Tag: W.H. Hoogland

M.A.J. Kelling dan Rumah Wijde Blik di Kromhoutweg

Oleh: Aditya Wijaya

Rumah Wijde Blik (Arsip Komunitas Aleut, 2001)

Rumah dalam foto di atas ini terletak di sudut antara Jalan Dayang Sumbi dan Taman Sari, Kota Bandung. Rumah ini ada di pertigaan dan dapat terlihat jelas jika sedang berkendara karena lokasinya yang strategis.

Jika kita melihat foto lama rumah, di atas pintu masuk tertulis “Wijde Blik”. Saya mencoba mencari arti dari kata Wijde Blik melalui Chatgpt. Wijde Blik diterjemahkan menjadi “Pandangan Luas” atau “Perspektif Luas”.

Rasanya arti kata Wijde Blik mencerminkan saat kita memandang rumah ini. Rumah yang luas, dalam sudut pandang orang yang melihatnya.

Rumah Wijde Blik dimiliki oleh Martin Amandus Jonathan Kelling. Bangunannya dirancang oleh arsitek J.C.J. Piso yang memiliki nama lengkap Jelle Carel Johannes Piso. Dalam buku Arsitektur di Nusantara yang disusun oleh Obbe Norbruis, termuat sebuah iklan dari dari arsitek J.C.J. Piso.

Iklan Arsitek J.C.J. Piso (Arsitektur di Nusantara)

Rumah Modern di Hindia Belanda

Dalam sebuah artikel berjudul “De Modernne Indische Woning”  di majalah Tropisch Nederland Edisi No. 6, 13 Juli 1928 yang dijelaskan secara rinci deskripsi rumah ini. Dari judulnya, dapat diterka isi bahasannya adalah gambaran mengenai model atau tipe rumah modern di Hindia Belanda. Artikel ini ditulis oleh sang pemilik rumah, M.A.J. Kelling. Dia adalah adik dari Ernst Gerard Oscar Kelling yang namanya tertulis pada prasasti pendirian rumah sebagai peletak batu pertama dalam pembangunan rumah Wijde Blik. Terpahat juga tanggalnya, yaitu 2 Maret 1927.

Rumah Wijde Blik (majalah Tropisch Nederland)
Prasasti peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Ernst Gerard Oscar Kelling (Arsip Komunitas Aleut 2011)

Berikut ini deskripsi rumah Wijde Blik yang dijelaskan dalam artikel:

Dari luar, rumah tinggal ini terlihat seperti sebuah atap dengan empat dinding putih, di mana terdapat beberapa pintu dan jendela. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan persegi dengan dinding putih. Ada teras depan yang terbuka dan teras belakang yang terbuka juga. Teras ini dihubungkan dengan koridor beratap besi yang menuju ke “bangunan tambahan” atau bisa juga disebut “bangunan luar”.

Yang dimaksud dengan “bangunan tambahan” adalah deretan kamar-kamar kecil, tempat dapur, kamar mandi, WC, gudang dan kamar-kamar untuk pelayan. Perabotan sepenuhnya selaras dengan dinding-dinding putih yang kaku. Di teras depan biasanya terdapat “set kursi” yang elegan, sebuah meja kecil dengan daun marmer dan empat kursi goyang yang diatur simetris, dikelilingi beberapa pot berisi pohon palem atau begonia di atas dudukan.

Ruang belajar di rumah Wijde Blik. Semua furnitur yang terlihat di ruangan ini dibuat di Hindia Belanda oleh arsitek furnitur Jac Rietdijk. (Tropisch Nederland)

Teras belakang yang biasanya menjadi ruang makan dan ruang keluarga sekaligus, dilengkapi dengan meja persegi panjang dengan enam kursi. Sebuah lemari dengan pintu kawat hijau (untuk menyimpan makanan, roti, mentega, dll.) serta bufet coklat tua, semuanya dibuat oleh seorang Tionghoa. Di kamar tidur terdapat tempat tidur besi dengan kelambu (tirai nyamuk), lemari linen, meja cuci dengan baskom dan kendi, dan tentu saja sebuah “meja kecil”, karena terlalu jauh untuk pergi ke bangunan tambahan di malam hari. Kamar tamu dan jika ada kamar anak-anak, sama dalam hal perabotan. Jika ada ruangan yang tersisa, ruangan itu diberi nama ruang besar “kantor”, yaitu ruang kerja tuan rumah. Di sana ada meja tulis sederhana dengan kursi putar, sebuah rak buku dan sebuah kursi rotan.

Hiasan untuk dinding terdapat beberapa gambar berwarna, gravur baja, dan rak-rak berisi tanaman hias. Penerangan terdiri dari lampu dinding gantung minyak tanah, kadang-kadang lampu gasolin (dengan atau tanpa tekanan), gas penerangan dan pada tahun-tahun berikutnya listrik.

Dari tulisan di atas, terbaca M.A.J. Kelling sedang menyampaikan sebuah gambaran mengenai gaya rumah Indis modern berdasarkan rumahnya yang baru dibangun di Kromhoutweg.

Ruang Penerimaan. Furnitur yang Anda lihat di foto ini, tanpa kecuali, seluruhnya dibuat di Hindia Belanda oleh pedagang furnitur Fa. Jac. Rietdijk. Lukisan menggambarkan pemandangan alam Hindia Belanda yaitu Teluk Sabang (Tropisch Nederland)

M.A.J. Kelling

M.A.J. Kelling menjabat sebagai sekretaris bendahara dari Bandoeng Vooruit. Dia juga menulis satu artikel mengenai “Sejarah Bandung” di majalah Mooi Bandoeng yang sering dijadikan rujukan bagi tulisan populer kesejarahan Kota Bandung. Selain menjabat di Bandoeng Vooruit ia juga menjadi administratur Middenstandsvereeniging (Asosiasi Usaha Kecil). Setelah masa revolusi ia menjabat sebagai Secretary of the Vereeniging van Belanghebbenden bij Onroerende Zaken (sekretaris Asosiasi Pemangku Kepentingan Real Estate). Kelling juga menulis beberapa buku bertemakan hotel, wisata, kebersihan, perbankan dlsb.

Selain itu, Kelling menjadi redaktur di majalah kereta api bernama “Java Expres” yang diterbitkan Staatsspoorwegen beralamatkan di Kromhoutweg No. 8. Jika melihat kepemilikan Wijde Blik saat ini yang dimiliki oleh PT. KAI, bisa saja informasi ini menjadi sebab kenapa rumah tersebut bisa dimiliki oleh KAI. Selain itu, berdasarkan buku Telefoongids Bandoeng (Preanger) 1936, beberapa rumah lain di Kromhoutweg juga ternyata dihuni oleh pegawai dan staf perkeretaapian.

Rumah Wijde Blik pernah dipugar pada tahun 2010 dan diberi nama Graha Parahyangan. Rencananya akan dijadikan museum dan galeri kereta api. ***

Catatan: *Tulisan ini mengandung persepsi dan pendapat pribadi penulis.

Peresmian Jalan Bandung – Kawah Papandayan (Jalan Tertinggi di Insulinde)

Oleh: Aditya Wijaya

Titik tertinggi jalan Bandung – Kawah Papandayan (Algemeen Handelsblad)

Beberapa waktu lalu seorang rekan di Aleut melontarkan sebuah pertanyaan terkait nama tempat di Gunung Papandayan. Dia menanyakan arti nama Ghober Hoet. Kemudian seorang rekan lainnya mencoba menjawab bahwa Ghober Hoet kemungkinan besar merupakan Bahasa Belanda di masa lalu tetapi cara penulisannya saat ini kemungkinan salah. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia, Hoet atau Hut artinya Pondok.

Pertanyaan ini lama tersimpan di kepala saya. Hingga akhirnya terjawab dengan tak sengaja setelah selesai kegiatan Momotoran Aleut ke Perkebunan Sedep akhir Januari lalu. Sekembalinya dari Momotoran, saya mencoba mencari informasi mengenai jalan antara Bandung – Sedep – Papandayan yang dibuat oleh Bandoeng Vooruit. Hal ini biasa saya lakukan setelah melakukan Momotoran, kurang lebih untuk menambal informasi yang tidak didapatkan atau luput selama Momotoran.

Jalan menuju Kawah Papandayan dengan melewati Santosa – Sedep – Negla – Cileuleuy diresmikan pada akhir Desember 1935. Peresmian ini dihadiri oleh Residen Tydeman, Walikota Bandung saat itu J.M. Wesselink, Kepala Kepolisian Verspoor, hampir semua administratur perusahaan perkebunan terdekat, perwakilan Direksi Sedep, para-Regent dari Garut dan Cianjur, pihak-pihak yang berkepentingan dari industri hotel dan pariwisata, Salomons dari Aneta, dan lain sebagainya.

Barisan mobil yang memanjang tiba di Sedep sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Mereka disambut hangat oleh keluarga Bertling. Musik marching band ikut menyemarakkan suasana dengan lagu-lagu ceria. Setelah menikmati secangkir kopi dan kue, mereka melanjutkan perjalanan melintasi kebun teh menuju ke kawah.

Ada sedikit kendala saat mobil dari Residen Tydeman yang memimpin rombongan mengalami kerusakan. Akibatnya mobil tersebut harus berjalan dengan sangat pelan bahkan untuk di area yang datar. Ini menyebabkan sebagian besar mobil rombongan kehabisan air sehingga ketika jalan mulai menanjak, sebagian besar mobil mengalami overheat. Terjadilah keterlambatan dan banyak mobil yang harus ditinggalkan di pinggir jalan. Para penumpangnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawah.

Jawaharlal Nehru bersama Soekarno saat mengunjungi Kawah Papandayan pada tanggal 9 Juni 1950 (Antara)

Akhirnya tibalah mereka di pinggir kawah, di tempat sebuah monumen didirikan untuk mengenang peristiwa penting ini. Pertama-tama, W. H. Hoogland, Ketua Bandoeng Vooruit, berbicara kepada para hadirin sebagai berikut:

Continue reading

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Wajah Bandung Tempo Dulu di Mata Haryoto Kunto

Oleh: Ridwan Hutagalung (@pamanridwan)

An4pjIUkv9l0l1AKl3NycbaJa3PP-Nox-YCE_IH376oB

Setiap kota pasti menorehkan kesan tersendiri bagi penghuninya, lepas dari apakah dia penghuni tetap ataupun sekadar singgah karena tuntutan sekolah atau pekerjaan. Kalau dibalik, setiap orang pasti menyimpan kesan tersendiri tentang kota yang ditinggalinya baik itu hanya untuk sementara ataupun dalam jangka waktu yang sangat lama.

Haryoto Kunto (1940-1999) menuangkan kesan-kesannya tentang Kota Bandung dalam banyak buku, dua di antaranya sudah  menjadi legenda dalam dunia perbukuan seputar sejarah Bandung, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984) dan “Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986).

Haryoto Kunto memang bukan yang pertama menulis buku “sejarah” Kota Bandung, sebelumnya sudah ada 2 jilid buku berbahasa Sunda, “Bandung Baheula” karangan Moech. Affandi (Guna Utama, 1969), dan “Keur Kuring di Bandung” karangan Sjarif Amin (…). Dalam bahasa Belanda juga banyak buku yang khusus membahas Kota Bandung seperti “Bandoeng” karangan H. Buitenweg (Katwijk, Holland, 1976) atau “Gids van Bandoeng en Omstreken” karangan S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (Vorkink, Bandoeng, 1921). Di dalam bahasa Inggris ada “Bandung & Beyond” karangan Richard & Sheila Bennet (Aneka Karya, Bandung, 1980).

Daftar di atas hanya secuil saja dari banyak buku lain yang sudah membicarakan Kota Bandung sebelum Haryoto Kunto menerbitkan buku-bukunya. Yang cukup menarik perhatian dan menjadi pembeda buku-buku karangan Haryoto Kunto adalah keluasan bahasan dan penggunaan bahasa yang sangat longgar, nyaris seperti bahasa lisan yang digunakan sehari-hari. Mungkin faktor bahasa ini pula yang membuat buku-buku Haryoto Kunto menjadi begitu populer dan dikenang oleh banyak orang.

Dalam salah satu bagian tulisannya, Haryoto Kunto menulis: “Wah, bila Cuma berbenah diri kalau ada penggede pusat yang datang meninjau, benar-benar brengsek dong.” Kalimat ini dilanjutkan dengan kutipan “”Emang, Kota Bandung sih Brenk-sex!” kata si Dolly yang sering mangkal di Kebon Raja, nimbrung bicara.” Ya, begitulah gaya Haryoto Kunto menulis atau berbicara, nyaris ceplas-ceplos. Dalam menyimak ceritanya pembaca bahkan tak pernah dipusingkan dengan apakah tokoh Dolly yang disebutkannya itu benar-benar ada atau hanya rekaannya saja dalam mengemas cerita. Di banyak bagian tulisan, Haryoto Kunto cukup banyak menggunakan dialog (entah karangan atau bukan) dalam menyampaikan ceritanya. Sepertinya saat menulis itu Haryoto Kunto mengandaikan dirinya sedang bercerita secara lisan kepada para pendengarnya.

Faktor lain yang membedakan buku-buku Haryoto Kunto dengan buku lainnya yang membahas Kota Bandung, disampaikannya lewat judul buku yang digunakan, “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Dengan sumber referensi begitu banyak buku antik yang berhasil dikumpulkan di rumah tinggalnya di Jl. H. Mesrie No. 5, Haryoto Kunto mereka-reka seperti apa rupa Kota Bandung di masa lalu. Dari buku-buku lama digalinya informasi sebanyak mungkin, lalu disusun sedemikian rupa sehingga mendapatkan gambaran umum rupa Kota Bandung dari waktu ke waktu.

Yang berikut ini khusus tentang buku Wajah Bandung Tempo Doeloe. Saya tak ingat berapa kali buku ini keluar masuk koleksi bukuku, aktivitas jual-beli buku bekas membuat banyak koleksi bukuku bisa keluar masuk dengan agak leluasa. Sejak diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Granesia tahun 1984, buku yang legendaris ini ternyata tidak mengalami banyak cetak ulang. Sampai tahun 2014, baru 5 kali cetak ulang, semua oleh penerbit yang sama. Dapat dibandingkan dengan banyak buku best-seller masa kini yang dalam satu tahun saja bisa cetak ulang sampai belasan kali.

Kebetulan buku yang sedang saya pegang ini merupakan cetakan yang kelima. Seingat saya, dua cetakan terakhir (2008 & 2014) buku ini dicetak dengan ukuran yang lebih besar (24 x 18 cm) dibanding sebelumnya (22 x 15 cm), selain itu sampulnya dibuat hard-cover. Perbedaan lainnya, dua buku edisi terakhir memiliki gambar sampul yang berbeda dan menggunakan bahan kertas berwarna kuning pucat yang belakangan ini memang banyak dipakai untuk penerbitan buku.

Pada bagian isi, ada penambahan pengantar dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan. Di penerbitan awal, pengantar hanya diberikan oleh Walikota Bandung, Ateng Wahyudi. Pada bab terakhir yang merupakan kumpulan foto perbandingan antara foto zaman baheula dengan foto terkini juga mengalami perubahan, tidak lagi memuat foto-foto tahun 1984 seperti dalam terbitan pertamanya, melainkan foto-foto yang diambil tahun 2007. Saya tidak menemukan keterangan kenapa buku terbitan 2014 ini menggunakan foto-foto pembandingnya dari tahun 2007 dan bukan 2013 atau 2014. Saya juga tidak berhasil menemukan siapa nama fotografer untuk foto-foto “baru” ini.

Isi buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibagi ke dalam 18 Bab, dimulai dengan Bab I ”Pendahuluan” lalu Bab II “Negorij Bandong”, yang sebagian ceritanya sudah saya kutipkan di atas, yaitu latar belakang kelahiran Kota Bandung. Selanjutnya adalah bab-bab yang tidak terlalu ketat dengan urutan waktu namun secara umum ada gambaran kronologis. Bab-bab awal diisi oleh nostalgia Kota Bandung, cerita-cerita tempo dulu atau di sini sering disebut “zaman normal”, uraian pernik sejarah yang dianggap ikut membangun kejayaan Kota Bandung. Bab XIV memasuki “Wajah Pudar Bandoeng Tempo Doeloe” yang dilanjutkan dengan Bab XV “Pemugaran Bangunan Bersejarah”, kemudian kembali ke nostalgia dengan pilihan tema yang agak spesifik pada Bab XVII “Seabad Jalan Braga”. Rangkaian ini ditutup oleh Bab XVIII dengan judul “Bandung Antara Harapan dan Kenyataan”.

Haryoto Kunto membuka cerita dari mention pertama nama Bandong oleh Juliaen de Silva pada tahun 1641: “Aan een negrije genaemt Bandong, bestaende uijt 25 a 30 huijsen. (Ada sebuah negeri bernama Bandong yang terdiri dari 25-30 rumah)”. Lalu pencarian sulfur untuk campuran bubuk mesiu oleh Abraham van Riebeek yang sampai mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu, berlanjut ke cerita tentang orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung, yaitu Kopral Arie Top, yang mendapatkan tugas dari Kompeni (1741) sebagai Plaatselijk Militair Commandant (Komandan Militer Menetap di Satu Daerah). Sebagian besar Tatar Bandung saat itu masih berupa hutan dan rawa-rawa dengan beberapa kampung kecil di beberapa tempat.

Setelah itu cerita bersambung ke kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) membentang dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur. Pembangunan jalan raya ini mengakibatkan ibukota Kabupaten Bandung harus dipindahkan dari Krapyak, Citeureup (Dayeuhkolot sekarang) ke lokasi Alun-alun Bandung sekarang. Tanggal dikeluarkannya surat keputusan resmi perpindahan ibukota ini dijadikan sebagai patokan kelahiran Kota Bandung, yaitu 25 September 1810. Dapat dibayangkan saat itu pembangunan fasilitas pemerintahan yang baru dipusatkan di sekitar Alun-alun: Pendopo, masjid, paseban, kompleks kapatihan, pasar, banceuy, dan pesanggrahan. Disebutkan saat itu sudah ada  sejumlah kampung tua di Tatar Bandung, seperti Cikalintu, Balubur, dan Cikapundung Kolot.

Perpindahan ibukota kabupaten diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1864. Artinya ada perkembangan situasi kota Bandung mengikuti perpindahan ini, jalur-jalur jalan baru dibuat, dan orang-orang baru berdatangan. Groneman mencatat pada tahun 1870-an banyak orang sibuk membuka lahan di kota untuk dijadikan kebun dan bermukim di situ. Haryoto Kunto mencatat paling sedikit lahir sekitar 20 nama kampung dengan kata kebon di depannya, seperti Kebon Kawung, Kebon Jati, Kebon Kalapa, Kebon Jeruk, dst.

Masuknya jalur kereta api ke Bandung tahun 1884 menambah semarak kota kecil ini, disusul pembangunan berskala besar oleh Bupati RAA Martanagara yang bertindak sebagai Mandor Besar memimpin para kuli pribumi. Beberapa karya Martanagara adalah:

  • Lahan kota Bandung bagian selatan yang kebanyakan masih berupa rawa dijadikan persawahan, kolam ikan, atau disaeur (ditimbun tanah) seperti bisa dilihat dari nama tempat Situ Saeur.
  • Menggali dan memperbaiki saluran air (kanal) seperi Cikapayang dan Cikakak.
  • Penggantian atap dan tembok rumah menggunakan bata dan genteng yang dibuat di Merdika Lio.
  • Pembangunan jembatan-jembatan, termasuk penggantian bahan jembatan yang tadinya barbahan kayu dan bambu menjadi batu, tembok, dan besi.
  • Menata kawasan Grote Postweg sekitar Alun-alun menjadi kawasan perkantoran (Eropa) dan Braga menjadi kawasan pertokoan.

Pada Bab XII dengan judul “Bandung Penuh Sanjung”, Haryoto Kunto menceritakan bagaimana sejumlah orang Indo atau Belanda yang sudah kembali ke negerinya memendam kerinduan yang mendalam kepada kota ini. Cerita ini dilanjutkan dengan membahas berbagai julukan yang pernah disematkan kepada Kota Bandung, seperti Paradijs op Aarde, Paradise in Exile, sampai Bandung Kota Intelektual. Cerita berlanjut ke sekolah-sekolah tempo dulu, kehidupan kesenian, kelahiran Bandoengsche Radio Vereeniging (BRV), lalu beranjak sampai cerita soal kamp interniran di Bandung.

Bab XIII dengan judul Bandung adalah Bandung diisi oleh perbandingan perkembangan kota di Jakarta. Haryoto Kunto menyoroti pembangunan kota yang mengarah Jakarta-sentris. Tulis Haryoto Kunto: “Adalah usaha yang sia-sia, melawan dan membendung arus modernisasi dan kemajuan yang melanda masyarakat, maupun kota-kota besar di Indonesia. Namun kita harus cukup selektif dalam memilih bentuk teknologi yang akan diterapkan dalam planning dan pembangunan kota. Sebagai contoh: apakah tepat pengoperasian bis kota dengan ukuran long chassis dan mempunyai berat melebihi kekuatan jalan di Bandung yang sempit dan penuh tanjakan?”

Hampir di setiap bab yang ditulisnya Haryoto Kunto menyelipkan catatan dan pertanyaan tentang arah pembangunan dan perubahan kota yang dinilainya tidak memiliki kesadaran sejarah, sehingga Kota Bandung mengalami kerugian sejarah-budaya kota yang besar. Banyak harta karun sejarah-budaya yang musnah begitu saja. Pada bagian akhir Bab XIV Haryoto Kunto juga mempertanyakan soal penggantian nama-nama jalan dengan nama baru yang ternyata tidak menunjukkan identitas atau kaitan erat dengan sejarah yang terjadi di Kota Bandung.

Haryoto Kunto seperti hendak terus menegaskan betapa cantiknya Kota Bandung tempo dulu, betapa rinci perancangannya, dan betapa nyaman suasananya. Sayang semua itu hanya cerita tempo dulu. Perkembangan yang terjadi, terutama setelah masa kemerdekaan, justru berlawanan dengan keadaannya dulu. Kecantikan dan kenyamanan itu pelan-pelan memudar akibat pembangunan yang tidak terkendali dan kesadaran sejarah para penghuni kota yang dirasa sangat kurang.

Satu hal yang khas dari buku-buku karya Haryoto Kunto adalah kehadiran kutipan-kutipan di setiap pembukaan bab. Begitu juga dengan buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, penggalan puisi, lirik lagu, atau pepatah, menghiasi di sana-sini. Bila karya masterpiece-nya, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Granesia, 1986), dibuka dengan cuplikan dari naskah Kropak 632 Kabuyutan Ciburuy: hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke…, maka buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibuka dengan cuplikan dari “Wawacan Purnama Alam” karya R. Soeriadiredja: Beunang nungtik ti leuleutik, nyutat-nyatet ti bubudak, tataros ti kolot kahot, juru dongeng alam kuna, ayeuna ditukilna, disurup kana lagu, ditulad dijieun babad. (Diteliti sejak kecil mula, dicatat sejak kanak-kanak, bertanya kepada orang tua, tukang cerita dulu kala, sekarang diungkapkan, digubah jadi lagu, direka jadi cerita).

Kiranya kutipan terakhir ini cukup menjelaskan proses berkarya Sang Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, bahwa bukan hanya catatan dan tulisan yang dikumpulkannya, melainkan juga cerita-cerita, obrolan, lagu, dan semua sudah dilakukannya (secara konsisten) sejak kecil.

 

***

Tulisan ini dibuat untuk keperluan Kelas Resensi di Komunitas Aleut, sebuah kegiatan mingguan baru yang diadakan di Perpustakaan Kedai Preanger

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑