Oleh Fikri Mubarok Pamungkas

Tulisan ini postingan ulang dari aslinya yang berupa storymap di situs online arcgis.

Pada hari Minggu, 3 Maret 2024 pagi itu sinar mentari tak menampakan wajahnya. Saya mengikuti kegiatan reguler Aleut yang biasa dilakukan rutin sertiap minggu. Kegiatan kali ini yaitu momotoran menyusuri daerah Cililin Kabupaten Bandung Barat untuk melihat peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, selain itu juga pengenalan beberapa kawasan seperti Jatisari, Cibodas, Situwangi, Kp. Baru, Kidangpananjung, Walahir, Wisata Langit Gantole, dan seterusnya menuju Cililin.


Ide perjalanan ini sebetulnya telah disusun dua minggu lalu, namun baru minggu ini bisa melakukan perjalanan karena ada satu dan lain hal yang mengakibatkan diundur. Awal perjalanan dimulai dari SE Aleut melewati padatnya jalan M. Toha, Kopo, hingga Soreang. Setelah itu berbelok ke arah kanan menuju Desa Jatisari, suasana mulai berbeda rumah-rumah berderet berganti menjadi perbukitan di sebelah kiri, sedangkan di kanan jalan terdapat area pesawahan khas perdesaan.

Tanjakan yang terletak di Desa Jatisari, Tanjakan ini merupakan awal dimulainya perjalanan kami yang akan menyusuri naik turun pebukitan. Komunitas Aleut, 2024.

Perjalanan berlanjut menyusuri Desa Jatisari dan sampailah kami dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang lumayan panjang dan berkelok kelok. Untungnya jalanan bagus telah diaspal sehingga cukup membantu untuk melewatinya, tapi tetap saja harus berhati-hati. Tanjakan ini merupakan titik awal perjalanan kami yang segera akan naik turun perbukitan. Saya mengikuti rekan yang berada di depan untuk berhenti menunggu kawan-kawan yang tertinggal di belakang, maka saya sempatkan untuk mengambil beberapa foto. Tempat kami berhenti merupakan area pertigaan, jika melihat ke jalur sebelah kiri sepertinya jalur menuju perkebunan warga setempat yang belum diaspal, hanya tanah dan rerumputan.

Perjalanan tidaklah mudah, kami dihadang oleh jalan penuh lumpur dan genangan air yang tentunya licin dan membuat motor kami kepayahan melewatinya. Komunitas Aleut, 2024.

Memasuki wilayah perkampungan, saya melihat warga berlalu lalang beraktivitas yang mungkin kebanyakan berprofesi sebagai penggarap ladang. Tak banyak rumah yang dilewati di sana hanya beberapa saja. Jalanan pun cukup sepi kami tak banyak berpapasan dengan pengendara lain, tak heran juga karena orang yang mau lewat sini mestilah yang punya tujuan khusus, kalo engga, mana ada orang lewat, lokasinya agak terpencil.

Saya tercengang seketika melihat jalur di depan dipenuhi lumpur dan genangan air. Bagaimana tidak, kami yang hanya menggunakan motor standard melewati jalur seperti ini sudah dipastikan akan kesulitan. Dengan usaha bahu membahu tolong menolong satu sama lain, kami pun dapat melewatinya. Dengan bekerjasama saat melewati genangan air dan lumpur yang licin satu demi satu motor didorong supaya melaju kembali. Belakangan mendengar beberapa cerita, katanya memang jalur ini adalah jalur khusus motor trail. Jalur lumpur ini tidak terlalu panjang, namun tetap saja cukup menguras tenaga.

Saat hendak menyerah, seorang petani di lembah menyemangati: Sayang, Pak, ga jauh lagi udah nyampe dataran di atas, setelah itu jalannya beton semua. Komunitas Aleut, 2024.

Kami berhenti sesaat di tengah jalur yang masih berlumpur, sembari menunggu rekan yang masih di belakang, kami membersihkan outsol sepatu yang penuh dengan tanah. Saat saya membersikan sepatu tiba-tiba terpeleset di rumput yang licin. Sontak membuat rekan melihat ke arah saya yang tengah terduduk di rerumputan. Saat Teh Rani mengulurkan tangannya untuk membantu, eh malah jadi teringat kejadian beberapa minggu sebelumnya ketika momotoran ke daerah Kutawringin, waktu itu saya terpental saat mencoba menahan motor Adit yang tidak bisa menanjak. Hanya saja waktu itu Insan yang mengulurkan tangan untuk menolong. Kedua momen ini terekam pula dalam foto. Jadinya seperti reka ulang kejadian saja haha. Saya mudah terjatuh karena lutut sebelah kanan saya sedang mengalami cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament), sehingga tidak kuat dijadikan tumpuan atau saat menahan beban berat.

Setelah lewat jalur trail kami sampai di rest area di atas, sebuah dataran tidak terlalu luastempat biasa para pengendara motor trail beristirahat. Benar saja, tak lama kami duduk beristirahat para pengendara motor trail berdatangan. Dari kejauhan sudah terdengar suara motor trail, seketika saya mengikuti rekan Aleut yang melihat ke arah jalan untukmelihat pengendara motor trail begitu mudah melewatinya berasa jalur tak ada halangan yang sulit. Berbeda dengan kami yang menggunakan motor standard, kebanyakan menggunakan motor matic pula. Sembari beristirahat di sebuah saung, sementara beberapa rekan Aleut yang lainya membeli air mineral dan jajan di warung parapatan Ibu Adah. Saya mendengar cerita dari rekan yang telah mengobrol di warung, ternyata jalur ini merupakan jalur motor trail yang dengan sengaja tidak diaspal oleh pemerintah desa setempat. Tempat kami beristirahat ini terletak di Kampung Baru perbatasan antara Desa Cibodas dan Desa Jatisari.

Atas: Pertigaan menuju Puncak Batu Nini. Bawah: Puncak Batu Nini. Komunitas Aleut, 2024.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Buleud, dengan tujuan Puncak Batu Nini. Sesampainya di pertigaan jalur Gunung Buleud, Batu Karut, dan Puncak Batu Nini, kami lihat ada beberapa petani dan di belakangnya ada sebuah saung kosong. Seperti biasa, kami sempatkan untuk bertegur sapa sambil bertanya ini-itu seputar Gunung Buleud dan kawasan setempat. Menurut bapak-bapak tanu itu Puncak Batu Nini sempat menjadi objek wisata yang viral, selalu dipenuhi kunjungan wisatawan setiap akhir pekan. Sambil bercerita itu, tangannya menunjuk ke sana-sini juga menggambarkan bagaimana padatnya kendaraan memenuhi hampir seluruh ruas jalan di sekitar waktu itu. Selain ke Puncak Batu Nini, Ada juga orang-orang yang khusus datang untuk berziarah ke Batu Karut. Mereka berjalan kaki dari arah kampung lalu dari pertigaan ini memutari Gunung Buleud dari arah sebelah kiri. Fenomena batu yang terlilit oleh akar-akar pohon tua itu dikeramatkan oleh sebagian orang.

Setelah mengobrol dengan bapak-bapak tani itu, kami berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Batu Nini atau tidak, dan siapa saja yang ikut naik ke atas. Alhasil kelompok terbagi beberapa orang yang naik ke atas, ada juga yang menunggu di saung warga, dan ada juga yang ikut naik namun tidak sampai ke Puncak Batu Nini. Menurut penuturan bapak tadi memang lokasi Puncak Batu Nini sudah tidak jauh lagi, tapi ya namanya omongan warga setempat, tentunya berbeda dengan apa yang kami bayangkan.

Jalur menuju Puncak Batu Nini tidaklah mudah, karena sebagian besar telah tertutupi oleh ilalang rerumputan liar menghalangi jalan. Jalur jalan setapaknya berbatu dan sebagian lagi tanah, sehingga membuat jalan licin dan tentu saja menambah sulit perjalanan. Saya sampai beberapa kali harus merayap berpegangan keakar-akar dan rumput di sampingnya agar tidak tergelincir. Mungkin sudah beberapa bulan tidak ada lagi orang yang melewati jalur ke Puncak Batu Nini ini. Di atas sebenarnya ada beberapa warung yang dari penampilannya sih sepertinya masih buka, namun kebetulan saat itu tutup. Ada juga warung sudah tidak digunakan lagi dan hanya menyisakan rangkanya saja. Dapat dibayangkan dulu ramainya wisata Batu Nini ini, menurut beberapa berita, saat ramai dahulu, jalur ini juga digunakan oleh para pesepeda.

Akhirnya setelah melewati track menanjak dan licin, sampai juga di atas Puncak Batu Nini. Dari atas sini, terhampar pemandangan yang menakjubkan. Semilir angin merasuki badan serta rasa takjub melihat batu begitu besar diatas bukit Gunung Buleud. Mungkin ini yang dirasakan seorang naturalis Jerman di Tanah Priangan yang melakukan perjalanan menuju Cililin (Distrik Rongga) menyusuri lereng Gunung Buleud. Dapat dibayangkan kondisi wilayah di sini dahulu, sebagaimana diceritakan dalam tulisan tentang Ekspedisi Novara saat mengunjungi batu besar berbentuk kerucut ini dahulu. Cerita lebih banyak tentang ekspedisi ini bisa dibaca di bukunya Muhammad Malik ar Rahiem, Naturalis Jerman di Tanah Priangan (Layung, 2021).

Begini pemandangan dari warung di atas Venue Gantole. Ga ada kompas, ga ngecek arah juga,foto atas ada di sebelah kanan, dan foto bawah ada di sebelah kiri kami. Komunitas Aleut, 2024.

Melanjutkan perjalanan, kami sampai di Venue Gantole. Tempat ini sempat dijadikan lokasi penyelenggaraan perlombaan PON Jawa Barat 2016. Tapi kini gedung tempat para atlet paralayang itu terlihat sudah tak terurus. Dindingnya banyak ditumbuhi lumut dan tumbuhan liar. Hanya tempat wisata Langit Gantole yang berada di sebelahnya yang masih cukup ramai dikunjungi. Suasana di area Venue Gantole saat kami datang terlihat sepi, warung-warung masih buka, tapi tidak banyak tamu. Kami memilihi salah satu warung untuk tempat istirahat sebentaran, sambil menikmati pemandangan menyejukkan mata yang terbentang luas di depan mata: hamparan sawah bertingkat-tingkat, perbukitan, dan Waduk Saguling yang ujung-ujungnya seperti akar serabut menjorok ke kaki-kaki bukit.

Perjalanan selanjutnya mestinya mengunjungi peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, tapi ternyata hari itu bangunan bekas stasiun radio tersebut sedang digunkan acara oleh sebuah paguyuban di Cililin, parkiran pun tumpah ke jalanan. Akhirnya kami putar balik ke SMAN 1 Cililin. Setelah mendapatkan izin penjaga, kami pun masuk ke dalam lingkungan sekolah. Berkeliling ke seluruh bagiannya, termasuk ke dalam ruangan bekas kantor staf stasiun radio yang sempat digunakan sebagai rumah tinggal oleh Westerling pada tahun1950-an. Kini bangunan tersebut dijadikan ruang tata usaha dan ruang kepala sekolah.

Dua foto di atas diambil di dalam kompleks SMAN 1 Cililin. Komunitas Aleut, 2024.

Ruangan-ruangan di dalam bangunan di kompleks ini terasa cukup sejuk. Beberapa bangunan tampak sudah berganti rupa, sementara interiornya masih dipertahankan keasliannya. Jendela-jendela yang masih menggunakan yang lama. Selain itu, kami melihat beberapa foto lama yang dipajang di dinding tembok. Mengenai Cililin, saya menemukan sebuah novel yang menceritakan kisah menarik di Cililin, judulnya The Belle of Tjililin. Novel karya Soeka Hati ini diterbitkan oleh Tan’s Drukkery tahun 1934, yang beralamatkan di Surabaya. Isinya kisah cinta klasik dengan latar masyarakat heterogen. Diceritakan kondisi sosial masyarakat di Jawa Barat tahun 1920-1930-an, terkhusus di wilayah Cililin yang penduduknya digambarkan sebagai pembuat minyak dari kacang yang katanya terbaik di Jawa Barat. Selain itu, tergambarkan juga bahwa masyarakat Cililin merupakan masyarakat yang religius dan taat beragama.

Diskusi di ujung perjalanan, di Saung Lalakon. Komunitas Aleut, 2024.

Setelah menempuh perjalanan menyusuri Cililin, kami melintasi kawasan padat ramai di Cihampelas, sebuah kecamatan bagian dari Kabupaten Bandung Barat yang penduduk dan lingkungannya terasa lebih modern. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke rumah makan Saung Lalakon yang terletak di kaki Gunung Lalakon. Kami memilih tempat di area bawah, tempat duduk lesehan di atas panggung yang di bawahnya ada kolam ikan. Sembari menunggu pesanan datang, kami bertukar cerita pengalaman perjalanan yang telah dilalui, karena dari setiap perjalanan tentunya ada sebuah pelajaran yang dapat dipetik untuk bekal hidup yang lebih baik. Seperti dalam tulisan yang kami lihat tertera di dinding SMAN 1 Cililin tadi: Guna Wulang Gapuraning Rahayu. ***