Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Masih dalam rangka ngebahas Imlek, ada beberapa hal menarik yang khas terjadi seiring diadakannya perayaan tersebut di masa lalu. Salah satunya adalah tradisi memberi ikan Bandeng kepada pihak mertua. Semakin besar  ikan bandeng yang diberikan seorang calon menantu kepada mertuanya,maka semakin tinggi derajatnya di hadapan sang mertua.  Sebaliknya barang siapa yang gagal mempersembahkan ikan bandeng ke mertua menjelang Cap Go Meh, jangan harap bisa direstui sebagai menantu. Tradisi ini masih ditemukan di kalangan Tionghoa yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Oleh karena itu, jaman dahulu tidak aneh apabila harga ikan bandeng melonjak puluhan kali lipat setiap kali menjelang Cap Go Meh.

Selain tradisi memberi Bandeng kepada mertua tersebut, ada juga kebiasaan lain berupa memelihara ikan di bulan Sin Cia (Bulan pertama tahun baru). Oleh karena itu tidak aneh apabila biasa ditemukan penjual-penjual ikan di sekitaran Kelenteng selama bulan tersebut. Konon memelihara ikan sejak dimulainya bulan Sin Cia bisa mempermudah datangnya rezeki.

Menurut orang-orang Tionghoa, pesta Cap Go Meh dianggap sebagai upaya membuang sial yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya dan pengharapan bagi kemajuan usaha di tahun berikutnya. Oleh karena itulah seringkali pesta Cap Go Meh diadakan secara sangat meriah. Kemeriahan tersebut seringkali dilakukan dengan cara melakukan iring-iringan massa yang disertai berbagai tetabuhan musik yang disebut “Tanji”. Tanji adalah alat musik berupa terompet yang diiringi tetabuhan yang biasanya dimainkan orang pribumi. Musik tanji dimainkan berulang-ulang menemani iring-iringan yang saling berjoget ria. Banyak pula peserta iring-iringan ini yang berjoget sambil meminum arak, karena konon semakin mabuk akan semakin mendapat kehormatan. Iring-iringan ini biasanya dikawal pemuda-pemuda yang membawa tali tambang untuk membatasi rombongan. Siapapun yang memasuki batas tali tambang ini diwajibkan untuk ikut berjoget… Nah ternyata kebanyakan orang yang ikut berjoget itu orang-orang kita sendiri…

 Image

Para peserta iring-iringan tersebut biasanya bukan orang-orang biasa melainkan para pemuda Tionghoa terpelajar yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari jodoh. Sudah merupakan aturan bahwa setiap pemuda dalam iring-iringan tersebut bisa bebas untuk mencolek perempaun di sana, sedangkan si perempuan tidak boleh marah. Para pemuda tidak sungkan mencolek dan menggoda walaupun sang perempuan didampingi orang tuanya. Bahkan dalam kesempatan ini sang pemuda boleh langsung melamar sang perempuan. Bagi pemuda yang sudah cukup modal, ia bisa mendatangi kediaman sang perempuan di malam hari Cap Go Meh, menayakan langsung kesediaan sang perempuan dan izin orang tuanya. Biasanya pemuda yang melamar di malam Cap Go Meh ini jarang menemui kegagalan. Konon jodoh yang didapat para hari Cap Go Meh lagi-lagi bisa mendatangkan keuntungan buat usaha.

Nah asal muasal kebiasaan unik sudah berasal dari kejadian di Tiongkok jaman dulu. Kala itu para perawan sangat dilarang untuk keluar rumah. Mereka baru bisa, bahkan harus keluar rumah baru apabila diadakan perayaan Cap Go Meh. Oleh karena itulah, di Tiongkok saat itu hanya ada dua kesempatan bagi seorang laki-laki untuk bisa mempersunting perempuan. Pertama apabila mereka sudah dijodohkan oleh kedua pihak orang tua sejak kecil. Kedua adalah apabila berjodoh di kala pesta Cap Go Meh. Artinya apabila seorang perawan tidak dijodohkan dengan siapapun sejak kecilnya, dia harus menunggu Cap Go Meh untuk mendapatkan jodoh. Apabila di saat itu tidak ada yang berminat terhadapnya, terpaksa pula dia harus menunggu hingga Cap Go Meh tahun berikutnya…

Ada lagi yang unik di malam perayaan Cap Go Meh tempo doeloe, yaitu mendadak lakunya pedagang tongkat rotan. Tongkat rotan ini biasa digunakan pemuda-pemuda “cunihin”  yang menggunakannya dengan cara membalik tongkat, bagian yang melengkung  lantas dikaitkan untuk menarik ikat pinggang cewek-cewek atau untuk menyingkap rok mereka… hehehe…

Iring-iringan ini biasanya dilakukan hingga 50 kali balikan mengelilingi kawasan Pecinan. Suasana kebersamaan begitu kental karena para pesertanya bukan hanya terdiri dari orang Tionghoa, orang pribumi hingga bangsa keturunan arab pun ikut ulubiung di dalamnya. Bubarnya iring-iringan ini biasanya baru terjadi apabila pesertanya sudah kelelahan.

Nah, kemeriahan Cap Go Meh ini sudah lama sekali tidak terjadi karena pemerintah orde baru melarang segala kegiatan berbau tradisi Tionghoa. Beruntunglah kini kemeriahan tersebut masih bisa kita temui kembali, namun sayangnya beberapa tradisi seperti yang dikisahkan di atas tampaknya sudah tidak lagi dilakukan generasi saat ini.  Tapi tak apalah, yang penting kemeriahan Imlek masih tetap ada, serta menjadi bagian dari kekayaan budaya kita. Kung Hua Sin Shi !

Bersambung ke bagian 3…

Gambarnya kurang jelas, tapi ini adalah suasana pemandangan di Situ Aksan tempo doeloe ketika Imlek. Entah apa sebabnya orang-orang Tionghoa Bandung kala itu memilih Situ Aksan sebagai tempat berekreasi…