Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)
Saya melihat sosok perempuan itu di Minggu pagi dengan kamera yang menggantung di lehernya. Asumsi saya terhadap perempuan tersebut ketika pertama kali melihatnya adalah dia seorang penyuka photografi, juga seseorang yang narsis. Mungkin saja di memori kameranya terdapat ratusan photo dirinya dengan berbagai macam gaya, pikir saya.
Nurul Fatimah. Teman-teman memanggilnya Nurul. Belakangan saya tahu namanya saat dia mulai mempromosikan dirinya ketika sesi perkenalan pagi itu. Ya, pagi itu, saya seperti biasa ikut kegiatan dari Komunitas Aleut. Komunitas apresiasi sejarah yang salah satu kegiatan di setiap paginya mempunyai aktifitas berjalan beriringan menyusuri sudut-sudut Kota Bandung.
Pertemuan saya dengan Nurul ternyata tidak hanya berhenti sampai hari itu. Saya mulai sering berjumpa dengannya dalam kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut, seperti acara Kamisan ala Aleut. Acara Kamisan ini yaitu diskusi ringan antar sesama anggota yang diadakan di sekretariat Komunitas Aleut, di jalan Solontongan 20-D. Biasanya dimulai ba’da Maghrib. Di pertemuan-pertemuan selanjutnya itulah saya mulai tahu bahwa dia berasal dari Bantul yang bekerja di sini, di Bandung. Kami mulai sering ngobrol, sekedar sharing atau bercanda dengan teman-teman lain.
Satu hal yang sedikit bikin saya kaget adalah ketika dia bilang kalau dia di Bandung ini hanya sendiri. Tadinya saya pikir dia mempunyai saudara di sini. Tapi nyatanya, dia sendiri. Sebatang kara, seperti si hachi. Hehehe… Continue reading