Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Minggu (22/8/2015), saya bersama Komunitas Aleut ngaleut di Kawasan Cisanggarung. Selama ngaleut, setiap anggota Komunitas Aleut mendapat tugas untuk mengamati keadaan di Kawasan Cisanggarung. Mulai dari penambang batu hingga air terjun menjadi bahan pengamatan kami.

Batu templek

Batu templek

Untuk saya, kumpulan batu berwarna hitam yang terserak di Kawasan Cisanggarung menjadi bahan pengamatan saya. Lalu karena penasaran, saya menanyakan batu tersebut kepada penambang batu. Ternyata batu berwarna hitam yang berserakan itu bernama batu templek.

Sambil memegang batu templek, saya menanyakan asal batu templek kepada penambang batu tersebut.

Ternyata batu templek, yang saya pegang, berasal dari bongkah – bongkah batu besar di Kawasan Cisanggarung. Bongkah – bongkah tersebut kemudian digali dan dipotong oleh penambang sesuai dengan ukuran yang diperlukan-pipih atau berbentuk balok.

Batu templek, yang sudah diproses oleh penambang, digunakan sebagai lantai dan dinding dalam pembangunan rumah atau gedung.

Setelah mendengar cerita penambang batu tersebut, saya mulai mengingat – ingat buku – buku yang bercerita tentang batu templek. Lalu, muncul buku karya Haryoto Kunto berjudul Balai Agung di Kota Bandung dalam ingatan saya. Continue reading