Resensi Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan

IMG-20200422-WA0077

Buku ini ditulis oleh seorang seniman perempuan indonesia yang sangat aktif pada masanya. Tapi karya-karya dan karirnya hilangnya diredam begitu saja karena arus politik 65. Buku ini menceritakan keteguhan dan petualangannya sebagai seorang perempuan dan seorang ibu yang harus bertahan hidup dari satu kamp tapol ke kamp lainnya. Beliau adalah ibu Mia Bustam atau orang-orang selain anaknya memanggil dia dengan Zus Mia. FYI bu Mia ini adalah nenek dari seniman grafis plus vokalis band Seringai, yaitu Arian Arifin.

Nah, di buku ini Bu Mia mengupas kehidupan pribadinya dari awal “Gegeran 65” dengan segala dinamika sosialnya hingga akhirnya ia ditahan selama 13 tahun di beberapa penjara tanpa pengadilan. Baca buku ini itu seolah kita adalah seorang cucu, lagi duduk di ruang tamu sambil dengerin neneknya cerita kemudian sambil cerita datang tamu dan diperkenalkan seadanya saja sambil orangnya masuk. Maksudnya kita dibuat merasa nyaman kayak didongengin nenek sendiri, tapi dalam setiap penambahan tokoh yg diceritain, nenek gak bertele-tele jelasin tokoh2nya dan bisa lanjutin lagi ceritanya. Seolah kita memang udah kenal sama orang-orang itu.

Semakin lama kita baca buku ini, kita semakin sadar bahwa buku ini bukan cuma sekedar catatan perjalanan hidup selama 13 tahun berpindah-pindah penjara. Tapi beliau mengajak kita untuk melihat kehidupan masa itu dengan jelas. Ada penindasan, penderitaan, tapi ada juga perlawanan, kesetiakawanan, dan belas kasihan. Kita mungkin terbiasa memandang kehidupan sosial era 65-75 itu secara dikotomis, seolah hanya ada 2 mazhab yg harus diikuti. Mazhab versi orba dimana ada sekelompok orang-orang kiri yang mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah. Atau versi reformasi dimana saat itu tentara dan ormas yang lebih tentara dari tentara dengan semena-mena menuduh, menindas dan menghabisi orang-orang  yang dianggap subversif. Atau sederhananya mazhab Tentara Biadab atau Kiri Pengkhianat.

Tapi sebagai orang yang mengalami langsung, Bu Mia mengajarkan kita kalau tidak ada manusia jahat atau manusia baik. Yang ada ya manusia. Kadang bisa berbuat jahat kadang bisa berbuat baik. Tentara zaman orba yang kita terbiasa mengeneralisir dengan kebrutalannya, ternyata buanyak sekali yang dengan sengaja membiarkan para tahanan perempuan masak sendiri dan membagikannya ke tahanan laki-laki. Padahal itu adalah hal yang terlarang saat itu, tapi tentara penjaga pura-pura tidak tahu.

Selain itu juga tentang kehidupan di penjara yang tidak melulu merana. Ada hiburan-hiburan yang sengaja diciptakan oleh mereka dalam rangka hari-hari besar keagamaan atau sekedar pengen hiburan aja. Main ketoprak, gamelan, melukis, belajar bahasa, dll. Khusus mengenai hari besar keagamaan, penjara mereka seolah Indonesia kecil yang mengajarkan banyak ilmu mengenai keragaman. Bagi umat muslim yang tentu tidak bisa merayakan idul fitri bersama keluarga tak perlu merasa kesepian, sudah antri umat non muslim yang dengan hangat menyalami dan merangkul mereka sepulang shalat ied, begitupun sebaliknya. Hanya ada 1 kepercayaan universal, yaitu kemanusiaan.

IMG-20200422-WA0079

Potret Mia Bustam yang tersemat dalam buku kamp ke kamp

Oh iya, Bu Mia ini ditangkap karena menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga seni yang terafiliasi dengan PKI. Saat itu beliau bergabung dengan Lekra Yogyakarta karena disitulah tempat seniman-seniman banyak berkumpul. Baginya, Lekra adalah jalan untuk bergaul dengan para seniman dan menambah pengetahuan mengenai seni dan sastra, tanpa perduli afiliasi politik. Yang menarik, saat terjadi peristiwa 65 atau orang jawa menyebutnya Gegeran 65, stigmatisasi dan berita-berita bohong itu masif banget digembar-gemborkan dimana-mana tanpa bisa diluruskan. Berita bohong itu kadang awalnya hanya melenceng sedikit dari kebenaran, tapi semakin dia menyebar, kebohongan itu makin liar dan jauh dari kebenaran. Dan pada akhirnya, semuanya memaklumi dan seolah jadi “normal yang baru” bagi semuanya, mirip banget sama kehidupan sosial media kita hari ini. Yang di-bully makin males klarifikasi, yang nyinyir makin menggila.

Sebagai seorang perempuan sekaligus ibu, melalui buku ini Bu Mia mengajarkan keteguhan hati seorang ibu. Walaupun ia dipenjara, anaknya pun sama, tapi ia tetap tegar menghidupi harapan. Harapan dimana keluarga kecilnya akan berkumpul kembali seperti sedia kala. Hanya hal itu lah yang bisa membuatnya waras selama ditahan dan bisa menguatkan para tahanan lain. Ia mengajarkan, cara bertahan hidup terbaik adalah dengan mencintai kehidupan itu sendiri. Ketika Bu Mia bertemu dengan salah seorang anaknya yang kembali dari pengasingan di Pulau Buru setelah belasan tahun terpisah, ia berikan senyuman hangat. Tidak ada peluk cium dan isak tangis. Ia jabat tangan anaknya itu layaknya 2 sahabat yang sudah lama tak bertemu. Dengan mantap ia berkata pada anaknya, “C’est la vie”. Inilah hidup.

Penceritaan latar di buku ini detail banget. Setiap nama orang beserta penokohan dan bentuk fisiknya, dari jalan anu belok kanan ke jalan anu, ruangan A di sebelah mananya ruangan B, benda X disimpan di bagian Y dari ruangan Z, sampai gimana aja orang yang ada di kerumunan bisa dideskripsikan jelaaaaas banget. Kita berasa masuk ke mesin waktu dan merasakan kejadiannya langsung. Saking detailnya, buku ini menggerakkan saya. Pas ada kesempetan ke Jogja, saya sengaja nyewa motor dan ngeluangin 1 hari full hanya untuk mencoba merasakan gimana sih perjalanan Bu Mia waktu diangkut dari daerah kontrakannya di Tunjang, terus diangkut ke Penjara Wirogunan dan keluar ke arah Semarang menuju LP Bulu. Dan itu luar biasa ternyata rasanya ketika detail yang diceritakan sama seperti apa yang kita rasakan.

Cerita yang mirip dengan pengalaman Bu Mia ini, bisa dinikmati dalam bentuk musikal juga loh. Ada sebuah kelompok musik yang bernama Dialita yang ternyata beberapa diantaranya merupakan kawan Bu Mia selama di penjara. Mereka membawakan lagu-lagu yang mereka ciptakan dipenjara dan direkam hanya lewat ingatan mereka karena pensil dan kertas adalah benda terlarang di penjara. Pedihnya kehidupan disana bisa temen-temen rasakan melalui lagu mereka.

Saya tutup resensi saya dengan lirik lagu Dialita yang judulnya UJIAN

Dari balik jeruji besi

Hatiku diuji

Apa aku emas sejati atau Imitasi

Tiap kita menepa diri

Jadi kadar teladan

Yang tahan angin tahan hujan

Tahan musim dan badai

 

Meskipun kini hujan deras menimpa bumi

Penuh derita

Topan badai memecah ombak

Gugur patria tembok tinggi memisah kita

Namun yakin dan pasti

Masa depan kan datang

Kita pasti kembali

Diresensi oleh Irfan Dary (@irfandary) dalam kelas literasi pekan ke-169 Komunitas Aleut bertajuk “Yuk Resensi Buku yang Terakhir Kamu Baca”. Baca juga artikel lainnya mengenai kelas literasi 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s