Oleh: Indra Pratama (@omindrapratama)
Alexander Jacob Patty. Jurnalis pendiri Sarekat Ambon (1909). Salah satu tokoh nasionalis Indonesia pertama dari Maluku, saat Mollucans saat itu sangat identik dengan sikap pro-Belanda. Dibuang ke Boven Digoel, menyeberang ke Australia, menjaga kemerdekaan saat Masa Revolusi di Medan, dan kemudian menutup usia di Bandung.
Nama dan kisah ini kembali berkelindan di kepala saat saya membaca artikel berita (di kanal berita online tentunya), bahwa makam Patty akan dipindahkan dari Permakaman Pandu di Bandung, ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kapahaha Kecamatan Sirimau Kota Ambon, Maluku, pada tanggal 22 Maret 2017. Patty nantinya akan diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Kini Patty akan menghuni taman makam pahlawan, dengan nisan yang akan lebih bagus, pemeliharaan yang rutin, dan lagi, Patty akan diusulkan menjadi pahlawan nasional. Hal yang sama mungkin juga akan segera terjadi kepada Bapak Bangsa Indonesia, Tan Malaka, yang “makamnya” akan segera dipindah dari pedalaman Selopanggung ke Lima Puluh Kota.
64 tahun sudah Patty menghuni Pandu. Makamnya di Pandu sangat sulit diidentifikasi karena tidak diberi nama. Konon itu adalah permintaan Patty sendiri, karena ia ingin berbaring seperti orang Indonesia kebanyakan, tanpa perlu nisan megah, tanpa perlu pula dituliskan “pahlawan nasional” di nisannya. Permintaan yang mirip dengan salah satu tokoh terbesar Indonesia, Mohammad Hatta. Sebuah ironi atas kejadian yang dialami Patty sekarang.
Kasus Patty merupakan kasus yang sangat umum di Indonesia. Berpuluh-puluh gelar kepahlawanan disematkan dan diusulkan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa untuk Indonesia, dari orang-orang yang bahkan belum punya bayangan apa itu republik dan nasionalisme seperti Sultan Agung dari Mataram, Sultan Hasanuddin dari Makassar, sampai orang seperti Soeharto, yang sangat bisa diperdebatkan jasa dan dosanya bagi republik. Banyak sekali usaha, proyek, simposium, seminar, sosialisasi, spanduk, baligo, debat, buku, brosur, dan publikasi yang dilakukan untuk mem-pahlawan-kan tokoh-tokoh. Hasilnya bisa berupa gelar pahlawan nasional, tokoh perintis, pahlawan revolusi, pahlawan reformasi, bintang jasa, sampai dijadikan nama gedung, tempat atau nama jalan.
Ketika nama tersebut sudah menjadi nama gedung, jalan, dan masuk daftar penerima gelar, lalu berhenti seakan semua itu adalah tujuan perjuangan si tokoh. Bagi saya, pentingnya mengetahui seorang tokoh adalah untuk memahami peran yang ia lakoni selama hidup, yang tentunya bukan sembarang peran. Saya menulis ini di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, yang berada di Jalan M. Ridwan Rais. Sebuah jalan yang besar yang menghubungkan Kawasan Tugu Tani dengan Stasiun Gambir dan Masjid Istiqlal. Tapi tanpa perlu penelitian mendetail dan statistik, saya bisa simpulkan tak banyak orang yang melalui, bahkan beraktivitas di jalan ini, mengetahui siapa Ridwan Rais.
Nyaris di setiap kota ada taman makam pahlawan yang bersih, dan terurus. Nyari di setiap kota pula terdapat Jalan Setiabudi, Gatot Subroto, T.B Simatupang, Oto Iskandar Dinata (Otista), Tjipto Mangunkusumo, Pierre Tendean, Dewi Sartika, M.T Haryono, Ahmad Yani. Dan nyaris di setiap sekolah dasar negeri, terdapat poster Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Teuku Umar, Diponegoro, Kartini, dan Ketut Jelantik. Tapi apakah dengan semua itu orang-orang Indonesia bisa paham siapa mereka itu, apa jasanya, atau lebih jauh, ada atau tidak jasanya bagi republik selain mati dan terkenal. Jargon “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya” terasa sangat kosong. Dengan cara-cara diatas mungkin lebih tepat disebut “menjilat” para pahlawan agar kita diberikan gelar “Bangsa Yang Besar”. Dan mungkin tidak banyak juga yang tahu bahwa jargon itu tercetak pertama kali di kaki Patung (Tugu) Tani.
Bangsa yang besar tentunya tahu persis sejarah bangsanya, siapa-siapa saja pahlawannya, tanpa perlu dikompori oleh politisi, tanpa perlu patung, tugu, makam mewah, nama jalan. Masyarakat bangsa yang besar juga tentunya tahu bahwa perjuangan tak cuma memakai baju loreng dan menggondol senjata. Masyarakat bangsa yang besar tentunya juga bisa mengkritisi kenapa ada makam seorang mantan Kapolda di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan berapa banyak orang harus membayar agar bisa dimakamkan di taman makam pahlawan. Bangsa yang besar adalah yang mampu mengambil yang baik dan buuk dari masa lalu untuk kepentingan masa kini, dan terutama, masa depan. Bangsa yang besar tahu bahwa pahlawan tak butuh tanda jasa.
Tautan asli: https://oomindra.wordpress.com/2017/03/23/tak-butuh-tanda-jasa/
Leave a Reply