Tag: Sri Baduga

Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Maung atau harimau punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda. Kita bisa menemukan maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa Barat, seperti Cimaung dan Cimacan yang bisa ditemukan di beberapa daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll), lambang Kodam Siliwangi, sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa Barat dan Sunda yang dijuluki Maung Bandung.

Simbol maung yang melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda.

Dalam legenda ini juga disebutkan sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat kepada para pengikutnya. Amanat yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang masa depan wacana Pajajaran di masa depan: Continue reading

Rias Muka Ala Purwakarta

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Otot kawat tulang baja julukannya, bertengger Sabtu pagi di Stasiun Purwakarta. Tak lain dan tak bukan adalah Gatot Kaca, putra dari Bima. Tokoh yang terkenal bisa melayang di angkasa ini menyambut gagah kedatangan para tamu yang singgah di Purwakarta lewat kereta. Seringai wajahnya menunjukkan wibawa, seolah menjadi penjaga kota.

Stasiun Purwakarta menjadi langkah pertama saya di daerah yang menjadi sub-urban Kota Bandung ini. Ukurannya tak terlalu besar, namun ada yang berbeda. Di balik kereta-kereta yang sedang menunggu giliran untuk berangkat, terdapat deretan gerbong-gerbong kereta tua yang sudah menjadi bangkai, bertumpuk rapi bagaikan mainan anak yang dapat dibongkar pasang.

“Tua..

Namun Begitu Indah di Mata..

Gerbong kereta yang beragam warna..

Menjadikannya Istimewa..”

Lalu saya ingat persis, tempat inilah yang ternama di dunia maya. Tempat orang berfoto diri karena latar belakang foto yang menjadi tak biasa.

Tak lama saya diperkenalkan kepada si kembar yang berdiri tepat di samping stasiun, tak seperti kembar yang saya bayangkan layaknya kembar yang berada di negeri Paman Sam memang. Si kembar yang dimaksud adalah Gedung Kembar yang sudah berusia satu abad lebih dan merupakan salah satu bangunan heritage di Purwakarta. Nakula Sadewa namanya kini, sama seperti nama si kembar dari ceritera Mahabarata, sehingga menambah kental nuansa pewayangan di Purwakarta. Gedung Kembar Nakula Sadewa kini dipergunakan sebagai museum yang diberi nama Bale Panyawangan Diorama Purwakarta.

Buat saya yang sebenarnya cukup mengikuti perkembangan teknologi terkini, Bale Panyawangan Diorama Purwakarta merupakan satu tempat yang cukup ajaib . Sebuah buku yang menayangkan gambar bergerak di setiap lembarnya seperti Film Harry Potter dan sebuah video virtual yang berjalan dengan kayuhan sepeda sukses membuat saya merasa ndeso. Pada umumnya, Bale Panyawangan, seperti titelnya yang menyandang nama Diorama Purwakarta, menceritakan tentang daerah Purwakarta dari mulai sejarah, perkembangan kota, hingga bagaimana Purwakarta mengangkat berbagai budaya nusantara menjadi bagian dari pariwisata.

Purwakarta memang sempat menjadi saksi sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap VOC, namun hanya sedemikian saja. Secara budaya dan sejarah sebenarnya tak banyak yang dapat ditawarkan sebagai aspek pariwisata. Namun, kondisi itu tak membuat sang penguasa patah arang. Wajah Purwakarta kini cantik dengan daya tarik di berbagai titik. Dengan dalih ingin mengangkat berbagai kearifan lokal yang dimiliki Nusantara, kini Purwakarta menjelma menjadi kota istimewa yang pariwisatanya tak kalah asik dengan kota-kota besar lainnya. Gapura dan corak khas Pulau Dewata dapat dengan mudah ditemukan menghiasi sudut kota. Berbagai tokoh pewayangan Mahabarata pun menjadi satu gaya yang menjadi tanda kota.

Tak mau kalah dengan tetangganya Kota Bandung, Purwakarta memiliki beberapa taman cantik yang menjadi andalan muda-mudi menghabiskan banyak waktunya di ruang terbuka. Beberapa instalasi seni di sekeliling taman menjadi primadona untuk berfoto selfie tatkala segerombol wisatawan hadir lengkap membawa tongkat narsisnya. Memang tak seramai taman dan alun-alun di Bandung, namun justru hal ini yang menciptakan faktor kelestarian lingkungan sekitar. Tak banyak sampah berserakan dan fasilitas umum relatif masih baik dan terjaga.

Beranjak dari alun-alun, saya dikenalkan kepada Citra dan Sri. Sayangnya bukan dalam wujud perempuan tinggi cantik semampai seperti yang saya khayalkan, tetapi dua nama yang menjadi taman di Purwakarta; Taman Citra Resmi dan Taman Sri Baduga. Dyah Pitaloka Citra Resmi seorang putri kerajaan Sunda yang terlibat dalam terjadinya Perang Bubat merupakan inspirasi bagaimana Taman Citra Resmi di Purwakarta dinamakan. Secara fisik, keberadaannya sangat mencolok dengan keberadaan patung dan relief yang menggambarkan ringkasan peristiwa Perang Bubat ini tertata sangat indah. Di bagian tengah taman terdapat sang boga lakon, yaitu Dyah Pitaloka Citra Resmi yang sedang beradegan akan menikam lehernya dengan pisau, sementara di bagian belakangnya terdapat relief yang menceriterakan bagaimana perang tersebut berlangsung dan memakan banyak korban.

Sri Baduga, yang tentunya bukan nama seorang wanita layaknya nama Sri di jaman sekarang, merupakan nama lain dari Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi dikenal sangat erat kaitannya dengan binatang maung (macan), karena konon di saat kehancuran kerajaan yang dipimpinnya ia dan pengikutnya berubah menjadi maung saat ditemukan sang anak, Prabu Kian Santang, di lokasi bekas kerajaannya. Bagi orang Bandung, nama Sri Baduga sendiri sudah tidak asing, karena di Bandung Sri Baduga merupakan nama museum yang terletak di Jalan Lingkar Selatan.

Untuk memasuki wilayah Taman Sri Baduga yang ternyata sangat luas wilayahnya ini (mungkin hampir seluas Monas), pengunjung harus mengitari setengah lingkaran lebih taman tersebut dari mulai titik awal di Taman Citra Resmi. Sungguh melelahkan rasanya karena ketika menemukan pintu masuk, kita harus kembali mengelilingi setengah lingkaran sebuah kolam besar untuk dapat berfoto dengan patung Sri Baduga dan keempat maung pengikutnya di titik paling dekat. Melelahkan, namun cukup pantas didapat saat melihat dari dekat megahnya patung Sri Baduga dan empat maung pengikutnya yang memancarkan air layaknya patung singa di Singapore.

Sri Baduga dan Citra Resmi hanyalah dua tokoh yang sebenarnya tidak memiliki kaitan erat dengan Purwakarta, namun diangkat oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari pariwisata daerah. Walaupun tidak memiliki hubungan budaya dan sejarah dengan tempat-tempat wisata yang dibuat di Purwakarta, namun cara cerdik pemerintah yang mengisi kosongnya kekurangan mereka dengan berbagai konten yang menarik perlu diacungi jempol.

Tentunya kurang rasanya bila berwisata ke suatu kota tapi tak mencoba kuliner khasnya. Es Kuwut, satu kuliner menarik yang menjadi penutup kunjungan saya ke Purwakarta. Lokasinya tepat bersebrangan dengan Stasiun Purwakarta. Es Kuwut terbuat dari air perasan jeruk nipis berisikan hirbis dan selasih, agak asam namun memberikan kesegaran di bawah suhu Purwakarta yang lebih sedikit eksotis dibandingkan di Bandung.

 

Tautan asli: http://ceritamatakata.blogspot.co.id/2016/06/rias-muka-ala-purwakarta.html

 

#PojokKAA2015: Nisan dan Pohon KAA 2005 di Tegallega

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

IMG-20150412-WA0017

Setelah dari Jalan Dalem Kaum, dia mengambil angkot ke Tegallega. “Spanduk apa itu? Besar sekali,” tanya dia ke penumpang sebelah. “Itu spanduk Konferensi Asia-Afrika, pak,” jawab penumpang sebelah ke dia. Karena penasaran, dia berhenti di depan Museum Sri Baduga dan berjalan ke dalam Tegallega.

Nisan dan pohon Konferensi Asia Afrika 2005

Saat di Taman Tegallega, dia kaget dengan pemandangan yang ia lihat. Ada beberapa batu yang menyerupai nisan di dalam taman. Batu tersebut berbentuk balok dan berwarna hitam. Setiap batu tersebut tergeletak di samping pohon. Continue reading

Singgahnya Kian Santang di Tumpukan Sampah

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Dari Sumedang Larang, Kian Santang memacu mobilnya melintas Jatinangor dan masuk Tol Cileunyi. Rupanya tim intel berhasil melacak keberadaan Prabu Siliwangi di sebuah bukit di daerah Baleendah. Kemacetan, jalanan terjal berbatu dan becek pun harus dilalui Kian Santang dalam perburuannya menaklukan Sri Baduga Maharaja yang keukeuh nggak mau masuk Islam.

Prabu Kian Santang tertunduk lemas. Nampaknya ada kesalahan informasi, karena yang dia dapatkan hanya sebuah gundukan sampah.

gunung munjul baleendah

Entahlah. Yang pasti jika Descartes mah bersabda, “Aku berpikir maka aku ada”, maka saya berkata, “Aku berpikir maka aku mengada-ada”. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑