Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Instituut Pasteur (Bio Farma)

 

Ditemani udara musim gugur yang mengundang kantuk, belasan anak muda pegiat Komunitas Aleut berkumpul di taman dokter Otten untuk menanti dimulainya perjalanan wisata sejarah yang rutin diadakan setiap minggunya.  Taman itu sengaja dijadikan starting point bagi perjalanan Aleut dengan tema “Kawasan Jalur Kedokteran”. Tema yang sangat menarik, karena mereka akan menelusuri asal-usul nama-nama jalan yang diambil dari nama-nama dokter terkemuka dalam sejarah Nasional.

 

Tentu saja dengan informasi terbatas yang dimiliki, tidak seluruh keterangan perihal  nama-nama dokter tersebut bisa dijelaskan dalam perjalanan ini, apalagi dengan adanya perubahan nama-nama jalan yang dilakukan pemerintah di tahun 50’an. Saat itu beberapa nama jalan yang diambil dari nama dokter-dokter Belanda diganti dokter Indonesia. Contohnya  :

 

Van der Hoopweg  = Jl. Abdulrachman Saleh

Tirionweg = Jl. Dokter Abdul Rivai

Vosmaerweg = Jl. Dokter Gunawan

Rotgansweg = Jl Dokter  Otten

Rotgansplein = Taman Dr. Otten

Helmersweg = Jl. Dokter Radjiman

Tesselschadeweg =  Jl. Dokter Rubini

Potgieterweg = Jl. Dokter Rum

Lembangweg = Jl. Setiabudhi

Prof. Grijnsweg = Jl. Dokter Sukimin

P.C. Hooftweg = Jl. Dokter Susilo

Dokter Borgerweg = Jalan Dokter Sutomo

Roemer Visscherweg = Jl. Dokter Tjipto

Busken Huetweg = Jl. Dokter Wahidin

 

Louis Pasteur

 

Sedangkan nama jalan yang tidak berubah adalah Jalan Pasteur (Pasteurweg), Jalan Dokter Saleh (Dokter Salehweg), Jl. Westhoff (Westhoffweg), Jl. Eijkman (Eijkmanweg) dan  Jalan  Dokter  Slamet (Dokter Slametweg).

 

Tampak para  pegiat Komunitas Aleut yang sudah belasan hingga puluhan tahun tinggal di Bandung masih merasa asing dengan nama-nama jalan yang diambil dari nama dokter  asli Indonesia, apalagi kalau nama jalan tersebut masih menggunakan nama dokter Belanda.

 

Bisa dipastikan bahwa sebagian besar Dokter Indonesia yang  namanya diabadikan menjadi nama jalan tersebut merupakan tokoh-tokoh Dokter yang berperan dalam perjuangan nasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui penelusuran biografi mereka, mau tidak mau kita akan bersentuhan dengan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonialisme yang diisi oleh para dokter muda lulusan STOVIA (Sekolah kedokteran jaman Hindia Belanda).

 

Pada mulanya, masalah kesehatan merupakan masalah utama yang menjadi momok Belanda dalam menguasai Indonesia. Iklim yang tidak bersahabat, lingkungan yang kotor, gaya hidup masyarakat yang masih “jorok” penyebab tingkat kematian tinggi, membuat aktivitas ekonomi yang menjadi gantungan para Kolonialis terganggu.

 

Nyuci gelas pake air comberan… sangat higienis..

 

Musuh terbesar saat itu adalah penyakit Pest dan Malaria. Selain merugikan dari sisi ekonomi, Tidak terhitung warga pribumi maupun Belanda yang menjadi korban kedua penyakit tersebut. Contohnya, Pada tahun 1905, wabah pest tercatat terjadi di Sumatera Timur, diakibatkan tikus-tikus yang ikut serta dari Rangoon. Pada tahun 1911, penyakit serupa berjangkit di Malang. Pada tahun itu sekitar 2000 orang meninggal akibatnya. Untuk mengatasinya, pemerintah membakar satu setengah juta lumbung dan gubuk-gubuk untuk membasmi tikus. Untuk mendirikan yang baru, pemerintah harus mengeluarkan kocek sebesar 30 juta rupiah. Penduduk mulai disuntik dan sesudah 25 tahun, bahaya wabah baru bisa dihindari.

 

Dr. Sutomo dan Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah dua dari tokoh nasional yang ikut memberantas wabah Pest ini. Dr. Tjipto termasuk sebagai orang yang pertama yang menawarkan tenaganya untuk menyembuhkan wabah pest di Malang ketika dokter-dokter Eropa banyak yang menolak untuk dikirim ke daerah tersebut. Menurut Balfas dalam buku biografi dr. Tjipto, dikisahkan bahwa “…Tjipto bekerja dimana pest mengamuk paling hebat, sedikit di luar kota. Dia bekerja tiada kenal letih dan gentar, masuk kampung dan pondok. Kawan-kawannya banyak yang memakai topeng (masker) dimukanya, sarung tangan dan seluruh badannya terbalut untuk mencegah penularan, tetapi Tjipto tidak memakai keistimewaan apa-apa, dengan bulat-bulat ia pasrahkan dirinya kepada nasib…”

 

dr. Tjipto

 

Ada sebuah kisah menarik, Pada suatu ketika Tjipto membawa pulang seorang bayi yang diambilnya dari sebuah rumah yang harus dibakar, sebab penghuninya sudah mati semua, kecuali seorang bayi yang menangis. Untuk emnjadikan kenangan pada peristiwa ini, bayi itu dinamainya PES-JATI. Pes-jati besar di tangan dr. Tjipto dan mengikuti dia sampai akhir hayatnya.

 

Berkat jasanya dalam penanggulangan wabah Pest, pemerintah Belanda menganugrahkan bintang Orde van Oranje kepada Tjipto pada tahun 1912. Namun ketika keinginannya untuk ikut mengobati wabah pest di Solo ditolak pemerintah, bintang penghormatan yang biasanya ia simpan di lemarinya dikeluarkan dan dipasangnya di bagian pantat celana Tjipto. Dengan bintang Orde van Oranje di  pantat ini, ia pergi ke Batavia untuk menyerahkan kembali bintang ini kepada pemerintah pusat.

 

Malaria telah menjadi ancaman selama beratus tahun kedudukan Belanda di Nusantara. Namun berkat penemuan Kina pada abad-18, penyakit ini mulai bisa dihindari. Apalagi setelah tanaman kina berhasil dibudidayakan di Nusantara oleh Junghuhn. Pada tahun 1896, Bandung berhasil menjadi pemasok utama kebutuhan kina dunia. Guna mendapatkan keuntungan lebih tinggi, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah, para pengusaha kina di Bandung akhirnya memutuskan untuk mendirikan pengolahan kina sendiri. Usaha itu terwujud dalam pendirian  Bandoeng Kininefabriek  tahun 1896 dengan modal 700,000 fl.. Pabrik ini bisa memproduksi kina hingga sekitar satu juta ons setiap tahunnya, dengan kualitas terbaik di dunia.

 

dr.Eijkman

 

Penyakit lain yang menjadi momok adalah Beri-beri. Setiap tahun ada ribuan orang yang menjadi korban dari penyakit ini. Prof. Dr. Eijkman akhirnya menemukan penyebab Beri-beri, yaitu proses penggilingan beras yang seringkali hingga menghabiskan kulit ari beras (zilvervlies). Orang-orang tidak lantas percaya hingga pada tahun 1911 dikenalah istilah “Vitamin”. Untuk penemuannya itu, dr. Eijkman dianurahkan hadiah Nobel pada tahun 1929.

 

Usaha Belanda untuk menghasilkan dokter di kalangan pribumi sebenarnya sudah dimulai dari tahun 1851 ketika Belanda membuat sekolah untuk mendidik dokter Jawa. Tahun 1927 sekolah tersebut diubah menjadi sekolah tabib tinggi (STOVIA). Diharapkan sekolah tersebut bisa memenuhi kebutuhan dokter di Nusantara. Selain itu dibangunlah pula rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Di Bandung turut dibangun Gemeentelijk Juliana Zuikenhuis (RSHS) tahun 1917, Labotarium kesehatan (Instituut Pasteur), rumah sakit untuk orang berpenyakit mata (Cicendo), Pabrik Obat-obatan (Kinine Fabriek) dan Sanatorium. Seluruh fasilitas kesehatan tersebut, kecuali sanatorium, ditempatkan dalam suatu kawasan khusus di Bandung, yang dilalui perjalanan komunitas Aleut sore tadi.

 

Ahhhh… sebenarnya masih banyak yang bisa diceritakan, tapi siksaan kantuk dan asmara yang tak tertahan menghalangi saya untuk menulis lebih lanjut…  

 

 

 

 

Referensi :

-, 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976. Fakultas Kedokteran UI – 1976

M. Balfas, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo Demokrat Sejati, Djambatan – 1952

Frater Amator, Sedjarah Indonesia, W. Versluys Amsterdam – 1952

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia, Kementrian P dan K –  1951

D P. Pverelli, Beknopt Leerboek der Schoolhygiene, J.B. Wolters Groningen – Batavia – 1933

-, Petundjuk Nama Djalan Kota Bandung berikut peta, Visser Bandung.

–>

 

Juliana Zuikenhuis (RSHS)

 

Gaya hidup tidak sehat..