Ini adalah pengalaman pertama saya melakukan sebuah perjalanan bersama orang-orang yang baru saja saya kenal beberapa hari belakangan. Perjalanan ini dimulai dari Jalan Siti Munigar, lalu mengunjungi sebuah makam yang saya benar-benar tidak tahu ini makam siapa, dan kenapa kita harus kesana. Ketidaktahuan ini mendorong saya untuk bertanya pada rekan jalan saya hari itu. Dimulai dari pertanyaan “Ini maka siapa?” “Ini suaminyakah?” “Ini keluarganyakah?” Dan pertanyaan-pertanyaan saya selalu bisa terjawab oleh rekan-rekan dari Komunitas Aleut ini. Dalam benak saya berucap “pintar sekali orang-orang ini,” juga kagum karena bisa mengemas jawaban agar mudah dicerna.
Kami menyusuri gang-gang yang ada di sana untuk mencari informasi mengenai tokoh bernama Siti Munigar, lalu Fatimah, lalu mencari tau arti latar penamaan gang-gang yang ada disana. Seru sekali. Ketidaktahuan membuat rekan-rekan haus akan jawaban, hingga harus bertanya pada warga sekitar membuat dinamika bersama warga sekitar yang sebelumnya tidak pernah bertemu sama sekali, tapi seakan seperti kawan lama yang baru berjumpa kembali, sangat hangat.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan, mencari sebuah gang yang ada di jalan Pajagalan. Saya orang Bandung asli, saya selalu menikmati setiap sudut yang ada di Bandung. Tapi baru kali ini saya benar-benar menganalisa satu per satu. Pertanyaan-pertanyaan didalam kepala saya sangat banyak, ternyata saya belum cukup baik mengenal kota kelahiran saya.
Lagi-lagi saya bertanya pada rekan jalan “kita mau ke mana?”. Karena jujur saya merasa menjadi “anak bawang” di antara akang-akang dan teteh-teteh, hahaha, istilahnya saya seperti bayi yang baru bisa berjalan dan perlu dituntun oleh kakaknya yang sudah bisa berlari.
Cuaca Bandung siang itu lumayan panas, membuat tenggorokan cepat kering. Ditambah lagi mulut yang gak bisa berhenti bertanya dan berbicara. Akhirnya saya melipir dan membeli minuman yang ada di depan gerbang Pesantren Persatuan Islam.
Lagi enak-enaknya menikmati minuman, dari kepala saya muncul sebuah pertanyaan lagi, “kenapa ya kerudung yang dipakai sama semua modelnya?”. Karena di daerah rumah saya pun ada siswi yang memakai kerudung seperti itu, semuanya sama. Teh Rani yang ada di samping saya menjawab “Emang kaya gitu, dan harus kaya gitu pakainya. Itu ciri dari Persis”. Wah saya baru tahu! “itu panjang kerudungnya dua meter” sambung Kang Eza. Saya semakin penasaran. Hebat sekali perempuan-perempuan ini menggunakan hijab sepanjang itu. Bayangkan berapa banyak jarum yang harus mereka gunakan? Saya yakin lebih dari lima.
Saya pun menggunakan hijab, tapi memakai pashmina satu meter saja saya berpikir dua kali, karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan jarum yang banyak. Lagi-lagi kekaguman saya pada perempuan-perempuan yang ada di Pesantren itu membuat saya ingin tau lebih jauh apa makna dan maksud dari pemakaian kerudung seperti itu?
Kang Eza sempat menjelaskan kerudung itu namanya kerudung khoas. Sangat asing di telinga saya. Rupanya Kerudung Khoas merupakan tradisi santriwati di Pesantren Persatuan Islam. Dari sekian banyak model dan jenis kerudung, khoas merupakan model kerudung yang memerlukan skill (keterampilan) dalam memakainya. Kemewahan kerudung khoas ini terletak pada tertutupnya aurat santriwati secara sempurna ditambah dengan kesan elegan dan syar’i.
Saya menemukan beberapa pelatihan untuk bisa memakai kerudung khoas dengan baik dan benar dalam segi penampilan dan waktu yang digunakan. Pelatihan kerudung khoas ini bertujuan agar pemakaian kerudung khoas ini praktis bagi para santriwati.
Perjalanan Kerudung
Penggunaan kerudung saat ini sudah sangat semarak dan ramai, bahkan sangat banyak model-model kerudung untuk digunakan. Maka sudah sepantasnya untuk tidak melupakan jasa-jasa pejuang kerudung di Indonesia, salah satunya adalah Ahmad Hassan, sosok pemikir Islam reformis sekaligus ulama terkemuka dari organisasi Persatuan Islam. Dalam bukunya yang berjudul Wanita Islam (Lajnah Penerbitan Pesantren Bangil/LP3B, Bangil, 1989) dikisahkan betapa besar tantangan untuk menerapkan kerudung wanita muslimah.
Ahmad Hassan duduk di sebelah kiri. Foto dari wikipedia
Pada tahun 1930-an rumah-rumah wanita berjilbab dilempari batu, hingga sekolah yang didirikan oleh Persatuan Islam di Pameungpeuk terpaksa ditutup oleh pemerintah. Sampai A. Hassan turun tangan untuk berdialog dengan Bupati setempat. (A. Hassan, Jilbab, 1984)
Tantangan A. Hassan bukan hanya dari pemerintah saja, tetapi juga muncul dari kalangan internal umat islam itu sendiri yang menganggap kerudung tidaklah wajib. Salah satu polemik tentang ini terjadi antara majalah Al-Lisan yang dipimpinnya dengan majalah Aliran Baroe yang dipimpin oleh Asa Bafagih. Ahmad Hassan kemudian menjabarkan isi polemik ini dalam bukunya, Risalah Kudung; Dua Bahagian Tammat (1954). Risalah ini juga sekaligus merupakan respon Ahmad Hassan terhadap artikel-artikel di Aliran Baroe yang menyebut bahwa kerudung tidak wajib. Dalam “Risalah Kudung” ini, beliau tak segan untuk menyampaikan kesediaan berdebat dengan Tuan Husain Bakri yang pernah menantangnya.
Pada tahun 1960-an masalah kerudung menjadi buah mulut, tidak jarang pula dicoba untuk melaksanakan kewajiban berkerudung bagi anggota putri dari organisasi Persatuan Islam tersebut dengan cara bertahap, semisal hanya dikenakan bagi anggota pengurusnya saja itu pun saat mereka menghadiri rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan resmi. Kemudian A. Hassan mendirikan Pesantren Putri “Persis”, dan semua siswinya diharuskan berkerudung. Pada mulanya dicemooh, tantangan dan godaan dilontarkan pada mereka, tetapi lambat laun cemoohan itu berubah menjadi pujian dan penghargaan.
Artikel “Lika-liku Jilbab Sebelum Tren di Tanah Air” di tirto.id menulis bahwa pada tahun 1979 siswi-siswi yang berkerudung di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung menolak untuk dipisahkan dengan kawan-kawan mereka yang tidak berkerudung. Wacana pemisahan ini berhasil digagalkan oleh Ketua MUI Bandung, EZ Muttaqien. Masuk tahun 1980-an, penggunaan kerudung sudah mulai tumbuh semarak, semakin banyak siswi sekolah yang menggunakan kerudung, walaupun pada masa itu (1982) justru terbit sebuah aturan tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan penggunaan kerudung di sekolah. Pelarangan ini kemudian digantikan dengan aturan baru pada 1991 yang membolehkan penggunaan kerudung di sekolah.
Sementara itu organisasi-organisasi Persatuan Islam terus bekerja, berjuang menyampaikan risalah Islamiyah kepada anggota-anggota mereka melalui media pengajian, bulletin, training dan lain-lain. Ajaran agama yang mereka yakini benar pun sedikit demi sedikit dapat diterima. Mereka menyadari bahwa Islam bukan sekadar shalat dan puasa, tetapi mencakup segala aspek kehidupan, termasuk dalam cara berpakaian.
Hal ini memberikan sedikit gambaran pada kita bahwa waktu itu pun wanita-wanita berkerudung, yang bermaksud menjalani perintah agama, sudah mendapat tantangan dari pihak tertentu yang memang tidak suka melihat kaum muslimah menjalankan perintah agamanya.
Dari proses perjuangan berkerudung banyak sekali polemik dan kontroversi yang dihadapi demi menyempurnakan cara berpakaian wanita muslimah. Hal ini pun berdampingan dengan arti dan makna kerudung khoas.
Bukan tiada artinya santriwati menggunakan kerudung sepanjang dua meter dan dengan model yang berbelit-belit. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh salah satu santriwati bernama Ismi, ia menjelaskan makna dari penggunaan kerudung khoas itu artinya bahwa jalan untuk mencapai kesuksesan itu masih sangat panjang, sepanjang kerudung khoas.
Benarlah apa yang saya bayangkan, jarum yang dipakai itu standarnya enam jarum! kalau kerudungnya mau makin bagus dan rapi ya ditambah lagi jarumnya. Artinya untuk mencapai kesuksesan tidak ada jalan yang mudah. Makin banyak rintangannya makin besar pula peluang suksesnya.
Kemudian ketika memakaikan jarum, berapa kali santriwati itu tertusuk jarum? Artinya banyak sekali pengorbanan yang dibutuhkan untuk sukses. Belum lagi kalau mau betulin kerudung setiap saat. Cape kan? Tapi kalau kerudungnya bagus kita juga yang bangga. Artinya kalau mau sukses jangan pernah cape buat betulin dan koreksi kesalahan kita.
Terus kalau kerudungnya mau dilepas itu gak instan, harus lepasin dulu jarum satu per satu. Artinya kesuksesan yang diraih gak akan mudah dirobohkan.
Mengupas arti di balik kerudung santriwati Persis, banyak sekali perjuangan serta makna yang tersembunyi pada kain dua meter itu.***
Kabut merayap datang dari kejauhan. Hujan turun seperti malu-malu bersama hembusan angin dingin yang tak segan menunjukkan dirinya hadir menemani Momotoran kami siang itu. Kami melaju perlahan dari Nyalindung menuju jalanan perkebunan Bunga Melur.
Jalannya mulus, tapi naik turun. Tak begitu lama, kami berhenti sebentar di tempat yang bernama Pasir Tulang. Tempatnya berada di pinggiran bukit. Pemandangan ke arah timur adalah hamparan kebun teh yang luas, sementara ke arah barat adalah hutan yang lebat dengan pohon-pohon tinggi. Pikiran saya berimajinasi membayangkan kejadian pada masa revolusi dahulu.
Nama tempatnya saja Pasir Tulang, tau kan apa yang dibayangkan? Cerita ini saya dapatkan dari tulisan Hendi Jo yang berjudul Hikayat Ladang Pembantaian di Takokak. Sebenarnya ada dua tulisan yang membuat kami dengan sengaja Momotoran melipir ke jalur Bunga Melur ini. Tulisan pertama tentang Harun Kabir oleh Hendi Jo yaitu Pekik Merdeka di Ladang Huma dan tulisan kedua dari buku tentang Rosidi oleh Tosca Santoso yaitu “Cerita Hidup Rosidi”.
Perjalanan dilanjutkan, setelah sekitar 10 menit bermotor kami tiba di Bunga Melur, tepatnya di lokasi Pabrik Teh Bunga Melur, yang kini sudah tidak beroperasi. Hujan masih cukup deras, kadang ditambah dengan tiupan angin yang lumayan kencang. Sejak kemarin angin memang seperti kurang santai, tiupannya selalu laju, bila kena pohon, maka akan mendatangkan suara riuh dari dedaunan yang terombang-ambing.
Di bawah hujan kami parkirkan motor-motor di dekat pabrik, di halaman kantor Afdeling Bunga Melur. Kantornya sepi, malah beberapa ruangan terkesan berantakan. Ada satu ruangan di ujung belakang yang tampak terawat, sepertinya ruangan petugas yang menjaga pabrik.
Di dinding depan kantor tertulis berbagai macam motto. Ada juga sticker dengan gambar kalimat bentuk rasa syukur atas realisasi produksi teh Kebun Goalpara di akhir tahun 2014. Selain itu hanya tersisa suara hujan dan keheningan. Perlahan kami mulai masuk ke bekas pabrik. Di pintu masuk masih tersisa terminal rangkaian lampu tempo dulu. Lantai pintu masuk pabrik berbahan batu halus kotak-kotak cukup besar.
Pabrik ini menggunakan rangka besi beratap seng. Sebagian dindingnya masih menggunakan anyaman bambu. Tidak ada peralatan pabrik yang tersisa. Dinding pun sebagian sudah mulai hancur. Rasanya pabrik ini sudah lama mati dan ditinggalkan.
Pabrik Teh Bunga Melur (Aditya Wijaya)
Kondisi dalam pabrik (Aditya Wijaya)
Setelah membuat beberapa foto dokumentasi, kami mampir sejenak ke warung yang terletak di seberang pabrik, di samping lapangan bola dan SDN Bunga Melur.
Kami mencoba berbincang dengan pemilik warung yang bernama Ibu Enung dan suaminya, sebut saja Bapak Enung. Sebenarnya bukan kami saja yang sedang datang ke warung tersebut, ada juga seorang ibu dan anaknya yang duduk di bangku bambu di depan warung. Bukan orang jauh, mungkin tetangga yang sengaja datang untuk sekadar mengobrol.
Obrolan mengalir begitu saja, dari mulai pertanyaan tentang nama-nama tempat dan lokasi sampai ke cerita-cerita kondisi lingkungan dan kehidupan sehari-hari di perkebunan Bunga Melur. Kami jadi tahu nama pohon-pohon tinggi yang menjadi latar SDN Bunga Melur. Pohon jabon katanya, milik perhutani. Dari pohon ini nanti diambil kayunya untuk digunakan sebagai bahan membangun.
Ibu Enung, dan Ibu Eulis, tamu yang tadi sudah datang lebih dulu, saling bertukar cerita tentang kegiatan samen, kegiatan-kegiatan kampung yang berhubungan dengan liburan kenaikan kelas di sekolah. Pada saat itu, lapangan bola di Bunga Melur ini akan dipenuhi oleh warga setempat, juga para pedagang yang bisa datang dari mana saja.
Saat timbul pertanyaan terkait apa arti nama Bunga Melur, tampaknya mereka tidak bisa memberikan banyak penjelasan, terutama karena mereka sebenarnya bukanlah warga asli Bunga Melur. Pak Enung selintas mengatakan bahwa dulu namanya bukan Bunga Melur, melainkan Mega Melur.
Warung. Ibu Enung sedang duduk di dalam. (Aditya Wijaya)
Tapi saya penasaran juga, apa sih sebenarnya Bunga Melur itu. Dari hasil googling, melur atau Jasminum officinale ternyata adalah sejenis melati, tanaman bunga hias berupa perdu, berbatang tegak, dan hidup menahun. Melati merupakan genus dari semak dan tanaman merambat dalam keluarga zaitun (Oleaceae).
Bunga Melur dijadikan nama salah satu perkebunan di Sukabumi. Sejarah perkebunan ini bisa dilacak pada tahun 1895 setelah diambil alih oleh Wellenstein, Krause & Co. Perusahaan ini membentuk Cultuur Maatschappij Boenga Meloer. Tujuan pendiriannya adalah untuk mengelola lahan sewa yang ditanami teh di sebagian wilayah Tjiandjoer. Kemudian, sebagian kebun teh tersebut ditanami kina. Maatschappij Boenga Meloer memberikan hasil yang baik bagi perusahaan. Sekitar tahun 1933 komposisi pimpinan Maatschappij Boenga Meloer diisi oleh Commissarissen: G. J. Goovaars Jr., W. Volz dan P. A. Waller, dengan Administrateur: J. Th. Van den Berg. Selain Perkebunan Bunga Melur, Perusahaan Wellenstein, Krause & Co juga memiliki kebun-kebun lain di Pangalengan dan Tjibadak seperti Tjidamar, Maswati dan Mandaling.
Dari laporan tahunan Cultuur Maatschappij Boenga Meloer 1910: Teh Assam menghasilkan 754 Kilo’s per bouw, Teh Ceylon & Java menghasilkan 652 Kilo’s per bouw. Sementara pada tahun 1911: Teh Assam tua menghasilkan 545 Kilo’s per bouw, Teh Assam muda sekitar usia 4 tahun menghasilkan 495 Kilo’s per bouw, Teh Ceylon & Java menghasilkan 584 Kilo’s per bouw. Pada tahun 1938 Kebun Teh Bunga Melur memiliki luas tanam 291 hektar untuk teh dan 93 hektar untuk kina. Begitulah keterangan singkat saja tentang Kebun Bunga Melur.
Usai mengobrol dengan ibu-ibu dan bapak yang ramah dan senang bercerita ini, perjalanan momotoran kami berlanjut melaju ke Takokak. Di sini kami berhenti sebentar untuk ke bukit kecil yang jadi Taman Makam Pahlawan. Lalu, masih dalam guyuran hujan yang tak mau berhenti, lanjut lagi menuju Cikawung, Ciwangi, Pal Dua, Sukamanah, Gunung Gombong, Geger Bitung, Cireunghas, dst. Setelah sampai di Bandung saya berulang kali mendengarkan lagu berjudul Bunga Melur dari P. Ramlee. Rasa-rasanya liriknya sesuai dengan kondisi Bunga Melur saat ini.
Bunga melur yang cantik pinjam dari @yanakellen di sini
Di hujung sana tempatmu bunga melur
Bukan di taman yang indah bunga melur
Hanya di sudut halaman tiada dihiasi jambangan indah permai
Tapi warnamu yang putih bunga melur
Tandanya suci dan murni bunga melur
Walaupun ditiup debu warnamu dan baumu tetap memikat kalbu
Ibarat gadis desa bunga melur sederhana
Walau kering tak bercahaya bunga melur
Baumu memikat jiwa
Semoga sabar dahulu bunga melur
Pada di suatu ketika bunga melur
Masanya akan menjelma
Disanjung dan dipuja oleh gadis remaja
_________
Lagu ditulis oleh S. Sudarmadji dan dinyanyikan oleh P. Ramlee.
Minggu, 14 Januari 2024, kawasan Cibadak yang menjadi sentra cinderamata dan ATK di Kota Bandung tampak lenggang tak seperti biasanya. Toko-toko yang menjajakan cinderamata, souvernir, kertas, hingga alat tulis, hampir semuanya tutup pada hari itu. Hanya sedikit saja yang tampak membuka pintu tokonya.
Pada hari Minggu yang hampir siang itu, saya bersama sepuluh rekan Komunitas Aleut! lainnya hendak mencari-cari jejak Ahmad Hassan (guru utama Persatuan Islam) pada saat ia tinggal di rumahnya Mahmud Yunus. Lokasi persisnya berada di Jalan Belakang Pakgade, seperti yang dikatakan oleh Ajip Rosidi dalam bukunya yang bertajuk “M. Natsir; Sebuah Biografi.”
Peta jalan Pakgade dari oldmapsonline.
Posisi Jalan Belakang Pakgade berada di sebelah selatan Jalan Jendral Sudirman atau sebelah utaranya Jalan Cibadak. Namun untuk menuju ke sini mesti memasuki jalan kecil dulu. Pilihannya dua, bisa masuk lewat Jalan Kote lalu belok ke sebelah barat atau bisa juga masuk lewat Jalan Sutur lalu belok ke sebelah timur.
Waktu itu kami lewat Jalan Cibadak lalu masuk ke Jalan Sutur, baru kemudian sampai di Jalan Belakang Pakgade. Hanya suasana sunyi dan deru motor kami saja yang didapatkan sesampainya di sana. Rumah-rumah sederhana dari kayu dengan dinding anyaman bambu seperti yang dilihat Ajip pada puluhan tahun lalu sudah tak tersisa lagi.
Setiba di ujung Jalan Kote, kami lalu kembali lagi ke Jalan Sutur sambil berharap ada orang yang bisa ditanya dan tahu soal jejak-jejak Ahmad Hassan di sini. Namun nihil, tak ada yang tahu siapa itu Ahmad Hassan atau Hassan Bandung, padahal nama itu sempat populer di tahun 30-an dan Jalan Belakang Pakgade ini pun cukup ramai oleh aktivitas pergerakan Islam yang saat ini dikenal dengan nama Persatuan Islam.
“Ayeuna mah tos janten permukiman orang Tiongha,” kata petugas keamanan di Jalan Sutur yang lupa saya tanyakan siapa namanya.
DR. Syafiq A. Mughni, MA penulis buku “Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal” menilai Ahmad Hassan semakin dikenal karena tulisan-tulisannya tentang Islam yang mengundang perhatian dan perdebatan dengan orang-orang, juga kritik-kritiknya yang tajam. Memang itulah kegemarannya dan karena itu pula ia jadi makin dikenal, bukan hanya di Bandung tapi menjalar hingga Singapura dan Malaya.
Jika akhir pekan tanpa pergi kemana-mana sepertinya terasa hampa. Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar.
Pagi itu begitu cerah seakan-akan merestui perjalanan ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu saya pun berangkat bersama rekan komunitas aleut. Kami berangkat melewati Jalan Pasir Koja, lalu berbelok kanan, ada sebuah Jalan yang bertuliskan Siti Munigar. Sehari sebelum ngaleut, saya menyempatkan menyusuri rute ngaleut yang telah disusun sebelumnya. Karena saya pernah beberapa kali melewati jalan tersebut, namun ngga ngeuh ternyata Jalan Siti Munigar terdapat sesuatu yang menarik.
Bagian utara Jalan Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.
Sebelumnya saya sudah sempatkan membaca beberapa tulisan di website Komunitas Aleut yang membahas tentang Jalan Siti Munigar, kalau saya ringkas, kira-kira seperti ini: jalan kecil bernama Siti Munigar ini ternyata merupakan bagian dari sejarah keluarga Orang Pasar. Sebutan Orang Pasar ini mengacu pada para pedagang lama di Pasar Baru Bandung yang ternyata saling memiliki kaitan kekeluargaan.
Hari Minggu 14 Januari 2024, saya mengikuti kegiatan Ngaleut yang berbeda dari sebelumnya. Dalam kegiatan kali ini saya dan rekan-rekan lebih banyak berjalan di gang-gang kecil dan menyapa masyarakat setempat.
Perjalanannya dimulai dengan kunjungan ke Makam Ahli Waris H.St Chapsah Durasid. Sebelum masuk, ada sebuah bangunan Kantor RW dengan plakat yang menerangkan izin pemakaian tanah oleh Ibu H. St. Chapsah alm dan diresmikan oleh Walikota Bandung. Plakat ini berangka tahun 1967. Kemudian kami memasuki area makam dan mulai mengamati keadaan sekitar.
Memeriksa nisan-nisan di kompleks makam ini cukup menarik perhatian saya karena banyak yang masih menggunakan ejaan lama, bahkan ada yang menggunakan huruf Arab pegon. Bisa dipastikan kompleks makam ini sudah cukup tua usianya.
Sebuah rumah tua dengan dinding bilik di Gang Adi Kacih. Foto: Komunitas Aleut.
Setelah dari makam, kami menyusuri sebuah gang, namanya Gang Adi Kacih Tengah. Konon dulunya gang ini bernama Gang Kuburan. Agak di ujung gang, kami menemukan satu bangunan yang bentuknya cukup unik, dan ternyata ada warungnya. Jadi, kami mampir dulu untuk membeli minum dan sekadar ngobrol dengan warga yang ada. Yang terlihat seperti warung ini ternyata adalah sebuah kamar yang di balik jendelanya terpajang bermacam jualan khas warung, minuman sachet dan banyak macam makanan ringan. Kamarnya tidak terlalu besar, sekitar 2×3 meter. Di bagian paling dalam ada kasur, rak, dan lemari kecil. Jadi, ini sebuah kamar yang berfungsi sekaligus sebagai warung.
Kalau saja tidak berjumpa dengan penghuni rumah Irama, kemungkinan besar saya tidak akan tahu kalau bangunan modern di depan rumah Irama dahulunya merupakan rumah yang punya cerita sejarah.
Lokasi rumah tinggal Mashudi bersama kakaknya di Gang Siti Munigar. Bentuk bangunan sudah berubah total. Foto: Komunitas Aleut
Siang itu matahari cukup terik, namun saya dan kawan-kawan yang sedang Ngaleut Siti Munigar cukup beruntung diperbolehkan berteduh sebentar sambil ngobrol bersama salah satu penghuni rumah yang gaya bangunannya terlihat cukup antik. Kami sebut sebagai Rumah Irama, karena di bagian atas tembok depan rumahnya ada relief tulisan “IRAMA”.
Penghuni rumah yang saya maksud adalah Pak Atep. Ternyata ia juga cukup tertarik pada cerita-cerita seputar sejarah Bandung, jadi lumayanlah isi obrolannya, bisa menambah wawasan. Tulisan yang lebih spesifik mengulas tentang rumah Irama bisa dibaca melalui tautan ini.
Di tengah penceritaan telunjuk Pak Atep mengarah ke rumah bertingkat uang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan dua lantai yang kini difungsikan sebagai kos-kosan. Menurut penuturannya dahulu bangunan itu merupakan kediaman dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat yang menjabat selama periode 1960-1970.
Foto Mashudi yang saya dapat dari Wikipedia
Wujud asli bangunannya sudah berubah total, berganti menjadi bangunan modern yang menurut Pak Atep baru dilakukan dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Benar saja, saat saya mencoba memeriksa menggunakan google street view, terlihat bentuk bangunan yang sama sekali berbeda pada tahun 2019. Itu pun masih agak meragukan, sepertinya juga bukan bangunan asli dari masa kolonial, karena katanya Mashudi sudah tinggal di rumah itu sejak masa ia kuliah di THS (sekarang ITB).
Perjalanan ngaleut di kawasan Pajagalan menyisakan sebuah cerita yang berkesan. Sudah sejak kecil saya diperkenalkan dengan jalan Pajagalan, namun tidak pernah terbersit sama sekali mengapa jalan ini diberi nama tersebut. Berdasarkan hasil diskusi bersama rekan-rekan Aleut, nama pajagalan besar kemungkinan diambil dari keberadaan rumah potong hewan di salah satu sudut jalan tersebut. Dalam bahasa Belanda, rumah potong hewan dikenal juga dengan istilah abattoir, slachthuis, dan slachtplaats. Teringat kembali sebuah memori masa kecil ketika saya sedang bercengkrama dengan seorang teman di depan sebuah bangunan tua bernama serupa yang terletak di jalan Sukimun, Kota Cimahi. Pertanyaan pun kembali menyer, di mana letak rumah potong hewan yang pada akhirnya memberikan nama bagi jalan Pajagalan ini?
(Foto 1: Kondisi abattoir Bandoeng di Cimahi saat ini). Sumber: Dokumentasi Komunitas Aleut
Sebelum memulai kegiatan ngaleut kawasan Pajagalan, kami melakukan perencanaan rute dan pendataan objek-objek yang akan dikunjungi. Melalui penelusuran literatur, kami menemukan peta Bandoeng van Omstreken berangka tahun 1910 yang di dalamnya memuat kata abattoir di ujung jalan Pajagalan. Temuan tersebut kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini melalui pencitraan google maps dan street view. Penelusuran ini menjadi bekal yang penting untuk mengungkap posisi rumah potong hewan di jalan Pajagalan.
(Foto 2: Peta Bandoeng en Omstreken 1910). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 3: Perbandingan peta lama dan sekarang). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 4: Perbandingan peta-peta yang di dalamnya memuat Rumah Potong Hewan di Pajagalan 1905-1939). Sumber: oldmapsonline.org
Bisingnya suara klakson motor terdengar nyaring di telinga ketika saya dan rekan-rekan Aleut melintas di Kawasan Pasar Astana Anyar. Pagi itu kami hendak Ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar, dan salah satu tujuannya adalah kompleks Permakaman Keluarga Pasar Baru yang ada di sana. Suara bising di perjalanan tadi berganti senyap setelah berada di area permakaman.
Tadi malam, seperti biasanya sebelum Ngaleut, saya mencoba mencari informasi sebanyak mungkin untuk bantu-bantu menambah sudut pandang baru saat di lapangan nanti. Salah satunya, informasi mengenai Jalan Siti Munigar yang saya temukan di situs KITLV, berupa empat buah foto keadaan Jl. Siti Munigar setelah dilaksanakannya program perbaikan kampung (Kampong Verbetering) oleh pemerintah kota.
Informasi lainnya, saya dapatkan dari sebuah Katalog Koleksi Etnologi Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Catalogus der Ethnologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen) yang disusun oleh J. A. van der Chijs dan diterbikan oleh pada tahun 1885-1901. Di dalam katalog itu disebutkan bahwa Siti Munigar merupakan salah satu koleksi dengan keterangan “Beeldje van Amba-karna en Siti Moenigar, vroeger in gebruik bij het gelamar. Werd voor het bed van den man gezet en als souvenir aan het huweljjk bewaard, tevens als bewijs van gegoedheid. Indramajoe”. Artinya: “Patung Amba-karna dan Siti Moenigar, dulunya digunakan di gelamar. Diletakkan di depan tempat tidur pria dan disimpan sebagai kenang-kenangan pernikahan, juga sebagai bukti niat baik. Indramajoe.”
Jika ditelusuri lebih lanjut, nama Amba ini dapat ditemui sebagai tokoh dalam cerita pewayangan Mahabharata. Lalu apa hubungannya dengan nama Siti Munigar? Entahlah, tapi yang pasti jika melihat keterangan katalog tersebut Patung Amba-karna dan Siti Munigar adalah patung yang penting dan berharga, apalagi dijadikan kenang-kenangan pernikahan. Rasanya nama Siti Munigar juga memiliki arti yang dalam, seperti nama Amba dalam cerita Mahabharata yang kelak bereinkarnasi menjadi Srikandi.
Makam H. ST. Chapsah Durasid Singkatnya, kami tiba di area makam dan saya masuk di urutan paling akhir dibandingkan dengan rekan-rekan Aleut yang terlihat semangat sekali. Saya harus menyiapkan dahulu kamera digital yang ternyata cukup ribet untuk dibawa-bawa. Sedapat mungkin saya dokumentasikan seluruh momen di situ, tapi rupanya tidak mudah juga, karena nanti setelah sampai rumah dan melihat hasilnya, barulah tersadar, ternyata sesedikit itu dokumentasi foto yang saya buat. Jika saja seluruh nisan dapat saya dokumentasikan dengan baik, mungkin bisa mudah mencocokkannya nama-namanya dengan buku silsilah Keluarga Pasar Baru Bandung yang ada di Perpustakaan Aleut.
Mashudi dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 11 September 1919, sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara. Orang tuanya, pasangan Otjin Karnesih dan Masdan Nataatmadja berasal dari Tasikmalaya yang datang ke Cibatu untuk berdagang. Bila diurut ke atas lagi, kakek dari ayah dan ibunya adalah adik-kakak, putra dari Uyut Sar’an. Saudagar batik dari Pekalongan yang menjadi pengusaha sukses di Tasikmalaya. Kerabat dari orang tuanya banyak yang tinggal di Kota Garut, umumnya menjadi pedagang yang cukup berhasil, seperti Haji Abdullah dan Haji Djamhari.
Dengan bantuan seorang kontroleur Van den Berg, Mashudi dan saudara-saudaranya dapat bersekolah di Christeijke Hollandsch Inlandsche School di Kota Garut. Perjalanan bersekolah dari Cibatu ke Garut setiap hari ditempuh pergi pulang dengan menggunakan kereta api.
Stasiun Cibatu tahun 1930. Foto: Spoorwegstation op Java.
HIS DAN MULO DI TASIKMALAYA
Ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP) milik Paguyuban Pasundan dibuka di Tasikmalaya tahun 1927, orang tua Mashudi memutuskan pindah ke Tasikmalaya agar anak-anaknya dapat bersekolah di sana. Mashudi yang masih di tingkat dasar pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Jalan Kebontiwu, tak jauh dari rumah besar keluarganya di Jalan Gunungladu (sekarang Jalan Yudanegara). Rumah mereka berhadapan dengan kolam renang Gunung Singa.
Ayah Mashudi melanjutkan usaha di bidang perikanan dan pertanian, sedangkan ibunya, yang biasa dipanggil Eneh, membantu dengan berdagang batik dan perhiasan buatan toko De Concurrent di Jalan Braga, Bandung.
Orang tuanya memiliki sepasang sapi perah yang susunya dikonsumsi oleh keluarga, dan bila berlebih, dijual ke apotek atau toko di Jalan Cihideung. Mashudi yang kebagian tugas untuk menggembalakan sapi dan mengantarkan penjualan susu ke toko.
Mashudi mulai mengenal semangat kebangsaan sejak masih sekolah HIS. Seorang gurunya yang kemudian menjadi kepala sekolah, Meneer Atmodipuro, merintis berdirinya KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), yang menggunakan lambang bendera merah putih. Mereka biasa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu KBI yang digubah oleh WR Supratman.
Dalam setiap upacara, mereka menaikkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mashudi aktif dalam kepanduan, dan selalu menjadi pemimpin regu. Seringkali mereka berlatih sambil di kemping di Gunung Galunggung atau Gunung Sawal.
Lulus HIS, Mashudi masuk ke MULO Pasundan yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah. Kelak, banyak alumnus sekolah ini yang namanya dikenal secara nasional, seperti Thoyib Hadiwijaya yang menjadi menteri selama 13 tahun, Edi Martadinata (KSAL), Umar Wirahadikusumah (Wapres RI), Solihin GP (Gubernur Jabar), dan Dody Tisna Amidjaja (Dirjen Perguruan Tinggi).
Lulus dari MULO, Mashudi melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta. Minat pendidikan dan literasi dalam keluarga ini memang cukup kuat. Ketika di Cibatu mereka berlangganan surat kabar Bintang Timur yang dikelola oleh Parada Harahap dan De Comentaren yang dikelola oleh Sam Ratulangi. Di Tasikmalaya, ditambah lagi dengan langganann koran AID (Algemeene Indische Dagblad). Kakaknya, Bandi, berlangganan Popular Mechanic, terbitan Amerika.
Ngaleut Siti Munigar, 15 Januari 2024. Foto: Komunitas Aleut.
Setelah penulisan di sini, pencarian asal usul nama Gang atau Jalan Siti Munigar masih belum selesai, walaupun tidak berarti juga dikerjakan dengan intensif. Seluangnya waktu saja, atau bila kebetulan menemukan cerita baru, ya dikumpulkan dulu buat ditulis lagi kelak.
Walaupun agak ragu, tapi setelah tulisan di atas ini, kami coba cari juga informasi tentang nama yang cukup aneh itu, Reindent van Hos’t Munigar’eun, yang konon adalah orang Belanda yang disebut sebagai ayahnya Siti Munigar dalam tulisan Pak Aan Merdeka Permana. Ya, tidak jauh dari yang terbayangkan sebelum mencari, engga ketemu.
Kemudian dilanjutkan dengan memeriksa buku daftar alamat yang ada pada kami, mulai dari tahun 1936, 1941, sampai 1950, engga nemu apa-apa juga, selain dua nama ini: Hafkenscheid dengan alamat Gang Siti Moenigar 168/22E dan G. G. Heuvelman di Siti Moenigar 29/22E. Selebihnya, tetep poek.
Yang agak terang adalah informasi dari kegiatan Ngaleut Siti Munigar hari kemarin, tanggal 15 Januari 2024, dari seorang warga lokal yang menyebutkan bahwa dulu ada nama Siti Munigar dimakamkan di kompleks makam keluarga di Siti Munigar. Dari hasil pencarian ke lokasi, dan dengan memeriksa satu per satu nisan yang ada di sana, ternyata tidak kami temukan juga nama itu.
Memang tidak semua nisan dapat diperiksa dengan baik, karena ada yang sudah sangat sangat aus tulisannya sehingga sulit atau malah tidak dapat dibaca lagi isinya, ada juga makam-makam yang tidak bernama atau sudah kehilangan nisannya, dan dua-tiga makam yang posisinya sudah sangat sulit untuk didekati karena terhalang belukar yang lebat dan tinggi. Tapi paling tidak, bapak yang biasa menjaga kompleks makam tersebut mengatakan tidak ada nisan dengan nama Siti Munigar di situ, sambil menyarankan untuk memeriksa nama-nama dalam buku silsilah Orang Pasar.
Ya, itulah yang kami lakukan seusai kegiatan ngaleut, memeriksa buku silsilah, dan… ketemu! Ternyata memang ada nama Siti Munigar dalam sejarah keluarga Orang Pasar. Setelah diurut-urut, kira-kira seperti ini gambarannya:
De Preanger-bode edisi 16 Oktober 1959, dari arsip delpher.nl
Cukup mengejutkan juga berita yang ditulis oleh Deventer Daglad edisi 16 Oktober 1959 yang sudah diceritakan di sini, disebutkan bahwa pada saat itu SWARHA merupakan gedung perkantoran yang tertinggi di Indonesia. Tidak ada keterangan jelas seberapa tinggi bangunan Gedung SWARHA, hanya disebutkan bahwa gedung itu terdiri dari lima lantai.
Kami tidak lantas memeriksa keberadaan gedung-gedung tinggi di kota-kota besar lain di Indonesia pada masa itu, Mungkin saja tulisan itu salah, agak kepikiran masa sih di Jakarta atau Surabaya misalnya, tidak ada gedung perkantoran yang tingginya melebihi Gedung Swarha? Atau ya mungkin juga benar, mengingat pada masa pendirian SWARHA itu, Indonesia baru beberapa tahun saja terbebas dari segala kekisruhan situasi setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan peperangan yang berkepanjangan hingga sekitar tahun 1950.
Pada masa itu, siapa pula yang kepikiran mau membangun gedung-gedung mewah atau skala besar, apalagi yang tinggi-tinggi seperti yang mudah ditemukan sekarang di kota-kota besar. Situasi longgar setelah pengakuan kedaulatan RIS dalam Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus – 2 November 1949, tidak lantas membuat situasi aman seaman-amannya, terutama di Kota Bandung, yang secara lokasi berada di tengah-tengah situasi kacau akibat polah DI/TII di seluruh wilayah Jawa Barat.
Tapi ya itulah yang terjadi, paling tidak menurut pemberitaan koran De Preanger-bode edisi 31 Maret 1953 dengan judul Pembukaan Toko Swarha. Yang disebut dengan toko, atau Swarha Stores ini, adalah lantai yang paling bawah dari Gedung Swarha. Berita pendek yang menyertai foto pembukaan toko ini tidak menyebutkan apa fungsi dari lantai-lantai lainnya. Bulan Maret tahun 1953. Hanya selisih dua tahun saja dari pengakuan kedaulatan itu, di Bandung sudah ada yang membangun gedung tinggi seperti Swarha.
Diceritakan bahwa pembukaan toko, yang dalam iklan-iklannya menyebut diri sebagai Swarha Stores ini, dihadiri dengan penuh minat oleh Walikota Bandung Mohammad Enoch beserta istrinya. Prosesi pembukaan toko yang berlangsung pada hari Sabtu malam tanggal 28 Maret 1953 ini disebut dihadiri juga oleh sejumlah tokoh di bidang perniagaan, walaupun tanpa menyebutkan nama-nama. Yang jelas, ada direktur S. W. A. R. Hassan Wiratmana (dalam foto yang berkostum gelap) dan A. Rachman H. Wiratmana (di sebelah kanannya) serta anggota keluarga dan karyawan Toko Swarha.
Dari singkatan nama lengkap Hassan Wiratmana di atas, mudah sekali menebak dari mana asal nama Swarha, walaupun tidak mudah juga menemukan kepanjangannya. Tulisan lama di website Komunitas Aleut ini menyebutkan nama panjang Said Wiratmana Abdurrachman Hassan, tapi kok kayanya kurang inisial huruf R seperti singkatan yang ditulis dalam berita di atas? Beliau adalah warga Bandung putra seorang saudagar kaya dari Timur Tengah.
Dari tulisan yang sama, tertulis keterangan bahwa di lahan Toko Swarha itu sebelumnya pernah berdiri sebuah toko lain bernama Toko Tokyo yang dibangun pada tahun 1914, tepi kemudian hancur pada tahun 1940-an, entah pada masa Jepang atau akibat peristiwa Bandung Lautan Api. Yang jelas dalam dua buah foto udara yang dimuat dalam buku Bandoeng; Beeld van Een Stad (RPGA Voskuil. Asia Maior, Purmerend, 1996), sudah tidak ada bangunan Toko Tokyo dan belum ada Gedung Swarha. Kedua foto yang dimaksud itu dibuat tahun 1946 dan menunjukkan ruas Jalan Asia-Afrika sekarang (hal 119 dan 131).
Foto udara tahun 1995 dengan Gedung Swarha di sebelah kiri. Foto dari buku Bandoeng; Beeld van Een Stad.
Seperti terlihat pada foto di ats, bangunan Gedung Swarha agak unik. Karena walaupun bangunan utamanya menghadap ke timur – yaitu ke potongan Jalan Dewi Sartika yang sudah menghilang sekarang karena menjadi bagian dari Masjid Agung Bandung – namun sisi utaranya melengkung mengarah ke Jalan Asia-Afrika sekarang. Tak heran bila kadang ada yang menyebut lokasinya di Jalan Asia-Afrika.
Tapi, anggapan di atas sebenarnya tidak mutlak salah juga, karena pada satu waktu toko ini pernah punya dua alamat untuk lokasi yang sama. Dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung yang disusun dan “disiarkan” oleh Djawatan Penerangan Kota Besar Bandung (1956), tertera dua alamat berbeda. Dalam daftar nama-nama hotel ditulis alamatnya di Djl. Raja Timur 46, namun dalam gambar iklannya tertulis alamat Djalan Masdjid Agung 8A dengan nomor telepon 4712. Pada masa awal berdirinya, seperti yang banyak diiklankan di koran sejak tahun 1953, alamatnya adalah Jalan Kabupaten No.6.
Sebelum kami tutup tulisan ini, ada satu berita menarik lainnya dan masih dari koran De Preanger-bode, kali ini dari edisi yang sedikit lebih dulu terbitnya, yaitu tanggal 16 Maret 1953, jadi dua minggu sebelum berita pembukaan Toko Swarha.
De Preanger-bode edisi 16 Maret 1953 dari arsip delpher.nl
Berita di atas ini menyebutkan bahwa dua hari sebelumnya, yakni pada hari Sabtu, 14 Maret 1953, telah diresmikan gedung baru Bata di kompleks Swarha yang lokasinya ada di sebrang Kantor Pos Utama di Groote Postweg. Etalase toko sepatu merek Bata ini tertata dengan rapi, furniturnya cantik-cantik, juga ada kursi baja berbentuk tabung dengan bangku pengiring, ada tabel ukuran sepatu, dan sudut khusus untuk anak-anak yang dianggap paling menarik. Dalam peresmian ini, ada banyak rekan bisnis dan agen komisi dari seluruh instansi Bata Bandung yang hadir, bahkan mantan mentri Sewaka pun ikut hadir.
Dengan begitu, Toko Swarha bukanlah toko pertama yang mengisi Gedung Swarha, karena sebelumnya sudah ada Toko Bata. Dalam berita-berita lain, namun dari waktu setelah pembukaan Toko Swarha, ditemukan juga keberadaan Toko Asia Optical yang merupakan toko kacamata. Di sepanjang tahun 1953 ini belum kami temukan koran atau berita yang menyebutkan Gedung Swarha sebagai sebuah hotel. Lain waktu tulisan ini akan dilanjutkan.
Rasanya tidak ada ide yang muncul saat saya ingin menulis arsitek bernama Brinkman ini. Informasi yang beredar pun sedikit sekali hingga nama lengkap dan foto diri saja saya tidak menemukannya. Hanya ada sematan angka tahun di samping namanya, Frederik Brinkman (1878-1944).
Sudah ada beberapa tulisan terkait arsitek di Bandung yang saya buat. Lumayan untuk menyicil bekal informasi di masa depan. Dalam membuat tulisan mengenai arsitek-arsitek di Bandung, terkadang muncul informasi data keras yang jarang dibahas atau disebutkan dalam kesejarahan Bandung. Seperti Brinkman ini, saya menemukan fakta bahwa dialah arsitek di balik gedung perbelanjaan monumental di Jl. Asia Afrika yaitu Toko de Zon.
Iklan di Koran Preanger Bode, tahun 1914 (Delpher)
Toko De Zon N.V. di Jalan Asia-Afrika (Columbus)
Brinkman mengawali karirnya sebagai Insinyur Pengawas Militer Genie Kelas 3 di Surabaya pada tahun 1908. Kemudian ia melanjutkan karirnya sebagai arsitek di Bandung pada tahun 1912-1927. Karya awal Brinkman di Bandung adalah dua buah villa besar yang indah berlokasi di Jl. Sumatera, Bandung. Awalnya Brinkman membangun Villa Bella Vista di tahun 1913 kemudian diikuti dengan Villa De Hort di tahun 1914. Villa De Hort saat ini menjadi kantor DP3AKB Provinsi Jawa Barat. Kemudian Brinkman membangun perumahan untuk De Ijsfabriek atau Sari Petojo Kebon Sirih di tahun 1922.
Pada 1 Juli 1929, Brinkman bermitra dengan G. H. Voorhoeve. Kantor Arsitek dibentuk dengan nama “Kantor Arsitek dan Teknik Hindia Belanda F. W. Brinkman, Arsitek; G. H. Voorhoeve, insinyur sipil” di Bandung. Kantor tersebut terletak di Oude Hospitaalweg 27. Kantor itu bertanggung jawab menangani proyek-proyek seperti Sekolah Army of Salvation, Oosterkerk atau sekarang menjadi GPIB Maranatha, Christelijke Mulo, bioskop Elita, bioskop Oriental, dan beberapa sekolah di Cianjur, Cirebon, dan Tasikmalaya. Selain itu, Brinkman juga merancang pasar-pasar yang ada di Bandung. Sayangnya saya tidak menemukan informasi lebih lanjut terkait pasar ini.
Ada beberapa bangunan lagi karya Brinkman seperti Gedung Singer di Jl. Asia Afrika yang proses pembongkarannya pada tahun 1993 mengundang protes dan demonstrasi dari warga Kota Bandung. Lalu ada pula Gedung Perhimpunan Ons Aller Belang, 19 rumah di Jl. Dederuk dan Julianaschool di Jl. Ambon. Tak lupa salah satu rumah tinggal paling indah di Bandung yaitu Villa Mei Ling.
Seperti nasib beberapa arsitek lainnya yang berkiprah di Hindia Belanda, Brinkman meninggal dunia di Kamp Interniran di Ambarawa pada 16 Agustus 1944.
Gedung Singer akhir tahun 1970an, Jl. Asia Afrika (Dorothee Segaar-Höweler)
Gedung Ons Aller Belang (KITLV)
Sumber:
Buku Architectuur & Stedebouw in Indonesie, Huib Akihary
Buku Arsitektur di Nusantara, Obbe Norbruis
Bandoeng en Omstreken in Kaart Woord en Beeld, November 1933
Artikel Majalah Moesson, Geertrudes Herman Voorhoeve Bouwkundig ingenieur in Bandoeng, Connie Suverkropp ***
Ada sebuah berita menarik yang ditulis dan dimuat oleh sebuah koran Belanda, Deventer Daglad, tanggal 16 Oktober 1959. Judul beritanya, “Bandoeng (yang dulu Kota Cahaya) Kini Mati Suri” dan dilanjutkan dengan subjudul “Jitterbug dan Celana Jeans Dilarang.” Ternyata berita serupa ini dimuat juga dalam beberapa koran Belanda lainnya, di antaranya, Leeuwarder Courant edisi 17 Oktober 1959 atau Nieuwsblad van het Noorden edisi 31 Oktober 1959. Entah siapa yang menulis pertama kali, atau mungkin juga masing-masing koran itu memiliki korespondennya sendiri di Bandung seperti diakui oleh Nieuwsblad van het Noorden yang menyebutkan laporannya berasal dari seorang “korenponden khusus”, walaupun isinya sebenarnya sama saja dengan berita dalam Deventer Dagblad yang akan kami ceritakan di sini.
Lucu juga, ternyata pernah ada pelarangan-pelarangan semacam itu di Kota Bandung. Bukan Cuma jitterbug, sejenis tarian dengan musik jazz, yang dilarang, tapi juga rock n roll dan cha cha cha. Tegasnya, tidak boleh lagi ada dansa-dansi di nightclub setelah pukul sepuluh malam. Yang mengeluarkan aturan ini adalah pihak militer yang diwakili oleh Komandan Militer, Kolonel Kosasih, dan ternyata alasannya, “Tidak pantas bagi kita untuk menari dan bersenang-senang saat di luar batas kota tentara kita harus berjuang melawan para pemberontak Darul Islam yang fanatik.”
Berita ini juga menerangkan bahwa di masa lalunya, Bandung merupakan “Kota Cahaya-nya Indonesia”, para pengusaha perkebunan di Priangan atau Preangerplanters menyebutnya sebagai “Paris-nya Priangan.” Kota di pergunungan ini selalu cerah dan sejuk seperti musim semi di Paris, menjadi tujuan utama para pencari kesenangan di Pulau Jawa. Namun, semua keindahan itu sekarang berkemilau ketat, bahkan pada malam hari sudah menjadi kota yang membosankan, padahal saat itu Kota Bandung memiliki lima klab malam yang buka sepanjang malam.
JAM MALAM
Dengan dikeluarkannya aturan itu, diberlakukan juga jam malam. Tidak boleh ada yang berkeliaran di jalanan tanpa memiliki surat izin keluar malam (avondpas), karena secara praktis Kota Bandung berada di pusat wilayah pemberontakan. Dengan keluarnya aturan ini, maka Kota Bandung adalah satu-satunya kota di Pulau Jawa yang masih menerapkan jam malam.
Pelarangan tidak hanya tertuju pada soal tari-tarian saja, tapi juga merambah perihal cara berpakaian. Penggunaan celana jeans misalnya, juga ikut dilarang. Selain itu, kaum perempuan tidak diperbolehkan memakai celana panjang atau celana pendek, tidak boleh memakai gaun berpotongan rendah atau tanpa lengan, bahkan ada larangan mengikat rambut dengan gaya ekor kuda atau ponytails dengan alasan bahwa leher yang terbuka terlihat terlalu menggoda. Aturan-aturan ini ternyata hanya berlangsung sebentar saja.
BANDUNG KOTA WISATA
Selanjutnya, tulisa tersebut juga menuliskan sejumlah fakta tentang Kota Bandung. Bila diperhatikan dengan seksama, rasanya tidak semua informasi itu akurat, tapi ya itulah yang tertulis. Berikut ini terjemahan bebasnya …:
Bandung memang memiliki semua pesona yang dapat menarik orang untuk berkunjung, iklim yang sejuk namun juga dengan matahari yang bersinar penuh, lintasan pacuan kuda Tegallega yang paling terkenal di seluruh Indonesia, hotel-hotel dan villa-villa yang indah, pameran tahunan Jaarbeurs yang mendatangkan sangat banyak pengunjung, dan seterusnya. Selain pulau surga, Bali, maka Bandung adalah kota yang paling terkenal di Indonesia.
Bandung sudah menarik kedatangan begitu banyak tokoh internasional, juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika yang menghadirkan Perdana Mentri India Nehru, Mentri Luar Negri Tiongkok Chou En-Lai, Presiden Mesir Abdel Gamel Nasser, Presiden Filipina Carlos Romulo, dan banyak lagi tokoh negarawan lainnya. Beberapa kepala negara dunia juga berkunjung ke Bandung, seperti Presiden Worosjilov dari Uni Sovyet, Presiden Presad dari India, atau Presiden Tito dari Yugoslavia.
REKOR BANDUNG
Kota Bandung memiliki banyak rekor di Indonesia. Misalnya untuk lampu lalu lintas listrik, Bandung memiliki jumlah terbanyak di Indonesia, tepatnya 12 buah, bandingkan dengan ibu kota Jakarta yang hanya memiliki 2 buah! Bandung juga memiliki bangunan kantor tertinggi di Indonesia, Gedung Swarha, yang memiliki lima lantai. Satu-satunya observatorium atau stasiun pengamatan bintang ada di Bandung, begitu juga rumah sakit tuna netra terbesar di Indonesia, ada di Bandung. Seorang pegawai dari Dinas Kependudukan dengan bangga mengatakan pula bahwa Kota Bandung memiliki jumlah janda terbanyak, “dan sebagian besar dari mereka berusia di bawah 24 tahun!”
Bandung adalah kota di pergunungan Preanger Bandung yang terletak di sebuah cekungan yang dikelilingi oleh batas-batas alam gunung berapi, baik yang sudah mati atau pun yang masih aktif. Yang paling terkenal adalah Gunung Tangkuban Perahu yang semi-aktif, terletak sekitar 16 kilometer dari pusat kota dan banyak mendapatkan kunjungan wisatawan. Sebagian lereng dan kawahnya dilarang untuk didekati karena mengeluarkan gas dan uap beracun. Bandung memiliki banyak taman dan villa yang nyaman. Taman-taman besar di lingkungan perumahan yang indah, dengan jalan-jalan lebar yang dipayungi oleh pohon-pohon rindang.
Tetapi, seperti juga kebanyakan kota besar di Indonesia, Bandung pun mengalami masa penderitaan akibat teror oleh para perampok, Bandung banyak didatangi para pengungsi. Secara resmi, para pejabat Kota Bandung memperkirakan jumlah penduduknya sekitar 900 ribu jiwa, namun bila dihitung dengan jumlah para pengungsi yang tidak terdaftar, jumlahnya melebihi angka satu juta jiwa. ***
Di sebrang Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jalan Ibu Inggit Garnasih No.8, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astanaanyar, Bandung, ada sebuah jalan kecil yang mungkin lebih cocok disebut gang, namanya Jalan Siti Munigar. Jalan ini berujung di sebelah utara dan bertemu dengan jalan besar Pasirkoja. Panjangnya sekitar 400-500 meter saja.
Gang Siti Munigar dilihat dari sisi selatan, sebelum dan sesudah program perbaikan kampung. Foto: KITLV 157039 & 157040, antara 1929-1930.
Rumah Irama. Foto: Google Maps.
Beberapa hari lalu, dalam perjalanan pulang dari Makam Pandu ke Pasirluyu, kami sengaja melewati jalan kecil ini untuk melihat beberapa hal yang mungkin selama ini terlewatkan. Tak jauh setelah masuk Jalan Siti Munigar dari arah Pasirkoja, ada sebuah rumah yang terlihat sangat unik, bangunannya masih memperlihatkan gaya kolonial dan di beberapa bagian temboknya, ada relief simbol-simbol musik serta tulisan “IRAMA”. Menurut beberapa informasi lisan, rumah ini dulu pernah difungsikan sebagai hotel atau penginapan, tapi dari pencarian dalam buku-buku baheula belum ketemu ada nama hotel Irama.
Lebih ke dalam, kami melihat ada sebuah kompleks permakaman dengan tulisan pada pintunya “Makam Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid”. Dari arsip kami, Komunitas Aleut sudah mengunjungi kompleks makam ini beberapa kali sejak 2009. Disebutkan bahwa makam ini milik keluarga pedagang Pasar Baru, sama seperti beberapa kompleks makam Keluarga Pasar lainnya yang keberadaannya di tengah Kota Bandung.
Nama jalan Siti Munigar ini cukup unik dan jarang ditemukan sebagai nama orang, selain nama ibunda tokoh tari, R. Tjetje Somantri seperti yang tertulis dalam buku karya Endang Caturwati, R. Tjetje Somantri (1892-1963); Tokoh Pembaharu Tari Sunda (Tarawang, Yogyakarta, 2000).
Tjetje lahir di Wanayasa tahun 1892. Nama aslinya adalah R. Rusdi Somantri Kusumah, ayahnya adalah Patih Purwakarta, R. Somantri Kusumah yang wafat ketika Tjetje masih dalam kandungan ibunya, Nyi R. Siti Munigar. Dari sumber lain ada keterangan bahwa Siti Munigar adalah orang Bandung, namun tidak dijelaskan dari daerah mana persisnya. Tidak ada keterangan lain dalam buku itu tentang Tjetje Somantri atau ibunya yang mungkin berhubungan dengan nama jalan Siti Munigar di Bandung. Di bawah ini kami coba sampaikan beberapa cerita Siti Munigar sebagai nama tokoh dan nama jalan. Dari semua cerita ini, sebenarnya belum ada kejelasan dari mana asal nama Siti Munigar yang digunakan sebagai nama jalan (atau gang) yang terletak di Astanaanyar (Kelurahan Nyengseret) ini. Ya paling tidak sekadar menyediakan bahan bacaan yang berhubungan dengan nama jalan itu.
SITI MOENIGAR SEORANG PEREMPUAN INDO
Tadi malam, 7 Januari 2024, 20:30, di laman facebook Salakanagara terbaca lagi tulisan lama Aan Merdeka Permana dalam bahasa Sunda dengan judul Riwayat Ngaran Jalan Siti Munigar yang dipost tanggal 31 Juli 2013. Di sini, Siti Munigar adalah nama tokoh utama yang diceritakan. Ringkasannya dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini:
Siti Munigar adalah nama putri Reindent van Hos’t Munigar’eun, seorang Belanda, yang sering memberikan teori kemiliteran kepada para nonoman Bandung pada masa antara 1920-1925. Ibunya bernama Siti Maesonah Munigar dan berasal dari Tasikmalaya. Siti Munigar ngaku, “Naha da masing boga bapa Belanda ogé ari haté mah Sunda, jadi teu kudu anéh mun loba reureujeungan jeung sasama urang Sunda.”
Karena ia melihat banyak orang Sunda yang masih buta huruf, ia mengajari mereka baca tulis, bahkan sampai ke memberikan pelatihan militer pula. Pengetahuan kemiliteran Siti Munigar didapat dari ayahnya yang sering dibawa oleh kakeknya untuk melihat latihan-latihan militer.
Pada usia 26 tahun Siti Munigar menikah dengan Sumardi Angkawijaya, sesama orang Tasikmalaya. Ketika tinggal di Tasikmalaya, pasangan suami istri ini sering mengumpulkan para pemuda untuk diberikan wawasan kebangsaan dan kesadaran tentang tujuan hidup. Sekali waktu kumpulan ini pernah digerebeg oleh pasukan Belanda, sehingga mereka melarikan diri ke Pekanbaru, Riau. Siti Munigar dapat pulang kembali ke Bandung karena ayahnya yang punya pengaruh di dunia militer. Ia mendatangi kantor ayahnya di belakang Alun-alun.
Ayahnya mengurung Siti Munigar di rumah, tidak boleh keluar, sehingga ia hanya bisa berkirim surat saja dengan para pemuda Bandung. Kebetulan salah satu pembantu ayahnya adalah seorang mata-mata pejuang. Keberadaan Siti Munigar di Bandung akhirnya diketahui pihak Belanda sehingga ia dipenjarakan di Banceuy selama dua tahun.
Di dalam penjara, ia bertemu dengan Abah Uyut, seorang jago maenpo Betawi yang dibuang ke Bandung, dan ia belajar ilmu bela diri itu kepadanya. Siti Munigar tidak sempat lama mengasuh kedua anaknya, Radin Angkawijaya dan Sumiati. Ia terpisah dari suaminya di Pekanbaru, bahkan sulit pula bertemu dengan ayahnya.
Saat berusia 39 tahun Siti Munigar mengalami sakit berat setelah mendengar suaminya wafat di pembuangan. Tidak ada keterangan jelas bagaimana suaminya menemui ajal, ada yang bilang ditembak. Setelah setahun, Siti Munigar wafat dan dimakamkan di kampung halaman ibunya di Tasikmalaya sesuai dengan pesannya sebelum wafat. Kata orang, ia dimakamkan di Cintaratu, Tasikmalaya. Nama jalan tempat ia tinggal sedari kecil hingga wafatnya sekarang dinamakan Jalan Siti Munigar.
Kami cukup kesulitan mencari informasi lain yang dapat dijadikan bandingan untuk cerita di atas. Hal ini diakui juga oleh penulisnya, bahwa cerita ini berdasarkan keterangan-keterangan lisan saja yang dikumpulkan dari sana-sini. Tidak ada informasi tertulis.
R. DEWI SITI MUNIGAR DI SUKAPURA
Masih berhubungan dengan daerah Tasikmalaya, kami temukan satu tulisan dengan judul Kisah Heroik Srikandi Sukapura, R. A. Dewi Siti Munigar yang diunggah di sini. Dikisahkan betapa minimnya informasi tentang tokoh ini padahal beliau meiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan sejarah awal Sukapura. Ringkasannya, semoga tidak meleset, kira-kira seperti ini:
Pada masa pembentukan Kabupatian Sukapura yang dipimpin oleh R. Wirawangsa (atau Wiradadaha I atau Dalem Baganjing) dalam rentang tahun 1632-1674, terdapat penasihat utama yang bernama R. Dewi Siti Munigar yang memiliki beberapa nama lain, di antaranya Nyi Raden Katibun Mantri, Katibun Rajamantri, Balung Tunggal, dan Nyi Rambut Kasih. Di masa itu Dewi Siti Munigar adalah satu-satunya perempuan yang memiliki ilmu sangat tinggi, ia juga seorang yang arif dan bijaksana, dan karena itu sering dimintai pendapat oleh R. Wirawangsa bila negerinya mengalami keadaan genting.
Salah satu keturunan Dewi Siti Munigar, Encang Supriatna yang saat itu (2018) menjabat sebagai Kepala Desa Leuwibudah, menyebutkan bahwa banyak petilasan yang berhubungan dengan Sang Srikandi, di antaranya di Harjawinangun (Manonjaya), Desa Leuwibudah, dan di Makam Baganjing. Selain itu beliau juga membangun parit di Leuwibitung dan persawahan di Babakan Cimanggu yang sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Konon pada masa itu Dewi Siti Munigar tinggal di Babakan Cimanggu yang terletak di sisi sungai Cimawate dan merupakan kampung tertua di kawasan itu.
Tentang kesaktiannya, dikisahkan pada saat Kabupatian Sukapura pindah ke Empang (Sukaraja), diadakan kegiatan munday – menangkap ikan dengan tangan yang dilakukan beramai-ramai – di Sungai Ciwulan. Dewi Siti Munigar membendung sungai itu hanya dengan menggunakan sehelai rambut panjangnya (dalam mitos lain disebutkan rambut larangan-nya). Selanjutnya disebutkan bahwa Dewi Siti Munigar pun berjasa dalam memenangkan pertempuran antara Sukapura dengan Sumedang. Namanya mengharum dan menyebar sampai ke Bandung, sehingga diabadikan pada sebuah jalan protokol di Nyengseret, Astanaanyar, Bandung.
Ya begitulah kira-kira isi ceritanya… (diakses 09-01-2024, 14:11)
AMIR HAMZAH DALAM EPISODE BUKIT PARJI DAN KENDIT BIRAYUNG
nama Siti Munigar kami temukan lagi dalam buku Ensiklopedi Sastra Sunda yang disusun oleh tim terdiri dari Yus Rusyana, Iskandarwassid, dan Wahyu Wibisana (Depdikbud, Jakarta, 1997). Dalam buku ini ada dua lema yang menyebut nama Siti Munigar, pertama dalam Bukit Parji dan kedua dalam Kendit Birayung. Kedua lema adalah judul dua naskah Sunda yang berhubungan dengan cerita yang sama, yaitu tentang Amir Hamzah
Bukit Parji: Dalam naskah ini diceritakan Raja Nursewan, yang memerintah Puser Bumi, meninggalkan kerajaannya bersama dengan Patih Bastak. La melarikan diri karena takut pembalasan dari Raja Amir Hamzah, menantunya. Raja Nursewan telah membunuh anaknya sendiri, istri Amir Hamzah yang bernama Siti Munigar, dengan racun. Ia amat marah karena anaknya itu masuk Islam mengikuti agama yang dianut suaminya.
Kendit Birayung: Raja Malang Sumirat bermimpi melihat sepasang cahaya dan banjir besar melanda negerinya. Oleh Patih Tangulun mimpi tersebut ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya bahaya. Untuk menghadapi bahaya itu, raja segera memerintahkan semua pembesar negeri agar selalu waspada.
Tiba-tiba datanglah tiga orang tamu, yaitu Raja Nursewan dari Kerajaan Medayin, Patih Bastak, dan Patih Nirman. Mereka bermaksud meminta pertolongan karena akan menyerang negara Arab. Raja Nursewan berjanji bahwa apabila permohonannya dikabulkan, ia akan menyerahkan putrinya yang bernama Siti Munigar. Janji Patih Bastak ialah jika musuhnya yang bernama Umarmaya, menantunya, dapat ditumpas, ia bersedia mengabdi kepada Sang Raja.
Selain yang sudah disebutkan di atas, mungkin masih ada Siti Munigar lainnya yang berupa nama diri, tapi belum kami temukan keberadaannya di jagad internet, jadi sementara itu saja dulu.
NAMA ALAMAT
Sebagai nama alamat, dapat ditemukan lebih banyak informasi, apalagi usia ruas jalan ini sepertinya jauh lebih panjang ketimbang yang disebutkan dalam cerita Aan Merdeka Permana. Tulisannya memang tidak menyebutkan angka tahun, tapi penyebutan para pemuda dan pejuang menyiratkan kurun waktu pada masa revolusi kemerdekaan juga.
Ruas jalan Siti Munigar dalam peta Kaart van de Hoofdplaats Bandoeng en Omstreken buatan Dinas Topographische Bureau v/d Generalenstaf, Batavia, 1882, dari natinaalarchief.nl. Peta ini tidak mencantumkan nama-nama jalan, hanya nama daerah.
Peta Kaart van Bandoeng yang dicetak oleh G. Kolff en Co. Weltevreden dengan keterangan tahun 1926 mencantumkan nama Gang Sitimoenigar.
Dari potongan dua buah peta di atas terlihat bahwa ruas jalan yang akan menjadi Jalan Siti Munigar sudah ada dalam peta produksi tahun 1882. Jalan itu juga terpetakan pada tahun-tahun berikutnya namun umumnya tanpa keterangan nama jalan, baru pada tahun 1926 tercantum keterangan nama jalan Gang Sitimoenigar. Tentu ini tidak lantas berarti bahwa sebelum 1926 belum ada nama jalan Siti Munigar, yang pasti mah kami belum menemukan peta-peta lain yang dibuat sebelum tahun 1926 yang mencantumkan keterangan nama jalan Siti Munigar.
BANDUNG BAHEULA – R. MOECH. AFFANDIE
Cerita lain yang sepertinya pernah cukup populer di Bandung baheula, kami dapatkan dari buku legend berjudul Bandung Baheula, karangan R. Moech. Affandie Jilid 2 (Guna Utama Bandung, 1969). Cerita yang menyinggung nama jalan Siti Munigar dalam buku ada dalam tulisan berjudul Teu Njana Jen Ririwana:
Kisah ini terjadi pada zaman kolonial, tentang seorang pemuda bernama Ijaji yang terpikat oleh seorang dara keturunan saudagar Palembang yang kaya raya, bernama Nyayu Patimah,. Ijaji yang merasa tidak sepadan dengan keluarga dara tersebut hanya bisa memendam perasaan tanpa pernah mengutarakan isi hatinya pada sang dara. Ijaji memutuskan mencoba mencari peruntungan dengan merantau ke Tasikmalaya.
Setelah sekian lama tinggal di Tasikmalaya, Ijaji kembali ke Bandung dengan niatan untuk menonton satu pergelaran yang sedang berlangsung di Jaarbeurs. Malam itu nasib baik sedang berpihak pada Ijaji, pulang dari gelaran tersebut Ijaji bertemu dengan dara pujaan hatinya. Sang dara bercerita bahwa dia sekarang tinggal sendirian di satu rumah baru. Merasa khawatir dengan sang dara, Ijaji menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Ijaji merasa keberuntungannya belum berakhir karena setelah sampai rumah, sang dara malah menawarinya untuk menginap saja.
Ijaji yang sedang dimabuk asmara merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena akan menghabiskan sisa malam dengan dara pujaan hatinya selama ini. Singkat cerita, Ijaji berbaring terlebih dahulu, masih sempat dia saksikan sang dara menyelimutinya sampai akhirnya tertidur. Entah berapa lama Ijaji tertidur. Ijaji mulai setengah terjaga saat rasa dingin menghinggapi tubuhnya. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya mencoba mencari selimut. Namun yang didapatinya adalah tanah basah dan lunak. Ijaji sontak membuka mata dan mendapati dirinya dalam keadaan tak berpakaian serta berada di atas sebuah kuburan.
Dengan tak mempedulikan keadaan sekitar, Ijaji kemudian berlari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Untunglah saat itu gelap dan sepi, tak ada yang memperhatikan Ijaji berlari telanjang. Setiba di rumahnya di daerah Cibadak, hari sudah menjelang subuh. Ijaji langsung mengetuk pintu rumahnya yang dibukakan oleh ayahnya. Melihat keadaan anaknya yang tak biasa, ayahnya menanyai Ijaji. Mendengar cerita anaknya, terkejutlah seisi rumah.
Ayah Ijaji bercerita bahwa Nyanyu Patimah, pujaan Ijaji itu, sudah meninggal beberapa waktu lalu. Nyayu Patimah dinikahkan dengan pria pilihan keluarganya. Konon Patimah tak merasa bahagia dengan pernikahannya. Tak lama setelah pernikahannya, Nyayu Patimah meninggal secara tiba-tiba dan dimakamkan di permakaman keluarga di Siti Munigar.
Pagi harinya Ijaji mendatangi komplek makam keluarga keturunan Palembang di Siti Munigar. Ijaji mendapati pakaiannya teronggok di sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama Nyayu Patimah.
Ceritanya lumayan bikin muringkak bulu punuk walaupun tidak jelas apakah kisah ini benar terjadi atau hanya rekaan penulisnya, atau mungkin juga berdasar pada dongengan yang memang hidup dalam masyarakat baheula. Yang pasti memang ada kompleks makam keluarga di dalam jalan kecil Siti Munigar seperti yang sudah ditulis di atas. Mengenai keberadaa saudagar keturunan Palembang itu kami dapatkan juga dari sebuah artikel dalam Majalah Risalah edisi bulan Oktober 2021 berjudul Kiagus H. Anang Thajib; Tokoh Penting Persis yang Terlupakan yang ditulis oleh Pepen Irfan Fauzan. Disebutkan di situ bahwa Kiagus H. Anang Thajib menghibahkan tanah dan bangunan miliknya di Gang Siti Munigar kepada ustaz Abdurrahman. Belakangan, setelah dipugar bangunan itu dijadikan kantor Majalah Risalah.
Makam Keluarga di Jalan Siti Munigar Bandung. Foto: Komunitas Aleut, 2013.
Gang Kuburan di Siti Munigar, sesudah dan sebelum program perbaikan kampung (kampong-verbetering). Foto: KITLV 157038 & 157037, antara 1929-1930.
MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN
Nama Jalan Siti Munigar beberapa kali disebutkan dalam buku biografi Mashudi; Memandu Sepanjang Masa (Yayasan Universitas Siliwangi, 1998) karena kakaknya, Bandi, memiliki rumah di sana. Rumah ini sempat berfungsi sebagai markas para pemuda pejuang pada masa revolusi kemerdekaan.
Lulus AMS tahun 1941, Mashudi melanjutkan pendidikan tingginya di THS (ITB) Bandung. Ia tinggal bersama kakaknya, Bandi, yang sudah punya rumah sendiri di Jalan Siti Munigar. Kakaknya adalah seorang aanemer yang hidupnya sudah berkecukupan. Ia yang memborong pembangunan rumah-rumah di daerah Ciahurgeulis. Kang Udi, kakaknya satu lagi yang juga tinggal bersama, adalah pegawai Dinas Koperasi Bandung.
Mashudi membuka warung JOP di Jalan Pungkur sambil membuat sabun untuk dijual di rumah Jalan Siti Munigar. Rekan-rekan lainnya ada yang berjualan buku dan membuat rokok dengan merek Gayanti. Usaha di Kebon Cau kemudian memanfaatkan peluang berjualan kayu bakar dengan mengelola para pengusaha kayu bakar yang ada. Saat itu kebutuhan kayu bakar cukup tinggi, misalnya untuk kebutuhan di kamp interniran di Cihapit yang menampung 20-30 ribu orang, atau untuk pembakaran kapur dan bata.
Pada masa revolusi, saat situasi di kota Bandung berkembang menjadi intense, pasukan-pasukan BKR bersembunyi di sana-sini, sementara rakyat membantu dengan menyediakan dapur-dapur umum, termasuk di rumah kakak Mashudi di Siti Munigar. Kakak tertuanya, Ceu Apipah, mengatur kelompok puteri untuk memasak makanan dan kemudian dibagikan ke anggota pasukan perjuangan yang tersebar di sektarnya, seperti di markas Kebon Cau atau di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika).
Cerita lain datang dari Achmad Wiranatakusumah yang setelah berhasil lolos dari tawanan Jepang datang ke Jalan Siti Munigar. Achmad menyebut di sana ada tempat berkumpulnya Pemuda Republik Indonesia (PRI – yang kemudian menjadi Pesindo – Pemuda Sosialis Indonesia). Mashudi, pemimpin PRI menyarankan agar Achmad keluar kota menyusun kekuatan. Achmad membongkar tempat penyembunyian senjatanya di waktu lalu dan mengumpulkannya di Jalan Kepatihan No.9. Achmad mengumpulkan beberapa anggota eks Padjadjaran Jeugd Troep yang ketika itu sudah banyak bergabung dengan Polisi Tentara di Pajagalan di bawah pimpinan Harjo. Baca https://komunitasaleut.com/2023/04/05/sekitar-bandung-lautan-api-achmad-wiranatakusumah-bagian-1/
Mengenai rumah yang sama, dikisahkan juga oleh Tatang Endan dalam bukunya yang ditulis dalam bahasa Sunda, Bandung Lautan Api: Puncakna Perjoangan Rakyat Bandung Ngalawan Sekutu (2005). Kami kutipkan dua paragraf yang menyebutkan nama jalan itu:
Anu ngurus ompreng pasukan kuring harita teh Tjeu Apip Alm_.(rakana Pak Mashudi) di JI. Siti Munigar. Tapi dasar hanta mah enya-enya kuring sabatur-batur teh bolon meureun, kilangbara milu mikir sakumaha capena jeung beuratna tanggung-jawab nyadiakeun ompreng unggal poe keur ratusan parapajoang di Bandung.
Di kota Bandung harita aya sababaraha “dapur umum” anu diurus ku para pajuang wanita, diantarana “dapur umum’ di Jalan Siti Munigar anu dipingpin ku Ceu Apip, (rakana Letjen Purn. DR. H .. Mashudi Alm.) dibantuan ku para pajuang putri, maha siswi jeung siswi sakola lanjutan di Bandung. Sapopoena nyadiakeun teu kurang ti 400 ompreng pikeun para pajuang. Sok sanajan ari menuna mah saaya-aya, aya endog jeung endog, aya buncis jeung angeun buncis, sakapeung-kapeungeun jeung daging sanajan, ngan saukur daging kuda.
BABAD SUMEDANG
Dalam buku Empat Sastrawan Sunda Lama yang ditulis oleh sebuah tim beranggotakan Edi S. Ekadjati,A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki, dan Rosyadi (Depdikbud,Jakarta, 1994/95), ada nama Munigar, tapi tanpa Siti. Nama ini muncul satu kali saja dalam bahasan tentang Babad Sumedang. Berikut ini salinan satu paragraf utuh:
Tahun 1833 Bupati Sumedang Dalem Kusumayuda meninggal. Ia kemudian disebut Dalem Ageung, karena postur tubuhnya besar. Putranya 8 orang, 3 laki-laki (Raden Somanagara, Raden Perwirakusumah, dan Raden Mustopa) dan 5 perempuan (Raden Kusumahnagara, Raden Kusumahningrum, Raden Munigar, Raden Rajaningrum, dan Raden Yoga). Oleh karena semua putra Dalem Kusumahyuda masih kecil, kecuali Raden Somanagara sudah berusia 17 tahun, Bupati Garut merasa khawatir jabatan bupati Sumedang jatuh kepada keturunan lain. Ia mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal melalui residen Priangan. Pertama, ia mohon dipindahkan menjadi bupati Sumedang. Kedua, bila permohonan pertama diterima, menantunya, Raden Wiranagara, patih di Garut, mohon diangkat menjadi bupati Garut. Gubernur Jenderal menyetujui permohonan tersebut. Bupati Garut pindah ke Sumedang. Setelah menjadi bupati Sumedang, ia ganti nama menjadi Kusumadinata dengan pangkat adipati. Patih Garut Raden Wiranagara, putra bupati Cianjur, diangkat menjadi bupati Garut dan berganti nama menjadi Aria Wira Tanudatar.
Sampai di sini kami belum menemukan cerita tambahan lain yang dapat menambahkan informasi masa lalu ruas Jalan Siti Munigar. Lain waktu akan kami lanjutkan. Nuhunnn ***
Buku Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo op 12 Februari 1921 (Delpher)
Ada satu buku yang menarik perhatian saya tatkala sedang menjelajahi situs Delpher. Buku itu berjudul “Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo Op 12 Februari 1921”. Ingatan saya langsung kembali kepada kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut di tahun 2020 silam, yang dijuduli “Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey”. Dalam Momotoran itu saya dan rekan-rekan menelusuri jejak-jejak yang tersisa dari keberadaan jalur kereta api, khususnya jalur Bandung-Kopo-Ciwidey.
Sesuai dengan judulnya, buku yang saya temukan ini tentunya berisi bahasan seputar pembukaan jalur kereta api dari Bandung ke Kopo (Soreang). Berikut ini saya sarikan isinya.
Jalur kereta api Bandung-Soreang pertama kali dibangun dengan adanya permintaan prioritas dari A. A. Maas Geesteranus (pernah menjabat sebagai wakil direktur Perusahaan Kina Pemerintah) di tahun 1897. Kemudian diikuti oleh beberapa permintaan lainnya. Konsesi terakhir diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem. Namun, direktur G.B. (Gouvernement Bedrijven) saat itu tidak menyetujui rancangan teknisnya, sehingga masih diperlukan perundingan lebih lanjut.
Pada tanggal 3 Agustus 1915, perusahaan tersebut memberitahu pihak S.S. (Staatsspoorwegen) bahwa mereka memutuskan untuk menawarkan kembali konsesinya kepada pemerintah. Mereka mengetahui bahwa pihak S.S. bersedia untuk mengelola jalur kereta Bandung-Kopo dan ingin agar pemerintah dengan segera melaksanakan proyek ini. Hasilnya adalah pencabutan konsesi yang diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem melalui Keputusan G.B. tanggal 24 Februari 1916 No. 2 tahun 1912. Direktorat Pemetaan S.S. diberi tugas untuk “merekam jalur yang dimulai dari Bandung atau Cikudapateuh dan menuju ke ibu kota distrik Banjaran dan Kopo”. Rancangan awal jalur tersebut disetujui oleh Kepala Insinyur saat itu, Kepala Pemetaan S.S., P. A. Roelofsen, pada tanggal 30 Oktober 1916.
Manfaat Ekonomi Jalur Bandung-Kopo
Lahan datar seluas lebih dari 500 km persegi di sekitar Bandung dipotong secara horizontal oleh jalur kereta api dan jalan raya besar. Bagian ini memisahkan antara selatan dan utara. Bagian selatan jalur-jalur ini merupakan bagian yang paling penting, terutama karena perkembangan budaya pertanian dan perkebunan dari daerah pegunungan. Produk pertaniannya antara lain: gula aren, singkong, kacang, tembakau, bawang, kentang dan sayuran. Selain itu menghasilkan juga padi yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat jika didistribusikan dengan baik.
Kota Bandung dan sekitarnya yang padat penduduk memberikan pasar yang luas bagi semua produk ini. Menghasilkan harga yang baik dan memberikan kesejahteraan bagi para produsen. Perkebunan Eropa berkontribusi besar terhadap kesejahteraan ini. Sekitar 35 tahun lalu (dari 1921) hanya ada beberapa perkebunan tahap awal saja namun kini semuanya telah berkembang dengan sangat pesat.
Jalur alami pengangkutan perkebunan ini menuju ke Bandung. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya eksploitasi kayu oleh pemerintah dalam kompleks hutan yang besar. Kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke Bandung dengan kereta dan dijual di sana. Jalur kereta ini bukan hanya diinginkan, tetapi dapat disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Lokasi Jalur Kereta
Jalur ini memilikik titik awal sementara di Kawasan Karees, Bandung. Jalur ini terhubung dengan jalur utama kereta melalui jalur kereta barang ke perhentian Kiaracondong. Dikarenakan kepadatan luar biasa di jalur utama yang sudah ada, tidak memungkinkan untuk memulai jalur ini dari stasiun utama Bandung.
Halte Karees (Buku)
Halte Soreang (Buku)
Dari Karees, jalur ini bergerak ke arah selatan menuju Buahbatu dan terus mengikuti jalan menuju Dayeuhkolot. Dengan adanya perhentian di Dayeuhkolot, di sana terdapat pusat listrik besar dan rumah bagi para personel jalur kereta api. Kawasan ini menjadi tempat inti permukiman.
Setelah perhentian Dayeuhkolot, jalur ini menyeberangi Sungai Citarum dengan jembatan berukuran 20 + 40 + 20 meter. Setelah jembatan, ada jalur yang sedang dibangun menuju Majalaya, yang juga akan terhubung dengan jalur Bandung-Kopo.
Sebelum perhentian Banjaran, ada jembatan darurat untuk menyeberangi Sungai Citalutuk. Perhentian Banjaran ini sangat strategis karena berada di depan pasar. Di sini tersedia ruang yang cukup untuk tempat penyimpanan kayu, penyimpanan minyak dan gudang untuk menyimpan produk-produk pertanian sebelum dikirim dengan kereta api.
Jembatan Citalutuk (Buku)
Jembatan Cisangkui (Buku)
Ada juga jembatan darurat untuk melewati Sungai Cisangkui yang terletak di belakang Banjaran dan Sungai Ciherang. Beberapa kilometer kemudian akhirnya mencapai titik akhir di Kopo, juga dikenal sebagai Soreang. Di perhentian ini juga tersedia ruang yang cukup untuk fasilitas serupa seperti disebutkan untuk perhentian Banjaran.
Data dan Informasi Jalur
Jalur Bandung-Kopo secara resmi disebut sebagai “Jalur Trem”. Namun, jalur ini dibangun sebagai jalur kereta api, artinya kekokohannya memungkinkan semua kereta dari jalur utama untuk melewatinya tanpa perlu memindahkan muatan. Layanan penumpang dioperasikan antara titik akhir Karees dan Soreang, sementara jalur penghubung Karees dan perhentian Kiaracondong di jalur utama digunakan untuk langsung mengirimkan kereta barang.
Perbedaan karakteristik antara jalur trem ini dengan jalur utama adalah bahwa jalur ini akan dilewati dengan kecepatan terbatas. Hal ini dikarenakan kontruksi atasan awalnya dibuat lebih ringan. Dibuat dengan rel No. 2 dengan berat 25-75 kg per meter. Ketika volume lalu lintas meningkat atau jika dilakukan elektrifikasi di masa mendatang, kontruksi atasannya yang ringan dapat digantikan dengan yang lebih kuat.
Pembuatan jembatan-jembatan dihitung berdasarkan standar beban tahun 1911 yang juga digunakan untuk jalur utama Cirebon-Kroya. Jalur trem ini panjangnya sekitar 26 km dari Karees hingga Soreang. Kemiringan maksimum adalah 10 derajat antara Bandung dan Banjaran, 25 derajat antara Banjaran dan Soreang. Kecepatan maksimum kereta api sementara ini tidak akan melebihi 30 km per jam. Sebanyak 235 ribu meter kubik tanah digali dan 5200 meter persegi dinding batu dibangun untuk konstruksi.
Pembangunan jalur Bandung-Kopo diperintahkan oleh undang-undang pada tanggal 1 Juni 1918. Beberapa kendalah menghambat pekerjaan di seluruh jalur secara bersamaan karena beberapa alasan. Rencana jalur Bandung-Buahbatu harus disesuaikan dengan rencana kereta api di Bandung yang saat itu tidak menentu. Bagian Banjaran-Soreang perlu diteliti lebih lanjut karena adanya rencana perpanjangan jalur ke Ciwidey. Kendala-kendala tersebut tentu saja menyebabkan keterlambatan dan baru pada akhir tahun 1919 pembangunan di seluruh jalur mulai berjalan lancar.
Pada saat pembangunan jalur ini, kesulitan yang sama terjadi seperti saat pelaksanaan pekerjaan penting di Bandung, yaitu kekurangan pekerja dan keterlambatan pengiriman material. Hal menariknya adalah bahwa penduduk lokal begitu sejahtera sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk bekerja dengan upah harian selama pembangunan. Sebagai solusi, banyak tenaga kerja diimpor dari luar, seperti dari Cirebon.
Kekurangan lokomotif dan kereta api yang terjadi selama perang juga memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan pasar dunia menyebabkan keterlambatan pengiriman rel dan jembatan. Bahkan sampai sekarang, ketika jalur ini sudah beroperasi, beberapa jembatan yang diperlukan masih belum dikirim dari Eropa. Meskipun harus menghadapi semua kesulitan itu, pembangunan berjalan dengan lancar. Dengan adanya koneksi rel ini, sebuah proyek pemerintah telah terwujud, proyek yang akan memiliki dampak positif dalam lingkup yang lebih luas.