Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan.  Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif–bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.

Masyarakat yang “membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah salah satu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat. Continue reading