Asap knalpot menyembur ke muka. Hitam pekat, bau, perih di mata. Sialnya waktu itu saya memakai helm tanpa kaca. Jadi bisa dibayangkan asap tersebut langsung menyerempet pori-pori kulit di muka. Ini lebih buruk dari bau kentut. Alasan inilah yang membuat saya tidak menyukai jalan Citatah, Padalarang. Continue reading
Agenda Momotoran Komunitas Aleut kali ini diadakan H+1 hari raya Idul Fitri. Bandung-Bantul jadi tujuannya. Bagi saya yang tidak mempunyai kampung halaman nan jauh, ini jadi kesempatan untuk merasakan bagaimana perjalanan mudik menggunakan sepeda motor. Continue reading
Karena malam semakin gelap, seperempat panjang pantai hampir tak kelihatan. Tetapi sejauh kami masih bisa kenali benda, tampak empat badan gelap, gemuk merayap di atas pantai. Bunyi gemercakpun tak sampai ke telinga kecuali deruan sayup-sayup redam empasan laut. Tiba-tiba terdengar cipatran air di bawah tempat kami: sebuah
sosok yang bentuknya lebih panjang dan rayapannya jauh lebih pandai daripada penyu.
Dalam abad ke-19, Junghuhn menjalajahi Pulau Jawa dan sebagian Sumatera. Sesuai kebiasaan ilmuwan, ia mencatat secara detail jenis tumbuhan, gunung, tanah, batu-batuan yang ia jumpai selama penjelajahannya. Bahkan, dengan liris ia menjelaskan perawakan sebuah pohon atau keadaan hutan. Kata “schoon” yang pada dasarnya
berarti: indah atau bagus, dipakai berulang kali. Tulisannya memperlihatkan kecintaanya, kegagumannya terhadap seluruh alam, khususnya alam Pulau Jawa. Meski catatannya dalam bahasa Belanda jaman dulu, tulisannya membuat kita, si pembaca, ikut melihat, mengalami apa yang ia lihat. Seolah kita ada di sampingnya di dalam hutan, di lereng gunung, di alam liar satu setengah abad lalu ketika Pulau Jawa masih penuh hutan dan binatang liar.
Dalam tahun 1902 terbit sebuah buku berisi kumpulan tulisan tentang Hindia Belanda berjudul: Oost-Indisch landjuweel, ditulis oleh orang Belanda, diedit oleh S. Kalff. Salah satu cerita diberi judul: Avond aan het zuiderzeestrand van Java = Senja di pantai laut selatan Pulau Jawa, yang merupakan pengalaman Junghuhn. Ketika buku itu terbit Junghuhn sendiri sudah lama meninggal, kira-kira 38 tahun sebelumnya. Agaknya S.Kalff mencuplik sebagian kecil dari karya Junghuhn yang terkenal: Licht- en Schaduwbeelden uit de binnenlanden van Java (1854) berisi pandangan filosofisnya dengan latar-belakang penjelajahannya di Pulau Jawa.
Di bawah ini terjemahan bebas dari Avond aan het zuiderzeestrand van Java. yang dimuat pada halaman 108-111 dari Oost-Indisch landjuweel. Buku ini sudah digitalisasi oleh Google. Di bagian awal digital copy-nya Google menerangkan bahwa buku tersebut sudah di domain umum (untuk USA). Boleh dikopi, diperbanyak namun diharap tak diperdagangkan. Untuk Indonesia berlaku Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pelindungan hak cipta berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Kalau Pencipta lebih dari satu orang maka pelindungan berlaku sampai 70 tahun setelah Pencipata terakhir meninggal dunia. Junghuhn meninggal 1864. Sehingga boleh dianggap untuk Indonesia artikel ini di domain umum. S. Kalff, meninggal 1932, ia bukan Pencipta tetapi editor. Tetapi kiranya dialah yang memberikan judul yang romantis: Avond aan het zuiderzeestrand van Java = Senja di pantai laut selatan Pulau Jawa. Siapa tak tertarik pada judul ini? Apalagi kalau lahir, besar dan tinggal di Pulau Jawa atau yang pernah menikmati keindahan pantai selatan Pulau Jawa.
Tahun 2013. Sebuah berita di surat kabar memaparkan adanya suatu perkampungan di Selatan Kota Bandung, yang menjadi habitat berbagai burung air. Blekok, kuntul sawah, kuntul kerbau dan sebagainya. Sudah tentu saya penasaran, maka saya pun menyempatkan untuk berkunjung dan melihat wujud fisiknya.
Kampung Rancabayawak, begitulah nama kampung yang terletak di wilayah Cisaranten Kidul, Gedebage.Yang pertama kali saya lihat adalah sebuah perkampungan kecil, dikelilingi sawah, dengan sejumlah rumpun bambu setinggi bangunan tiga lantai. Di rumpun bambu itulah, berbagai jenis burung berukuran sekitar satu meter membangun sarang, menjalin kasih, membesarkan anak, bercengkrama, dan melepas lelah. Suasananya cukup ramai, apalagi saat senja, ketika burung-burung yang mencari makan dari suatu tempat nun jauh di sana kembali ke sarang.
Sejujurnya, sebagai orang kota, saya takjub melihat suasana yang saya pikir hanya bisa disaksikan di kebun binatang. Saya pun mengulang kunjungan tersebut tahun 2015, dan suasana tersebut hampir tidak berubah, kecuali sawah yang saat itu sedang mengering.
24 Juni 2018, di Minggu yang mendung kelabu, saya mengulangi kunjungan tersebut. Kali ini tidak sendiri, tapi bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut. Hanya perlu sekitar 15 menit untuk mencapai Kampung Rancabayawak dari Pasir Jaya, lokasi sekretariat Komunitas Aleut. Sepanjang perjalanan, terhampar pemandangan yang cukup membuat resah. Sawah-sawah dikeringkan, perkampungan warga mulai hilang, semua dilakukan untuk sebuah ambisi besar pengembangan wilayah teknopolis. Kami tiba di Kampung Rancabayawak. Rombongan pun parkir di dekat pendopo, yang tiga tahun lalu belum berdiri. Di sekeliling kampung, lahan-lahan telah dikeruk untuk pembangunan perumahan mewah. Bahkan sawah hijau yang berada di dekat rumpun bambu tempat blekok bersarang telah dibentengi tembok beton.
Blekok, kuntul dan burung-burung lainnya sedang arisan / Foto Aquinaldo