Month: July 2017

#InfoAleut: Kelas Literasi dan Ngaleut “Atheis”

Kelas Literasi di hari Sabtu ini berjudul “Atheis”, yang merupakan sebuah roman fiksi karya Achdiat K. Mihardja pada tahun 1949. Buku ini sempat fenomenal di masanya dan mengambil setting di Kota Bandung.

Dalam Kelas Literasi yang telah memasuki pekan ke-103, kita akan membahas buku ini sekaligus mengenal lebih dekat siapa sosok Achdiat K. Mihardja. Jika tertarik, langsung saja konfirmasi ke nomor yang tertera di poster dan kumpul di @kedaipreanger pukul 13.45 WIB

Oh iya, dengan ikut Kelas Literasi ini kawan-kawan jadi akan punya bekal lebih untuk Ngaleut keesokan harinya karena…

…yes, di hari Minggu kita bakalan Ngaleut Atheis. Jadi kalau di Kelas Literasi kita membahas isi buku dan sosok penulisnya, di hari Minggu kita bakalan jalan-jalan menyusuri beberapa lokasi yang disebut di dalam roman fiksi ini

Sekiranya kawan-kawan tertarik ikutan, langsung saja konfirmasi ke nomor yang tertera di poster dan kumpul di sisi timur Alun-alun Bandung pukul 07.30 WIB.

Ayo ikut Kelas Literasi dan Ngaleut-nya sekaligus supaya lebih afdol 😁

Skandal Korupsi Pejabat Agama di Wilayah Bandung

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Pada 1910, Surat Kabar Mingguan (SKM) Medan Prijaji telah memasuki tahun penerbitan yang keempat. Sejumlah perubahan dilakukan. Di antaranya pergantian Redaktur Biro Perwakilan Priangan yang sebelumnya dijabat R. Djojo Sepoetro (pensiunan Demang Mester Cornelis) digantikan oleh Raden Ngabehi Tjitro Adhi Winoto. Nama terakhir sebelumnya bekerja sebagai Kepala Redaktur “Pewarta Hindia”.

Biro Perwakilan Priangan ini beralamat di kantor N.V. Medan Prijaji yang terletak di Alun-Alun Bandung, menempati gedung bekas kantor kadaster. Sedangkan yang bertindak sebagai Kepala Redaktur S.K.M. Medan Prijaji saat itu adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo yang berkantor di Bogor. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam S.K.M. Medan Prijaji ini diumumkan dalam edisi No.1 tahun keempat yang diterbitkan pada tanggal 8 Januari 1910.

Medan Prijaji adalah salah satu surat kabar penting dalam sejarah Indonesia. Diinisiasi oleh Tirto, Medan Prijaji dengan lekas menjadi surat kabar terkemuka karena terhitung berani menyuarakan kepentingan publik di hadapan struktur birokrasi kolonial Hindia Belanda. Tirto menjadikan Medan Prijaji sebagai pengawal kepentingan publik dan tak segan-segan menghantam aparat birokrasi.

Aksi-aksi pembelaan lewat media yang telah dilakukan Tirto itu merupakan wujud jurnalisme advokasi, dan Tirto adalah orang Indonesia pertama yang melakukannya, bahkan sejak ia masih bekerja untuk Pembrita Betawi pada kurun 1901 hingga 1903. Tirto juga orang Indonesia pertama yang memiliki dan menerbitkan media sendiri, yakni Soenda Berita, selepas undur diri dari Pembrita Betawi. Setelah Soenda Berita, Tirto menggagas penerbitan Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan pada 1907.

Dua koran inilah yang lantas menegaskan pilihan jurnalistik Tirto, yakni memberikan pembelaan warga lewat tulisan, dan jika diperlukan disediakan pula bantuan hukum untuk korban penindasan, tidak hanya oleh pemerintah kolonial tapi juga golongan penindas lainnya. Ruang pengaduan pembaca bahkan menjadi salah satu kekuatan utama Medan Prijaji.

Tidak hanya menghajar pejabat-pejabat Eropa, Medan Prijaji juga tidak segan mengkritik pejabat-pejabat bumiputera. Salah satunya, namun relatif jarang dibicarakan, adalah soal dugaan korupsi dana kas Masjid Raya Bandung. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi “Adam Malik”, Ngaleut Saumur Jagong, dan Ngaleut Walahir

Dalam rangka memperingati hari lahir Adam Malik yang jatuh tepat di tanggal 22 Juli, Kelas Literasi pekan ini akan membahas tentang profil, kisah dan kiprah Adam Malik. Tidak dipungut biaya alias gratisss! Siapapun boleh ikut.

Nah, di hari Minggunya Komunitas Aleut akan mengadakan dua ngaleut dalam waktu yang bersamaan, yaitu ngaleut kota dan ngaleut alam (momotoran).

Bagi kalian yang menyukai sejarah kota Bandung, kali ini kita akan menyusuri jejak Sjarif Amin dalam memoar “Saumur Jagong”. Memoar ini berkisah tentang masa pendudukan Jepang di Bandung.

Tempat mana saja yang diceritakan dalam buku tersebut? Apa saja yang diceritakannya? Yuk gabung pada ngaleut hari Minggu, 23 Juli. Daftarkan nama kalian pada cp yang tertera di poster.

Sedangkan untuk ngaleut alamnya akan ada Ngaleut Walahir. Bagi yang tertarik dengan ngaleut ini silakan kontak ke cp yang ada di poster.

Sebagai antisipasi di kala hujan, jangan lupa membawa jas hujan dan bagi yang membawa motor jangan lupa membawa helm cadangan untuk boncenger.

Sampai jumpa hari Minggu.

Mang Karta dan Kegagalan Negara Pasundan Jilid Pertama

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Tarik menarik kepentingan antara Republik Indonesia dan Belanda di sekitar revolusi kemerdekaan sempat melahirkan beberapa negara “boneka”. Dengan kekuatan modalnya, Belanda mencoba menggembosi kekuatan Republik Indonesia yang baru lahir.

Di Jawa Barat, pada April 1948 lahir Negara Pasundan. Negara ini sejatinya adalah percobaan kedua Belanda setelah Negara Pasundan jilid 1 yang didirikan oleh Partai Rakyat Pasundan pada 1947 gagal. Kedua negara yang pembentukannya didukung oleh Belanda ini berusia pendek, seiring dengan perkembangan diplomasi, perang, dan sikap rakyat Pasundan yang mayoritas menolak negara tersebut.

Berbagai peristiwa politik dan konflik fisik yang membuat Republik Indonesia menjadi lemah, kemudian mendorong lahirnya Negara Pasundan. Jadi penting juga digarisbawahi kemunculan dua jilid Negara Pasundan ini, termasuk negara-negara yang lain di deaerah lain Indonesia, tidak melulu hanya karena disponsori atau diongkosi Belanda. Ada dinamika internal, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memperumit persoalan.

Di Jawa Barat, menurut catatan Lindayanti dalam “Negara Pasundan Tahun 1947: Uji Coba Ide Politik Federal di Jawa Barat” (Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia), terjadi beberapa pergolakan rakyat yang bersifat kedaerahan, di antaranya terjadi di Banten, Karawang, Tangerang, dan Cirebon. Umumnya mereka menentang pejabat pemerintah yang berasal dari luar daerahnya sendiri. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi “Resensi Buku” dan Ngaleut Keur Kuring di Bandung

Kalau minggu kemarin Kelas Literasi membahas tentang cerita perjalanan, pekan ke-101 ini Kelas Literasi akan mengangkat tema Resensi Buku. Peserta Kelas Literasi akan bercerita tentang buku yang dibaca masing-masing.

Jangan takut tidak bisa ikut jika belum selesai membaca buku atau bahkan tidak membaca satu buku pun karena teman-teman bisa tetap datang dan ikut menyimak sambil berdiskusi. Teman-teman juga bisa meminjam buku-buku yang tersedia di Pustaka Preanger. So, langsung saja datang ke Kedai Preanger hari Sabtu pukul 13.45.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan kontak ke nomor yang tertera di poster. Ditunggu ya ^^)

Di hari Minggunya, kita akan “Ngaleut Keur Kuring di Bandung”.

Bandung menyimpan kenangan bagi banyak orang, namun tak semua menuangkannya ke dalam sebuah buku. Sjarif Amin adalah salah satunya, melalui sebuah memoar berjudul “Keur Kuring di Bandung”. Buku ini menceritakan pengalaman masa kecilnya di Bandung hingga saat Belanda menyerah kepada Jepang.

Untuk mengetahui lebih detail cerita soal Bandung tempo dulu di mata Sjarif Amin sambil melihat langsung perubahan apa saja yang terjadi di Bandung dalam tempo puluhan tahun setelahnya, mari gabung di “Ngaleut Keur Kuring di Bandung” hari Minggu besok. Kita bakalan menyusuri beberapa titik yang Sjarif Amin ceritakan di dalam bukunya.

Konfirmasi kesertaan dan informasi lainnya bisa langsung hubungi nomor yang tertera di poster atau via LINE @FLF1345R ya.

Ayo gabung 😀

Cumbulah Kotamu Meski Hanya Sebentar!

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Indonesia-Jakarta-Mangga-Besar-Perumahan-di-atas-kali-2-6-1200-2R

Apa asyiknya jalan-jalan di kota sendiri?

Pertanyaan itu muncul dari mulut seorang teman lama saat kami bertemu beberapa hari lalu. Tentu, dia, teman saya itu, melontarkan pertanyaan tersebut bukan tanpa sebab.

Jalan-jalan yang kerap kali saya lakukan akhir-akhir ini menjadi alasan timbulnya pertanyaan teman saya tadi. Jalan-jalan yang saya maksud adalah jalan-jalan menyusuri Kota Bandung. Kadang bersama kawan-kawan satu komunitas, tapi tak jarang juga saya melakukannya sendiri.

Dalam jalan-jalan itu, sesekali saya memostingnya di Instagram. Sebagai manusia milenial yang enggak mau ketinggalan zaman hal ini menjadi sangat penting. Bukan apa-apa, ini perihal eksistensi. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-100 dan Ngaleut Orang-orang Pasar

Selamat malam! Besok #KelasLiterasi Komunitas Aleut akan masuk pekan ke-100 dan akan mengangkat tema “Berbagi Pengalaman #Ngaleut#Momotoran“.

Para pegiat yang pernah mengikuti Ngaleut Momotoran akan berbagi pengalaman pribadinya kepada para peserta. Nah, Kelas Literasi pekan ini cocok banget buat kawan-kawan yang pengen tau atau masih penasaran sama apa itu #momotoran Komunitas Aleut dan cerita seru apa saja yang terjadi.

Langsung aja besok merapat ke @kedaipreanger pukul 14.00 WIB. Untuk konfirmasi dan informasi lebih lanjut bisa kontak nomor yang tertera di poster ya.

Sedangkan di hari Minggu kita akan #Ngaleut Orang-orang Pasar. Bagi kawan-kawan yang akrab dengan lingkungan sekitar Pasar Baru, pasti tau nama-nama jalan seperti Tamim, Ence Azis, Dulatip, dll.

Nah, di Ngaleut ini kita akan mengenal lebih dekat sosok-sosok yang namanya diabadikan sebagai nama jalan ini, seperti hal-ihwal asal muasal dan kiprahnya.

Sekiranya kawan-kawan tertarik bergabung, konfirmasikan dirimu ke nomor yang tertera di poster dan kumpul di depan BRI Tower (Jl. Asia-Afrika) pukul 07.26 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman supaya bisa makin enjoy saat Ngaleut nanti.

Sampai jumpa di hari Sabtu dan Minggu. Ajak juga kawan-kawan atau orang terkasihmu ya.

Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda. Kita bisa menemukan maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa Barat, seperti Cimaung dan Cimacan yang bisa ditemukan di beberapa daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll), lambang Kodam Siliwangi, sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa Barat dan Sunda yang dijuluki Maung Bandung.

Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda.

Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan: Continue reading

Mencari Pusat Pemerintahan Ukur

Oleh: Hevi Fauzan (@bandungtraveler)

Tafsiran atas masa lalu dan pemahaman masyarakat tentang tentang sejarah serta ingatan kolektif menciptakan identitas kolektif masyarakat tersebut.” (Reza A.A Wattimena)

Minggu 19 Maret 2017, setelah mengunjungi Gunung Lumbung, pada di hari Minggu sebelumnya, kali ini Komunitas Aleut mengunjungi tempat yang pernah menjadi ibu kota Tatar Ukur, Pabuntelan. Daerah yang letaknya tidak jauh dari Kota Ciparay, sebuah kota di sebelah selatan kota Bandung tersebut adalah bekas ibu kota Tatar Ukur. Daerah tersebut kemudian ditinggalkan oleh Dipati Ukur dan pengikutnya, setelah mereka gagal merebut Kota Batavia dan memutuskan untuk memberontak dari Mataram.

Tempat baru yang dituju oleh pasukan dan pengikut Dipati Ukur adalah Gunung Lumbung. Gunung ini berada di dekat Cililin sekarang. Di gunung tersebut, Dipati Ukur kemudian menyerah kepada pihak Mataram yang menyerbu dengan menggunakan pemimpin dan pasukan dari wilayah Sunda sebelah timur.

Nama Pabuntelan secara administratif, memang telah hilang. Daerah itu sekarang telah berganti nama menjadi Desa Mekarjaya dan Mekarsari. Walaupun telah hilang di peta atau dokumen-dokumen resmi saat ini, nama Pabuntelan masih melekat di kalangan orang-orang yang mendalami tirakat. Menurut penduduk setempat, banyak sekali orang yang mengunjungi darah Pabuntelan saat ini, baik untuk ziarah, maupun bertapa.

“Nama Pabuntelan telah lama hilang. Tapi, para peziarah yang berasal dari Cirebon, Mataram, dan banyak tempat lainnya di Jawa, masih menyebut tempat ini dengan nama Pabuntelan,” ujar Komar, seorang penduduk setempat yang bisa kami temui di sana. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑