Tag: Raden Saleh

Mencari Raden Saleh

Ditulis Oleh: Aditya Wijaya

Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.

Makam Raden Saleh di Bogor. Foto: Aditya Wijaya

Beberapa waktu lalu sedang ramai film mengenai Raden Saleh yang berjudul “Mencuri Raden Saleh”. Ada kisah yang tak kalah menarik dengan film itu. Bagaimana nisan Raden Saleh ditemukan kembali setelah lama terlupakan di Bogor.

Raden Saleh yang bernama lengkap Saleh Sjarif Boestaman lahir di Semarang tahun 1814. Dia berasal dari keluarga bangsawan yang berkerabat dengan Bupati Pekalongan dan Semarang.

Di usia dini dia sudah memiliki bakat seni lukis. Dia menerima pelajaran menggambar dan melukis pertamanya dari pelukis A.A.J. Paijen. Seorang pelukis Belgia yang ketika itu tinggal di Weltevreden.

Prof Reinward, seorang pelukis dan ahli botani yang dikenal sebagai perancang Kebun Raya Bogor, menaruh perhatian padanya. Gubernur Jenderal Van de Capellen, menganggapnya sebagai pemuda yang menjanjikan dan mendukungnya pergi ke Belanda atas biayanya bersama keluarga De Linge, yang sering dikunjungi Raden Saleh. Sumber: Tulisan Oom Snuffelaar di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 28-06-1930.

Continue reading

Payen dan Sang Pangeran Jawa

photo 1
Foto koleksi KITLV

Oleh @alexxxari @A13Xtriple

Pada tahun 1822 seorang arsitek dan pelukis berkebangsaan Belgia mendapatkan tugas dari Kerajaan Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di seluruh Hindia Belanda. Pelukis ini memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Antoine Auguste Joseph Payen (beberapa menuliskan namanya Paijen) mendirikan sebuah rumah bergaya Indische Empire Stijl di sebuah bukit dekat Sungai Ci Kapundung. Rumah berlantai dua ini merupakan salah satu dari 8 bangunan tembok yang tercatat dalam “Plan der Negorij Bandong” pada tahun 1825. Rumah cantik ini bertahan hingga berusia 150 tahun lebih. Nasibnya berakhir saat Jalan Stasiun Timur diperlebar.

Payen datang ke Hindia Belanda pada tahun 1817, saat berusia 25 tahun. Sejak awal kedatangannya, Payen langsung berkenalan dengan daerah Priangan. Dia diundang oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk tinggal di Buitenzorg dan membantu restorasi Istana Bogor. Di tempat itulah Payen bertemu dengan atasannya Prof. C.G.C. Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan. Reinwardt mengenalkan Payen kepada sesama pelukis litho lainnya di antaranya adalah kakak beradik van Beek, Jan, dan Theo.

Eksplorasi Payen di daerah Priangan dimulai pada tahun 1818 saat Gunung Guntur di Garut meletus. Setahun kemudian dia kembali melakukan perjalanan penelitian  bersama Reinwardt di daerah Priangan, yang berlangsung hingga awal tahun 1820. Perjalanan ini merupakan penelitian yang terakhir dilakukan Payen bersama Reinwardt. Diperkirakan penjelajahan Payen ke daerah seputar Bandung terjadi pada tahun 1819 ini.  Ada dua lukisan pemandangan karya Payen yang dapat dijadikan sebagai bukti kehadirannya di “Tatar Ukur”. Pertama adalah lukisan air terjun/ curug Jompong  serta gambar keadaan Sungai Ci Tarum.

Di puncak kemahsyurannya, Raden Saleh memperoleh berbagai julukan di antaranya adalah “Le Prince Javanais” atau “Pangeran Jawa”.

Continue reading

Kropak 632

Oleh: Mooi Bandoeng (@mooibandoeng)

Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna.

Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya.

Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy.
______________________

Kropak 632 adalah sebuah naskah yang terdiri dari enam lembar lontar yang ditulis dengan tinta hitam dengan perkiraan pembuatan pada abad ke-15, lebih tua dari naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) atau Carita Parahyangan (1580 M). Naskah ini ditemukan di Kampung Ciburuy yang terletak di lereng Gunung Cikuray.

Adalah Karel Frederik Holle, pengusaha perkebunan teh Waspada, yang pertama kali menyebutkan keberadaan naskah ini dalam Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen (1869). Di situ Holle menyebut tentang tiga buah naskah Sunda kuno yang diserahkan oleh Raden Saleh ke Bataviaatsch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1867.

Naskah ini dikumpulkan oleh Jan Laurens Andries Brandes dan dicatat oleh Nicolaas Johannes Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (Laporan Kepurbakalaan Jawa Barat) pada tahun 1914. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Karel Frederik Holle, kemudian dilanjutkan oleh Cornelis Marinus Pleyte dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka (1917).

Penelitian awal tidak ada yang berhasil tuntas sehingga terbengkalai sampai kemudian Atja dan Daleh Danasasmita melakukan penelitian ulang pada tahun 1987. Atja dan Saleh memberikan judul “Amanat Galunggung” untuk pembahasan enam lembar naskah ini. Menurut Atja, inti naskah ini memang merupakan nasihat Rakeyan Darmasiksa kepada puteranya, Sang Lumahing Taman. Menurutnya nasihat itu berasal dari Penguasa Kerajaan Galunggung.

Lembar kelima kropak 632 ini menyuratkan nasihat yang belakangan ini sering disebut sebagai “kesadaran sejarah”. Dua baris dari lembar kelima ini sudah lama juga dikutip jadi moto kegiatan2 @KomunitasAleut selama ini: “Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke”.

*Salinan naskah di atas diambil dari “Amanat Galunggung” karya Atja dan Saleh Danasasmita.

 

Tautan asli: http://mooibandoeng.com/2016/01/26/kropak-632/

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑