Oleh: Hevi Fauzan (@pahepipa)
“Tidak ada yang tidak mungkin, asal kita punya kemauan. Kalau kita lihat gunung Manglayang, gunung itu akan terlihat tinggi. Tapi kalau kita berusaha untuk mendakinya, maka gunung itu akan ada di bawah mata kaki kita.” – Bapak Suherlan, di Binong Jati, Minggu, 26 Februari 2017.
Penjajahan terkadang memberikan mimpi buruk pada daerah yang dijajahnya. Eksploitasi, baik alam maupun manusia seringkali menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Indonesia pernah mengalami mimpi buruk itu. Berabad lamanya, Nusantara menjadi ladang eksploitasi bangsa asing, dari Eropa, sampai Jepang.
Namun, ada pula para filantropis dari negara kolonial yang memberi sedikit manfaat bagi daerah penjajahnya. Di Indonesia, kita mengenal K.A.R. Bosscha misalnya, pengusaha teh dari Malabar, Pangalengan, yang memberi sumbangan fasilitas ilmu pengetahuan di Kota Bandung. Atau Multatuli, yang tulisannya berhasil menggugah semangat Politik Etis di Belanda sana. Bagi Indonesia, kolonialisme dapat dikatakan sebagai salah satu pintu masuknya modernisme, pendidikan, dan faham nasionalisme yang berujung pada kesadaran akan berbangsa di Hindia Belanda.
Sisa-sisa pembangunan di masa penjajahan pun menjadi fasilitas yang sampai kini bisa diamanfaatkan, seperti jalur kereta api, atau jalan-jalan antar kota di Pulau Jawa. Di Kota Bandung, terserak banyak sekali sisa-sisa peninggalan kolonial, terutama Belanda. Fasilitas-fasilitas fisik tersebut banyak yang masih bisa digunakan sampai sekarang. Continue reading