Bagian II – Kota Bogor
Biasanya saya paling malas membaca buku-buku tentang profil suatu kota bila diterbitkan secara resmi oleh pihak pemerintah. Entah kenapa, selalu saja saya merasa buku-buku itu tidak memuaskan karena ditulis secara sembarangan dengan tata bahasa yang kaku dan tentu riset-riset yang tidak jelas pertanggungjawabannya karena menggunakan sumber-sumber yang juga tidak jelas. Tak jarang pula sumber-sumber acuan yang dipakai tidak dicantumkan sebagaimana mestinya.
Tapi buku “resmi” yang satu ini, “Sejarah Bogor – Bagian I”, ternyata agak lain, mungkin karena penulisannya dilakukan oleh Saleh Danasasmita (1933-1986). Buku ini diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor tahun 1983. Namun untuk keperluan penulisan blog ini saya menambahkan juga sejumlah referensi lain sebagai pendukung data.
Tulisan dimulai dengan sejumlah analisis tentang asal-usul nama Bogor dan Pakuan. Salah satu kemungkinan yang disampaikan oleh Saleh adalah dengan menggunakan kamus Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek karya S. Coolsma (1913).{1} Dalam kamus itu diterangkan bogor berarti “droogetapte kawoeng” atau pohon enau yang telah habis disadap, dan selanjutnya bisa dilihat pada awal tulisan ini (Bagian 1).
Kemudian diceritakan juga sejarah singkat wilayah Bogor sejak masa Kerajaan Tarumanagara sampai abad 18 M. Kisah yang disampaikan sangat menarik karena menguraikan isi berbagai prasasti dan naskah kuno yang berhubungan erat dengan masa lalu kawasan Bogor. Disinggung pula berbagai penelitian pada masa Hindia Belanda yang mencoba mengungkapkan makna peninggalan-peningalan kuno yang tersebar di sekitar Bogor serta pelacakan mengenai bekas lokasi (keraton) Pakuan ibukota Pajajaran. Mengasyikan sekali mengikuti kisah laporan-laporan dari masa VOC, cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno seperti Taruma, Sundapura, Salakanagara, Kendan, Galuh, atau Pajajaran. Naskah-naskah kuno yang dibedah meliputi Waruga Guru, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, Carita Parahyangan, dan banyak lainnya. Pokonya mantep banget dah…!
Karena sulit meringkas materi yang padat ini, jadinya saya sekip dan langsung loncat saja ke masa saat VOC memerlukan suatu ekspedisi pengenalan wilayah sekitar Batavia ke selatan hingga ke hulu Sungai Cisadane. Tim ekspedisi ini dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang membuka wilayah menjadi ladang-ladang, di antaranya yang terjauh adalah pembukaan wilayah Parung Angsana di bawah pimpinan Sersan Wisanala.
Sedangkan untuk penelitian wilayah hulu Cisadane VOC mengirimkan satu tim khusus yang dipimpin oleh Sersan Scipio dan dibantu oleh Tanujiwa (1687). Tanujiwa adalah seorang Sunda dari Sumedang yang oleh VOC disebut sebagai Leuiteunant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Ia mendapat perintah dari Joannes Camphuijs (1684-1691) untuk membuka hutan Pajajaran. Tanujiwa sebelumnya sudah membuka wilayah pedalaman Batavia (Kampung Baru Cipinang, dekat Jatinegara). Saat membantu Scipio, Tanujiwa mendirikan sebuah kampung baru lainnya di Parung Angsana dan menamakannya Kampung Baru (sekarang bernama Tanah Baru, Bogor). Wilayah inilah yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor.{2} Dalam ekspedisi ini Scipio menemukan bekas-bekas parit, benteng, susunan bebatuan yang teratur yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.
Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.
Bogor dan Buitenzorg
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.
Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.
Van Imhoff membuat usulan agar wilayah di sekitar Buitenzorg dijadikan eigendom para gubernur jenderal secara in officio. Statusnya menjadi semacam tanah bengkok {4} yang harus dibeli oleh setiap gubernur jenderal baru yang menggantikan pejabat lama. Batas-batas tanah Buitenzorg adalah Gunung Gede, Puncak, Talaga Warna, Mega Mendung, Ciliwung, muara Cihideung, Puncak Gunung Salak, Puncak Gunung Gede. Wilayah seluas itu hanya dapat disewakan dan tidak boleh dijual kecuali kepada gubernur jenderal berikutnya. Pembeli pertama dari Van Imhoff adalah Jacob Mossel (1750-1761) dan yang terakhir Daendels (1808-1811) di tahun 1808.
Mengiringi kehadiran dan aturan wilayah Buitenzorg tersebut, Bupati Kampung Baru (Demang Wiranata) menyewa tanah kampung Sukahati untuk tempat kediamannya. Di luar pagar depan rumah tersebut terdapat sebuah kolam besar atau empang. Berangsur-angsur nama kampung Sukahati pun berganti menjadi Empang. Diperkirakan nama kampung Empang sudah muncul antara 1770-1775 sehingga menjadi salah satu kampung tertua juga di Bogor sekarang.
Tentang Kampung Empang dapat dibaca lebih lanjut tulisan rekan saya, Indra Pratama…
http://www.facebook.com/photo.php?pid=689451&op=1&o=global&view=global&subj=519229089&id=1639190943#!/note.php?note_id=283441354176
Pasar Bogor di dekat Kampung Bogor tumbuh pesat dan mengundang para pedagang termasuk kaum Tionghoa untuk menetap dan membuka usaha di sana. Mula-mula mereka menetap di daerah Lebak Pasar, namun kemudian berkembang ke arah sepanjang Jalan Suryakencana sekarang, sehingga kawasan ini dapat disebut Pecinannya Bogor. Para pandai tembaga atau paledang juga mendirikan pemukiman di lokasi Kantor Pos sekarang. Saat lokasi kantor pos tersebut dimasukkan menjadi bagian Kebun Raya Bogor, permukiman kaum paledang dipindahkan ke lokasi Kampung Paledang sekarang. Tokoh terkemuka kaum paledang adalah Embah Jepra. Makamnya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Kebun Raya Bogor sekarang.
Demikianlah awalnya secara berangsur Kota Bogor mulai terbentuk dan berkembang dengan pesat hingga terkesan tak terkendali seperti sekarang ini.
{1} “Soendanessch-Hollandsch Woordenboek” karya S. Coolsma diterbitkan oleh A.W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, Leiden, 1913
{2} Untuk bahan ini Saleh menggunakan acuan karya CHF Riesz “De Geschiedenis van Buitenzorg”, De Particulere Landrijen van Westelijk Java, G. Kolff & Co., Batavia, 1887
{3} Dr. F. De Haan “Priangan”, Deel 1-4, G. Kolff & Co., Batavia, 1911-1912
{4} Tanah desa yang dipinjamkan kepada pegawai desa untuk digarap dan diambil hasilnya sebagai pengganti gaji. Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008.
Referensi :
“Lie Kim Hok (1853-1912)”, Tio Ie Soei, L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung.
“Sejarah Bogor – Bagian I”, Saleh Danasasmita, Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
“Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia”, Mona Lohanda, Masup Jakarta, 2007.
0 Comments
1 Pingback