Oleh: Aditya Wijaya
Bisingnya suara klakson motor terdengar nyaring di telinga ketika saya dan rekan-rekan Aleut melintas di Kawasan Pasar Astana Anyar. Pagi itu kami hendak Ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar, dan salah satu tujuannya adalah kompleks Permakaman Keluarga Pasar Baru yang ada di sana. Suara bising di perjalanan tadi berganti senyap setelah berada di area permakaman.
Tadi malam, seperti biasanya sebelum Ngaleut, saya mencoba mencari informasi sebanyak mungkin untuk bantu-bantu menambah sudut pandang baru saat di lapangan nanti. Salah satunya, informasi mengenai Jalan Siti Munigar yang saya temukan di situs KITLV, berupa empat buah foto keadaan Jl. Siti Munigar setelah dilaksanakannya program perbaikan kampung (Kampong Verbetering) oleh pemerintah kota.
Informasi lainnya, saya dapatkan dari sebuah Katalog Koleksi Etnologi Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Catalogus der Ethnologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen) yang disusun oleh J. A. van der Chijs dan diterbikan oleh pada tahun 1885-1901. Di dalam katalog itu disebutkan bahwa Siti Munigar merupakan salah satu koleksi dengan keterangan “Beeldje van Amba-karna en Siti Moenigar, vroeger in gebruik bij het gelamar. Werd voor het bed van den man gezet en als souvenir aan het huweljjk bewaard, tevens als bewijs van gegoedheid. Indramajoe”. Artinya: “Patung Amba-karna dan Siti Moenigar, dulunya digunakan di gelamar. Diletakkan di depan tempat tidur pria dan disimpan sebagai kenang-kenangan pernikahan, juga sebagai bukti niat baik. Indramajoe.”
Jika ditelusuri lebih lanjut, nama Amba ini dapat ditemui sebagai tokoh dalam cerita pewayangan Mahabharata. Lalu apa hubungannya dengan nama Siti Munigar? Entahlah, tapi yang pasti jika melihat keterangan katalog tersebut Patung Amba-karna dan Siti Munigar adalah patung yang penting dan berharga, apalagi dijadikan kenang-kenangan pernikahan. Rasanya nama Siti Munigar juga memiliki arti yang dalam, seperti nama Amba dalam cerita Mahabharata yang kelak bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Makam H. ST. Chapsah Durasid Singkatnya, kami tiba di area makam dan saya masuk di urutan paling akhir dibandingkan dengan rekan-rekan Aleut yang terlihat semangat sekali. Saya harus menyiapkan dahulu kamera digital yang ternyata cukup ribet untuk dibawa-bawa. Sedapat mungkin saya dokumentasikan seluruh momen di situ, tapi rupanya tidak mudah juga, karena nanti setelah sampai rumah dan melihat hasilnya, barulah tersadar, ternyata sesedikit itu dokumentasi foto yang saya buat. Jika saja seluruh nisan dapat saya dokumentasikan dengan baik, mungkin bisa mudah mencocokkannya nama-namanya dengan buku silsilah Keluarga Pasar Baru Bandung yang ada di Perpustakaan Aleut.

Setelah melewati pagar makam yang hanya cukup untuk satu orang, langsung terlihat satu cungkup besar yang di bawahnya terdapat empat buah makam. Nama-nama yang tertulis masing-masing adalah Masduki, St. Chapsah, Dulrasjid, dan Hadami.
Saya langsung tertarik dengan nama Masduki. Di kaki nisannya tertera informasi: “Pahlawan Himpunan Sudara dibidang Nation dan Character Building. Ketua 1919 sampai dengan 1965”. Saya coba gali sedapatnya informasi tentang tokoh Masduki ini dan hubungannya dengan Himpoenan Soedara.

Himpoenan Soedara
Perhimpunan ini bermula dari sekelompok saudagar pedagang batik di Kota Bandung, mereka adalah Hadji Pahroerodji, Hadji idjadji, Hadji Idris, Hadji Aksan, Hadji Soedja, Hadji Abdoelrachman, Hadji Ajoeb, Masdoeki, H. Oesman, Parta, Madrais, Hadji Pagih, Hadji Oemar, Hadji Sobandi, Wiriaatmadja, Hadji Maksoedi, Hadji Soeeb, Hadji Boekri, Hadji Soleh Katam, Hadji Sarip, Soemarta dan M. Radi. Semuanya itu bertempat tinggal di Kota Bandung.
Pada tahun 1906, mereka mendirikan suatu persekutuan yang anggotanya diwajibkan menyimpan uang setiap bulannya paling sedikit 10 Gulden. Mereka namakan persekutuan ini dengan Vereeniging Himpoenan Soedara yang cukup jelas menyatakan asas pembentukannya berdasarkan suatu rasa persaudaraan. Latar belakang pendirian perhimpunan ini adalah masalah yang sering timbul saat para saudagar batik itu hendak berbelanja ke luar kota, yaitu kekurangan dana untuk belanja. Modal untuk berbelanja ke suatu pabrik terhitung besar sekali, bahkan paling sedikitnya bisa mencapai 20 ribu gulden.
Ada sepuluh orang yang tercatat sebagai para pendiri Vereeniging Himpoenan Soedara ini, mereka adalah: Hadji Basoeni, Hadji Badjoeri, M. Marta, Hadji Domiri, R. Wargadipradja (Hadji Djoewaeni), Maksoedi, Basar, J. Adiwinata, Oened (Hadji Hoetomi), dan Kasah (Hadji Boekri). Dari antara mereka yang dipilih untuk menjadi presiden perhimpunan adalah Hadji Badjoeri, lalu Secretarispenningmeester Hadji Basoeni, dan Commissaris M. Marta.

Masdoeki Masdoeki, wafat tanggal 22 November 1965 dalam usia 82 tahun. Hanya itu informasi yang tertera pada nisannya. Saya coba cari informasi lain dalam buku “Himpunan Silsilah (Stamboom) Keluarga Besar Pasar Baru Bandung” yang disusun oleh Syamsuri. Tercatat Masdoeki menikah dengan Siti Hadami, anak dari Siti Chapsah dan Dulrasjid. Ke atasnya, Siti Chapsah adalah anak Haji Husen dari istri pertamanya, H. Askimah. Haji Husen inilah titis waris awal cerita Keluarga Pasar Baru Bandung berasal.

Karir Masdoeki di Himpoenan Soedara cukup mentereng. Pada tahun 1919 ia menjadi Voorzitter menggantikan J. Adiwinata. Susunan kepengurusan tahun 1919 yaitu: Masdoeki sebagai Voorzitter, Hadji Abdoerahman sebagai Penningmeester, J. Adiwinata yang sebelumnya duduk sebagai voorzitter sekarang bersama Hadji Badjoeri menjabat sebagai Commissaris. Pada bulan Oktober 1928 ketika diadakan pesta 15 tahun didapatkannya Rechtspersoon Himpoenan Soedara. Hadir dalam pesta itu Regent Bandung dan Raden Ayu-nya. Pada akhir tahun itu juga Masdoeki memasuki usia genap 10 tahun lamanya menjabat sebagai Voorzitter. J. Adiwinata dan Masdoeki dalam perayaan ini masing-masing dianugrahi Bintang Mas yang diukir gambar gedung Himpoenan Soedara oleh Vereeniging Himpoenan Soedara karena jasanya dalam memajukan perhimpunan.

Pada tahun 1936, dengan tidak disangka-sangka, pengurus Himpoenan Soedara, Masdoeki dan Djoewaeni, sebagai Voorzitter dan Penningmeester, masing-masing mendapatkan sebuah Bintang Perak kecil dari pemerintah. Alasan pemerintah memberikan bintang perak ini sehubungan dengan kemajuan Himpoenan Soedara di bawah kepemimpinan keduanya sehingga berusia 30 tahun. Pemerintah saat itu turut serta dalam memajukan perusahaan-perusahaan rakyat Indonesia.

Himpoenan Soedara di bawah kepemimpinan Masdoeki sebagai Voorzitter pernah mengalami dua kali masa malaise, yaitu tahun 1922-24 dan 1936. Selama berdiri 30 tahun dan telah mengalami dua kali masa malaise, Himpoenan Soedara tidak mengalami kondisi fraud. Terlihat bahwa pemimpin dan pengurus Himpoenan Soedara memang tidak sia-sia mendapat kepercayaan dari anggota-anggotanya.
Itulah sedikit saja informasi terkait Masdoeki dan Himpoenan Soedara. Selain tokoh ini, rasa-rasanya masih banyak hal yang bisa didapatkan dari nama-nama yang tertera di permakaman Jalan Siti Munigar, mungkin akan ditulis di lain kesempatan. ***
Leave a Reply