Oleh: Komunitas Aleut

Cukup mengejutkan juga berita yang ditulis oleh Deventer Daglad edisi 16 Oktober 1959 yang sudah diceritakan di sini, disebutkan bahwa pada saat itu SWARHA merupakan gedung perkantoran yang tertinggi di Indonesia. Tidak ada keterangan jelas seberapa tinggi bangunan Gedung SWARHA, hanya disebutkan bahwa gedung itu terdiri dari lima lantai.
Kami tidak lantas memeriksa keberadaan gedung-gedung tinggi di kota-kota besar lain di Indonesia pada masa itu, Mungkin saja tulisan itu salah, agak kepikiran masa sih di Jakarta atau Surabaya misalnya, tidak ada gedung perkantoran yang tingginya melebihi Gedung Swarha? Atau ya mungkin juga benar, mengingat pada masa pendirian SWARHA itu, Indonesia baru beberapa tahun saja terbebas dari segala kekisruhan situasi setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan peperangan yang berkepanjangan hingga sekitar tahun 1950.
Pada masa itu, siapa pula yang kepikiran mau membangun gedung-gedung mewah atau skala besar, apalagi yang tinggi-tinggi seperti yang mudah ditemukan sekarang di kota-kota besar. Situasi longgar setelah pengakuan kedaulatan RIS dalam Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus – 2 November 1949, tidak lantas membuat situasi aman seaman-amannya, terutama di Kota Bandung, yang secara lokasi berada di tengah-tengah situasi kacau akibat polah DI/TII di seluruh wilayah Jawa Barat.
Tapi ya itulah yang terjadi, paling tidak menurut pemberitaan koran De Preanger-bode edisi 31 Maret 1953 dengan judul Pembukaan Toko Swarha. Yang disebut dengan toko, atau Swarha Stores ini, adalah lantai yang paling bawah dari Gedung Swarha. Berita pendek yang menyertai foto pembukaan toko ini tidak menyebutkan apa fungsi dari lantai-lantai lainnya. Bulan Maret tahun 1953. Hanya selisih dua tahun saja dari pengakuan kedaulatan itu, di Bandung sudah ada yang membangun gedung tinggi seperti Swarha.

Diceritakan bahwa pembukaan toko, yang dalam iklan-iklannya menyebut diri sebagai Swarha Stores ini, dihadiri dengan penuh minat oleh Walikota Bandung Mohammad Enoch beserta istrinya. Prosesi pembukaan toko yang berlangsung pada hari Sabtu malam tanggal 28 Maret 1953 ini disebut dihadiri juga oleh sejumlah tokoh di bidang perniagaan, walaupun tanpa menyebutkan nama-nama. Yang jelas, ada direktur S. W. A. R. Hassan Wiratmana (dalam foto yang berkostum gelap) dan A. Rachman H. Wiratmana (di sebelah kanannya) serta anggota keluarga dan karyawan Toko Swarha.
Dari singkatan nama lengkap Hassan Wiratmana di atas, mudah sekali menebak dari mana asal nama Swarha, walaupun tidak mudah juga menemukan kepanjangannya. Tulisan lama di website Komunitas Aleut ini menyebutkan nama panjang Said Wiratmana Abdurrachman Hassan, tapi kok kayanya kurang inisial huruf R seperti singkatan yang ditulis dalam berita di atas? Beliau adalah warga Bandung putra seorang saudagar kaya dari Timur Tengah.
Dari tulisan yang sama, tertulis keterangan bahwa di lahan Toko Swarha itu sebelumnya pernah berdiri sebuah toko lain bernama Toko Tokyo yang dibangun pada tahun 1914, tepi kemudian hancur pada tahun 1940-an, entah pada masa Jepang atau akibat peristiwa Bandung Lautan Api. Yang jelas dalam dua buah foto udara yang dimuat dalam buku Bandoeng; Beeld van Een Stad (RPGA Voskuil. Asia Maior, Purmerend, 1996), sudah tidak ada bangunan Toko Tokyo dan belum ada Gedung Swarha. Kedua foto yang dimaksud itu dibuat tahun 1946 dan menunjukkan ruas Jalan Asia-Afrika sekarang (hal 119 dan 131).

Seperti terlihat pada foto di ats, bangunan Gedung Swarha agak unik. Karena walaupun bangunan utamanya menghadap ke timur – yaitu ke potongan Jalan Dewi Sartika yang sudah menghilang sekarang karena menjadi bagian dari Masjid Agung Bandung – namun sisi utaranya melengkung mengarah ke Jalan Asia-Afrika sekarang. Tak heran bila kadang ada yang menyebut lokasinya di Jalan Asia-Afrika.
Tapi, anggapan di atas sebenarnya tidak mutlak salah juga, karena pada satu waktu toko ini pernah punya dua alamat untuk lokasi yang sama. Dalam buku Pedoman Kota Besar Bandung yang disusun dan “disiarkan” oleh Djawatan Penerangan Kota Besar Bandung (1956), tertera dua alamat berbeda. Dalam daftar nama-nama hotel ditulis alamatnya di Djl. Raja Timur 46, namun dalam gambar iklannya tertulis alamat Djalan Masdjid Agung 8A dengan nomor telepon 4712. Pada masa awal berdirinya, seperti yang banyak diiklankan di koran sejak tahun 1953, alamatnya adalah Jalan Kabupaten No.6.
Sebelum kami tutup tulisan ini, ada satu berita menarik lainnya dan masih dari koran De Preanger-bode, kali ini dari edisi yang sedikit lebih dulu terbitnya, yaitu tanggal 16 Maret 1953, jadi dua minggu sebelum berita pembukaan Toko Swarha.

Berita di atas ini menyebutkan bahwa dua hari sebelumnya, yakni pada hari Sabtu, 14 Maret 1953, telah diresmikan gedung baru Bata di kompleks Swarha yang lokasinya ada di sebrang Kantor Pos Utama di Groote Postweg. Etalase toko sepatu merek Bata ini tertata dengan rapi, furniturnya cantik-cantik, juga ada kursi baja berbentuk tabung dengan bangku pengiring, ada tabel ukuran sepatu, dan sudut khusus untuk anak-anak yang dianggap paling menarik. Dalam peresmian ini, ada banyak rekan bisnis dan agen komisi dari seluruh instansi Bata Bandung yang hadir, bahkan mantan mentri Sewaka pun ikut hadir.
Dengan begitu, Toko Swarha bukanlah toko pertama yang mengisi Gedung Swarha, karena sebelumnya sudah ada Toko Bata. Dalam berita-berita lain, namun dari waktu setelah pembukaan Toko Swarha, ditemukan juga keberadaan Toko Asia Optical yang merupakan toko kacamata. Di sepanjang tahun 1953 ini belum kami temukan koran atau berita yang menyebutkan Gedung Swarha sebagai sebuah hotel. Lain waktu tulisan ini akan dilanjutkan.
***