelah mengobrol dengan bapak-bapak tani itu, kami berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Batu Nini atau tidak, dan siapa saja yang ikut naik ke atas. Alhasil kelompok terbagi beberapa orang yang naik ke atas, ada juga yang menunggu di saung warga, dan ada juga yang ikut naik namun tidak sampai ke Puncak Batu Nini. Menurut penuturan bapak tadi memang lokasi Puncak Batu Nini sudah tidak jauh lagi, tapi ya namanya omongan warga setempat, tentunya berbeda dengan apa yang kami bayangkan.
Jalur menuju Puncak Batu Nini tidaklah mudah, karena sebagian besar telah tertutupi oleh ilalang rerumputan liar menghalangi jalan. Jalur jalan setapaknya berbatu dan sebagian lagi tanah, sehingga membuat jalan licin dan tentu saja menambah sulit perjalanan. Saya sampai beberapa kali harus merayap berpegangan keakar-akar dan rumput di sampingnya agar tidak tergelincir. Mungkin sudah beberapa bulan tidak ada lagi orang yang melewati jalur ke Puncak Batu Nini ini. Di atas sebenarnya ada beberapa warung yang dari penampilannya sih sepertinya masih buka, namun kebetulan saat itu tutup. Ada juga warung sudah tidak digunakan lagi dan hanya menyisakan rangkanya saja. Dapat dibayangkan dulu ramainya wisata Batu Nini ini, menurut beberapa berita, saat ramai dahulu, jalur ini juga digunakan oleh para pesepeda.
Akhirnya setelah melewati track menanjak dan licin, sampai juga di atas Puncak Batu Nini. Dari atas sini, terhampar pemandangan yang menakjubkan. Semilir angin merasuki badan serta rasa takjub melihat batu begitu besar diatas bukit Gunung Buleud. Mungkin ini yang dirasakan seorang naturalis Jerman di Tanah Priangan yang melakukan perjalanan menuju Cililin (Distrik Rongga) menyusuri lereng Gunung Buleud. Dapat dibayangkan kondisi wilayah di sini dahulu, sebagaimana diceritakan dalam tulisan tentang Ekspedisi Novara saat mengunjungi batu besar berbentuk kerucut ini dahulu. Cerita lebih banyak tentang ekspedisi ini bisa dibaca di bukunya Muhammad Malik ar Rahiem, Naturalis Jerman di Tanah Priangan (Layung, 2021).
Begini pemandangan dari warung di atas Venue Gantole. Ga ada kompas, ga ngecek arah juga,foto atas ada di sebelah kanan, dan foto bawah ada di sebelah kiri kami. Komunitas Aleut, 2024.
Melanjutkan perjalanan, kami sampai di Venue Gantole. Tempat ini sempat dijadikan lokasi penyelenggaraan perlombaan PON Jawa Barat 2016. Tapi kini gedung tempat para atlet paralayang itu terlihat sudah tak terurus. Dindingnya banyak ditumbuhi lumut dan tumbuhan liar. Hanya tempat wisata Langit Gantole yang berada di sebelahnya yang masih cukup ramai dikunjungi. Suasana di area Venue Gantole saat kami datang terlihat sepi, warung-warung masih buka, tapi tidak banyak tamu. Kami memilihi salah satu warung untuk tempat istirahat sebentaran, sambil menikmati pemandangan menyejukkan mata yang terbentang luas di depan mata: hamparan sawah bertingkat-tingkat, perbukitan, dan Waduk Saguling yang ujung-ujungnya seperti akar serabut menjorok ke kaki-kaki bukit.
Perjalanan selanjutnya mestinya mengunjungi peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, tapi ternyata hari itu bangunan bekas stasiun radio tersebut sedang digunkan acara oleh sebuah paguyuban di Cililin, parkiran pun tumpah ke jalanan. Akhirnya kami putar balik ke SMAN 1 Cililin. Setelah mendapatkan izin penjaga, kami pun masuk ke dalam lingkungan sekolah. Berkeliling ke seluruh bagiannya, termasuk ke dalam ruangan bekas kantor staf stasiun radio yang sempat digunakan sebagai rumah tinggal oleh Westerling pada tahun1950-an. Kini bangunan tersebut dijadikan ruang tata usaha dan ruang kepala sekolah.
Dua foto di atas diambil di dalam kompleks SMAN 1 Cililin. Komunitas Aleut, 2024.
Ruangan-ruangan di dalam bangunan di kompleks ini terasa cukup sejuk. Beberapa bangunan tampak sudah berganti rupa, sementara interiornya masih dipertahankan keasliannya. Jendela-jendela yang masih menggunakan yang lama. Selain itu, kami melihat beberapa foto lama yang dipajang di dinding tembok. Mengenai Cililin, saya menemukan sebuah novel yang menceritakan kisah menarik di Cililin, judulnya The Belle of Tjililin. Novel karya Soeka Hati ini diterbitkan oleh Tan’s Drukkery tahun 1934, yang beralamatkan di Surabaya. Isinya kisah cinta klasik dengan latar masyarakat heterogen. Diceritakan kondisi sosial masyarakat di Jawa Barat tahun 1920-1930-an, terkhusus di wilayah Cililin yang penduduknya digambarkan sebagai pembuat minyak dari kacang yang katanya terbaik di Jawa Barat. Selain itu, tergambarkan juga bahwa masyarakat Cililin merupakan masyarakat yang religius dan taat beragama.
Diskusi di ujung perjalanan, di Saung Lalakon. Komunitas Aleut, 2024.
Setelah menempuh perjalanan menyusuri Cililin, kami melintasi kawasan padat ramai di Cihampelas, sebuah kecamatan bagian dari Kabupaten Bandung Barat yang penduduk dan lingkungannya terasa lebih modern. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke rumah makan Saung Lalakon yang terletak di kaki Gunung Lalakon. Kami memilih tempat di area bawah, tempat duduk lesehan di atas panggung yang di bawahnya ada kolam ikan. Sembari menunggu pesanan datang, kami bertukar cerita pengalaman perjalanan yang telah dilalui, karena dari setiap perjalanan tentunya ada sebuah pelajaran yang dapat dipetik untuk bekal hidup yang lebih baik. Seperti dalam tulisan yang kami lihat tertera di dinding SMAN 1 Cililin tadi: Guna Wulang Gapuraning Rahayu. ***
Berikut ini adalah artikel dari Gerrit Hendriks (1890-1945) tentang Rumah Potong Hewan di Jalan Arjuna, Bandung, yang kami terjemahkan dari majalah Locale Techniek, volume 5 Tahun 1936. Gerrit Hendriks bekerja sebagai arsitek untuk biro pembangunan Gemeente Bandoeng sepanjang tahun 1929-1942. Ia terlibat dalam perancangan dan pembangunan beberapa bangunan monumental di Kota Bandung, di antaranya Departementsgebouw Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate, saat bekerja untuk Burgerlijke Openbare Werken, 1922), Juliana Ziekenhuis (RSHS, 1929), Abattoir di Slachthuisweg 45 (Rumah Potong Hewan, 1935), dan Gebouw Indische Pensioenfondsen Wilhelminaboulevard 9 (Gedung Dwi Warna, 1940). Gerrit Hendriks meninggal dunia di kamp internir Jepang di Cimahi pada tanggal 3 Agustus 1945.
Pada bagian akhir, ditambahkan keterangan pendek dalam bahasa Indonesia saat itu dan kami salin utuh di sini. Keterangan gambar juga kami salin sesuai dengan teks aslinya. Semoga bermanfaat.
“Rumah Potong Hewan di Kota Bandung”
Pada tahun 1935, rumah potong sapi yang baru telah selesai dibangun, sehingga konstruksi seluruh kompleks rumah potong untuk Kota Bandoeng dapat dianggap selesai dan telah digunakan.
Pembangunan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama mencakup gedung administrasi, dua rumah dinas, dan pintu masuk utama. Pembangunan ini dimulai pada tahun 1934 dengan pembangunan rumah potong babi dan beberapa kandang. Saat ini, tahap ketiga dan terakhir, yaitu rumah potong sapi, juga telah selesai.
Lokasi:
Area rumah potong terletak di bagian barat Bandoeng di Jalan Slachthuis (Slachthuisweg, sekarang Jl. Arjuna), dekat dengan jalur kereta api Bandoeng-Tjimahi. Hewan ternak diantar ke bagian belakang dari tempat pembongkaran khusus yang terletak di jalur samping rel tersebut dan kemudian dibawa ke kandang observasi (Nomor 11 dan 5 pada gambar 1).
Tanah:
Tanahnya hampir datar dan cocok untuk pembangunan. Oleh karena itu, tidak diperlukan langkah-langkah khusus dalam hal pondasi. Selama pembangunan gedung administrasi, rumah dinas, dan pintu masuk, jalan utama (hanya pengerasan sementara) sudah dibangun oleh pemerintah bersamaan dengan penanaman pohon yang diperlukan.
Selama pembangunan selanjutnya, tanaman ini, dengan beberapa pengecualian, tidak mengalami kerusakan sehingga saat ini area rumah potong sudah memiliki tanaman yang cukup maju.
Pembagian:
Persyaratan untuk memisahkan sepenuhnya rumah potong sapi dan babi telah menjadi dasar perencanaan (lihat gambar 1 untuk seluruh rumah potong, dan gambar 2 untuk rumah potong sapi saja). Di kedua sisi pintu masuk utama (yang juga berfungsi sebagai pos penjaga) diatur jalan menuju rumah potong sapi dan babi, yang kemudian terhubung ke ruang distribusi.
Titik tertinggi jalan Bandung – Kawah Papandayan (Algemeen Handelsblad)
Beberapa waktu lalu seorang rekan di Aleut melontarkan sebuah pertanyaan terkait nama tempat di Gunung Papandayan. Dia menanyakan arti nama Ghober Hoet. Kemudian seorang rekan lainnya mencoba menjawab bahwa Ghober Hoet kemungkinan besar merupakan Bahasa Belanda di masa lalu tetapi cara penulisannya saat ini kemungkinan salah. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia, Hoet atau Hut artinya Pondok.
Pertanyaan ini lama tersimpan di kepala saya. Hingga akhirnya terjawab dengan tak sengaja setelah selesai kegiatan Momotoran Aleut ke Perkebunan Sedep akhir Januari lalu. Sekembalinya dari Momotoran, saya mencoba mencari informasi mengenai jalan antara Bandung – Sedep – Papandayan yang dibuat oleh Bandoeng Vooruit. Hal ini biasa saya lakukan setelah melakukan Momotoran, kurang lebih untuk menambal informasi yang tidak didapatkan atau luput selama Momotoran.
Jalan menuju Kawah Papandayan dengan melewati Santosa – Sedep – Negla – Cileuleuy diresmikan pada akhir Desember 1935. Peresmian ini dihadiri oleh Residen Tydeman, Walikota Bandung saat itu J.M. Wesselink, Kepala Kepolisian Verspoor, hampir semua administratur perusahaan perkebunan terdekat, perwakilan Direksi Sedep, para-Regent dari Garut dan Cianjur, pihak-pihak yang berkepentingan dari industri hotel dan pariwisata, Salomons dari Aneta, dan lain sebagainya.
Barisan mobil yang memanjang tiba di Sedep sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Mereka disambut hangat oleh keluarga Bertling. Musik marching band ikut menyemarakkan suasana dengan lagu-lagu ceria. Setelah menikmati secangkir kopi dan kue, mereka melanjutkan perjalanan melintasi kebun teh menuju ke kawah.
Ada sedikit kendala saat mobil dari Residen Tydeman yang memimpin rombongan mengalami kerusakan. Akibatnya mobil tersebut harus berjalan dengan sangat pelan bahkan untuk di area yang datar. Ini menyebabkan sebagian besar mobil rombongan kehabisan air sehingga ketika jalan mulai menanjak, sebagian besar mobil mengalami overheat. Terjadilah keterlambatan dan banyak mobil yang harus ditinggalkan di pinggir jalan. Para penumpangnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawah.
Jawaharlal Nehru bersama Soekarno saat mengunjungi Kawah Papandayan pada tanggal 9 Juni 1950 (Antara)
Akhirnya tibalah mereka di pinggir kawah, di tempat sebuah monumen didirikan untuk mengenang peristiwa penting ini. Pertama-tama, W. H. Hoogland, Ketua Bandoeng Vooruit, berbicara kepada para hadirin sebagai berikut:
Ini tulisan lanjutan Catatan Momotoran Kertamanah yang bagian pertamanya bisa dibaca di sini.
Memasuki jalan raya Pangalengan cuaca malah berubah jadi panas terik, padahal rasanya baru saja kami pakai jas hujan. Terlihat lucu juga, karena hanya kami iring-iringan motor yang mengenakan jas hujan. Walhasil badan pun terasa gerah. Jahil sekali langit hari itu. Tujuan berikutnya adalah ke kawasan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa yang wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Kertasari.
Di gerbang perkebunan Malabar, kami semua berhenti di Warung Nasi Rehan yang katanya sudah lama jadi langganannya Komunitas Aleut. Di sini kami tidak makan di tempat, tapi beli bungkus untuk dimakan di Santosa nanti. Sebelumnya saya sudah cukup sering mendatangi Rumah Bosscha dan sesering itu juga melihat warung nasi ini dalam perjalanan, tapi ini adalah kali pertama saya mampir dan membeli beberapa pilihan makanan untuk bekal.
Warung Nasi Rehan di Pintu, Malabar. Foto Komunitas Aleut.
Di dalam warung sudah cukup banyak orang antre beli makanan dan rata-rata untuk dibungkus juga. Dibandingkan warung-warung lain di sekitar, sepertinya Warung Rehan ini paling populer. Pilihan menunya cukup banyak, masakan rumahan. Semua tampak menggugah, tapi tidak mungkin juga mengambil semuanya. Saya memilih nasi dengan lauk tambusu (usus sapi) yang dimasak dengan parutan kelapa.
Bekal sudah lengkap, saatnya melanjutkan perjalanan. Memasuki perkebunan Malabar kami melihat iring-iringan warga mengenakan kaos partai. Ternyata hari itu sedang ada kampanye besar dari salah satu caleg. Mendekati lapangan desa di Tanara, kendaraan kami terjebak kemacetan parah. Hampir 30 menit kendaraan tidak bisa maju maupun mundur. Kesabaran menjadi semakin tipis karena matahari kian terik menyengat kulit. Akhirnya saya dan seorang kawan di depan mencari-cari jalan tikus demi menghindari kemacetan.
Kami coba memasuki jalanan kecil dan masuk ke perkampungan warga. Warga bilang tidak ada jalan, tapi kami nekat saja dan akhirnya masuk ke area perkebunan teh malabar. Menerjang jalan berbatu dan berlumpur. Orang Sunda bilang “Ngaprak”. Lumayan, lah, hitung-hitung refreshing nyukcruk galur kebon. Bonus ketemu makam (lagi) yang berderet memanjang di tepi kebun. Di bawahnya ada aliran kali kecil. Makam-makam ini tidak segera terlihat karena semuanya terletak agak tersembunyi di balik ilalang tinggi dan beberapa pohon besar.
Tidak ada kata “Nyasar” di Aleut. Adanya adalah eksplorasi. (Dokumentasi: Komunitas Aleut)
Setelah mampir eksplor makam-makam itu, akhirnya kami dapat menemukan jalur untuk kembali ke jalan utama. Kawan-kawan lain entah di mana batang hidungnya. Saya dan satu kawan di motor lain melanjutkan perjalanan menuju pabrik Santosa. Nanti saja di sana janjian untuk bertemu. Kami berhasil melewati kemacetan parah yang sebetulnya kalau ditunggu juga durasinya sama dengan waktu yang kami habiskan untuk eksplor barusan.
Jalan menuju pabrik Santosa sudah sangat mulus. Saking mulusnya saya beberapa kali melepas tangan dari stang motor. Tidak khawatir akan terjatuh. Enaknya lagi, ditambah dengan pemandangan kebun teh yang rapat. Syahdu sekali rasanya tubuh diterpa angin perkebunan.
Lima belas menit jarak kami dengan motor kawan-kawan yang ternyata sudah leha-leha duluan di depan Pabrik Teh Santosa. Ternyata tadi mereka memilih menunggu kemacetan ketimbang mengekor kami mengeksplor jalan di sela-sela kebun. Sungguh kesabaran yang patut dijadikan teladan.
Kami memarkir motor di warung yang berada di seberang gerbang Pabrik Teh Santosa. Saya langsung menghampiri pos satpam untuk sekadar ngobrol. Pak Asep, nama satpam tersebut, memperbolehkan saya melihat-lihat dari luar. Kebetulan pabrik tetap beroperasi meskipun hari minggu. Demi mengejar target produksi. Menurutnya, bahan teh sedang melimpah usai beberapa bulan lalu lesu karena diterpa kemarau panjang. Semerbak wangi teh yang tercium, nikmat sekali. Ini pengalaman pertama menghirup aroma teh langsung di muka pabriknya.
Waktunya makan siang, kami membuka bekal yang dibeli tadi di Warung Rehan, lalu makan rame-rame di warung itu. Tentunya sudah minta izin dulu, bagaimana pun ada rasa engga enak karena beli di tempat lain tapi makannya di warung itu. Untunglah bapak-ibu pemilik warung mengerti situasinya, sehingga bukan hanya mengizinkan, bahkan membantu menyiapkan tempat dan minumnya. Sebagai gantinya, kami belanja apa saja yang bisa dibeli di situ.
Usai makan, sejenak kami meluruskan punggung sambil berbincang dengan bapak-ibu warung yang baik ini. Si bapak pensiunan dari Pabrik Teh Santosa. Ia purna tugas di tahun 2016 lalu dan sekarang bersama istrinya, yang juga pensiunan pabrik, membuka warung makanan. Saya makan sambil memandangi deretan pohon Rasamala yang begitu tinggi. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Dulu pohon-pohon seperti ini ditebang dan digunakan untuk berbagai kebutuhan perkebunan, termasuk peti penyimpanan teh.
Batang-batang pohon Rasamala (KITLV)
Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik teh Sedep yang terletak di kawasan perkebunan Negla. Menurut penuturan rekan-rekan yang sudah beberapa kali ke Sedep, di sana masih banyak bangunan lama, lebih banyak dari yang ada di wilayah Kertamanah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit perjalanan motor dari lokasi pabrik Santosa.
Setibanya di Sedep, kami mulai berpencar mengambil dokumentasi. Saya mulai dengan bangunan mess yang –sayangnya– terkunci. Jadi saya hanya bisa memotretnya dari luar saja.
Pabrik Teh Sedep dan mess-nya. Foto Irfan Pradana Putra.
Kami beruntung karena salah satu kawan Aleut memiliki kenalan yang bekerja di pabrik Sedep. Kami berhasil menghubunginya dan yang bersangkutan memberikan izin untuk masuk ke kantor administrasi pabrik. Di dalam kantor ia menunjukkan album-album foto lama, arsip pabrik Sedep. Sayangnya banyak album yang tidak memiliki keterangan waktu, sehingga kami agak kesulitan menganalisa konteks sejarahnya. Rencananya kami akan datang lagi di lain waktu untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto tersebut.
Dari sekian banyak album foto yang kami buka, saya tertarik pada salah satu foto yang menunjukan keberadaan sebuah tempat penitipan bayi di pabrik Kertamanah. Menyenangkan rasanya menemukan arsip lama mengenai hal ini.
Rumah Penitipan Bayi di Perkebunan Sedep. Arsip Pabrik Sedep
Cukup lama kami menghabiskan waktu di kantor pabrik Sedep. Semua kawan asyik memilah-milah dan menganalisa foto hingga lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, padahal masih ada satu lokasi tujuan lagi yang sudah diagendakan untuk perjalanan kali ini. Kami segera berpamitan sambil berjanji akan berjumpa lagi dalam waktu dekat ini.
Tujuan terakhir hari ini adalah kawasan permukiman para pekerja Perkebunan Negla di Neglawangi. Jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi dengan kondisi jalan yang sudah bagus seperti sekarang. Dulu, sebelum jalannya diperbaiki, katanya waktu tempuhnya bisa satu jam. Di lokasi permukiman ini saya tertarik pada susunan rumah bedeng dan jalur-jalur jalannya tertata rapi. Dari jauh, suasana kampungnya pun terlihat resik. Dari arsip foto lama terlihat bahwa paling tidak perkampungan ini sudah ada sejak tahun 1920.
Perumahan para pekerja Perkebunan Negla. Foto Komunitas Aleut
Rumah-rumah panggung di permukiman para pekerja Kebun Negla tahun 1925-1930. Foto dari Wereld Museum.
Tiba-Tiba di Garut
Di kampung terujung, Cibutarua, saya dapati rekan yang tadi paling depan sedang berbicara dengan seorang bapak. Lalu ia berputar dan masuk ke arah jalan yang tidak ada dalam rencana. “Hayu ka dieu,” serunya. Kami yang di belakang mengikut saja. Setelah beberapa saat, jalan beton yang rapi berubah total menjadi jalanan batuan khas perkebunan. Batunya besar-besar pula. Dan pas di sebuah belokan, saya kaget tiba-tiba melihat tugu dengan tulisan jelas “Batas Kabupaten Bandung – Garut.” Lah, kok sudah di Garut aja?
Faktor kedua yang membuat kaget adalah karena sehari sebelumnya saya baru saja turun dari pendakian ke Gunung Papandayan. Lalu sekarang, begitu saja nyampe Garut lagi, dari arah yang berbeda. Luar biasa Aleut. Pada saat motor tersendat gerakannya disebabkan oleh kondisi jalan yang parah, barulah saya berkesempatan bertanya akan ke mana arah perjalanan ini. Jawabnya, ke Kincir. Nama ini beberapa kali disebut sebelum perjalanan hari ini, dan ujug-ujug hari ini kami ke sana. Perjalanannya agak diburu-buru juga karena memang sudah sore dan tidak ingin terjebak gelap saat di pedalaman nanti.
Tugu Batas Kabupaten Bandung – Garut. Foto Fikri M Pamungkas
Jalan menuju Kincir ini sangat terjal. Kombinasi batuan dengan lumpur. Lagi-lagi yang berboncengan harus turun. Saya sudah kehabisan tenaga, tangan rasanya pegal bukan main. Maka saya memilih untuk turun dari motor, lalu cari parkiran yang cukup aman di jalan sempit ini, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Mula-mula saya bersama dua orang kawan menuruni area perkebunan karena menurut warga yang sedang bekerja di ladang lokasi Kincir ada di sana. Di bawah, kami sudah merambah ke sana-sini. Lahan datarnya tidak terlalu luas juga, karena setelah itu langsung jurang yang di bawahnya ada aliran sungai.
Nyatanya kami bertiga salah. Salah berbelok tepatnya. Karena area ini cukup curam, kami menyerah dan menyerahkan tugas mendokumentasikan Kincir ke dua kawan lain yang belum turun. Mereka coba mencapainya dengan motor melalui jalur jalan lain, namun gagal juga. Jalanan setapak itu terhalang oleh rimbunnya rumput sehingga ban motor tersangkut. Dari kejauhan terlihat mereka turun dari motor dan memarkirkannya di jalur jalan setapak.
Mereka berdua lanjut dengan berjalan kaki dan akhirnya menemukan mesin kincir yang dimaksud agak jauh di bawah, dekat dengan aliran sungai. Kondisinya mengenaskan karena tergerus longsor. Bangunan pelindungnya sudah tak bersisa sama sekali, sedangkan mesin-mesin besar dan berbagai peralatan lainnya terbengkalai begitu saja di ruang terbuka.
Kondisi Kincir. Foto Aditya Wijaya.
Kincir menjadi destinasi terakhir dalam Momotoran kali ini. Langit sudah gelap sehingga kami harus segera pulang karena penerangan jalan masih terbatas. Sambil berkendara pulang saya memperhatikan bangunan-bangunan unik yang terlewat. Salah satunya bangunan yang kini dijadikan Taman Kanak-Kanak di bawah ini. Bentuk atapnya unik seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Seorang rekan menyebutnya bergaya jengki, dan yang menjadikannya lebih unik lagi karena bangunannya berbahan papan kayu. Hanya sedikit bagian bawahnya berbahan tembok dan batu kali.
Bangunan kayu yang unik di Negla. Foto Deuis Raniarti.
Momotoran bersama Aleut memang tidak pernah gagal meninggalkan kesan, meskipun harus diakui selalu saja melelahkan. Setiap perjalanannya dipenuhi dengan spontanitas walaupun perencanaannya juga sebetulnya cukup detail. Pengetahuan yang didapat dari setiap perjalanan selalu memiliki manfaat lebih, tidak sekadar jalan-jalan atau lewat atau menikmati pemandangan.
Bagi saya perjalanan kali ini menebalkan keinginan untuk melakukan penelusuran lebih dalam mengenai dinamika kondisi buruh perkebunan. Hal ini dipantik oleh bangunan bedeng serta arsip foto penitipan bayi yang saya dapatkan di kantor Sedep. Sebab, lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik pada sejarah dari orang-orang kecil tak berpunya. Mereka yang menjadi sekrup-sekrup peradaban punya peran yang sangat penting selain para pembesar yang namanya selalu hilir mudik di dalam teks-teks sejarah. Semoga ada waktu dan tenaga untuk melakukannya. ***
Memasuki libur panjang dengan hari-hari kejepitnya kemarin ini, sudah bisa dipastikan wilayah Bandung Raya akan dipadati oleh banyak orang dan kendaraan. Apalagi di daerah-daerah yang memiliki kawasan wisata yang populer seperti Ciwidey. Kebetulan sejak Kamis lalu kegiatan momotoran minggu ini sudah disepakati akan ke Ciwidey dengan syarat sedapat mungkin tidak melewati jalan umum yang pasti akan banyak menyita waktu dalam perjalanan.
Sampai Sabtu malam kami sudah menimbang sejumlah beberapa jalur alternatif yang dapat kami ditempuh dengan menggunakan google maps. Membuatnya tidak sekali jadi, karena sedapat mungkin jalurnya tidak melewati jalan tanah atau yang kondisinya rusak parah. Di musim hujan seperti sekarang, kondisi seperti ini harus skip dulu. Maunya bisa lebih banyak menikmati perjalanan dan lingkungan alam yang kami lewati.
Kami berangkat lewat Taman Kopo Indah, lalu melaju sampai ke stadion Si Jalak Harupat. Benar saja apa yang kami khawatirkan. Dari kejauhan sudah tampak antrean kendaraan mengular tepat di depan stadion. Tidak bergerak saking padatnya. Untungnya kami ada di bagian ekor karena memang baru tiba, jadi kami memutar balik dan spontan saja masuk ke kawasan Kutawaringin. Ini bukan jalur yang sudah kami buat, tapi nantinya akan bertemu juga di satu titik. Dari sini kondisi lingkungan sudah langsung berubah drastis, memasuki wilayah perkampungan dan melipir pematang sawah.
Persis pukul sembilan kami mampir ke sebuah rumah makan yang dari jauh sudah terlihat asyik tempatnya. Namanya Sanona, terlihat seperti bertengger di atas lereng perbukitan Kutawaringin Soreang. Katanya, setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai oleh pengunjung, terutama para goweser(pesepeda). Ya melihat lokasinya serta pemandangan yang menghampar di belakangnya sih tidak heran bila rumah makan ini selalau ramai.
Pemandangan dari Warung Sanona. Aya kuendah kitu.. Foto Komunitas Aleut.
Tempat makannya berkonsep bungalow sehingga pengunjung bisa duduk lesehan atau selonjoran di pendopo kayu yang tersedia. Apa yang bisa menandingi sensasi makan dan minum sambil memandangi langit biru, bukit-bukit, dan persawahan yang menghijau sekaligus? Apalagi jika ditemani oleh orang tersayang.
Kami memesan berbagai penganan ringan. Mulai dari tahu rebus, omelette, gehu, dan kue balok, namun menu yang paling spesial di sini adalah es serai lemon gula aren. Bisa dibayangkan setelah lelah bersepeda lalu menenggak segelas minuman segar dengan perasan lemon dan wanginya serai? Kalau kata Dede Inoen mah, “Mantapnyoooo!”
Menikmati beberapa menu Warung Sanona. Minuman di kiri itu segarrrr.. Foto Irfan Pradana Putra.
Selain menu yang kami pesan, Sanona juga menyediakan menu makanan berat semacam nasi goreng, ayam goreng atau bakar, sampai ikan gurame asam manis. Karena masih pagi, jadi kami hanya memesan makanan-makanan yang ringan saja. Semakin siang Sanona semakin ramai didatangi oleh para pesepeda dan rombongan keluarga. Kami segera bergegas meninggalkan Sanona untuk memberi kesempatan bagi pengunjung lainnya mendapatkan tempat duduk dan menikmati suasana. Di ruang-ruang publik seperti ini sudah seharusnya semua orang punya kesadaran untuk saling berbagi.
Keluar dari gerbang Sanona jalanan langsung menanjak sampai ketemu pertigaan di atasnya. Kami ambil jalan yang ke kiri. Mulai dari sini, jalanan yang kami tempuh sudah mulai naik turun curam melewati kawasan perkampungan. Lepas dari setiap kampung, kami akan selalu berjumpa dengan pemandangan persawahan dan bukit-bukit hijau. Hari ini banyak sekali bonus perjalanannya.
Kali ini saya berjalan di urutan paling depan dengan bekal google maps. Menghabiskan dulu Jalan Cikadu, lalu Jalan Bangsaibane. Nama jalan terakhir ini terdengar sangat unik dan langka, tapi entah apa maknanya. Tidak sempat juga mencari keterangannya. Di sisi timur, berdasarkan peta digital panduan kami ini, ada beberapa gunung yang tidak terlalu tinggi, di antaranya Puncak Cadas Gantung dan Puncak Pasirmalang.
Dari titik ini maps sempat membawa kami ke arah jalan yang tidak kami inginkan, karena tiba-tiba di depan kami sudah melintang jalan raya Sadu yang sudah tidak asing lagi. Jalanan padat dan ramai. Ternyata setelah memasuki Jalan Cadasngampar, maps-nya aktif sendiri dan mengarahkan ke jalan utama Soreang-Ciwidey. Sedari awal kami ingin menghindari jalan utama, jadi kami putar balik, kembali ke arah Jalan Cikadu.
Kemudian masuk ke Jalan Kutawaringin di Desa Sukamulya. Di sebelah kiri, atau arah selatan, selalu terlihat Gunung Singa. Selama ini Gunung Singa selalu hanya terlihat dari jalan raya utama Soreang-Ciwidey saja dan kali ini saya berkesempatan melihatnya dari arah yang berlawanan. Kapan-kapan sekalian naik saja ke puncaknya, amanlah, tidak terlalu tinggi, dari browsing sih katanya 1089 mdpl.
Di Sukamulya ini perjalanan terus mengarah ke barat. Mendekati ujung jalan, di sebelah kiri jalan atau arah selatan, terlihat pemandangan Gunung Aul. Di ujung jalan ini ada pertigaan dan SD Puncak Mulya. Dari sini kami ambil jalur jalan ke selatan menempuh jalur jalan Gunung Geulis Sukamulya. Sampai di Simpang Lima Gunung Geulis, lagi-lagi ada spontanitas, tidak mengikuti jalur yang sudah disusun, yaitu menuju Cioyod, melainkan mengambil jalan ke arah barat, yaitu Jalan Ciririp-Bangsaya.
Pada bagian ini saya tidak tahu alasan mengambil jalur jalan berbeda itu karena yang membawa jalan di depan sudah berganti oleh Rani. Sangat mungkin karena ingin menghindari jalur jalan tanah atau jalan yang kondisinya rusak parah. Sejak Gunung Geulis kondisi jalan sebenarnya sudah berkurang kemulusannya, selain itu, umumnya sempit-sempit, mungkin hanya pas buat satu mobil. Bila dua mobil berpapasan bakal perlu atur-atur posisi agar bisa lewat. Jalannya datarnya pun jarang panjang, umumnya pendek-pendek karena kemudian selalu naik turun.
Di sisi lain, jalur spontan ini ternyata memberikan pengalaman lain pula. Di sini saya menemukan sebuah fenomena unik. Kami mampir ke sebuah warung yang ternyata memang sudah dikeceng oleh Rani untuk dimampiri., namanya Warung Bi Oon. Ya kebetulan juga sih, beberapa rekan sudah kebelet perlu ke toilet pula.
Warung Bi Oon COD di Kampung Balekambang, persis di garis perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat. Foto Komunitas Aleut.
Sambil pesan minuman panas, kami dengar satu cerita menarik dari Bi Oon yang juga ditanyakan oleh Rani, yaitu bahwa warungnya juga dikenal baik dengan nama Warung COD. Di google maps, lokasinya tertera dengan nama Warung Bi Oon COD. Ibunya engga terlalu mengerti soal nama warungnya di google maps, tapi beliau bercerita bahwa warga sekitar sering berbelanja online dan menggunakan warungnya sebagai alamat kirim. “Seueur da nu sok naritip teh, aya ti lajada, sopi, duka naon deui. Nya panginten ameh gampil we dikirimna ka dieu, engke teh anu pesen nya nyarandakna ka dieu.”
Ditanya siapa yang menyematkan nama warungnya di google maps, beliau ternyata tidak mengetahui persis. “Nya panginten eta weh nu sok ngaririman barangna,” kata si Ibu sambil menunjukkan Perkembangan teknologi internet memang banyak memberikan pengaruh di berbagai lini kehidupan. Mulai dari pola komunikasi, interaksi, hingga pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti berbelanja. Toko-toko offline kini mulai berguguran, digantikan oleh etalase di dunia maya yang daya jangkaunya bahkan bisa sampai pelosok-pelosok desa yang terpencil.
Bi Oon dan warungnya secara tak langsung telah terseret masuk mewarnai kebiasaan baru ini. Ia berperan sebagai lokasi transit untuk barang yang dipesan oleh warga di kampungnya. Alih-alih mengirimkan langsung pada pemesan, para kurir akan menaruh paket kiriman di warung Bi Oon. Nantinya si pemesan yang akan mengambil paket tersebut.
Taktik ini muncul untuk menyiasati sulitnya akses yang lebih jauh ke alamat pemesan. Sementara itu kurir harus memastikan paket diterima dan sampai dengan selamat. Maka Warung Bi Oon yang lokasinya berada di depan kampung adalah solusinya.
Bi Oon sendiri tidak memasang tarif atas jasanya tersebut, meski begitu para pemesan yang terbantu, tak jarang memberi uang tip jasa. Semua pihak bahagia. Karena itulah warungnya kini memiliki nama tambahan, “COD” yang berasal dari istilah Cash on Delivery.
Selalu menyenangkan melihat cara-cara adaptif manusia dalam menyiasati perkembangan zaman. Bi Oon hadir dalam cepatnya arus perputaran informasi. Membantu warga kampung sekaligus para kurir. Menjadi jembatan dalam rantai distribusi yang semakin serba instan.
Jalur jalan di depan Warung Bi Oon COD dan patok perbatasan kabupaten. Foto Komunitas Aleut.
Setelah dua kali hujan seperti akan berhenti tapi tiba-tiba membesar lagi, akhirnya kami bersepakat untuk melanjutkan saja perjalanan ini walaupun bakal didera hujan lebat. Harus ekstra hati-hati saja, biar lambat asal selamat. Ga ada yang dikejar juga selain pengalaman, dan pengalaman tidak butuh kecepatan kan?
Akhirnya kami berhujan-hujan menghabiskan jalur jalan Ciririp Bangsaya sampai Nanggerang. Sejak meninggalkan Warung Bi Oon COD, jalur jalan konsisten naik-turun dengan belokan tajam yang pendek-pendek. Sebagian ternyata memang cukup licin. Tanjakan-tanjakan dan turunan-turunannya benar-benar memberikan banyak ujian, bukan cuma soal skill, tapi juga kehati-hatian, kewaspadaan, sekalian kesabaran dan ketabahan haha…
Bagian lanjutan perjalanan yang cukup berbahaya ini semoga bisa saya sampaikan dalam tulisan berikutnya. Salam. ***
Minggu, 14 Januari 2024 saya berkesempatan menjadi bagian dari ekpedisi Komunitas Aleut untuk menelusuri jejak sejarah di sekitaran Tegallega, Bandung. Dari sekian banyak tempat yang kami telusuri, Jalan Belakang Pakgede menjadi tempat yang paling memantik rasa penasaran saya. Meski ukuran jalannya sama saja dengan gang-gang lain di komplek kebanyakan, tapi tempat ini pernah jadi bagian penting dalam perjalanan sejarah beberapa tokoh Islam modernis-konservatif yang sampai sekarang memiliki kedudukan terhormat dalam sejarah pergerakan Islam. Dua dari mereka adalah Hassan Bandung dan Muhammad Natsir.
Bagian belakang lokasi Kantor Pegadaian Negeri. Jalan kecil di belakang kantor ini sekarang bernama Jalan Belakang Pakgade. Foto: Google Maps
Ajip Rosidi dalam buku Muhammad Natsir; Sebuah Biografi (Girimukti Pasaka, 1990) menuturkan bahwa, Pakgade dulunya adalah kos-kosan kelas pekerja dengan latar belakang yang beragam. Mulai dari para pedagang di sekitar Pasar Baru, para pegawai kelas menengah pemerintah Belanda, hingga guru agama seperti Hassan Bandung. Buku itu juga mencatat bahwa di sinilah salah satu tokoh Persis itu menggembleng Natsir tentang keislaman
Situasi jalan ini sekarang sepi, langka terlihat keberadaan orang, baik warga setempat ataupun yang sekadar lewat. Sepertinya tidak banyak rumah juga, hanya ada area parkir luas dengan gedung bertingkat, gudang-gudang penampungan kardus atau rongsok lainnya, sebuah halaman beratap yang cukup besar, entah bekas bengkel atau halaman parkir, seorang ibu warung di Gang Sutur menyebutnya garasi. Halaman kosong dengan fungsi garasi seperti ini terlihat yang paling banyak mengisi ruas Jalan Belakang Pakgade sekarang. Di ujung jalan, dekat Gang Kote, barulah ada beberapa rumah di sisi kiri dan kanan jalan, rasanya hanya ada belasan rumah.
Untuk masuk ke Jalan Belakang Pakgade, kami masuk dari selatan lewat Gang Sutur yang sempit. Bagian kiri jalan ini diisi oleh warung nasi, lalu ada portal yang dijaga oleh seseorang bapak dan ia akan membukanya bila ada mobil yang lewat. Setelah itu ada sebuah rumah bergaya lama di sisi kiri jalan, bukan gaya kolonial, sepertinya dari masa setelah kemerdekaan. Di sisi kanan adalah belokan masuk ke Jalan Belakang Pakgade dari sisi barat. Lalu ada satu rumah di kanan dan di seberangnya sepertinya bekas gedung perkantoran. Entah masih aktif atau tidak, karena tidak terlihat ada tanda-tanda keaktifan dari luar.
Tak biasanya aku terbangun pagi sekali, aku melongok ke luar. Sudah ramai orang berjalan berbondong-bondong. Hari ini ada memang ada kegiatan besar, penganugrahan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau yang akan diterima oleh administratur perkebunan Kertamanah. Aku pun bergegas, ingin segera bergabung dengan orang-orang. Aku berjalan perlahan, tatapanku tak hanya ke depan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, laki-laki dan perempuan Belanda berpakaian dengan mode fashion terkini. Orang sepertiku juga sama, memakai pakaian terbaik yang mereka punya untuk menghadiri perayaan yang megah ini.
Kulihat beberapa pekerja sibuk menerima banyak telegram untuk tuannya, pekerja yang lain sibuk menata kiriman karangan bunga yang terus berdatangan, dan di bagian lain terlihat tumpukan bingkisan hadiah untuk Sang Tuan.
Kuhampiri Sang Tuan yang sedang berbahagia, “Halo tuan, perkenalkan, saya Rani, dari masa depan.” Ia terkejut. “Dari masa depan? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab “Aku hanya ingin turut mengucapkan selamat atas pencapaianmu, terima kasih atas kerja kerasmu selama berpuluh tahun di sini.” Ia yang menerima ratusan ucapan selamat pada hari itu membalas ucapanku dengan senyuman. “Bagaimana kau mengenalku?” Ia tampak keheranan. “Tentu saja aku kenal, siapa yang tak kenal pada administratur yang sukses ini? Lihat saja ke depan sana, apa karangan bunga itu tak cukup membuatku paham?” Ia pun tertawa. “Tuan Jongkindt, apa kau tidak akan bertanya padaku tentang apa yang akan terjadi di masa depan?” tanyaku, “Hahaha, tidak. Biarkan ia terjadi seperti yang seharusnya. Aku akan menjalani kehidupanku seperti biasanya.” Balasnya. “Baiklah, kalau begitu aku harus kembali. Sampai bertemu lagi.”
90 tahun kemudian…
Pagi itu sekelompok orang bermotor menuju Kertamanah, menembus kabut tebal di jalan Pangalengan yang berkelok-kelok, pendek-pendek. Cuaca saat itu tak menentu, kadang hujan kadang tiba-tiba panas. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah bedeng yang sederhana berjajar rapi, ukurannya tidak terlalu besar, di tengahnya terdapat sekat yang memisahkan rumah menjadi dua bagian, masing-masing bagian itu dihuni oleh satu keluarga. Atapnya unik, mengerucut ke atas, dan melebar ke bawah. Kupandangi beberapa kali, rumah yang biasanya terlihat hitam putih dalam arsip kini memunculkan warnanya.
Foto 1 Rumah Bedeng di Perkebunan Kertamanah. Jalannya sudah ditinggikan sehingga posisi rumah berada di bawah jalan. Komunitas Aleut, 2024.
Kami tiba pukul sepuluh di kediaman Jongkindt Coninck semasa ia menjadi administratur di Kertamanah. Lokasinya sekitar 400 meter dari Lapangan Cinyiruan. Rumahnya tidak langsung terlihat dari jalan, perlu menanjak sedikit ke sebelah kiri. Area rumahnya cukup luas. Bangunannya pun cukup besar. Bagian bawah dindingnya menggunakan bahan campuran batu kali, agak khas untuk rumah-rumah lama. Atapnya sepertinya sudah berganti.
Desir angin Pangalengan yang menerpa tubuh pagi ini sungguh terasa menggigit, padahal kali ini saya duduk di belakang, dibonceng oleh Reza, rekan di Komunitas Aleut. Hari ini kami mengadakan perjalanan momotoran ke kawasan Pangalengan untuk mengungjungi beberapa lokasi di sana. Rute yang sudah disusun adalah Cinyiruan/Kertamanah, Talun-Santosa, Sedep, dan Negla.
Karena kali ini kami berbagi catatan dengan rekan-rekan lain, saya hanya akan bercerita pengalaman di bagian Santosa saja. Bagian awal perjalanan mungkin sudah diceritakan rekan lain, kami diterpa hujan sejak di Cimaung. Bukan hujan turun sekali saja, tapi hujan yang sebentar-sebentar berhenti, lalu turun lagi. Akibatnya, bolak-balik juga pasang lepas jas hujan. Walaupun begitu, tak ada yang perlu dikeluhkan, perjalanan tetap terasa menyenangkan seperti biasanya.
Singkat cerita, kami melewati belokan di depan gerbang Perkebunan Malabar, ambil ke kiri, lalu menyusuri kawasan perkebunan tetangganya Malabar sampai tiba di tugu pertigaan Talun-Santosa di depan Pabrik Teh Santosa. Bagian jalan ini kurang lebih 10 kilometer panjangnya. Akses jalan cukup bagus, semua sudah dibeton. Durasi perjalanan lebih kurang 20 menit dengan kecepatan relatif santai.
Embung Cihaniwung. Foto Komunitas Aleut, 2024.
Sepanjang perjalanan menuju Santosa pemandangannya adalah kawasan perkebunan teh yang selalu terlihat indah. Bukan hanya suasana, hati juga terasa sejuk oleh suguhan alam seperti ini. Kami melewati beberapa cekungan penampung air atau embung, yaitu waduk berukuran mikro yang dibuat untuk menangkap kelebihan air saat musim hujan seperti sekarang ini.
Di wilayah Pangalengan ini embung sudah dibuat sejak dahulu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai danau bisa saja, danau kecil dengan pemandangan indah di sekitarnya, sehingga seringkali disinggahi orang yang kebetulan lewat. Sebagian embung itu belakangan ini dijadikan objek wisata, ada beberapa yang menjadi cukup populer, seperti Cicoledas milik Kebun Malabar dan Cihaniwung milik Kebun Talun-Santosa. Pengemasan wisata di Cihaniwung terlihat lebih masif dan ramai dibanding Cicoledas yang baru ada 1-2 warung saja di atasnya.
Hari mulai siang, pukul 12.43, saat saya beserta dua rekan Aleut lainnya sampai di depan kantor Desa Santosa. Aneh juga rekan-rekan lain masih tertinggal di belakang, padahal tadi pas kejebak macet di sekitar Tanara mereka ada di depan kami. Hari itu memang ada acara besar di lapangan Tanara yang membuat jalanan macet oleh manusia dan kendaraan. Mungkin sekitar setengah jam kami terpaksa merayap pelan di tengah kepadatan tadi. Belakangan baru saya tahu, ternyata rekan-rekan di depan berinisiatif mengambil jalan perkampungan demi menghindari macet. Jadi jalan mereka berputar-putar ke tengah perkebunan. Makanya tiba lebih belakangan di pertigaan Santosa ini.
Sembari menunggu rekan-rekan di belakang tiba, saya mencari minuman ke sebuah warung di depan Kantor Desa Santosa. Dari sini terlihat Pabrik Teh Santosa. Di tengah pertigaan jalan terdapat tugu penunjuk arah, kanan ke Sedep, lurus ke Kertasari. Tak lama kemudian, rekan-rekan sudah tiba, dan langsung menuju tempat parkiran pekerja Santosa yang di dalamnya ada warung.
Beberapa rekan langsung melangkahkan kaki ke halaman pabrik dan mengobrol dengan penjaga di gerbang, lalu ke area pabrik. Rekan-rekan yang tinggal di warung sibuk mengobrol dan memesan macam-macam. Ini pertama kalinya saya berada di dalam area Pabrik Teh Santosa, terdengar suara seorang petugas bagian kemananan menjawab pertanyaan Irfan, “Eta teh anu tos janten, atos siap dikirim. Eusina sa-sak sapertos semen, lima puluh kilo(gram).”
Hak sewa lahan Santosa didapatkan oleh J.H.W. Rusch pada tahun 1894, lalu persiapan lahan sampai sekitar 1901. Bibit-bibit awal yang didapat dari Perkebunan Gambung ditanam di blok Tebakasih dan Cisabuk. Dilanjutkan dengan membuka pabrik dan perumahan karyawannya pada tahun 1905. Pada tahun 1912 pabrik ini mengalami kebakaran besar yang membuat aktivitas pengolahan terhenti sampai tahun berikutnya. Pada 1913 pabrik didirikan lagi, kali ini lebih besar dan lebih luas. Pada tahun 1920 pabrik ini membangun turbin tenaga listrik di Cibutarua-Cileuleuy.
Pada masa Jepang, kawasan perkebunan teh dibongkar dan diganti dengan tanaman pangan sepeti jagung, singkong, ubi, dan talas. Pada masa revolusi kemerdekaan, perkantoran di Santosa dijadikan kantor darurat pemerintahan Kabupaten Bandung yang terpaksa mengungsi akibat peperangan. Rumah-rumah bedeng pun diisi oleh para pegawai pemerintahan. Dengar dari rekan-rekan lain, kantor darurat pemerintahan kabupaten ini akan terus berpindah menyusuri jalur perkebunan dan hutan di sini. Dari Santosa lalu ke Pasirgaru, pindah lagi ke Cikopo, dan akhirnya ke Bungbulang, Garut.
Setelah keadaan kembali normal dan perkebunan pun sudah berada dalam pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) III Unit Jawa Barat, satu per satu perkebunan tetangga digabungkan dengan Santosa. Dimulai dengan kebun tertua, yaitu Lodaya yang sudah berdiri sejak 1882, digabungkan pada tahun 1965. Kemudian pada tahun 1983 bergabung kebun Cikembang, dan akhirnya pada 1993. Kebun Talun yang sudah berdiri sejak 1902 pun ikut bergabung. Sejak itulah dikenal nama kebun Talun-Santosa (Talsan) yang sering ditulis tanpa tanda pisah jadi Talunsantosa.
Di sisi lain, lembaga pengelola perkebunan pun mengalami perubahan-perubahan nama, dari PPN III menjadi PPN Aneka Tanaman X, lalu menjadi PNP XIII, pada tahun 1968. Tiga tahun berikutnya, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Perbandingan kawasan Santosa sekarang dan dari peta lama di oldmapsonline.
Berada di area pabrik dan perkebunan Santosa ini udara terasa sejuk sekali. Walaupun pemadangan alam tidak bebas karena berada di dataran yang cukup luas dengan pepohonan besar dan tinggi di sekitar, namun tetap nyaman. Desa Santosa memang berada dalam lingkungan pergunungan di sekitarnya, ada kompleks gunung Wayang-Windu, Pergunungan Malabar, dan di selatan paling tidak ada gunung-gunung Kendeng, Papandayan, Geulis, dan Kancana. Desa ini berada di ketinggian 1500 mdpl dengan suhu rata-rata 20 derajat celsius.
Berdasarkan buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis oleh Her Suganda, Priangan menjadi salah satu sasaran utama politik tanam paksa karena topografinya yang lengkap, wilayah utara cenderung dataran rendah, wilayah tengah bergunung-gunung, wilayah selatan pun masih berbukit-bukit. Wilayah tengah dan selatan ini sangat cocok untuk usaha perkebunan yang memerlukan iklim sejuk. Setelah diterbitkannya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870 yang memungkinkan pengusaha swasta membuka usaha perkebunan, wilayah tengah ke selatan ini pun menjadi perhatian utama mereka, terutama untuk penanaman kina, kopi, dan teh.
Santosa dan sebagian besar perkebunan di sekitarnya dibuka sebagai respon atas undang-undang itu, dan dari masa inilah lahir para juragan teh yang perusahaan dan produknya merambah ke seluruh dunia. Sekarang para peminat sejarah populer kenal dengan baik nama-nama juragan tersebut, van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kiprah dan riwayatnya masih terus diungkap dan diceritakan kembali. Nama Santosa memang tidak sebesar Malabar atau Gambung, tapi berbagai perannya, baik dalam bidang perkebunan ataupun kesejarahan lokal, tetaplah merupakan bagian penting yang juga perlu digali lebih dalam untuk mengisi mozaik sejarah Bandung Raya yang masih banyak berlubang.
Bangunan Pabrik Teh Santosa saat ini yang sudah mengalami berbagai perubahan karena bangunan aslinya rusak pada masa perang. Foto Komunitas Aleut 2024.
Sambil merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, di depan bangunan pabrik saya berhenti sejenak. Tiba-tiba aroma teh menyeruak dengan kuat. Wangi sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan aroma teh yang biasa saya hirup dari teh yang dijual di pasaran. Sejenak saya menikmati waktu yang langka ini.
Saat menengok ke sebelah kiri, di luar pagar pabrik, terlihat pepohonan besar dan tinggi yang berjajar di tepi jalan utama. Teduh sekali. Sudah berapakah usia pepohonan itu? Puluhan tahun? Atau mungkin ratusan tahun? Mereka adalah saksi bisu perjalanan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa. Pasti punya lebih banyak cerita. Seandainya mereka bisa bercerita, saya akan mendengarkannya dengan penuh khidmat. ***