Month: November 2024

Catatan Momotoran ke Parentas, Cisampang, dan Sodonghilir

Oleh: Sem Fikri Pamungkas

Tulisan ini sebenarnya merupakan bagian dari sebuah story maps dan sudah dipost di https://storymaps.arcgis.com/stories/6b616932afc449009bf863bbe8d51b36, yang dimuat di sini sudah dimodifikasi disesuaikan dengan kebiasaan di website ini.


Suara alarm berbunyi nyaring pukul 04.30 membangunkan saya dan segera terduduk di atas kasur. Belakangan ini kegiatan momotoran Komunitas Aleut selalu dimulai dini hari dengan beberapa alasan, rentang waktu perjalanan yang lebih banyak, menghindari kemacetan dan panasnya cuaca di perjalanan, juga apabila diperlukan bisa pulang sebelum terlalu malam. Hari ini saya dan kawan-kawan akan melanjutkan serial perjalanan bertema DI/TII dan tujuan kali ini adalah Desa Parentas di Kecamatan Cigalontang dan Desa Muncang, Sodonghilir, keduanya di Tasikmalaya.

Sehari sebelumnya, kami sudah berkumpul dan membuat rencana perjalanan. Mendiskusikan rute-rute terbaik yang akan kami tempuh. Sebelumnya, secara sepintas sudah diajukan dua pilihan rute, yang pertama adalah langsung menuju Sodonghilir yang letaknya terpisah jauh di selatan, dan yang kedua masuk lewat Sucinaraja lalu ke Parentas dan terakhir menuju Sodonghilir. Akhirnya kami bersepakat untuk memilih rute kedua, ke Parentas terlebih dulu baru ke Sodonghilir dan pulangnya akan sedikit backtrack. Pilihan ini kami rasa lebih nyaman ketimbang rute pertama yang mungkin akan memaksa kami menghabiskan sore, bahkan hingga malam, di sekitar Parentas. Apalagi menimbang bahwa Parentas terletak di kawasan pergunungan dengan medan yang mungkin tidak mudah. Dari cerita kawan yang sebelumnya sudah pernah ke sana, kawasan berbukit-bukit itu khas sekali konturnya, jalanan kecil naik-turun, penuh kelokan, dan belum semua kondisi jalannya bagus.

Seperti biasanya, sebelum memulai perjalanan momotoran, kami selalu dibekali dengan wawasan umum yang mencakup informasi mengenai kawasan yang akan dikunjungi maupun konteks peristiwa sejarahnya. Hal ini menjadi modal penting dalam perjalanan, setidaknya untuk memahami maksud dan tujuan kegiatan. Begitupun dengan  saya sendiri yang meluangkan waktu untuk membaca beberapa sumber yang dibagikan oleh teman-teman Aleut. Sumber-sumber tersebut berupa buku, artikel, hingga video yang berkaitan dengan tema momotoran kali ini. Hal ini sangat membantu memberikan gambaran awal tentang apa yang akan kami lalui dan temui di lapangan. Beberapa tempat yang menjadi tujuan kali ini memang sudah pernah dikunjungi oleh Aleut. Informasi dan dokumentasinya cukup lengkap dalam arsip, sebagian kecil dipublikasikan juga situs web Aleut. Namun, bagi saya pribadi, perjalanan menuju daerah Parentas dan Sodonghilir ini adalah pengalaman pertama. Ada rasa penasaran membayangkan seperti apa perjalanan dan pengalaman  baru yang akan saya alami di sana.

Pasar minggu di Jalan Kadungora, Garut. Foto: Sem Fikri.

Singkat cerita, kami tiba di Garut saat hari masih pagi sekali. Setelah memasuki jalan Kadungora, kami berbelok ke kiri menuju Leuwigoong. Udara terasa sejuk, dan jalanan tidak terlalu ramai, kecuali di sekitar pasar mingguan yang lumayan padat. Saat kami melewatinya, banyak pedagang yang sedang melayani pembelinya, Sebagian orang lagi terlihat asyik menikmati jajanan dengan berjalan kaki dan berlari pagi.

Berbelok ke arah Leuwigoong ini sebenarnya tidak termasuk ke dalam rencana awal perjalanan. Namun, seorang rekan secara spontan mengusulkan untuk mampir ke sebuah danau yang belakangan ini katanya sedang populer, namanya Situ Sarkanjut. Sepintas nama situ ini terdengar nyeleneh dan jorang, tapi ternyata ada penjelasan yang menarik dari Kamus Sunda Digital, yaitu bahwa kanjut sebenarnya berarti kantung kecil tempat menyimpan uang. Lalu bagaimana kata ini bisa terkesan jorang seperti yang saya kenal sekarang, ya mungkin dapat dibayangkan masing-masing berdasarkan makna kamusnya itu.

Gapura dan Makam di Situ Sarkanjut. Foto: Sem Fikri.

Lokasi Situ Sarkanjut cukup mudah ditemukan. Dari jalan, terlihat sebuah gapura yang menjadi pintu masuk situ tersebut, sedangkan di sampingnya terdapat bangunan sekolah SMPN 2 Leuwigoong. Saat kami tiba, suasana terasa sepi. Hanya ada beberapa warung yang berjajar di sekitar situ, tetapi semuanya dalam kondisi tertutup. Di pinggir situ, terlihat bekas wahana bebek gowes air. Di atasnya, ada sebuah area menyerupai makam berupa susunan batu yang dikelilingi tembok pendek sebagai pembatas. Karena sunyi senyap, kami sekejap saja berada di sini dan segera melanjutkan perjalanan. Saat melewati pasar Banyuresmi, kami memutuskan untuk berhenti dan mencari sarapan di sini.

Pasar Banyuresmi, Garut. Foto: Sem Fikri.

Cigadog-Parentas

Cigadog dan Parentas adalah dua desa yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Jalur ini juga merupakan salah satu alternatif penghubung kedua kabupaten, tetapi tidak direkomendasikan karena medan jalannya yang cukup ekstrim. Saat kami melewati perkampungan Desa Cigadog, sebagian jalan masih dalam kondisi baik. Namun, semakin dekat dengan perbatasan, jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Kami harus ekstra hati-hati mengendarai motor, terutama karena jalanan licin akibat musim hujan. Beberapa kali kami menemui genangan air yang tak terduga seberapa dalamnya.

Meski jalannya sulit, suasana di sepanjang rute menyejukkan. Di sisi jalan, pemandangan perkebunan warga terbentang luas, sehingga kesegaran alam yang masih asri masih dapat kami rasakan. Sesekali, kami berpapasan dengan warga lokal yang sedang berjalan menuju ladang, dan beberapa warga lainnya terlihat sudah sibuk menggarap lahan.

Jalur Cigadog-Parentas. Foto: Sem Fikri.

Setelah melewati gapura perbatasan yang menandakan kami telah memasuki Desa Parentas, Kabupaten Tasikmalaya, suasana menjadi terasa berbeda. Tapi mungkin juga perbedaannya hanya ada pada benak saya yang sudah mendapatkan informasi mengenai latar sejarah kelam desa ini pada masa revolusi dulu. Bukti sejarah itu langsung kami dapati tak lama setelah melintasi gapura desa. Di depan kami, atau tepatnya di bawah tempat kami berdiri di tepi jalan desa, terpancang sebuah prasasti yang menjadi pengingat sebuah peristiwa kelam di masa lalu, persisnya pada 17 Agustus 1961. Prasasti ini terletak di atas fondasi tembok berbentuk persegi yang sekaligus berfungsi sebagai alas tiang bendera. Mengenai isi prasasti dan peristiwanya sudah dituliskan oleh kawan lain di sini dan di sini.

Desa yang asri dan terasa nyaman ini sangat sepi, saya tak melihat seorang pun warga di sekitar. Benar-benar sunyi. Kami sempatkan berkeliling  kampung sebentar sebelum beranjak ke tujuan berikutnya, yaitu Kampung Cisampang.

Jalur Parentas-Cidugaleun. Foto: Sem Fikri.

Sebagian jalur dari Parentas menuju Cisampang ternyata lebih ekstrim dibandingkan jalur sebelumnya. Jalanan yang berbatu dan dikelilingi rimbunnya hutan menyelimuti sepanjang perjalanan ini. Saya sempat menyangka bahwa jalur ini sudah sepenuhnya selesai dibangun, setelah melihat video orang yang melewati rute Parentas-Cidugaleun yang tampaknya sudah mulus. Namun, kenyataannya baru sebagian yang selesai dibangun, sementara sisanya masih dalam kondisi yang cukup sulit dilalui. Ini menjadi pengingat bahwa video-video di internet sering kali menampilkan bagian-bagian yang terlihat baik saja, tanpa menunjukkan sisi lainnya. Keadaan jalan yang sebenarnya jauh lebih berat membuat kami harus semakin berhati-hati.

Warung di dekat curug Dua Cipederesi, Parentas. Foto: Sem Fikri.

Saya bersama Kang Irfan berada di urutan paling depan saat melaju di jalan berbatu dan menanjak. Beberapa kali saya menengok ke belakang dan masih melihat rekan-rekan kami, namun semakin lama mereka semakin jauh. Tidak kelihatan dan tertinggal di belakang. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah belokan yang agak menanjak. Di sekitar belokan tersebut, terdapat sebuah warung tutup. Di depannya terdapat pohon besar yang dipasangi plang kayu bertuliskan “Curug Dua Cipederesi”. Curug ini masih merupakan bagian dari Desa Parentas.

Sesaat saya mengamati sekitar, tampaknya warung tersebut sudah cukup lama tutup, hanya menyisakan bekasnya saja. Curugnya sendiri tidak kelihatan, hanya terdengar gemuruh air terjunnya dari kejauhan. Sungguh sulit membayangkan bahwa di kawasan seperti ini pernah bermarkas pasukan gabungan TNI yang bernama Gerilja Galoenggoeng dan setahun berikutnya kembali menjadi lokasi markas militer, kali ini pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Kami menunggu beberapa saat, berharap rekan-rekan kami segera menyusul. Setelah menyusul, ternyata salah satu motor di belakang mengalami masalah kehabisan bensin, sehingga harus menyedot bensin dari motor lainnya untuk bisa melanjutkan perjalanan.

Curug Ciparay. Foto: Sem Fikri.

Masih di daerah Parentas, saya merasa lega ketika akhirnya melewati jalan yang kondisinya sudah bagus. Jalan ini baru saja selesai dibangun beberapa bulan lalu, meskipun proses pembangunannya masih dilakukan secara bertahap. Bahkan, saat kami melaluinya, beberapa warga masih bekerja memperbaiki jalan, karena tanah di pinggir belum rata dengan bahu jalan.

Dari kejauhan kami melihat dua curug  dan ketika lebih dekat ternyata banyak orang yang memarkirkan motor di bawah jalan, tepat di tikungan. Di samping kiri kami, tampak Curug Ciparay, yang menarik perhatian kami untuk berhenti, tapi bukan di tempat wisatanya, melainkan lebih maju ke depannya, ke sebuah warung kecil.

Warung dekat dengan Curug Ciparay, Parentas. Foto: Sem Fikri.

Kami menikmati jajan sambil beristirahat, dan kesempatan itu juga kami manfaatkan untuk mengobrol dengan pemilik warung dan beberapa pekerja jalan yang sedang beristirahat. Ibu warung tersebut bercerita dengan semangat, mengatakan bahwa di Kampung Buligir sering ada orang dari luar, terutama content creator, yang datang untuk membuat video. Ceritanya mengalir dengan santai, memberikan wawasan baru tentang kehidupan lokal dan aktivitas yang ada di sekitar tempat wisata tersebut.

Cisampang

Cuaca mulai gelap, hujan sudah mulai membasahi wajah kami. Setelah berpamitan dengan ibu pemilik warung, kami beranjak menuju Cisampang. Dengan kondisi jalan yang bagus, kami berharap bisa sampai tujuan lebih cepat tanpa harus mengenakan jas hujan.

Tujuan kami ke Cisampang adalah untuk melihat langsung kawasan kampung yang disebut-sebut dalam buku dan artikel-artikel memiliki kisah bersejarah sebagai markas Darul Islam dan tempat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia. Dari jalan utama Parentas-Cidugaleun, akses menuju Cisampang atas cukup sulit, hanya bisa dilalui oleh satu motor saja.

Kampung Cisampang, Cigalontang. Foto: Sem Fikri.

Sesampainya di atas, tepat di kampungnya, saya langsung melirik sebuah rumah yang bentuknya lebih modern dibanding tetangga-tetangganya. Saya langsung mengenalinya karena sudah pernah melihat fotonya dalam artikel tulisan Bambang Arifianto di pikiranrakyat.com. Rumah tersebut tidak langsung terlihat dari jalan yang kami lalui; untuk mencapainya, kami harus turun sedikit dan berbelok. Saya yang berada di depan langsung belok dan berhenti di depan rumah itu, sementara rekan-rekan lainnya melanjutkan perjalanan lurus menuju Masjid At-Tarbiyah yang terletak lebih di atas. Di depan rumah, saya tidak menemukan siapa pun yang bisa diajak bicara, hanya ada anak kecil yang sedang bermain di teras.

Masjid At-Tarbiyah terletak di Kampung Cisampang Atas, di sekitarnya hanya ada beberapa rumah warga. Kami mampir ke sebuah warung yang berada di samping masjid, sudah ada beberapa warga yang sedang berteduh. Kami pun ikut berteduh dan jajan, sambil membuka obrolan ringan tentang Kampung Cisampang. Dari warung ini kami dapatkan keterangan tentang makam salah seorang putra Kartosoewirjo. Letaknya di bawah sebuah pohon aren, hanya ditandai dengan batu, tanpa keterangan nama.

Warung Nasi di Kampung Cibatu, Desa Sukaharja. Foto: Sem Fikri.

Dari Cisampang perjalanan masih akan kami lanjutkan ke tujuan terakhir, yaitu Kampung Sudi di Sodonghilir. Perjalanan di bagian ini terasa lebih melelahkan karena hujan deras yang terus mengguyur. Kondisi jalan yang licin dan medan yang sulit, khususnya saat turun dari kampung Cisampang Atas. Di tengah perjalanan, sekitar Sukaharja, kami berhenti sebentar di sebuah warung nasi sederhana yang terlewati. Sejak berangkat subuh tadi, baru di sinilah kami berkesempatan makan yang seharusnya.

Monumen peringatan penghadangan konvoy tentara Belanda oleh Republik. Foto: Sem Fikri.

Usai makan, di tengah perjalanan menuju Sodonghilir, dan masih di jalur utama Jalan Raya Garut-Tasikmalaya, terlihat sebuah monumen yang menarik perhatian. Saya menyempatkan berhenti untuk mengambil beberapa foto. Pada monumen tersebut tertulis:

Di jalan tikungan Cidolog Saeebu Singaparna pada September 1947, Kompi Lukito (Bat. S.L Tobing) mengadakan penghadangan terhadap iringan konvoi yang membawa Jenderal Buurman van Vreeden, Kepala STAE Umum tentara Belanda, sehingga dapat dikacaukan dan dokumen-dokumennya, termasuk stempel, jatuh ke tangan kita.”

Puspahiang-Sodonghilir

Pada bagian ini saya berada di urutan paling depan memandu jalan menggunakan google maps. Hujan yang tak kunjung reda membuat saya kesulitan melihat layar ponsel, yang basah terkena air hujan. Beberapa kali kami harus berputar balik karena saya ragu memilih jalur yang tepat. Ketika tiba di sekitar Puspahiang, saya membuka peta untuk mencari rute alternatif yang lebih cepat menuju Desa Muncang, lewat Kampung Cikupa, Kampung Cimenyan, dan tembus ke Desa Cikalong. Meskipun agak ragu, saya memutuskan untuk mengambil jalur tersebut.

Ternyata, sepanjang jalur Cikupa – Cimenyan, kami harus melewati bukit-bukit yang naik turun. Untungnya, kondisi jalan tidak terlalu buruk, tetapi dengan hujan yang terus turun, perjalanan tetap terasa ekstrim. Saat berada di hutan Cikupa, sekitar setengah empat sore, rasanya seperti menjelang magrib karena kabut yang mulai turun. Suasana semakin sepi serta hujan masih terus mengguyur. Sesekali kami berhenti untuk menunggu rekan yang tertinggal di belakang. Saya juga melihat warga yang tampaknya heran melihat orang-orang seperti kami yang membawa motor menempuh jalur ini di tengah hujan. Setelah keluar dari hutan, kami kembali ke jalur utama, Jalan Raya Sodonghilir, dan akhirnya sampai di tujuan.

Kuburan Massal Korban Keganasan DI/TII di Kampung Sudi, Desa Muncang, Sodonghilir.
Foto: Sem Fikri.

Di tempat terakhir ini, saat kami melihat lokasi permakaman massal tersebut, saya merasakan keprihatinan. Permakaman itu kini terhalang oleh tembok yang sedang dibangun, sehingga tulisan yang ada di monumen atau penanda sejarah tersebut jadi sulit terbaca. Saya tidak tahu pasti apa yang sedang dibangun di sekitar sana, namun yang jelas, ada kemungkinan lokasi bersejarah ini akan terpinggirkan dan mungkin segera terlupakan. Tanpa pemeliharaan dan perlindungan, tempat ini bisa hilang begitu saja, dan kisah sejarah tentang keganasan gerombolan yang terjadi di masa lalu akan terlupakan oleh generasi mendatang. Ini adalah pengingat betapa pentingnya menjaga dan merawat situs-situs bersejarah agar cerita-cerita masa lalu tetap hidup dan dikenang untuk pembelajaran di masa yang akan datang. ***

Momotoran ke Madinah

Oleh: Irfan Pradana

Momotoran kali ini terasa menjadi pengingat, sekaligus kelanjutan dari Momotoran perdana saya bersama Komunitas Aleut beberapa waktu lalu. Saat itu kami dengan lima motor menyusuri kawasan Malangbong, Cibugel, Citengah, hingga Desa Baginda di Sumedang. Salah satu tujuannya adalah mengunjungi jejak-jejak pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pada perjalanan sebelumnya kami menjumpai Ibu Ane, cucu Kartosoewirjo dari putra ketiganya, Sardjono. Di rumahnya yang berada di Malangbong kami mendapatkan cerita-cerita menarik seputar sepak terjang kakeknya selama menjadi pucuk pimpinan DI/TII. Selain itu Ane juga bercerita terkait pengalaman pribadinya sebagai cucu dari seorang pimpinan salah satu gerakan bersenjata paling besar di Indonesia dan salah satu kegiatannya bersama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang sudah menerbitkan beberapa buku, di antaranya The Children of War (Kompas Penerbit Buku, 2014).

Setelah terpaut waktu cukup lama, akhirnya kami kembali Momotoran dengan tema serupa, DI/TII, tapi dengan daerah tujuan yang berbeda, yaitu beberapa lokasi yang memang sudah ada dalam catatan dan agenda, tapi masih belum sempat kami sambangi, di antaranya, Cisampang di Cigalontang dan Kampung Sudi di Sodonghilir.

Perjalanan kami mulai sekitar pukul lima dini hari. Dari Bandung kami mengambil jalur Cileunyi – Nagreg, lalu Kadungora – Leuwigoong. Seorang kawan spontan mengusulkan untuk mengunjungi sebuah situ (danau) yang belakangan namanya tengah viral di media sosial. Sekadar mampir sekalian mencari sarapan. Namanya, Situ Sarkanjut.

Tidak terlalu lama, kami sudah tiba di depan sebuah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Situ Sarkanjut Desa Dungusiku.”

Situ Sarkanjut. Foto: Deuis Raniarti.

Dalam pemahaman saya selama ini, istilah kanjut dalam bahasa Sunda padan pengertiannya dengan alat kelamin pria, penis. Kawan-kawan lain pun menyatakan hal serupa. Tapi untuk meyakinkan lagi kenapa istilah ini digunakan sebagai nama tempat, saya coba informasi, dan menemukannya di website Sundadigi. Kanjut dijelaskan sebagai sarupa kantong leutik (wadah duit jst), selanjutnya, dikanjutan sama dengan diwadahan ku kanjut. Ya begitulah kira-kira, ternyata kanjut adalah sejenis kantung kecil tempat menyimpan uang. Keterangan lebih lanjut menyebutkan bahwa kantung tersebut memiliki tali pengikat yang dapat dikerutkan di bagian atasnya.

Continue reading

M.A.J. Kelling dan Rumah Wijde Blik di Kromhoutweg

Oleh: Aditya Wijaya

Rumah Wijde Blik (Arsip Komunitas Aleut, 2001)

Rumah dalam foto di atas ini terletak di sudut antara Jalan Dayang Sumbi dan Taman Sari, Kota Bandung. Rumah ini ada di pertigaan dan dapat terlihat jelas jika sedang berkendara karena lokasinya yang strategis.

Jika kita melihat foto lama rumah, di atas pintu masuk tertulis “Wijde Blik”. Saya mencoba mencari arti dari kata Wijde Blik melalui Chatgpt. Wijde Blik diterjemahkan menjadi “Pandangan Luas” atau “Perspektif Luas”.

Rasanya arti kata Wijde Blik mencerminkan saat kita memandang rumah ini. Rumah yang luas, dalam sudut pandang orang yang melihatnya.

Rumah Wijde Blik dimiliki oleh Martin Amandus Jonathan Kelling. Bangunannya dirancang oleh arsitek J.C.J. Piso yang memiliki nama lengkap Jelle Carel Johannes Piso. Dalam buku Arsitektur di Nusantara yang disusun oleh Obbe Norbruis, termuat sebuah iklan dari dari arsitek J.C.J. Piso.

Iklan Arsitek J.C.J. Piso (Arsitektur di Nusantara)

Rumah Modern di Hindia Belanda

Dalam sebuah artikel berjudul “De Modernne Indische Woning”  di majalah Tropisch Nederland Edisi No. 6, 13 Juli 1928 yang dijelaskan secara rinci deskripsi rumah ini. Dari judulnya, dapat diterka isi bahasannya adalah gambaran mengenai model atau tipe rumah modern di Hindia Belanda. Artikel ini ditulis oleh sang pemilik rumah, M.A.J. Kelling. Dia adalah adik dari Ernst Gerard Oscar Kelling yang namanya tertulis pada prasasti pendirian rumah sebagai peletak batu pertama dalam pembangunan rumah Wijde Blik. Terpahat juga tanggalnya, yaitu 2 Maret 1927.

Rumah Wijde Blik (majalah Tropisch Nederland)
Prasasti peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Ernst Gerard Oscar Kelling (Arsip Komunitas Aleut 2011)

Berikut ini deskripsi rumah Wijde Blik yang dijelaskan dalam artikel:

Dari luar, rumah tinggal ini terlihat seperti sebuah atap dengan empat dinding putih, di mana terdapat beberapa pintu dan jendela. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan persegi dengan dinding putih. Ada teras depan yang terbuka dan teras belakang yang terbuka juga. Teras ini dihubungkan dengan koridor beratap besi yang menuju ke “bangunan tambahan” atau bisa juga disebut “bangunan luar”.

Yang dimaksud dengan “bangunan tambahan” adalah deretan kamar-kamar kecil, tempat dapur, kamar mandi, WC, gudang dan kamar-kamar untuk pelayan. Perabotan sepenuhnya selaras dengan dinding-dinding putih yang kaku. Di teras depan biasanya terdapat “set kursi” yang elegan, sebuah meja kecil dengan daun marmer dan empat kursi goyang yang diatur simetris, dikelilingi beberapa pot berisi pohon palem atau begonia di atas dudukan.

Ruang belajar di rumah Wijde Blik. Semua furnitur yang terlihat di ruangan ini dibuat di Hindia Belanda oleh arsitek furnitur Jac Rietdijk. (Tropisch Nederland)

Teras belakang yang biasanya menjadi ruang makan dan ruang keluarga sekaligus, dilengkapi dengan meja persegi panjang dengan enam kursi. Sebuah lemari dengan pintu kawat hijau (untuk menyimpan makanan, roti, mentega, dll.) serta bufet coklat tua, semuanya dibuat oleh seorang Tionghoa. Di kamar tidur terdapat tempat tidur besi dengan kelambu (tirai nyamuk), lemari linen, meja cuci dengan baskom dan kendi, dan tentu saja sebuah “meja kecil”, karena terlalu jauh untuk pergi ke bangunan tambahan di malam hari. Kamar tamu dan jika ada kamar anak-anak, sama dalam hal perabotan. Jika ada ruangan yang tersisa, ruangan itu diberi nama ruang besar “kantor”, yaitu ruang kerja tuan rumah. Di sana ada meja tulis sederhana dengan kursi putar, sebuah rak buku dan sebuah kursi rotan.

Hiasan untuk dinding terdapat beberapa gambar berwarna, gravur baja, dan rak-rak berisi tanaman hias. Penerangan terdiri dari lampu dinding gantung minyak tanah, kadang-kadang lampu gasolin (dengan atau tanpa tekanan), gas penerangan dan pada tahun-tahun berikutnya listrik.

Dari tulisan di atas, terbaca M.A.J. Kelling sedang menyampaikan sebuah gambaran mengenai gaya rumah Indis modern berdasarkan rumahnya yang baru dibangun di Kromhoutweg.

Ruang Penerimaan. Furnitur yang Anda lihat di foto ini, tanpa kecuali, seluruhnya dibuat di Hindia Belanda oleh pedagang furnitur Fa. Jac. Rietdijk. Lukisan menggambarkan pemandangan alam Hindia Belanda yaitu Teluk Sabang (Tropisch Nederland)

M.A.J. Kelling

M.A.J. Kelling menjabat sebagai sekretaris bendahara dari Bandoeng Vooruit. Dia juga menulis satu artikel mengenai “Sejarah Bandung” di majalah Mooi Bandoeng yang sering dijadikan rujukan bagi tulisan populer kesejarahan Kota Bandung. Selain menjabat di Bandoeng Vooruit ia juga menjadi administratur Middenstandsvereeniging (Asosiasi Usaha Kecil). Setelah masa revolusi ia menjabat sebagai Secretary of the Vereeniging van Belanghebbenden bij Onroerende Zaken (sekretaris Asosiasi Pemangku Kepentingan Real Estate). Kelling juga menulis beberapa buku bertemakan hotel, wisata, kebersihan, perbankan dlsb.

Selain itu, Kelling menjadi redaktur di majalah kereta api bernama “Java Expres” yang diterbitkan Staatsspoorwegen beralamatkan di Kromhoutweg No. 8. Jika melihat kepemilikan Wijde Blik saat ini yang dimiliki oleh PT. KAI, bisa saja informasi ini menjadi sebab kenapa rumah tersebut bisa dimiliki oleh KAI. Selain itu, berdasarkan buku Telefoongids Bandoeng (Preanger) 1936, beberapa rumah lain di Kromhoutweg juga ternyata dihuni oleh pegawai dan staf perkeretaapian.

Rumah Wijde Blik pernah dipugar pada tahun 2010 dan diberi nama Graha Parahyangan. Rencananya akan dijadikan museum dan galeri kereta api. ***

Catatan: *Tulisan ini mengandung persepsi dan pendapat pribadi penulis.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑