Tag: travelling

Catatan Momotoran Cililin; Susur Jalur Desa

Oleh: Fikri Mubarok Pamungkas

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Mapay jalan satapak

Ngajugjug ka hiji lembur

Henteu maliré kacapé

Sabab aya nu ditéang

Dalam perjalanan momotoran ke wilayah Cililin (lagi) minggu lalu, saya teringat lirik lagu Mawar Bodas dari Doel Sumbang itu. Momotoran di Aleut memang sudah dapat dipastikan akan melewati kampung-kampung alias lembur, kawasan yang jauh dari daerah padatnya perkotaan. Begitupun dengan perjalanan momotoran kali ini yang justru kebanyakan melewati perkampungan, mungkin mirip susur kampung.

Kami telah merencanakan momotoran ini seminggu sebelumnya dengan tujuan latihan menulis catatan perjalanan bagi anggota ADP 2023 dengan media belajar momotoran. Tak banyak rencana destinasi yang akan dikunjungi, hanya beberapa saja, itu pun sekeinginannya di jalan. Momotoran kali ini juga tak seperti biasanya karena tidak menargetkan kunjungan ke tempat bersejarah, seketemunya saja. Karena itu, pada tulisan kali ini saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saja dalam mengikuti perjalanan momotoran itu.

Saya merasa senang bisa momotoran lagi ke kawasan Cililin bersama Aleut, dan ini adalah momotoran yang ketiga kalinya buat saya ke daerah ini. Seperti sebelumnya, kali ini pun kami menempuh jalur jalan yang berbeda. Dalam perjalanan terakhir, kami mengambil jalur Jatisari lalu berbelok ke tanjakan cukup berat di Bahubang Legok, kemudian masuk ke jalur jalan berlumpur. Hari ini kami mengambil jalan lurus ke Jati Bunikasih, lalu Mariuk, Cipapar-Cibadak, dan melewati Desa Situwangi lagi tapi di kawasan yang berbeda.

Perjalanan sejak pagi tadi cukup menyenangkan, dimulai dari sekretariat Aleut, kemudian ke kompleks TKI untuk menjemput seorang rekan yang memang tinggal dekat daerah itu, lalu menuju Jatisari yang menjadi gerbang untuk kawasan yang akan kami datangi hari ini. Menjelang Mariuk, di Kampung Cibadak, kebetulan saya berada di urutan paling depan, sedangkan kawan-kawan lain di belakang dengan jarak tidak terlalu berjauhan. Di sebuah tanjakan, kawan paling belakang membunyikan klakson dan menghentikan motornya. Rupanya mau menyetel rem. Pada saat itulah ia sepertinya melihat sesuatu yang menarik perhatian dan memanggil kami yang berada di depan untuk memutar balik.

Ternyata ia melihat sebuah warung yang tampak menarik lokasinya, di dasar lembah berdampingan dengan hamparan sawah yang sedang menghijau segar. Pemandangan ini memang langsung terasa sangat menarik, membuat kami memutuskan untuk melihat langsung warung itu dari dekat. Jadi, kami putar balik, dan berbelok di sebuah jalan menurun yang agak teduh karena lebatnya rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanannya. Jalannya tidak lebar, tapi kondisinya termasuk bagus untuk ukuran daerah itu. Tidak terlalu jauh dari belokan tadi, kami sudah tiba di sebuah gapura bambu berukuran kecil di sisi kanan jalan. Gapura ini diapit oleh pagar bambu yang cukup tinggi sehingga bangunan di dalamnya hanya terlihat bagian atapnya saja.

Pemandangan ke arah Batu Nini dari Warung Lugina. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Sebelum masuk ke area warung, dari kejauhan saya melihat batu besar yang menjulang tinggi di lereng gunung di sebelah kiri saya. Batu itu sudah tak asing lagi buat saya karena beberapa waktu lalu pernah mendaki ke atasnya. Sungguh pengalaman luar biasa bisa berada di atas batu itu. Ketika melihat ke bawahnya, ada perasaan ngeri juga, karena merupakan jurang yang dalam. Dari sana asyik sekali mengamati kebun-kebun, hutan, sawah, dan permukiman yang tersebar jauh di bawah. Andai sebelum mendaki itu saya sudah tahu keberadaan warung ini, tentu saya akan mencari-cari lokasinya dari atas sana.

Gerbang Warung Lugina yang berbatasan dengan persawahan. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Kembali ke warung ini. Di gapura terbaca namanya: Warung Lugina. Tempatnya terlihat nyaman, didominasi warna hijau, merah marun, dan coklat. Warna hijau dari sawah yang menghampar di belakang serta tetumbuhan di seluruh area warung, merah marun dari warna atap warung, dan coklat dari warna pagar dan bangunan warung yang terbuat dari kayu dan bambu. Baru beberapa langkah, terasa beruntung juga menemukan keberadaan warung dengan lokasi yang nyaman di sini, apalagi mengingat sebelumnya sempat ada obrolan selintas ingin mampir ke sebuah resto atau cafe yang pernah populer bernama Breeze. Saat lewat, rasanya tempatnya terlalu modern bagi kami.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Warung Lugina. Mengobrol seru dengan pengelolanya, Pak Rahmat, yang ramah dan senang bertukar cerita. Sambil ngobrol, beliau menggoreng beberapa piring bala-bala dan tempe, juga menyeduh minuman pesanan kami. Semua dilakukannya sendiri. Lalu tiba juga waktunya berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Saya dan kawan-kawan menyimpan beberapa catatan dari obrolan yang santai dan menyenangkan ini, terutama mengenai pengalaman hidup Pak Rahmat sejak usia mudanya.

Kami kembali menyusuri jalanan di Kampung Cibadak menuju Desa Situwangi. Ruas jalannya tidak terlalu besar, bila dua mobil berpapasan, mungkin harus mengatur jarak agar bisa lewat satu per satu. Jalannya sih sudah dilapisi beton, buat motor cukup memudahkan. Perkampungan demi perkampungan kami lalui, juga hutan-hutan kecil, hingga sampailah kami di Desa Situwangi.

Dari Desa Situwangi kami mengambil jalan ke arah kiri dan tepat di sebuah pertigaan, rekan yang berada paling depan berhenti untuk menunggu rekan lainnya. Lalu ada seorang warga yang menanyakan “bade ka saha?” sontak kami sedikit bingung untuk menjawabnya. Untungnya saat melihat petunjuk arah di hp langsung teringat, bahwa kami akan mengunjungi Makam Eyang Dalem Angga Yuda. Maka kami pun langsung menjawabnya dan bertanya apakah jalur ini betul atau salah. Ternyata benar, jalan ini ialah jalur menuju Makom yang dimaksud.

Jalanan menuju makom lumayan menanjak dan semakin sempit di atasnya, mungkin hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Kami melewati sebuah kampung kecil dengan sawah-sawah di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan jalan terdapat rumpun-rumpun pohon bambu, hutan kecil, dan ladang. Tepat di puncak, terdapat sebuah baliho yang menunjukkan bahwa makam Eyang Dalem Angga Yuda. berada di sekitar tempat ini, namun masih harus jalan kaki ke atas bukit.

Tidak ada tempat parkir di sini, sehingga kami harus menyusun motor-motor di lahan-lahan sempit di sela rumah paling depan. Dari sini berjalan kaki sedikit, lalu di sebelah kiri ada lorong sempit bertangga batu yang penuh lumut untuk naik ke atas bukit. Tidak terlalu jauh naiknya, mungkin sekitar 20 meteran.

Bagian atas bukit ini seluruhnya terisi oleh permakaman umum dan di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Angga Yuda. Makam-makam paling depan yang kami temui ukurannya tidak biasa, sekitar 3-4 meter panjangnya. Ketika bertanya pada dua orang bapak warga lokal yang sedang duduk-duduk dekat area makam keramat, ternyata mereka juga tidak tahu kenapa makam-makam di depan itu ukurannya panjang-panjang.

Lorong tangga menuju kompleks makam dan makam panjang yang kebanyakan tanpa nama. Foto: Deuis Raniarti.

Di dekat bangunan makam keramat ada sebuah bangunan lain dengan ukuran lebih kecil, katanya sih warung. Saya kira warung ini aktifnya bila sedang ramai orang datang berziarah ke sana. Makam-makam seperti ini memang selalu ramai sekali pada hari-hari atau event tertentu. Di salah satu sisi dinding luar bangunan ini terdapat spanduk besar berisi keterangan silsilah Eyang Dalem Angga Yuda. Bertanya tentang nama-nama yang tercantum pada bapak-bapak tadi pun hasilnya sama saja, nihil. Kejadian seperti ini cukup sering kami temui di tempat-tempat yang dikeramatkan seperti ini, para pengunjung seringkali tidak tahu apa-apa tentang siapa yang diziarahinya. Fenomena yang sangat menarik.

Saat kami datang ini ada beberapa orang yang sedang berziarah juga, termasuk satu pasangan sepuh yang berjalan dengan tertatih-tatih. Mereka baru saja keluar dari bangunan utama dan sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Si ibu tampak bersemangat melihat rombongan kami dan menyerukan sesuatu, semacam “Tah kitu atuh anu ngarora, sok pada ziarah.”

Kami pun melihat-lihat ruangan dalam bangunan utama yang berisi makam Eyang Dalem Angga Yuda. Cukup luas juga dan terdapat sebuah area untuk tawasulan. Setelah itu kami mengelilingi area makam yang ada di belakangnya. Walaupun berada di ketinggian, tapi dari atas sini pandangan ke bawah tidak bebas, karena padat dan rimbunnya pepohonan yang mengelilingi area makam ini.

Kami tidak terlalu lama berada di area makam ini, kemudian turun lagi dan melanjutkan perjalanan menyusuri kampung yang cukup padat dengan jalan-jalan sempit yang cukup tajam tanjakannya. Kampung-kampung ini walaupun terlihat padat, tapi umumnya sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya sedang sibuk berladang atau menggarap sawah. Tak terbayangkan sih keseharian warga di sini, bila akan pergi ke tetangga dekat saja harus berjalan kaki menempuh tanjakan atau turunan yang curam-curam begini.

Usai tanjakan panjang dan setelah SDN Budiwangi, kami bertemu jalan utama Bahubang-Batukarut. Ke kanan menuju Cihampelas, ke kiri ke Bahubang Legok yang sudah pernah kami lalui dalam perjalanan terdahulu. Di sini kami spontan mengambil jalan ke kanan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu ke Walahir. Jalanannya cukup bagus, di sisi kiri kanan jalan tidak terlihat ada rumah-rumah, hanya ladang dan tanah kosong. Di beberapa bagian ada jalanan rusak dan berpasir yang membuat motor kadang agak goyah. Sampai di bawah, kami baru menyadari bahwa jalan ini menuju ke Desa Utama, artinya kami malah balik lagi ke jalan utama, tidak jauh dari lokasi tadi bertanya tentang makam Eyang Dalem Angga Yuda, haha. Putar balik deh.

Lucunya, setelah putar balik ini, rombongan malah kepencar-pencar. Ada dua motor yang sudah melaju cepat jauh di depan dan tidak terlihat lagi dari pandangan. Nanti kami ketahui bahwa dua motor di depan ini pun ternyata terpisah cukup jauh, walaupun masih berada di jalur yang sama. Saya bersama dua motor lagi yang tertinggal di belakang berinisiatif mengambil sebuah jalan beton yang belok ke kanan. Jalan ini agak terlindung di balik lebatnya rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Sedari tadi saya sudah mengetahui jalur jalan ini melalui google maps dan terlihat jalur ini merupakan yang terpendek untuk menuju ke Puncak Gantole.

Setelah agak jauh ke dalam dan tiba di sebuah pertigaan, hati mulai ragu, karena tidak terlihat rekan-rekan yang sudah duluan di depan. Ini tentu saja tidak biasa, karena di Aleut, bila berada di kawasan yang belum akrab dan menemui jalur bercabang seperti ini, sudah pasti akan ada yang menunggu agar yang di belakang tidak terpisah karena salah ambil jalur jalan. Saya pun memutar balik dan di bawah bertemu dengan satu motor lain yang rupanya menyusul kami karena tidak kunjung muncul di jalur yang sudah mereka tempuh. Kami kembali ke jalur jalan utama Bahubang-Batukarut.

Kawasan yang membuat rombongan kami terpencar-pencar. Jalannya mah lurus-lurus aja, tapi karena masing-masing pegang google maps, ya itulah yang akhirnya memisahkan haha. Foto: Deuis Raniarti.

Lagi-lagi di sebuah pertigaan, rekan yang di belakang saya ternyata tidak mengikuti dengan cepat sehingga terpisah kembali. Saya memutuskan berbelok ke kiri yang jalannya agak menanjak lalu menunggu di atas, sembari menunggu balasan chat dari rekan yang telah berada di depan. Setelah menerima balasan, kami memutuskan mengambil jalan lurus, sebab jika dilihat dari peta gmaps ada jalan yang mengarah ke rekan yang berlokasi di sana. Tapi setelah kami ikuti jalur ini, ternyata malah semakin menyempit, mungkin hanya cukup satu motor saja sehingga kami pun kembali berputar arah dan mencoba jalan lain yang berbelok ke kiri. Jalan ini justru lebih parah sampai ke ujung jalan beton dan mengarah ke hutan.

Akhirnya teknologi whatsapp juga yang menyelesaikan persoalan salah mengerti ini. Kami kembali ke jalan utama Bahubang-Batukarut, belok kanan, lalu menyusul rekan-rekan yang menunggu jauh sekali di depan. Akhirnya kami bertemu kembali bersama rombongan, setelah terpisah mungkin sekitar 20 menit.

Dari sini kami menempuh jalur jalan perkampungan yang kecil menuju Pojok Walahir dan Puncak Gantole. Menempuh lagi jalur tanjakan Cipamonokan sampai ketemu pertigaan ke Gedugan. Lalu belok kanan ke Pasirpanjang-Cijeruk yang menanjak dan mengikuti jalur jalan berliku. Jalan di sini kondisinya sangat baik dan nyaman dilalui. Jalanan yang mulus sangat membantu motor kami yang tenaganya pas-pasan ini dalam menapaki tanjakan. Di ujung tanjakan, persis di tikungan patah ke arah kiri, ada sebuah warung kecil di tepi jalan. Ke situlah kami mampir sebentar. Di dalam warung ini, ada sedikit teras menghadap ke lembah di bawahnya. Jajaran pergunungan di utara Bandung pun terlihat cukup baik, apalagi bila udaranya bersih. Sayangnya di teras dalam yang sempit ini sudah terisi oleh sepasang muda-mudi yang asyik masyuk selonjoran melupakan dunia sekitar. Jadi kami pilih teras yang sedikit lebih lega, tapi pemandangannya sepertinya ke arah Soreang, itu pun terhalang pergunungan yang baru saja kami lalui. Sebagian rekan duduk-duduk di bangku luar warung sambil memesan ini-itu.

Warung Pengkolan yang bikin betah nongkrong. Foto: Deuis Raniarti.

Warung ini memang nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat, terutama setelah menempuh perjalanan menghadapi tanjakan yang cukup melelahkan. Angin sepoy-sepoy dan sejuknya hutan pinus di sebelah warung membuat betah berlama-lama di sini. Jualannya sih biasa saja seperti warung pada umumnya, mi instan, seblak, baso, berbagai minuman kemasan, dan kelapa muda. Lokasinya yang membuatnya jadi istimewa.

Lewat tengah hari, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam melewati hutan pinus yang dijadikan tempat wisata, namanya Pinus Pananjung. Sepertinya tempat ini tidak banyak pengunjungnya, apa mungkin musimnya sudah berlalu? Di sebelah kanan jalan ada area yang agak lapang dan bangunan yang dari bentuknya seperti toilet, namun kurang terawat. Di sebelah kiri jalan berjejer warung-warung bambu yang cukup teduh karena berada dalam lindungan pepohonan. Tampaknya sedap juga buat sekadar nongkrong di situ bila kapan-kapan lewat lagi.

Setelah melalui tempat wisata lain yang cukup ngehits, yaitu Langit Gantole, kami pun memasuki sebuah kampung yang terlihat cukup padat. Modelnya kampung modern dengan rumah-rumah tembok. Warga cukup ramai berlalu-lalang, dan ternyatalah sedang ada keramaian, syukuran khitanan. Dari arah depan kami berjalan arak-arakan dengan kuda renggong dan di paling belakang berjalan pelan sebuah mobil bak yang membawa soundsystem dengan suara keras. Karena pemandangan seperti ini cukup langka bagi kami, jadi kami menepikan motor dan menunggu sampai seluruh arak-arakan lewat. Meriah sekali.

Foto atas: arak-arakan kuda renggong. Foto bawah di lapangan Puncak Gantole. Foto: Deuis Raniarti dan Fikri Mubarok Pamungkas.

Tidak jauh dari kampung barusan, lingkungannya sudah merupakan area terbuka yang termasuk ke kawasan Puncak Gantole. Di sebelah kanan sedang ada pembangunan pondok-pondok kayu berbentuk segitiga yang belakangan ini banyak ditemukan di mana-mana. Sepertinya sedang ada persiapan pembuatan lokasi wisata baru lagi. Melihat bentuknya sih, sama saja dengan banyak lokasi wisata yang sedang populer belakangan ini. Seragam.

Akhrinya kami tiba di Puncak Gantole dan menepi ke sebuah warung kecil. Pemilik warungnya senang bercerita, sedikit saja salah satu rekan kami bertanya, si ibu warung akan menjawabnya dengan panjang lebar, sambil selalu bercerita tentang keadaan pribadinya. Lama-lama malah si ibu curhat segala macam. Ya begitulah obrolan warung, bisa tidak terduga arah obrolannya. Usai rekan-rekan lain berkeliling area gantole dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini akan mencoba jalur Gedugan, jadi kami agak memutar balik sedikit sampai pertigaan di bawah Warung Pengkolan tadi. Di sini ambil jalan ke kanan yang menuju ke Desa Kidangpananjung. Jalur jalan di sini tidak sebaik sebelumnya, tapi juga bukan jalan yang terlalu rusak. Beberapa kampung kami lewati, sampai tiba di sebuah pertigaan yang tidak terlalu mencolok karena belokan ke kirinya berupa jalan kecil berbatu-batu. Setelah melewati kantor Desa Kidangpananjung, kami berhenti sejenak di sebuah pertigaan kecil untuk memastikan jalur, karena sempat ada rencana untuk mencoba jalur ke kiri yang menuju Cicapeu.

Pada saat berhenti itu muncul serombongan ibu-ibu dari arah kiri yang menanyakan kami mau ke mana, ketika menyebutkan Cicapeu, ibu-ibu ini menyarankan untuk tidak melanjutkannya, karena kondisi jalan yang rusak parah serta jalurnya naik-turun curam. Katanya, orang situ pun enggan menggunakan jalur itu dan memilih jalur memutar-mutar saja bila ada tujuan ke arah sana. Berdasarkan google maps, jalur ini sebetulnya dapat tembus sampai Kutawaringin, tapi kali ini kami memilih percaya kepada warga lokal saja.

Sebetulnya ada beberapa rute jalan potong lain ke Soreang atau Kutawaringin dari tempat kami berada itu, misalnya lewat jalur Cikoneng-Puncakmulya yang akan melipir Puncak Gunung Aul dan bertemu dengan Simpang Lima Gunung Geulis dan Ciririp-Bangsaya bagian timur yang sudah pernah kami lalui beberapa waktu lalu. Bisa juga lewat jalur Gedugan Kulon ke selatan melalui Nagrog lalu bertemu dengan jalur Tegalpanjang yang ke arah timurnya akan bertemu dengan Desa Sukamulya, dan selanjutnya melipir Puncak Gunung Aul. Jalur ini menapaki punggungan perbukitan Puncak Paseban. Satu jalur lainnya adalah melewati jalan kecil belok ke kiri yang lokasinya tak jauh dari kantor Desa Kidangpananjung. Jalur ini terlihat lebih ringkas, tapi kurang meyakinkan karena garisnya yang tipis, jangan-jangan… Jalur yang melewati daerah Cibauk ini bisa langsung sampai Cibodas, Kutawaringin. Yah lain kali aja deh kayanya, kalau sudah ada informasi tambahan, apakah dapat dilalui oleh motor-motor matic manja kami ini.

Akhirnya kami memilih jalur yang sebenarnya menjauh, yaitu ke arah Kampung Lembang dan selanjutnya Mukapayung yang dapat dikatakan sudah cukup sering kami datangi atau lewati. Yah lumayanlah, menghindari jalan rusak ekstrim, ketemunya jalur turunan panjang yang tak kalah ekstrimnya. Dari sini kami melewati tempat wisata Lembah Curugan Gunung Putri, lalu keluar di Cililin. Akhirnya spontan spontan saja mampir beberapa tempat  bersejarah, di antaranya, Radio NIROM Cililin yang catatannya sudah ditulis oleh rekan lain beberapa waktu lalu. ***

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Momotoran Sinumbra-Cipelah: Cerita dari Pemetik Teh Kebun Sinumbra

Oleh: Irfan Pradana

Plang Pabrik Teh di Kebun Sinumbra. Foto: Deuis Raniarti.

Semalam sepulang bekerja saya sempatkan untuk membeli nasi goreng di tempat langganan sejak kecil. Sambil menunggu pesanan datang, saya disuguhi segelas besar teh tawar hangat. Gratis dan bisa diisi ulang sesuka hati.

Saya jadi teringat pada masa-masa saya tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap warung makan di Jogja, teh tidak diberikan secara cuma-cuma. Pengunjung harus merogoh kocek tambahan jika ingin meminum teh, baik teh tawar maupun teh manis. Jika tak ingin keluar duit lagi, silakan minum air putih.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sempat merekam fenomena ini. Teh di wilayah priangan adalah komoditas utama penopang perekonomian. Perkebunan teh membentang luas menguasai lahan yang berada di Jawa Barat. Imbasnya persediaan teh jadi melimpah ruah.

Sebagaimana hukum ekonomi, ketika supply melimpah, maka harga akan turun. Penjual makanan mungkin sudah memasukkan teh sebagai komponen harga pokok produksinya. Entah, yang pasti teh tawar disuguhkan gratis.

Membicarakan perkebunan teh —khususnya di wilayah Bandung— akan mempertemukan kita pada nama-nama pembesar, juragan teh, seperti Bosscha atau keluarga Kerkhoven. Nama mereka telah diabadikan di banyak monumen maupun literatur sejarah. Bosscha misalnya, namanya tetap harum hingga saat ini berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di kota Bandung. Namanya terpatri sebagai nama peneropong bintang di utara Bandung sana.

Lantas bagaimana cerita dari sekrup paling penting dari industri yang membesarkan nama-nama seperti Bosscha?

Tulisan ini merangkum isi perjumpaan kami dengan seorang mantan buruh pemetik teh di perkebunan Sinumbra, Rancabali. Namanya Ibu Iwin.

Ngalor Ngidul dengan Bu Iwin, Pensiunan Pemetik Teh di Sinumbra

Minggu lalu Komunitas Aleut kembali mengadakan kegiatan momotoran, kali ini tujuannya ke sekitar Sinumbra-Cipelah. Kami berkeliling di seputar Ciwidey dan Rancabali untuk menyusuri jejak Siluman Merah, Max Salhuteru, Perkebunan Teh Sinumbra, Desa Sukaati, hingga ke wilayah Cipelah, Cianjur.

Rute ini dibuat dengan satu jalur, sehingga seluruh destinasi kami lewati dua kali. Kami bertemu dengan Bu Iwin di perkebunan Sinumbra saat perjalanan pulang. Awalnya di Sinumbra kami hanya melawat ke pabrik dan masjid yang dibangun oleh Max Salhuteru. Mungkin bu Iwin masih bekerja di kebun saat pertama singgah tadi.

Continue reading

Catatan Momotoran Sumedang: Dari Cijeruk sampai Gunung Puyuh. 13-04-2024.

Oleh Irfan Pradana Putra

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang. Berikut ini adalah catatan perjalanannya.

Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan langsung menuju ke lokasi pertama di Cinunuk, yaitu lokasi sebuah pin di google maps dengan keterangan “Makam Ki Darman”. Tapi setelah tiba di lokasi, ternyata tidak ada makam di situ, hanya satu area bekas kantor pemerintah yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pagar depan terkunci. Di sebelah kiri ada sebuah plang khas pemerintahan yang kurang jelas terbaca dari tempat kami berdiri. Ke belakang, masih ada halaman. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan makam di sini. Lalu, kenapa ada orang yang nge-pin lokasi ini sebagai lokasi makam Ki Darman? Salah pin?

Setelah menelusuri riwayat dalang Partasuwanda melalui cerita dari putranya, Mumun Partasuwanda, yang sudah ditulis di  sini , kami mendapatkan beberapa nama tokoh yang mengawali keberadaan seni wayang golek di Jawa Barat. Di antaranya dalang Dipaguna Permana yang didatangkan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829), lalu Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, yang didatangkan pada masa Bupati Bandung Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846). Semua tokoh tersebut di atas berasal dari Tegal.

Dari empat nama di atas, Dipaguna dan Ki Rumiang yang berprofesi sebagai dalang, sedangkan Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, dan Ki Surasungging pembuat alat musik. Yang memelopori pertunjukan wayang dengan bahasa Sunda adalah murid dari Ki Rumiang, yaitu dalang Anting.

Setelah melihat ada pin dengan tag Makam Ki Darman di google map, tentu saja kami merasa perlu untuk mendatanginya dengan harapan bisa melanjutkan potongan-potongan cerita tentang awal perkembangan seni wayang golek di Jawa Barat. Sayangnya, pin itu tidak diletakkan pada posisi yang tepat, sehingga kami tidak menemukannya.

Di sebrang jalan tempat kami kebingungan mencari lokasi yang disebut sebagai Makam Ki Darman itu ada sebuah rumah tua yang letaknya menjorok ke dalam dan di depannya punya jalan masuk sendiri. Di bagian dalam ada beberapa rumah. Kami ke sana mencoba bertanya. Ternyata keluarga ini dari kalangan ulama dan masih berkerabat dengan Hoofd Penghoeloe  Hasan Mustapa . Mereka menunjukkan lokasi makam yang letaknya lebih jauh ke dalam dari lokasi pin yang kami datangi. Untuk ke sana, harus ambil jalan memutar melewati Jalan Pandanwangi. Kalau masuk lebih jauh, bisa ketemu kampus UPI Cibiru.

Tidak terlalu jauh dari mulut jalan, agak menjorok di sebelah kiri jalan sudah terlihat keberadaan kompleks makam. Tidak terlalu besar. Kami masuk melalui jalan tanah lalu parkir di sebuah blok makam kecil yang berpagar dan terpisah dari makam-makam lainnya. Kami menemui seorang bapak yang tinggal di area makam itu. Ternyata beliau sama sekali tidak tahu soal Ki Darman, malah menunjukkan sebuah makam lain yang tidak terurus yang disebutnya sebagai makam Ki Takrim, yang juga seorang dalang dan cukup sering didatangi orang-orang dari jauh untuk berziarah. Nama Ki Takrim tidak ada dalam list kami, tapi si bapak mengatakan bahwa tokoh itu juga termasuk dari kalangan perintis wayang golek.

Makam Ki Dalang Takrim yang sudah tertutup oleh rimbunan tanaman dan alang-alang

Update: Beberapa hari kemudian baru kami temukan informasi yang lebih meyakinkan soal lokasi makam Ki Darman ini, yaitu di Kampung Babakan Sukamulnya RT.03/13, Cinunuk, Cileunyi. Sementara ini kami belum ke sana, mungkin dalam waktu dekat ini.

Continue reading

Catatan Momotoran: Dari Pasir Rumbia Sampai Selakaso

Oleh: Aditya WIjaya

Penelusuran ini berawal dari satu paragraf catatan kaki dalam buku “Preanger Schetsen” karya P. De Roo De La Faille. Berikut keterangan dalam catatan kaki di buku tersebut:

Preanger Schetsen 1895 (halaman 12)

“Mungkin representasi ini adalah suatu “keterlibatan yang sangat kontroversial”: para pertapa umumnya tinggal di dalam gua. Namun, mengingat bahwa di pegunungan di sekitar sini tidak banyak gua atau setidaknya sangat jarang; mengingat bahwa di sini kita menemukan jejak-jejak penghormatan terhadap dewa, maka saya cenderung mengambil contoh desa di pegunungan, seperti yang masih sering kita temukan, misalnya di Pasir Roembija, di mana terdapat lonceng-lonceng kuil dan sebagainya.”

Terdapat informasi mengenai sebuah desa di pegunungan yang memiliki benda-benda purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya. Desa tersebut bernama Pasir Rumbia. Dari keterangan ini saya coba mencari lokasi persisnya lewat peta lama. Tak sulit menemukan lokasi pasti desanya, hingga akhirnya awal Oktober 2023 kami melakukan Momotoran ke sana.

Di Desa Rumbia terdapat sebuah mata air yang disakralkan oleh warga dan terdapat juga makam keramat. Sebenarnya tujuan kami bukanlah desanya tetapi Pasir Rumbia atau dalam Bahasa Indonesia artinya Bukit Rumbia. Menuju lokasi Pasir Rumbia medannya sulit karena kami harus mendaki bukit yang jalannya curam.

Untunglah ada jalan untuk motor dapat naik ke bukit itu pun hanya cukup untuk satu motor saja. Motor kami parkirkan di sisi bukit. Kata pertama yang saya ucapkan di posisi parkiran tersebut adalah “spektakuler”. Di depan saya terhampar sebuah pemandangan yang saya rasakan memang spektakuler, ada banyak undakan seperti teras yang tingginya sekitar 1-2 meter dengan batu kali sebagai penyusunnya. Batu kali ini banyak sekali, rasanya tak mungkin ada orang yang iseng menyusun banyak sekali batu-batu tersebut. Jika berfungsi sebagai tanggul, pondasi atau terasering untuk bercocok tanam rasanya kok tidak mungkin juga, karena lebar teras antar undakan terlalu pendek.

Undakan batu di Pasir Rumbia (Komunitas Aleut)
Undakan batu yang berada di punggung bukit sebelah kiri foto ini, saat kami datang digunakan untuk berladang. Tidak ada tanda-tanda untuk dibuka juga. Hanya punggungan sebelah kanan ini saja yang dibuka untuk berladang (Komunitas Aleut)

Apakah mungkin Pasir Rumbia dahulunya merupakan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat peribadatan orang-orang di masa lampau? Inilah pendapat yang terus saya pikirkan saat berada di Pasir Rumbia. Berdiri di atas bukit dengan pemandangan yang luas ke arah barat, rasa-rasanya jika membayangkan sebuah tempat peribadatan masa lampau di Pasir Rumbia tidak ada salahnya. Lokasinya cocok betul!

Setelah selesai Momotoran dan sampai di Bandung, seperti biasa saya kembali mengulang atau mencari kembali materi-materi seputar Momotoran. Ternyata ada koreksi informasi seputar Pasir Rumbia. Barang-barang purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya terletak bukan di Pasir Rumbia melainkan di Desa Selakaso. Informasi ini saya dapatkan dalam:

Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Tahun 1894:

“Bahwa dia telah menerima surat dari anggota, Tuan P. de Roo de la Faille, calon pengawas di Tjitjalengka, tertanggal 21 Mei, yang berisi hal-hal berikut:

Selama verifikasi di lokasi di distrik Madjalaja, kami – Tuan de Graaff dan saya – di desa Selakaso, dekat pasir Roembija, tidak jauh dari Tjitaroem, menemukan beberapa senjata kuno. Senjata-senjata ini disimpan oleh seorang koentjen di sebuah saoeng yang cukup tinggi, berdiri di atas tiang, yang dapat diakses dengan tangga. Di dalamnya, kami menemukan: tiga lonceng kuil, disimpan dalam dua kotak bambu sederhana yang teranyam; dari salah satu lonceng tembaga, pegangannya berbentuk naga atau figur naga yang cukup bagus; selanjutnya, dibungkus dalam kulit daloewang, sebuah kris, sebilah klewang, sebilah pisau tembaga kasar, tujuh tombak yang kasar dengan sarung kayu mereka, dan sebuah ujung tombak yang dihiasi dengan beberapa helai daun emas; dan akhirnya dua lela tembaga berukuran sekitar 0,80 meter, dengan mulut lebih dari 1 cm diameter, bersama dengan yang ketiga yang lebih kecil, yang kurang dari 3 dm panjangnya: lela-lela ini memiliki tonjolan runcing di bagian bawahnya (mungkin untuk menopang meriam atau menancapkan ke tanah?). Selain itu, ada juga sebuah bak kayu berbentuk panjang yang tampaknya digunakan untuk gambang kayu.

Koentjen awalnya mengklaim tidak tahu benda-benda ini milik siapa; kemudian ia menyebutkan nama-nama pemukim terdahulu yang dikuburkan tidak jauh dari saoeng di bawah kiara tinggi, yaitu Embah Roembija, E. Anggem, E. Djagaraksa, E. Djagajoeda, dan E. Hadji Doerahman, tetapi nama-nama yang tidak bermakna ini tidak layak mendapat perhatian yang besar. Selain itu, ia tidak tahu atau tidak mau memberikan informasi lebih lanjut; ia mengklaim tidak memiliki piagem atau tulisan-tulisan kuno lainnya. Menurut Patih Tjitjalengka, kepercayaan rakyat mengatakan bahwa semua ini pernah dimiliki oleh Kjai Hjang Santang, sebelum putra kerajaan Padjadjaran ini memeluk Islam; makamnya – dikenal sebagai “Soennan Godog” terletak di Limbangan, dalam distrik Soetji.”

Peta tahun 1919 oleh Army Map Service U.S. (oldmapsonline)

Tahun 1906:

Pada bulan Juli yang lalu selama saya berada di Madja Laja, saya mendengar bahwa di Sela Kaso, di bawah kecamatan Patjet, Preanger-Regentschappen, ada beberapa benda purbakala logam dari zaman Hindu yang dijaga oleh seseorang bernama Pa Arsah. Penelitian lokal menunjukkan bahwa benda-benda tersebut meliputi:

1 Patung Akshobhya yang indah dari perunggu.

5 lonceng doa dengan pegangan yang berbeda, disebut Sangjang Këling.

4 senjata pukulan.

4 ujung tombak, salah satunya dihiasi dengan emas.

2 pisau belati.

1 kris.

1 pisau.

3 lonceng kecil.

1 tongkat besi, disebut entjis.

2 gunting pinang besi.

3 meriam tembaga.

Masih ada sebilah kropak yang harusnya ada, yang pada tahun 1902 dibawa oleh Wadana dari Tji-keulang ke Bandoeng. Terkait dengan barang-barang purbakala ini, saya diberitahu:

“Te djaman baheula doemoegi ka ajeuna dismipènan dina hidji saoeng sapertos papangopengan de Roembia.”

Mereka masih disimpan di sini sampai sekarang.

Awit ti nalika ratoe boeda djoemënèngan Ratoe Manabaja doemoegi kana sapoeloeh padjënëngan anoe masih kawëngkoe koe alam agama boeda.

Dëwi djënënganana pararatoe anoe sapoeloeh toeroenan teja, ijeu kasebat di handap:

Ratoe Maharadja Intën djadi radja Manabaja

(kediamannya saat ini di G. Poetri bjj Tji-panas, Garoet)

Kagëntos koe

Sangjang Wiroena njoeroepna Batara Wisnoe

Kagëntos koe

Ratoe Rawana

Kagëntos koe

Praboe Manabaja

Kagëntos koe

Praboe Boedjangga Lawa

Kagëntos koe

Praboe Poespa Lawa

Kagëntos koe

Praboe Hanjang djamboel poetih (dengan lambang putih)

Kagëntos koe

Praboe Wastoe Agoeng

Kagëntos koe

Praboe Radja Agoeng

Kagëntos koe

Praboe Panglimanan

anoe parantas islam. Itulah beberapa catatan informasi yang berhasil saya dapatkan mengenai Desa Selakaso. Semoga dapat kesempatan untuk berkunjung ke Selakaso, mencari jejak-jejak masa lampau yang mungkin saja terlupakan.

Peta awal abad 19 oleh Bik. Selakaso ditunjukan oleh panah warna merah (Nationaal Archief)

***

Di Hujung Sana Tempatmu Bunga Melur

oleh: Aditya Wijaya

Kabut merayap datang dari kejauhan. Hujan turun seperti malu-malu bersama hembusan angin dingin yang tak segan menunjukkan dirinya hadir menemani Momotoran kami siang itu. Kami melaju perlahan dari Nyalindung menuju jalanan perkebunan Bunga Melur.

Jalannya mulus, tapi naik turun.  Tak begitu lama, kami berhenti sebentar di tempat yang bernama Pasir Tulang. Tempatnya berada di pinggiran bukit. Pemandangan ke arah timur adalah hamparan kebun teh yang luas, sementara ke arah barat adalah hutan yang lebat dengan pohon-pohon tinggi. Pikiran saya berimajinasi membayangkan kejadian pada masa revolusi dahulu.

Nama tempatnya saja Pasir Tulang, tau kan apa yang dibayangkan? Cerita ini saya dapatkan dari tulisan Hendi Jo yang berjudul Hikayat Ladang Pembantaian di Takokak. Sebenarnya ada dua tulisan yang membuat kami dengan sengaja Momotoran melipir ke jalur Bunga Melur ini. Tulisan pertama tentang Harun Kabir oleh Hendi Jo yaitu Pekik Merdeka di Ladang Huma dan tulisan kedua dari buku tentang Rosidi oleh Tosca Santoso yaitu “Cerita Hidup Rosidi”.

Perjalanan dilanjutkan, setelah sekitar 10 menit bermotor kami tiba di Bunga Melur, tepatnya di lokasi Pabrik Teh Bunga Melur, yang kini sudah tidak beroperasi. Hujan masih cukup deras, kadang ditambah dengan tiupan angin yang lumayan kencang. Sejak kemarin angin memang seperti kurang santai, tiupannya selalu laju, bila kena pohon, maka akan mendatangkan suara riuh dari dedaunan yang terombang-ambing.

Di bawah hujan kami parkirkan motor-motor di dekat pabrik, di halaman kantor Afdeling Bunga Melur. Kantornya sepi, malah beberapa ruangan terkesan berantakan. Ada satu ruangan di ujung belakang yang tampak terawat, sepertinya ruangan petugas yang menjaga pabrik.

Di dinding depan kantor tertulis berbagai macam motto. Ada juga sticker dengan gambar kalimat bentuk rasa syukur atas realisasi produksi teh Kebun Goalpara di akhir tahun 2014. Selain itu hanya tersisa suara hujan dan keheningan. Perlahan kami mulai masuk ke bekas pabrik. Di pintu masuk masih tersisa terminal rangkaian lampu tempo dulu. Lantai pintu masuk pabrik berbahan batu halus kotak-kotak cukup besar.

Pabrik ini menggunakan rangka besi beratap seng. Sebagian dindingnya masih menggunakan anyaman bambu. Tidak ada peralatan pabrik yang tersisa. Dinding pun sebagian sudah mulai hancur. Rasanya pabrik ini sudah lama mati dan ditinggalkan.

Pabrik Teh Bunga Melur (Aditya Wijaya)
Kondisi dalam pabrik (Aditya Wijaya)

Setelah membuat beberapa foto dokumentasi, kami mampir sejenak ke warung yang terletak di seberang pabrik, di samping lapangan bola dan SDN Bunga Melur.

Kami mencoba berbincang dengan pemilik warung yang bernama Ibu Enung dan suaminya, sebut saja Bapak Enung. Sebenarnya bukan kami saja yang sedang datang ke warung tersebut, ada juga seorang ibu dan anaknya yang duduk di bangku bambu di depan warung. Bukan orang jauh, mungkin tetangga yang sengaja datang untuk sekadar mengobrol.

Obrolan mengalir begitu saja, dari mulai pertanyaan tentang nama-nama tempat dan lokasi sampai ke cerita-cerita kondisi lingkungan dan kehidupan sehari-hari di perkebunan Bunga Melur. Kami jadi tahu nama pohon-pohon tinggi yang menjadi latar SDN Bunga Melur. Pohon jabon katanya, milik perhutani. Dari pohon ini nanti diambil kayunya untuk digunakan sebagai bahan membangun.

Ibu Enung, dan Ibu Eulis, tamu yang tadi sudah datang lebih dulu, saling bertukar cerita tentang kegiatan samen, kegiatan-kegiatan kampung yang berhubungan dengan liburan kenaikan kelas di sekolah. Pada saat itu, lapangan bola di Bunga Melur ini akan dipenuhi oleh warga setempat, juga para pedagang yang bisa datang dari mana saja.

Saat timbul pertanyaan terkait apa arti nama Bunga Melur, tampaknya mereka tidak bisa memberikan banyak penjelasan, terutama karena mereka sebenarnya bukanlah warga asli Bunga Melur. Pak Enung selintas mengatakan bahwa dulu namanya bukan Bunga Melur, melainkan Mega Melur.

Warung. Ibu Enung sedang duduk di dalam. (Aditya Wijaya)

Tapi saya penasaran juga, apa sih sebenarnya Bunga Melur itu. Dari hasil googling, melur atau Jasminum officinale ternyata adalah sejenis melati, tanaman bunga hias berupa perdu, berbatang tegak, dan hidup menahun. Melati merupakan genus dari semak dan tanaman merambat dalam keluarga zaitun (Oleaceae).

Bunga Melur dijadikan nama salah satu perkebunan di Sukabumi. Sejarah perkebunan ini bisa dilacak pada tahun 1895 setelah diambil alih oleh Wellenstein, Krause & Co. Perusahaan ini membentuk Cultuur Maatschappij Boenga Meloer. Tujuan pendiriannya adalah untuk mengelola lahan sewa yang ditanami teh di sebagian wilayah Tjiandjoer. Kemudian, sebagian kebun teh tersebut ditanami kina. Maatschappij Boenga Meloer memberikan hasil yang baik bagi perusahaan. Sekitar tahun 1933 komposisi pimpinan Maatschappij Boenga Meloer diisi oleh Commissarissen: G. J. Goovaars Jr., W. Volz dan P. A. Waller, dengan Administrateur: J. Th. Van den Berg. Selain Perkebunan Bunga Melur, Perusahaan Wellenstein, Krause & Co juga memiliki kebun-kebun lain di Pangalengan dan Tjibadak seperti Tjidamar, Maswati dan Mandaling.

Dari laporan tahunan Cultuur Maatschappij Boenga Meloer 1910: Teh Assam menghasilkan 754 Kilo’s per bouw, Teh Ceylon & Java menghasilkan 652 Kilo’s per bouw. Sementara pada tahun 1911: Teh Assam tua menghasilkan 545 Kilo’s per bouw, Teh Assam muda sekitar usia 4 tahun menghasilkan 495 Kilo’s per bouw, Teh Ceylon & Java menghasilkan 584 Kilo’s per bouw. Pada tahun 1938 Kebun Teh Bunga Melur memiliki luas tanam 291 hektar untuk teh dan 93 hektar untuk kina. Begitulah keterangan singkat saja tentang Kebun Bunga Melur.

Usai mengobrol dengan ibu-ibu dan bapak yang ramah dan senang bercerita ini, perjalanan momotoran kami berlanjut melaju ke Takokak. Di sini kami berhenti sebentar untuk ke bukit kecil yang jadi Taman Makam Pahlawan. Lalu, masih dalam guyuran hujan yang tak mau berhenti, lanjut lagi menuju Cikawung, Ciwangi, Pal Dua, Sukamanah, Gunung Gombong, Geger Bitung, Cireunghas, dst. Setelah sampai di Bandung saya berulang kali mendengarkan lagu berjudul Bunga Melur dari P. Ramlee. Rasa-rasanya liriknya sesuai dengan kondisi Bunga Melur saat ini.

Bunga melur yang cantik pinjam dari @yanakellen di sini

Di hujung sana tempatmu bunga melur

Bukan di taman yang indah bunga melur

Hanya di sudut halaman tiada dihiasi jambangan indah permai

Tapi warnamu yang putih bunga melur

Tandanya suci dan murni bunga melur

Walaupun ditiup debu warnamu dan baumu tetap memikat kalbu

Ibarat gadis desa bunga melur sederhana

Walau kering tak bercahaya bunga melur

Baumu memikat jiwa

Semoga sabar dahulu bunga melur

Pada di suatu ketika bunga melur

Masanya akan menjelma

Disanjung dan dipuja oleh gadis remaja

_________

Lagu ditulis oleh S. Sudarmadji dan dinyanyikan oleh P. Ramlee.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑