Tag: Pecinan

Rasia Bandoeng: Romeo & Juliet dari Citepus

Ditulis oleh Nia Janiar dan dipublikasikan di Kabut, Teh Melati, Susu Cokelat, dan Bimasakti

 

Hampir seabad yang lalu dari tahun Monyet Api ini, yaitu tahun 2467 atau tahun 1917 dalam kalender Masehi, sebuah roman terbit di Bandung. Roman yang bertajuk Rasia Bandoeng: Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 ini bukanlah roman biasa karena semua ceritanya berdasarkan kisah nyata yang bercerita tentang kehidupan percintaan warga Tionghoa yang kala itu dianggap “aib” karena melanggar adat istiadat di kalangan kaum Tionghoa. Penulisnya anonim, hanya menggunakan nama pena Chabanneau. Untuk pengetahuan, Chabanneau adalah sebuah merek cognac. Dan nama-nama tokoh di novel ini disamarkan, namun inisial yang digunakan sama.

Chabanneau menulis kisah tentang Tan Gong Nio (kemudian diceritakan dengan nama baratnya yaitu Hilda) dan Tan Tjin Hiauw. Keduanya memiliki marga yang sama yaitu Tan. Pada masa itu, menikah dengan marga yang merupakan hal yang dilarang karena dianggap memiliki hubungan saudara dan dapat menimbulkan kecacatan pada keturunannya.

Perkenalan Hilda dengan Tan Tjin Hiauw bermula saat dikenalkan oleh Helena yaitu Margareth Thio, kakaknya Hilda, yang merupakan teman Tan Tjin Hiauw. Saat itu Hilda masih sekolah dengan didikan ala Eropa, sementara Tan Tjin Hiauw sudah bekerja. Karena hubungan mereka terlarang, otomatis hubungan mereka dijalankan secara diam-diam. Surat-surat yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi dikirimkan melalui kurir. Berbeda dengan keluarga Hilda yang cenderung konservatif, keluarga Tan Tjin Hiauw cenderung membebaskan anak memilih untuk berhubungan dengan orang yang satu marga. Bahkan keluarga Tan Tjin Hiauw membantu Hilda lari dari rumah dan disembunyikan.

Untuk bisa bersatu dengan Tan Tjin Hiauw, Hilda rela meninggalkan keluarganya dan kabur ke Surabaya, kemudian Makassar, dan menikah di Singapura. Karena sakit hati, ayah Hilda yaitu Tan Djia Goan, mengumumkan di surat kabar Sin Po pada 2 Januari 1918 bahwa Hilda bukanlah bagian dari keluarga mereka lagi. Dihapus dari ahli waris.

Continue reading

Mencari Pecinan Kota Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Setiap Ngaleut bertema daerah Pecinan dengan Komunitas Aleut, saya selalu mendengar sebuah pertanyaan yang sama berulang kali dari beberapa peserta: Di mana sebetulnya daerah Pecinan di Kota Bandung? Kami memang sering mengidentikan Pecinan di Kota Bandung dengan daerah Pasar Baru dan Cibadak, namun belum pernah sekalipun mengatakan kedua daerah ini adalah Pecinan Kota Bandung. Alasannya mudah, yaitu karena butuh penelitian mendalam untuk menentukannya.

Nah, kebetulan Hari Minggu kemarin saya diundang sebagai perwakilan Komunitas Aleut dalam acara Wisata Kawasan Pecinan yang diadakan Bandung Heritage. Asiknya lagi, Pak Sugiri Kustedja menjadi interpreter perjalanan Wisata Kawasan Pecinan ini. Pak Sugiri adalah pegiat Bandung Heritage yang sangat perhatian dengan kebudayaan Tionghoa di Kota Bandung.

Pak Sugiri Kustedja

Pak Sugiri Kustedja

***

Apa sih sebetulnya Pecinan itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Pecinan sebagai berikut:

pecinan/pe·ci·nan/ n tempat permukiman orang Cina: pusat-pusat perbelanjaan berdampingan dng rumah-rumah model — yg sumpek.

Continue reading

Penelusuran Belum Usai (5)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SATU per satu tokoh dalam novel roman Rasia Bandoeng terungkap. Setelah hampir satu abad sejak pertama kali novel itu diterbitkan pada awal abad 20, cucu dan cicit para tokoh bermunculan. Mereka mencari asal usul leluhurnya melalui kepingan cerita dalam novel. Dendam lama yang diceritakan dalam novel pun telah terkubur seiring dengan perkembangan zaman. Yang tersisa adalah sebuah cerita roman yang berakhir tragis bagi Hermine Tan.

Dalam bukunya yang berjudul Women and Malay Voices. Undercurrent Murmurings in Indonesia’s Colonial Past, Tineke Hellwig secara hati-hati mencoba memisahkan pembahasan sosok Hermine asli dengan sosok Hermine dalam novel. Ia juga menyatakan simpati kepada Hermine yang dianggapnya sebagai korban dari novelis patriarkat yang tega mengumbar kehidupan pribadi dan bahkan hingga membentuk opini publik yang merugikan nama Hermine. Hingga akhir hayatnya, Hermine tidak terbuka meski kepada anak-anaknya mengenai cerita ini. Continue reading

Romeo Juliet dari Citepus (4)

Lanjutan kisah Roman Rasia Bandoeng oleh Lina Nursanty.

SERAYA berseloroh, Charles Subrata menyebut kisah cinta antara Tan Gong Nio dan Tan Tjin Hiauw dalam novel roman Rasia Bandoeng yang terbit pada awal abad ke-20 di Kota Bandung sebagai “Kisah Romeo-Juliet dari Citepus.” Penyebutan itu terilhami dari kisah perjuangan cinta antara keduanya yang sangat berat karena harus melawan adat feodal.

Seperti diceritakan pada serial ini sebelumnya, Charles yang kini bermukim di Belanda itu mengaku sebagai keponakan Tan Tjeng Hoe yang tak lain adalah Tan Tjin Hiauw yang diceritakan dalam novel tersebut. Seperti juga kerabatnya yang lain, Charles kehilangan jejak kekasih dan isteri pamannya yang bernama Tan Giok Nio atau Hermine Tan. Di dalam novel, nama Hermine diubah menjadi Hilda Tan atau Tan Gong Nio. Continue reading

#PojokKAA2015: Lautan Orang di Balaikota

Oleh: Deris Reinaldi

Sore hari di Balaikota Bandung pada hari Minggu kemarin, cuacanya dingin karena hujan deras yang turun di siang hari. Kondisi cuaca yang kurang bersahabat ini diabaikan oleh segerombolan muda-mudi, nampak pemandangan yang penuh riuh dan penuh sesak oleh mereka yang baju berwarna putih. Siapakah mereka ini siapa dan ada kepentingan apa berdatangan ke Balaikota?

Ternyata mereka yang berdatangan di Balaikota ini adalah relawan-relawan Konperensi Asia-Afrika 2015 yang bertugas membantu segala kegiatan di kelompok yang telah ditentukan panitia dan dipilih oleh relawan sesuai keinginannya. Kelompok atau tim ini meliputi keamanan, ketertiban, kebersihan, informasi, peramai acara dan lalu lintas. Setiap relawan bebas saja mau pilih bidang yang mana sesuai keinginannya, begitu juga untuk hari kegiatannya mereka pun bebas mau pilih untuk beberapa hari, satu hari juga boleh dan kalau mau mengikuti setiap hari pada setiap event juga boleh-boleh saja.

Para relawan ini bukan hanya mahasiswa dan mahasiswi, namun juga ada juga pelajar SMP dan SMA serta yang sudah bekerja. Relawan ini juga tidak hanya mereka yang berdomisili di Kota Bandung tapi ada juga dari luar kota, bukan saja Cimahi dan Kabupaten Bandung tapi dari Cianjur, Sukabumi dan ada juga yang berasal dari luar propinsi seperti Banten dan Jawa Timur. Semua antusias dengan kegiatan ini karena kegiatan ini hanya 10 tahun sekali dan mungkin tidak bisa mengikuti kembali.

Kelompok-kelompok dinamai dengan nama-nama negara penggagas Konperensi Asia-Afrika tahun 1955 agar lebih menarik, yaitu: Indonesia, India, Burma, Srilanka, Pakistan ditambah satu kelompok lagi dengan nama Bandung. Mengapa Bandung? Karena Bandung sebagai tempat berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika tahun 1955. Lebih menarik lagi ternyata nama-nama itu memiliki singkatan sesuai formasi-formasi yang telah ditentukan.

Singkatan-singkatan itu seperti Bandung kependekan dari “Badan Pelindung”. Indonesia kependekan dari “Informasi dan Operasi Pelayanan Sekitar Kota”. Burma kependekan dari “Badan Untuk Meramaikan Acara”. India kependekan dari “Informasi Dunia Maya”. Pakistan kependekan dari “Pasukan Kebersihan dan Kesehatan”, serta satu lagi Srilanka kependekan dari “Semangat Tertib Lalu Lintas KAA”.

Dalam struktur organisasinya pun menggunakan istilah kerajaan seperti prabu/permaisuri yaitu seperti koordinator formasi, patih yaitu wakil koordinator formasi, senopati yaitu koordinator event-event dan punggawa yaitu para relawan-relawan, adapun tumenggung tapi saya belum mengetahui informasinya. Tetapi ini bukan seperti kasta yang mana posisi bawah itu rendah, ini hanya untuk memudahkan dalam bertugas.

Para relawan ini sengaja dikumpulkan untuk membicarakan tentang KAA dan untuk memberitahukan informasi-informasi. Pertemuan ini sudah 4 kali dilakukan yang dimulai pada hari Minggu, 12 April 2015 di Alun-alun dengan agenda kerja bakti bersama duta kebersihan yaitu Kang Komar “Preman Pensiun”. Untuk jalur komunikasinya, agar lebih mudah maka menggunakan satu jalur dengan menggunakan Line, dan di situ pun dibuat grup per event yang akan diikuti.

Tan Sim Tjong (3)

Bagian ketiga:

Pencarian Makam Tan Sim Tjong

SEMASA hidupnya, Tan Sim Tjong dikenal sebagai saudagar kaya yang memiliki tanah luas yang tersebar di antara Cibadak, Jalan Raya Barat (Jenderal Sudirman sekarang, RED), dan sekitar Kali Citepus. Selain sebuah rumah gedong besar, keluarga Tan Sim Tjong juga memiliki kebun yang ditanami pohon bambu Cina dan pohon jeruk. Saking luasnya kebun jeruk itu, isteri Tan Sim Tjong disebut warga sekitar dengan sebutan Nyonya Kebon Jeruk. Kini, area tersebut dinamai Kelurahan Kebon Jeruk.

Selain di wilayah itu, tanah Tan Sim Tjong juga ada di ujung Jalan Raya Barat, tepatnya di wilayah Elang. Pada saat itu, Elang masih merupakan area hutan dan pesawahan. Di area itulah Sim Tjong memilih lahan sebagai makam dirinya. Karena adanya makam orang Tionghoa, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan Sentiong.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Continue reading

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading

Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim. Continue reading

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota

Membaca roman Rasia Bandoeng karya Chabanneau dapat membawa kita melancong ke pusat Kota Bandung pada periode awal 1916 dengan deskripsi yang cukup detail. Tampak kuat sekali kesan bahwa mobilitas orang-orang Tionghoa saat itu berada di pusat-pusat kota. Misalnya kediaman tokoh utama roman, yaitu Tan Djia Goan yang berlokasi di Kebonjati.

Dalam roman itu digambarkan bahwa rumah milik Tan Djia Goan adalah sebuah rumah gedong yang cukup megah di Kebonjati. Letaknya berada di samping Rumah Sakit Padri, tepat di depan rumah sakit tersebut ada Hotel Express. Jika disesuaikan dengan konteks Bandung saat ini, agak sulit memastikan letak rumah Tan Djia Goan itu.

Roman (2) 17 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 2) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 24 Februari 2015.

Mengikuti alur cerita tan Djia Goan dan keluarganya membimbing kita memahami suasana pusat Kota Bandung saat itu. Kehidupan kaum pedagang di Pasar Baru dan sekitar Pecinan, aktivitas pelacuran di kawasan Tegallega dan Suria Ijan, hingga kebiasaan tayub bangsa bumiputra yang juga dilakukan orang Tionghoa dalam kenduri yang mereka selenggarakan.

Latar atau setting kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini adalah contoh deskripsi atas Gang Kapitan di Kampung Cibadak, kediaman Tan Tjin Hiauw. “Di depan gardu, ada satu gang yang biasa disebut Gang Kapitan, karena mulut gang yang sebelah kaler, ada dekat sekali sama rumahnya Tuan Tan Joen Liong, letnan dari bangsa Tiong Hoa di Bandung”. Continue reading

Kawin Semarga di Bandung Baheula – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Berikut ini saya muatkan artikel bersambung tulisan rekan saya, Lina Nursanty, yang membahas sebuah roman baheula dengan latar cerita Kota Bandung di awal abad ke-20.
Selamat membaca!

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (1)

Kawin Semarga di Bandung Baheula

Pengantar:
Roman lahir untuk melukiskan perbuatan, watak, dan isi jiwa sang tokoh yang lebih banyak membawa sifat-sifat zaman. “Rasia Bandoeng” yang ditulis Chabanneau pada 1917 memotret kehidupan masyarakat Tionghoa di Bandung awal abad ke-20. Memperingati Tahun Baru Imlek 2566, wartawati Pikiran Rakyat, Lina Nursanty, membahas roman yang hampir satu abad itu. Selamat membaca.

Capture-1
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 1) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015. Continue reading

Catatan Ngaleut-Part 1

Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan

Klenteng Hiap Thian Kong Bandung

Malam itu adalah kedua kalinya Komunitas Aleut mengadakan “Ngaleut  Imlek di Bandung” yang khusus diadakan di malam perayaan Imlek. Seperti biasa, ngaleut kali ini berhasil menggaet antusiasme pegiat yang cukup besar. Hampir 90 orang pegiat mengikuti acara ngaleut Imlek kemarin. Rangkaian tulisan ini disusun untuk melengkapi materi yang telah disampaikan pada perjalanan ngaleut tersebut. Semoga bisa dinikmati.

Dulunya, orang-orang Indonesia lebih mengenal perayaan Imlek dengan istilah lain Sincia. Sampai tahun 50’an, orang-orang Indonesia biasa menikmati perayaan Imlek seperti saat ini, namun semua itu berubah ketika negara api menyerang… eh sampai sentimen anti-China menyeruak sekitar tahun 60’an dan baru berangsur-angsur pulih satu dekade terakhir.

Sudah sejak dulu pula perayaan Imlek selalu diidentikan dengan turunnya hujan, sajian dodol cina/kue keranjang (jawadah korang), dan pertunjukan Barongsai. Perayaan Imlek yang mencapai angka 2564 tahun ini dimulai dari hari lahirnya Kong Fu Tsu atau Confucius. Artinya, hari lahir beliau dipatok sebagai tanggal 1, bulan 1, dan tahun 1.

Lalu apa hubungan imlek dengan turunnya hujan yang selalu menyertainya, tidak ada yang pernah bisa memastikan. Namun biasanya hujan selalu mengisi Tcia Gwee atau bulan pertama di tahun baru Tionghoa. Hal ini biasa dianggap sebagai pertanda “tahun hoki” bagi orang Tionghoa. Tahun baru ini juga selalu dirayakan dengan meriah. Terbitnya matahari di awal tahun baru selalu disambut dengan kedatangan penganut Kong Hu Chu beramai-ramai ke Kelenteng. Sepulangnya dari sana, seperti halnya penganut Islam di bulan Ramadhan,  mereka mengadakan kunjungan ke berbagai kerabat. Anak-anak paling senang mengikuti kegiatan ini karena mengharapkan ang pao yang diberikan kerabat yang dikunjungi.

Sejak tahun baru hingga  lima belas hari setelahnya yang dikenal sebagai Cap Go Meh (Cap Go = 15), dahulu biasa terlihat “pengamen” yang berandang ke toko-toko milik Tionghoa sambil macam-macam tingkahnya, ada menunjukan tarian-tarian, bernyanyi seadanya, hingga menampilkan “barongsai jadi-jadian”. Barongsai jadi-jadian ini sebutan Barongsai yang dimainkan sama orang pribumi, dengan gaya ala kadarnya, tanpa gerakan “kuntaw” seperti halnya barongsai asli dan turut  diiringi musik yang “seadanya” juga. Barongsai jadi-jadian ini berkeliling dari toko ke toko untuk meminta “sumbangan” seikhlasnya dari engkoh-engkoh pemilik toko.  Namun semakin mendekati Cap Go Meh, maka semakin banyak Barongsai asli yang dimainkan orang Tionghoa. Bedanya, bayaran yang mereka dapatkan akan disumbangkan kepada panitia perayaan Cap Go Meh.

Apabila pada tahun baru Imlek biasanya tidak banyak dilakukan banyak perayaan, melainkan ibadah dan silaturahmi, baru pada malam ke-15 bulan Tcia Gwee-lah diadakan pesta Cap Go Meh, yaitu ketika bulan purnama penuh menerangi malam. Saat inilah puncak perayaan tahun baru dilakukan lewat berbagai macam hiburan. Biasanya pesta Cap Go Meh diadakan selama tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15 Tcia Gwee.

Materi berikutnya bersambung ke Part-2…

Iring-iringan pemusik Tionghoa meramaikan kedatangan Ratu Juliana-Pangeran Bernhard ke Bandung

Kue Keranjang

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Image

Kue keranjang memiliki nama asli Nien Kau atau Nian Gao atau Ni kwee yang berarti kue tahunan karena sering dibuat hanya satahun sekali saat perayaan Imlek. Kata Nian sendiri berarti Tahun dan Gao berarti kue, juga terdengar seperti tinggi atau bertingkat. Semakin tinggi keatas makin kecil ukuranya yang bisa diartikan sebagai pengharapan akan peningkatan rezeki atau kemakuran.

Bentuk kue keranjang jika kita lihat secara seksama berbentuk bulat yang mempunyai makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat hidup rukun, bersatu dan mempunyai tekad bulat dalam menghadapi tahun yang akan datang. Saat Imlek, warga Tionghoa biasnya terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum nasi sebagai pengharapan agar beruntung dalam pekerjaan sepanjang tahun. Kue keranjang rasanya manis merupakan lambang harapan agar tahun baru membawa hal-hal yang baik dan kemakmuran.

Imlek

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Image

Setiap tahun perayaan imlek berlangsung cukup semarak di Kota Bandung. Kue keranjang, barongsai, lampion yang serba merah dan pohon meihua menghiasi tradisi perayaan imlek. Imlek bermula dari perayaan petani di daratan Tionghoa yang menyambut kedatangan musim semi, perayaan ini menyebar keseluruh dunia seiring dengan migrasi warga Cina ke banyak negara  di dunia. Perayaan Imlek dilakukan sebulan penuh, untuk menyambut tahun yang baru biasanya warga tionghoa melakukan tradisi membersihkan rumah.  Uniknya, sehari sebelum imlek dilarang untuk membuang sampah dan menyapu karena dipercaya akan menyapu rezeki.

Pada malam tahun baru dilakukan tradisi shousui, yaitu kumpul tahunan bersama keluarga besar. Kegiatannya adalah makan malam bersama. Semua anak ikut berkumpul dan mendoakan orangtua mereka agar diberkahi usia yang panjang.

Hari pertama tahun baru (Imlek) diisi dengan saling mengunjungi antarkeluarga. Biasanya keluarga yang lebih muda mengunjungi keluarga yang tua. Pada hari ini terdapat tabu menyapu lantai. Pekerjaan menyapu pada saat Imlek dipercaya akan menghilangkan keberuntungan.

Pada hari ketiga adalah tradisi chi kou. Orang-orang menghindari kunjungan tetamu karena dipercaya pada hari ini roh-roh jahat sedang mendatangi bumi.

Hari kelima adalah hari lahirnya Dewa Kekayaan. Banyak usaha kembali dibuka pada hari ini.

Renri pada hari ketujuh adalah hari lahirnya manusia. Pada hari ini setiap manusia beranjak setahun lebih tua. Kegiatan hari ini adalah menghidangkan sup dengan tujuh bahan sayuran atau makan salad ikan mentah yang disebut yusheng.

Hari kelimabelas adalah saatnya untuk pesta lampion yang biasa disebut yuan xiao. Sebagai penganan istimewa untuk hari ini adalah sejenis kue moci manis dalam sirup. Penganan ini adalah simbol kesatuan dan kebersamaan.

Daftar Pustaka :

Wikipedia. (11 Februari 2013 16.44WIB). Imlek. http://id.wikipedia.org/wiki/Imlek.

Hutagalung, Ridwan. 2011. Dimuat di https://rgalung.wordpress.com/2011/02/04/tahun-baru-imlek-2011/Diakses 4 Februari 2011.

Sumber Foto:

Istimewa. 2013 dimuat di http://www.lensaindonesia.com/2013/02/10/imlek-dan-bandeng-akulturasi-tionghoa-dan-budaya-lokal.html Diakses 10 Februari 2013.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑