Month: August 2016 (Page 1 of 2)

Nurul Yang Mandiri, Nurul Yang (tidak) Sendiri

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

IMG-20160724-WA0002

Saya melihat sosok perempuan itu di Minggu pagi dengan kamera yang menggantung di lehernya. Asumsi saya terhadap perempuan tersebut ketika pertama kali melihatnya adalah dia seorang penyuka photografi, juga seseorang yang narsis. Mungkin saja di memori kameranya terdapat ratusan photo dirinya dengan berbagai macam gaya, pikir saya.

Nurul Fatimah. Teman-teman memanggilnya Nurul. Belakangan saya tahu namanya saat dia mulai mempromosikan dirinya ketika sesi perkenalan pagi itu. Ya, pagi itu, saya seperti biasa ikut kegiatan dari Komunitas Aleut. Komunitas apresiasi sejarah yang salah satu kegiatan di setiap paginya mempunyai aktifitas berjalan beriringan menyusuri sudut-sudut Kota Bandung.

Pertemuan saya dengan Nurul ternyata tidak hanya berhenti sampai hari itu. Saya mulai sering berjumpa dengannya dalam kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut, seperti acara Kamisan ala Aleut. Acara Kamisan ini yaitu diskusi ringan antar sesama anggota yang diadakan di sekretariat Komunitas Aleut, di jalan Solontongan 20-D. Biasanya dimulai ba’da Maghrib. Di pertemuan-pertemuan selanjutnya itulah saya mulai tahu bahwa dia berasal dari Bantul yang bekerja di sini, di Bandung. Kami mulai sering ngobrol, sekedar sharing atau bercanda dengan teman-teman lain.

Satu hal yang sedikit bikin saya kaget adalah ketika dia bilang kalau dia di Bandung ini hanya sendiri. Tadinya saya pikir dia mempunyai saudara di sini. Tapi nyatanya, dia sendiri. Sebatang kara, seperti si hachi. Hehehe… Continue reading

Mang Irfan

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

IMG_8754_cil

Raut wajahnya serius. Sorot mata di balik kacamata yang ia kenakan seringkali terlihat sinis. Cara ia berjalan tak ubahnya seorang jagoan yang baru memenangkan pertarungan. Bagi mereka yang tidak mengenalnya, sosok lelaki ini akan mengingatkan mereka pada tatib di masa ospek SMA atau kuliah.

Semua impresi itu buyar jika lelaki ini sudah mulai diajak ngobrol. Terkadang ia bisa tertawa lepas atau membuat anda tertawa dengan banyolannya yang seringkali jayus. Ia juga begitu fasih jika sudah diajak berdiskusi soal buku, terutama buku-buku sastra.

***

Nama lengkapnya Irfan Teguh Pribadi, namun saya memanggilnya dengan nama Mang Irfan. Bukan tanpa alasan saya memanggilnya dengan sebutan “mang” di depannya: ia lebih tua 9 tahun dibanding saya! Continue reading

Stasiun (Barat) Bandung

Oleh: Frans Ari Prasetyo

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung Pintu Selatan (Foto oleh Frans Ari Prasetyo 25 Feb 2016)

Stasiun Bandung memiliki cerita panjang terkait sejarah transportasi, heritage, hingga mobilitas dan kehidupan warga di sekitarnya sejak era kolonial hingga sekarang ini. Stasiun Bandung sejak awal diresmikan 17 Mei 1884 lalu mengalami perluasan pada tahun 1909 melalui kerja arsitek  bernama FJA Cousin. Pada awalnya, Stasiun Bandung ini hanya memiliki satu pintu masuk yang kita kenal sekarang sebagai Stasiun Bandung Pintu Selatan dengan desain arsitektur bergaya artdeco, sedangkan Pintu Bagian Utara baru terbagun pada tahun 1990 yang lokasinya berada di jalan Kebon Kawung dengan desain arsitektur modern.

Kedua sisi ini dapat kita bedakan jelas dari segi arsitektural, dan berdasarkan kelas sosial peruntukannya. Pada kedua pintu bagian selatan dan utara tertera angka +709m yang artinya merupakan representasi dari ketinggian kota Bandung yang pada posisi di Stasiun Bandung berada pada ketinggian +709m di atas permukaan laut. Angka ini juga menunjukan bahwa (Stasiun) Bandung berada di dataran tinggi atau pegunungan.  Menurut SHP No.6/1988 dan Perda Kota Bandung No.14/2007 kondisi sekarang  stasiun bandung, area Stasiun Utara  berada di Kelurahan Pasirkaliki-Kecamatan Cicendo dan Stasiun Selatan, sebagian masuk kelurahan Kebon Jeruk – Kecamatan Andir.

Pintu stasiun bagian selatan diperuntukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dibuktikan dengan loket tiket dan jalur kereta yang berada di area selatan diperuntukan untuk kereta ekonomi yang mayoritas melayani rute ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan rute-rute pendek di sekitar kota dan kabupaten Bandung, seperti Cicalengka dan Rancaekek. Sedangkan pintu bagian utara diperuntukan untuk masyarakat ekonomi kelas menengah keatas yang terbukti dengan tersedianya loket tiket dan jalur kereta untuk kereta kelas bisnis dan eksekutif yang melayani rute ke Jakarta. Walaupun terdapat juga rute ke Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya saja kereta dengan kelas bisnis dan eksekutif. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan ke-57 dan Ngaleut Tjikembang

Selamat hari berakhir pekan, Aleutians! Seperti yang sudah-sudah, di hari ini kami akan bagikan dua info kegiatan mingguan Aleut yang warbyasak serunya 😀

WhatsApp Image 2016-08-26 at 8.14.01 AM

Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi pekan ke-57. Di hari Sabtu ini, Kelas Literasi memiliki tema “Mencatat Perjalanan”, jadi kita akan bersama-sama meresensi buku yang berkaitan dengan perjalanan,. Kalau teman-teman punya buku yang dimaksud dan tertarik gabung, langsung saja merapat ke Taman Lansia Bandung mulai pukul 13.00 WIB. Kalau ga punya buku tapi pengen ikut meresensi, bisa juga kontak 0896-8095-4394/LINE @FLF1345R untuk minjem koleksi dari Pustaka Preanger, atau Aleutians juga bisa buat hadir untuk menyimak dan berdiskusi kok 🙂

WhatsApp Image 2016-08-26 at 8.14.01 AM

Sedangkan di hari Minggu pagi kita akan “Ngaleut Tjikembang”. Di Ngaleut kali ini, kita akan momotoran ke wilayah selatan Bandung untuk menelusuri jejak kina di daerah Cikembang. Selain itu, kita juga akan mampir ke hulu Ci Tarum di Cisanti. Seru yes? 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di KedaiPreanger (Jl. Solontongan No. 20D) pukul 07.00 WIB. Jangan lupa cantumkan juga keterangan bermotor atau tidak saat konfirmasi, dan siapkan uang untuk masuk ke Cisanti.

Ayo ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini semakin seru. Sampai jumpa 🙂

Revisi dalam Buku “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” Edisi Pertama

Oleh: Tegar Sukma A. Bestari (@teg_art)

DSCF4736.JPG

Buku BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA edisi revisi adalah buku biografi pertama yang saya miliki. Buku yang memang memperkenalkan saya pada sosok Soekarno, tentu saja dari sisi Cindy Adams yang mewawancarai Soekarno dalam pembuatannya. Saya sulit menilai apakah buku biografi ini seimbang dalam penyampaian informasinya, karena mengenal Soekarno tentu tidak bisa hanya dari buku ini saja melainkan harus membaca buku lainnya seperti buku dengan judul “Kuantar ke Gerbang”, buku-buku yang ditulis oleh Soe Hok Gie dan buku-buku lain.

Buku biografi Soekarno ini diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Inggris dengan judul “SUKARNO: AN AUTOBIOGRAPHY” pada tahun 1965, lalu pertama kali diterjemahkan oleh Major Abdul Bar Salim dan diterbitkan pada tahun 1966 dengan judul “BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA”.

DSCF4733.JPG

Yang menjadi perhatian utama saya terhadap buku BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA ini adalah terdapat tulisan EDISI REVISI *2007* pada cover bukunya, maka jelas ada perbaikan terhadap buku ini. Pemikiran awal saya permasalahan revisi ini hanya terdapat pada ejaan yang disesuaikan saja, dan itu bukan permasalahan mendasar tentu saja.

Setelah saya mulai membaca, halaman awal pada buku ini terdapat kata sambutan dari Ketua Umum Yayasan Bung Karno yaitu Guruh Sukarno Putra. Dalam sambutan inilah terkuak permasalahan sangat penting yang tertulis dalam buku BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA edisi pertama tahun 1966. Salain adanya kesalahan dalam penerjemahan juga ada alinea tambahan yang tidak ada dalam versi berbahasa inggris, dan yang fatal adalah alinea tambahan ini menggambarkan Soekarno yang mendiskriditkan peran Hatta dan Sjahrir. Konon permasalahan 2 alinea tambahan ini  sempat memanaskan kedua keluarga proklamator. Continue reading

Dilema Si Pemain Rana

Oleh: Nurul Fatimah (@fatnurulll)

Baterai sudah full charged. Memori card sudah diformat. Setengah tujuh masih dua menit lagi. Tapi di luar, motor sudah menderu. Siap dikebut sepagi itu.

Kami bertemu di Solontongan. Di sebuah kedai di ujung pertigaan. Sudah sekian orang duduk berbincang sambil menunggu yang lain datang. Pagi itu, setelah sehari sebelumnya Bandung diguyur hujan, kami akan melancong ke Padalarang.

Dan…Inilah ngaleut. Bersama 20 motor, kami menuju Sanghyang Heuleut.

Kau perlu tau, kawan. Banyak hal yang perlu disiapkan sebelum memutuskan datang. Berpakaianlah senyaman mungkin. Nyaman untuk mendaki. Nyaman untuk menerjang arus. Nyaman untuk merangkak. Bersiaplah untuk terjembab, terjatuh, terpeleset. Setidaknya kau harus ikhlas untuk lecet.

Gemuruh arus sungai Citarum lah yang pertama menyapa. Mata ini bahagia. Sungguh. Melihat sungai dengan debit yang deras, dengan bibir sungai yang masih berbatu cadas. Kamipun mulai menapak lebih jauh. Masuk ke kawasan rerimbunan pohon dan semak. Jalan tanah yang semalaman terguyur hujan. Sesekali menanjak. Sesekali melompat. Sesekali memanjat. Continue reading

“Ojo kapok, le”

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Sejak tahun 1949 jasadnya telah terkubur. 26 Juli kemarin dia baru ulang tahun. Dalam catatan yang paling moderat, selama hidupnya, setidaknya ada delapan orang perempuan yang menjadi bribikan Chairil Anwar. Mereka, perempuan-perempuan yang di-birahi-kan oleh penyair bohemian itu, menurut Majalah Historia—saya sertakan juga penggalan puisi yang dibuat untuk masing-masing perempuan (kecuali Hapsah), adalah sebagai berikut:

  1. Ida Nasution: “Bagaimana? / Kalau Ida mau turut mengabur / Tidak samudra caya tempatmu menghambar” (Ajakan)
  1. Sri Ayati: “Kepada Sri / Sepi di luar / Sepi menekan mendesak / Lurus Kaku Pohonan / Tak bergerak / Sampai ke puncak / Sepi memagut / Tak satu kuasa melepas renggut” (Hampa)
  1. Dian Tamaela: “Dalam sunyi malam ganggang menari / Menurut beta punya tifa / Pohon pala / Badan perawan jadi / Hidup sampai pagi tiba” (Cerita Buat Dien Tamaela)
  1. 4.Gadis Rasid: “Kita terapit / Cintaku / Mengecil Diri / Kadang bisa mengisar setapak / Mari kita lepas / Kita lepas jiwa mencari jadi merpati” (Buat Gadis Rasid)
  1. Tuti Artic: “Kau pintar benar bercium / Ada goresan tinggal terasa / Ketika kita bersepeda kuantar kau pulang / Panas darahmu / Sungguh lekas kau jadi dara / Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang” (Tuti Artic)
  1. Karinah Moordjono: “Ah! Tercebar rasanya diri / Membubung tinggi atas kini / Sejenak saja / Halus rapuh ini jalinan kenang / Hancur hilang belum dipegang” (Kenangan)
  1. Sumirat: “Buat Miratku! Ratuku! / Kubentuk dunia sendiri / Dan kuberi jiwa segala / Yang dikira orang mati di alam ini! / Kucuplah aku terus / Kucuplah / Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam hidupku.” (Sajak Putih)
  1. Hapsah Wiriaredja: “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi menteri pendidikan dan kebudayaan.” (Bukan penggalan puisi, tapi perkataan Chairil kepada istrinya. Dan Gajah adalah panggilan sayangnya kepada Hapsah karena badannya gemuk)

Chairil ini kiranya—jika mengacu pada buku besar peminum kopinya Ikal di buku “Cinta di Dalam Gelas”, adalah seorang player: minum kopi pahit, makin pahit kopinya makin berliku petualangannya. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-56 dan Ngaleut Braga

Wilujeng dinten Sabtu! Es yusuel, di hari ini kami akan bagikan dua info kegiatan mingguan Aleut yang bakal buat Aleutians penasaran 😀

WhatsApp Image 2016-08-16 at 3.22.33 PM

Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi pekan ke-56. Di hari Sabtu ini, kegiatannya adalah meresensi buku-buku khusus dari Seri Buku Tempo. Kalau teman-teman punya buku yang dimaksud dan tertarik gabung, langsung saja merapat ke Taman Balaikota Bandung mulai pukul 13.00 WIB. Kalau ga punya buku tapi pengen ikut meresensi, bisa juga kontak 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R untuk minjem koleksi dari Pustaka Preanger 🙂

WhatsApp Image 2016-08-18 at 11.49.53 PM

Sedangkan di hari Minggu pagi kita akan “Ngaleut Braga”. Sesuai dengan judulnya, di Ngaleut kali ini kita akan main ke wilayah elit Bandung di masa lalu. Selesai Ngaleut, temen-temen bisa lanjut ke Festival KEUKEN. Seru kan? 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiranmu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”) lalu kumpul di sisi barat Gedung Merdeka (dekat Jl. Sukarno) pukul 07.30 WIB.

Ayo ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini semakin seru. Sampai jumpa 🙂

Novel Terjemahan Pustaka Jaya

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=_m_mb8n5H2c?version=3&rel=1&fs=1&autohide=2&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

“Kita perlu karya sastra dari negara-negara lain untuk mengembangkan wawasan dan merangsang gagasan kita. Tanpanya, kita bukan cuma mengerdil, namun kelaparan,” tulis kritikus Magnus Linklater, yang saya kutip dari pengantar novel Piramid terjemahan Marjin Kiri–satu penerbit keren yang merasa prihatin karena hari ini kita nyaris tak lagi mengenal perkembangan sastra dunia kontemporer, berbeda dengan masa awal dan pertengahan abad ke-20.

Abdul Moeis menerjemahkan karya klasik Don Quixote. Setelah diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 1913, novel Rabindrath Tagore segera ada terjemahannya oleh Muhammad Yamin. Soekarno membaca kemudian mengutip Dante di sana-sini. Bahkan kaum Seniman Gelanggang Merdeka di awal 50an dengan songongnya memproklamasikan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Sampai kini pun, kegiatan penerjemahan buku memang enggak pupus di Indonesia, namun porsinya makin lama makin diserbu novel remaja dan populer. Idealnya, penerbit-penerbit besar dengan dana melimpah semestinya memberi perhatian pada sastra bermutu, bukan melulu tunduk pada pasar. Perlu hadir penerbit yang “menerbitkan buku baik” seperti Pustaka Jaya.

Siapa enggak kenal Pustaka Jaya? Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan ke-55 dan Ngaleut Sanghyang Heuleut

Selamat berakhir pekan! Seperti yang sudah-sudah, di hari ini kami akan bagikan dua info kegiatan mingguan Aleut yang bakal buat Aleutians penasaran dan pengen ikut 😀

WhatsApp Image 2016-08-11 at 1.04.44 PM

Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi pekan ke-55. Untuk minggu ini, kegiatannya akan sedikit berbeda karena yang diresensi adalah… blog! Ya, para peserta akan meresensi blog yang telah dibaca, blog punya kawannya, atau blog favoritnya. Kalau Aleutians belom sempet baca blog atau ga punya blog yang mau diresensi, boleh banget kok datang untuk menyimak resensi lisan dan ikut berdiskusi seputar blog atau topik blog yang dibahas. 🙂

Langsung saja merapat hari ini ke Taman Parterre Universitas Pendidikan Indonesia (Jl. Dr. Setiabudhi No. 229) mulai pukul 13.00 WIB.

WhatsApp Image 2016-08-12 at 7.54.20 AM

Sedangkan di hari Minggu malam kita akan “Ngaleut Sanghyang Heuleut”. Sesuai dengan judulnya, di Ngaleut kali ini kita akan berkunjung ke salah satu tempat kekinian di luar Kota Bandung. Tak hanya itu, kita juga akan ngojay alias berenang di sana. Seru kan? 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiranmu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) lalu kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 07.00 WIB. Cantumkan juga keterangan bawa motor atau tidak, dan Aleutians yang bawa motor bawa helm dua ya.

Oh iya, jangan lupa juga bawa pakaian ganti. Kan bodor juga kalau nanti udah basah-basahan tapi ga ada baju dan daleman ganti. 😀

Ayo ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini semakin seru. Sampai jumpa 🙂

Mendaki Dengan Flat Shoes dan Jaket Tipis: (Gagal) Hunting Milky Way di Gunung Putri, Lembang

Oleh: Chika Aldila (@chikaldila)

Sampai sekarang masih terbayang di dalam benak, betapa menyenangkannya tidur di atas rerumputan sambil memandang langit bertaburan bintang. Untuk orang sepertiku yang notabene orang kota asli, hal tersebut merupakan sesuatu yang langka. Sampai umur segini pun, kegiatan tersebut masih menjadi impian kecilku. Terlihat sederhana, namun sulit sekali dilakukan.

Setelah gagal menikmati langit malam bertabur bintang di kemping pertamaku, tentunya kesempatan kedua tidak akan aku sia-siakan. Ya, di tanggal 6 Agustus kemarin, bertepatan dengan Hari Keantariksaan Nasional, aku dan beberapa teman pegiat Aleut yang lain merencanakan untuk pergi melihat fenomena summer triangle dan milky way. Tadinya sih mau ke Gunung Batu, tapi setelah berdiskusi dengan teman-teman yang lain terkait polusi cahaya, kami memutuskan pergi ke Gunung Putri, Lembang. Selain menjadi pengalaman pertama mengamati bintang, ini juga akan jadi kali pertama aku mengunjungi Gunung Putri yang akhir-akhir ini lagi hitz di Instagram itu.

Ternyata, letak Gunung Putri ini tidak begitu jauh dari Hotel Grand Paradise Lembang. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampai di parkiran motor. Jalan menuju area parkir pun tergolong mulus. Tidak ada kesulitan sama sekali.

Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 7.500/orang, kami ternyata harus menaiki sebuah anak tangga untuk mencapai pos pertama Gunung Putri. Dengan penuh amarah dan emosi karena sempat berdebat dengan salah seorang kawan di bawah, aku dan satu orang temanku sampai duluan ke atas. Jalanan yang cukup menanjak dan tinggi membuat teman-teman lain tertinggal di belakang. Aku pun ngas-nges-ngos sambil istirahat sebentar dan meminta air minum pada teman yang lain. Continue reading

Kicauan Burung di Kampung Blekok

Oleh: Hendi Abdurahman

DSC_0035
Burung-burung di Kampung Blekok yang hendak bersiap mencari makan
Kampung Ranca Bayawak atau yang sekarang saya kenal dengan nama Kampung Blekok adalah nama daerah yang berada di Bandung Timur, tepatnya di Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage. Saya harus sedikit berhati-hati melafalkan nama kampung ini. Jauhi ngomong Kampung Blekok ketika kamu sedang mengunyah sesuatu di mulutmu, kalau kamu masih bandel, bersiaplah kacaletot yang tentunya akan mengubah arti. Hehehe…

Saya berkunjung ke kampung tersebut bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Berangkat dengan 12 motor dari Jl. Solontongan, kami melewati rute Jl. Buah Batu, Soekarno Hatta lalu menuju ke arah Gedebage. Jalanan yang masih terlampau sepi pagi itu membuat kami bisa dengan nyaman mengendarai motor hingga sampai di Kampung Blekok.

Apa yang menarik dari kampung ini? Kamu bisa melihat beberapa jenis burung yang sedikit kurang familiar seperti Burung Blekok, Burung Kuntul Kerbau dan Burung Kuntul Putih. Ujang Safaat, ketua RW 02 di Kampung Ranca Bayawak menuturkan bahwa sekitar tahun 1970-an burung-burung tersebut sudah berada di daerah ini. Dari ketiga burung tersebut, hanya burung Blekok-lah yang keberadaannya sudah hampir punah dibandingkan Burung Kuntul Kerbau dan Burung Kuntul Putih. Beliau memaparkan saat ini yang tersisa hanya sekitar 500 sampai 700 ekor Burung Blekok yang menetap di kampungnya.

Sudah banyak beberapa wisatawan dan juga beberapa peneliti yang datang ke Kampung Blekok ini. Tercatat sudah 86 negara melalui Lions Club yang datang untuk meneliti. Pak Ujang selaku ketua RW menceritakan keprihatinannya terhadap pihak-pihak terkait yang dirasa belum memberikan upaya maksimal terhadap kampungnya. Kampung yang tidak terlalu luas ini rencananya akan dijadikan tempat wisata, namun sampai sekarang belum ada lagi pembicaraan ke arah sana.

Continue reading

Dari Ranjang yang Dingin Sampai Pisau Guillotine

Oleh: Candra Asmara Safaka (@candrasmarafaka)

Kulitnya yang seperti pualam, sepasang mata biru yang berbinar, mulutnya yang manis serasi, dengan sikap kebesaran yang menarik. Begitulah deskripsi Stefan Zweig, penulis berkebangsaan Austria dalam bukunya yang berjudul “Marrie Antoinette, Portrait of An Average Woman” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Audah, dengan judul “Marrie Antoinnete, Potret Seorang Wanita”.

Penerjemah sekelas Ali Audah, tentu dengan sadar tidak menerjemahkan kata average menjadi biasa, meskipun tidak menjelaskan apa alasannya. Padahal kata average tersebut akan sangat mewakili isi cerita yang ingin disampaikan oleh Stefan Zweig, yaitu sisi kejiwaan Marrie Antoinette sebagai wanita, ibu dan istri yang penuh kasih dan penuh hormat pada anak-anak dan suaminya, Louis XVI. Dengan kata lain, Marrie Antoinette pun memiliki sifat-sifat layaknya wanita biasa, di luar otoritasnya sebagai Ratu Prancis yang kerap berpesta dan bersenang-senang hingga menumpuk utang.

Mari kita rasakan perbedaannya jika judulnya menjadi “Marrie Antoinette, Potret Seorang Wanita Biasa”. Cukup kentara perbedaannya, bukan? Atau mungkin bagi penerjemah, kata wanita saja sudah cukup untuk mewakili kewajaran atau ke-biasa-an? Allohualam bissawab. Yang pasti, apa-apa yang menjadikan karya Stefan Zweig  dianggap berbeda ada di pendahuluan yang sangat ringkas.

Mari bergegas ke bagian ranjang, aku sudah tak tahan. Begitu pula Marrie Antoinette yang tak tahan ranjangnya dibiarkan dingin oleh suaminya, Louis XVI, selama bertahun-tahun! Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-54 dan Ngaleut Legenda Urang Bandung

Selamat berakhir pekan! Es yusuel, hari ini kami akan bagikan dua info kegiatan mingguan Aleut yang pastinya bakal berlangsung seru 🙂

13914085_819153428215460_40127223713361999_o

Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi pekan ke-54. Seperti minggu sebelumnya, di kelas ini ini juga kita akan bersama-sama meresensi buku yang telah Aleutians baca. Untuk minggu ini, buku yang diresensi merupakan buku-buku terbitan Pustaka Jaya. Kalau Aleutians ga punya buku yang diresensi, Aleutians bisa datang untuk menyimak resensi lisan dan ikut berdiskusi seputar isi buku atau tema dari buku yang sedang diresensi 😀

Langsung saja merapat hari ini ke Taman Cibeunying mulai pukul 13.00 WIB.

13920005_819153904882079_7991917752346288618_o

Sedangkan di hari Minggu malam kita akan “Ngaleut Legenda Urang Bandung”. Sesuai dengan judulnya, di Ngaleut kali ini kita akan menelusuri beberapa titik yang menjadi legenda di Kota Bandung. Seru kan? 🙂

Sekiranya kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiranmu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) lalu kumpul di Taman Musik (Jl. Belitung/Sumbawa) pukul 18.30 WIB. Oh iya, mengingat cuaca Bandung yang lagi susah banget ditebak, masing-masing peserta juga mohon siapin jas hujan atau payung yes 🙂

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini semakin seru. Sampai

Rasia Bandoeng

WhatsApp Image 2016-08-03 at 6.51.43 PM

RASIA BANDOENG
atawa 
Satu percinta-an yang melanggar peradatan “Bangsa Tiong Hoa” satu cerita yang benar terjadi di kota Bandung dan berakhir pada tahon 1917.

Diceritaken oleh Chabanneau *******

Diterbitkan pertama kali oleh Gouw Kim Liong, tahun 1918
Dicetak oleh Drukkerij Kho Tjeng Bie & Co., Batavia
Diterbitkan ulang dengan penambahan oleh Ultimus

Disalin dan diberi catatan oleh Komunitas Aleut!
Disunting oleh Ridwan Hutagalung
Rancangan sampul oleh Ridwan Hutagalung

Novel Rasia Bandoeng pertama kali terbit pada tahun 1918 secara bersambung dan seluruhnya terdiri dari tiga jilid.

Novel ini memang sempat heboh pada masanya karena isinya yang mengungkap sebuah kisah nyata hubungan cinta terlarang sesama marga Tionghoa di Bandung tempo dulu.

Sudah lama isi novel Rasia Bandoeng menjadi perhatian Komunitas Aleut, tidak melulu karena isi ceritanya tetapi juga karena banyaknya nama tempat yang disebutkan di situ. Di awal tahun 2016 ini Komunitas Aleut mengemas novel Rasia Bandoeng dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti Ngaleut Rasia Bandoeng, Tjerita Boekoe, dan terakhir, menerbitkan ulang novel lama itu dalam bentuk yang Anda terima sekarang ini.

Untuk penerbitan ulang novel Rasia Bandoeng ini, ketiga jilid yang semula terpisah sekarang digabung menjadi satu buku saja. Pada isi naskah dilakukan sedikit perubahan ejaan lama ke dalam ejaan baru, selebihnya disalin sesuai dengan aslinya. Selain itu ada tambahan catatan kaki untuk berbagai istilah yang sudah tidak umum sekarang, serta lampiran artikel investigatif oleh Lina Nursanty Rasia Bandoeng yang pernah dimuat secara serial di HU Pikiran Rakyat.

Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Jun 2016
Pengarang: Chabanneau *******
Halaman : 296
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-75-3

Harga umum 85,000

Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu,
Bandung 40264

Harga di Kedai Preanger 75,000

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑