Tag: Pangalengan (Page 1 of 3)

Catatan Perjalanan: Momotoran Kertamanah (– Sedep) Bagian-2

Oleh Irfan Pradana Putra

Ini tulisan lanjutan Catatan Momotoran Kertamanah yang bagian pertamanya bisa dibaca di sini.

Memasuki jalan raya Pangalengan cuaca malah berubah jadi panas terik, padahal rasanya baru saja kami pakai jas hujan. Terlihat lucu juga, karena hanya kami iring-iringan motor yang mengenakan jas hujan. Walhasil badan pun terasa gerah. Jahil sekali langit hari itu. Tujuan berikutnya adalah ke kawasan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa yang wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Kertasari.

Di gerbang perkebunan Malabar, kami semua berhenti di Warung Nasi Rehan yang katanya sudah lama jadi langganannya Komunitas Aleut. Di sini kami tidak makan di tempat, tapi beli bungkus untuk dimakan di Santosa nanti. Sebelumnya saya sudah cukup sering mendatangi Rumah Bosscha dan sesering itu juga melihat warung nasi ini dalam perjalanan, tapi ini adalah kali pertama saya mampir dan membeli beberapa pilihan makanan untuk bekal.

Warung Nasi Rehan di Pintu, Malabar. Foto Komunitas Aleut.

Di dalam warung sudah cukup banyak orang antre beli makanan dan rata-rata untuk dibungkus juga. Dibandingkan warung-warung lain di sekitar, sepertinya Warung Rehan ini paling populer. Pilihan menunya cukup banyak, masakan rumahan. Semua tampak menggugah, tapi tidak mungkin juga mengambil semuanya. Saya memilih nasi dengan lauk tambusu (usus sapi) yang dimasak dengan parutan kelapa.

Bekal sudah lengkap, saatnya melanjutkan perjalanan. Memasuki perkebunan Malabar kami melihat iring-iringan warga mengenakan kaos partai. Ternyata hari itu sedang ada kampanye besar dari salah satu caleg. Mendekati lapangan desa di Tanara, kendaraan kami terjebak kemacetan parah. Hampir 30 menit kendaraan tidak bisa maju maupun mundur. Kesabaran menjadi semakin tipis karena matahari kian terik menyengat kulit. Akhirnya saya dan seorang kawan di depan mencari-cari jalan tikus demi menghindari kemacetan.

Kami coba memasuki jalanan kecil dan masuk ke perkampungan warga. Warga bilang tidak ada jalan, tapi kami nekat saja dan akhirnya masuk ke area perkebunan teh malabar. Menerjang jalan berbatu dan berlumpur. Orang Sunda bilang “Ngaprak”. Lumayan, lah, hitung-hitung refreshing nyukcruk galur kebon. Bonus ketemu makam (lagi) yang berderet memanjang di tepi kebun. Di bawahnya ada aliran kali kecil. Makam-makam ini tidak segera terlihat karena semuanya terletak agak tersembunyi di balik ilalang tinggi dan beberapa pohon besar.

Tidak ada kata “Nyasar” di Aleut. Adanya adalah eksplorasi. (Dokumentasi: Komunitas Aleut)

Setelah mampir eksplor makam-makam itu, akhirnya kami dapat menemukan jalur untuk kembali ke jalan utama. Kawan-kawan lain entah di mana batang hidungnya. Saya dan satu kawan di motor lain melanjutkan perjalanan menuju pabrik Santosa. Nanti saja di sana janjian untuk bertemu. Kami berhasil melewati kemacetan parah yang sebetulnya kalau ditunggu juga durasinya sama dengan waktu yang kami habiskan untuk eksplor barusan.

Jalan menuju pabrik Santosa sudah sangat mulus. Saking mulusnya saya beberapa kali melepas tangan dari stang motor. Tidak khawatir akan terjatuh. Enaknya lagi, ditambah dengan pemandangan kebun teh yang rapat. Syahdu sekali rasanya tubuh diterpa angin perkebunan.

Lima belas menit jarak kami dengan motor kawan-kawan yang ternyata sudah leha-leha duluan di depan Pabrik Teh Santosa. Ternyata tadi mereka memilih menunggu kemacetan ketimbang mengekor kami mengeksplor jalan di sela-sela kebun. Sungguh kesabaran yang patut dijadikan teladan.

Kami memarkir motor di warung yang berada di seberang gerbang Pabrik Teh Santosa. Saya langsung menghampiri pos satpam untuk sekadar ngobrol. Pak Asep, nama satpam tersebut, memperbolehkan saya melihat-lihat dari luar. Kebetulan pabrik tetap beroperasi meskipun hari minggu. Demi mengejar target produksi. Menurutnya, bahan teh sedang melimpah usai beberapa bulan lalu lesu karena diterpa kemarau panjang. Semerbak wangi teh yang tercium, nikmat sekali. Ini pengalaman pertama menghirup aroma teh langsung di muka pabriknya.

Kiri: Pabrik Teh Santosa. Kanan” Kipas Penyaring Udara. Foto Irfan Pradana Putra.

Waktunya makan siang, kami membuka bekal yang dibeli tadi di Warung Rehan, lalu makan rame-rame di warung itu. Tentunya sudah minta izin dulu, bagaimana pun ada rasa engga enak karena beli di tempat lain tapi makannya di warung itu. Untunglah bapak-ibu pemilik warung mengerti situasinya, sehingga bukan hanya mengizinkan, bahkan membantu menyiapkan tempat dan minumnya. Sebagai gantinya, kami belanja apa saja yang bisa dibeli di situ.

Usai makan, sejenak kami meluruskan punggung sambil berbincang dengan bapak-ibu warung yang baik ini. Si bapak pensiunan dari Pabrik Teh Santosa. Ia purna tugas di tahun 2016 lalu dan sekarang bersama istrinya, yang juga pensiunan pabrik, membuka warung makanan. Saya makan sambil memandangi deretan pohon Rasamala yang begitu tinggi. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Dulu pohon-pohon seperti ini ditebang dan digunakan untuk berbagai kebutuhan perkebunan, termasuk peti penyimpanan teh.

Batang-batang pohon Rasamala (KITLV)

Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik teh Sedep yang terletak di kawasan perkebunan Negla. Menurut penuturan rekan-rekan yang sudah beberapa kali ke Sedep, di sana masih banyak bangunan lama, lebih banyak dari yang ada di wilayah Kertamanah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit perjalanan motor dari lokasi pabrik Santosa.

Setibanya di Sedep, kami mulai berpencar mengambil dokumentasi. Saya mulai dengan bangunan mess yang –sayangnya– terkunci. Jadi saya hanya bisa memotretnya dari luar saja.

Pabrik Teh Sedep dan mess-nya. Foto Irfan Pradana Putra.

Kami beruntung karena salah satu kawan Aleut memiliki kenalan yang bekerja di pabrik Sedep. Kami berhasil menghubunginya dan yang bersangkutan memberikan izin untuk masuk ke kantor administrasi pabrik. Di dalam kantor ia menunjukkan album-album foto lama, arsip pabrik Sedep. Sayangnya banyak album yang tidak memiliki keterangan waktu, sehingga kami agak kesulitan menganalisa konteks sejarahnya. Rencananya kami akan datang lagi di lain waktu untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto tersebut.

Dari sekian banyak album foto yang kami buka, saya tertarik pada salah satu foto yang menunjukan keberadaan sebuah tempat penitipan bayi di pabrik Kertamanah. Menyenangkan rasanya menemukan arsip lama mengenai hal ini.

Rumah Penitipan Bayi di Perkebunan Sedep. Arsip Pabrik Sedep

Cukup lama kami menghabiskan waktu di kantor pabrik Sedep. Semua kawan asyik memilah-milah dan menganalisa foto hingga lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, padahal masih ada satu lokasi tujuan lagi yang sudah diagendakan untuk perjalanan kali ini. Kami segera berpamitan sambil berjanji akan berjumpa lagi dalam waktu dekat ini.

Tujuan terakhir hari ini adalah kawasan permukiman para pekerja Perkebunan Negla di Neglawangi. Jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi dengan kondisi jalan yang sudah bagus seperti sekarang. Dulu, sebelum jalannya diperbaiki, katanya waktu tempuhnya bisa satu jam. Di lokasi permukiman ini saya tertarik pada susunan rumah bedeng dan jalur-jalur jalannya tertata rapi. Dari jauh, suasana kampungnya pun terlihat resik. Dari arsip foto lama terlihat bahwa paling tidak perkampungan ini sudah ada sejak tahun 1920.

Perumahan para pekerja Perkebunan Negla. Foto Komunitas Aleut
Rumah-rumah panggung di permukiman para pekerja Kebun Negla tahun 1925-1930. Foto dari Wereld Museum.

Tiba-Tiba di Garut

Di kampung terujung, Cibutarua, saya dapati rekan yang tadi paling depan sedang berbicara dengan seorang bapak. Lalu ia berputar dan masuk ke arah jalan yang tidak ada dalam rencana. “Hayu ka dieu,” serunya. Kami yang di belakang mengikut saja. Setelah beberapa saat, jalan beton yang rapi berubah total menjadi jalanan batuan khas perkebunan. Batunya besar-besar pula. Dan pas di sebuah belokan, saya kaget tiba-tiba melihat tugu dengan tulisan jelas “Batas Kabupaten Bandung – Garut.” Lah, kok sudah di Garut aja?

Faktor kedua yang membuat kaget adalah karena sehari sebelumnya saya baru saja turun dari pendakian ke Gunung Papandayan. Lalu sekarang, begitu saja nyampe Garut lagi, dari arah yang berbeda. Luar biasa Aleut. Pada saat motor tersendat gerakannya disebabkan oleh kondisi jalan yang parah, barulah saya berkesempatan bertanya akan ke mana arah perjalanan ini. Jawabnya, ke Kincir. Nama ini beberapa kali disebut sebelum perjalanan hari ini, dan ujug-ujug hari ini kami ke sana. Perjalanannya agak diburu-buru juga karena memang sudah sore dan tidak ingin terjebak gelap saat di pedalaman nanti.

Tugu Batas Kabupaten Bandung – Garut. Foto Fikri M Pamungkas

Jalan menuju Kincir ini sangat terjal. Kombinasi batuan dengan lumpur. Lagi-lagi yang berboncengan harus turun. Saya sudah kehabisan tenaga, tangan rasanya pegal bukan main. Maka saya memilih untuk turun dari motor, lalu cari parkiran yang cukup aman di jalan sempit ini, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Mula-mula saya bersama dua orang kawan menuruni area perkebunan karena menurut warga yang sedang bekerja di ladang lokasi Kincir ada di sana. Di bawah, kami sudah merambah ke sana-sini. Lahan datarnya tidak terlalu luas juga, karena setelah itu langsung jurang yang di bawahnya ada aliran sungai.

Nyatanya kami bertiga salah. Salah berbelok tepatnya. Karena area ini cukup curam, kami menyerah dan menyerahkan tugas mendokumentasikan Kincir ke dua kawan lain yang belum turun. Mereka coba mencapainya dengan motor melalui jalur jalan lain, namun gagal juga. Jalanan setapak itu terhalang oleh rimbunnya rumput sehingga ban motor tersangkut. Dari kejauhan terlihat mereka turun dari motor dan memarkirkannya di jalur jalan setapak.

Mereka berdua lanjut dengan berjalan kaki dan akhirnya menemukan mesin kincir yang dimaksud agak jauh di bawah, dekat dengan aliran sungai. Kondisinya mengenaskan karena tergerus longsor. Bangunan pelindungnya sudah tak bersisa sama sekali, sedangkan mesin-mesin besar dan berbagai peralatan lainnya terbengkalai begitu saja di ruang terbuka.

Kondisi Kincir. Foto Aditya Wijaya.

Kincir menjadi destinasi terakhir dalam Momotoran kali ini. Langit sudah gelap sehingga kami harus segera pulang karena penerangan jalan masih terbatas. Sambil berkendara pulang saya memperhatikan bangunan-bangunan unik yang terlewat. Salah satunya bangunan yang kini dijadikan Taman Kanak-Kanak di bawah ini. Bentuk atapnya unik seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Seorang rekan menyebutnya bergaya jengki, dan yang menjadikannya lebih unik lagi karena bangunannya berbahan papan kayu. Hanya sedikit bagian bawahnya berbahan tembok dan batu kali.

Bangunan kayu yang unik di Negla. Foto Deuis Raniarti.

Momotoran bersama Aleut memang tidak pernah gagal meninggalkan kesan, meskipun harus diakui selalu saja melelahkan. Setiap perjalanannya dipenuhi dengan spontanitas walaupun perencanaannya juga sebetulnya cukup detail. Pengetahuan yang didapat dari setiap perjalanan selalu memiliki manfaat lebih, tidak sekadar jalan-jalan atau lewat atau menikmati pemandangan.

Bagi saya perjalanan kali ini menebalkan keinginan untuk melakukan penelusuran lebih dalam mengenai dinamika kondisi buruh perkebunan. Hal ini dipantik oleh bangunan bedeng serta arsip foto penitipan bayi yang saya dapatkan di kantor Sedep. Sebab, lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik pada sejarah dari orang-orang kecil tak berpunya. Mereka yang menjadi sekrup-sekrup peradaban punya peran yang sangat penting selain para pembesar yang namanya selalu hilir mudik di dalam teks-teks sejarah. Semoga ada waktu dan tenaga untuk melakukannya. ***

Pengelolaan Air untuk Listrik di Perkebunan Malabar

Oleh: Aditya Wijaya

Beberapa waktu lalu saya bersama Komunitas Aleut mengunjungi kawasan Perkebunan Malabar. Salah satu keperluannya adalah melihat lokasi-lokasi yang berkaitan dengan sistem air dan kelistrikan di Malabar. Di antaranya Syphon Cikuningan, PLTA Cilaki, DAM Wanasuka, dan masih banyak lagi.

Dari kunjungan ini saya membayangkan bagaimana dulu aliran air dikelola sedemikian rupa menjadi sumber listrik untuk memenuhi kebutuhan perkebunan. Seperti syphon yang berfungsi untuk mengalirkan air dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara kerjanya mirip seperti bila kita memindahkan bensin dari motor melewati selang kecil.

Selain syphon ada juga beberapa kolam pengendapan air dan saringan-saringan air. Sesuai sebutannya, kolam dan saringan ini berfungsi untuk mengendapkan dan menyaring air sebelum dialirkan menuju turbin guna menghasilkan listrik.

Jika kita amati lebih teliti sebenarnya sebagian aliran air yang dulu merupakan sungai dan dimanfaatkan untuk kelistrikan, sekarang ternyata sudah tidak ada lagi. Salah satunya, Sungai Citambaga yang saat ini sudah tinggal nama saja. Aliran sungai Citambaga termasuk yang paling awal dimanfaatkan untuk pembangunan PLTA di kawasan Perkebunan Teh Malabar.

Syphon Cikuningan (Aditya Wijaya)
Continue reading

Jejak Kerbosch Sang Ahli Kina di Mess Purbasari

Oleh: Aditya Wijaya

Dr. Kerbosch duduk paling kiri dari foto (KITLV)

Pada 16-17 Juli 2023 lalu, saya bersama Komunitas Aleut berkunjung ke beberapa lokasi di Pangalengan, di antaranya ke Mess Purbasari di Desa Wanasuka, Pangalengan, Kab. Bandung. Kunjungan-kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka mengumpulkan materi lapangan terkait Kawasan Perkebunan Malabar.

Siang itu kami tiba di Mess Purbasari. Di sini kami memerhatikan sebuah plakat berbahasa Belanda yang terpasang di dinding tepat di atas perapian. Saya coba tuliskan inskripsi dalam plakat tersebut.

Plakat di Mess Purbasari (Aditya Wijaya)
Continue reading

Menelusuri Jejak KAR Bosscha (Edisi momotoran)

Oleh: Nurul

Menelusuri berbagai tempat sejarah selalu menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Kita seperti bisa menyaksikan bagaimana suatu tempat berproses menjadi tempat yang bisa kita lihat sekarang. Cerita, perjuangan, pengorbanan, hingga akhir hayat tokoh tersebut seolah-olah seperti sebuah film yang diputar kembali. Hari itu, tanggal 15 April 2022, saya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan di Bandung. Rasanya seperti ingin memanjakan diri dengan sesuatu hal dan Bandung selalu menjadi jawabannya.

Pagi hari di tanggal 16 April 2022, saya bangun pukul 05.00 WIB kemudian segera bersiap-siap untuk memulai perjalanan yang sudah saya tunggu-tunggu yaitu menelusuri jejak KAR Bosscha. Tak lupa mempersiapkan jas hujan, sendal jepit dan keperluan lainnya untuk dibawa nanti. Dari Cinunuk, saya berangkat pukul 06.00 WIB, mengisi bensin, kemudian segera menuju Taman Regol. Titik kumpul hari itu adalah di Komunitas Aleut. Peserta yang akan mengikuti kegiatan momotoran diberikan beberapa instruksi, mengingat ada beberapa dari kami yang belum pernah mengikuti kegiatan semacam ini sebelumnya. Instruksinya berupa urutan motor, titik pemberhentian, dll. Saya dan Novi mendapatkan posisi di urutan ketiga.

Continue reading

Menuju Pakidulan, Mengunjungi Selatan Jawa

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Aditya Wijaya.

Minggu, 8 November 2020 ini, Komunitas Aleut mengadakan kegiatan momotoran lagi. Kali ini tujuannya adalah pantai selatan. Oya, seperti momotoran dua minggu lalu, momotoran ini pun diadakan sebagai bagian kegiatan pembelajaran Aleut Development Program.

Memulai perjalanan momotoran kali ini terasa berbeda, karena saya harus menjadi leader dalam perjalanan ini. Leader adalah pemimpin posisi motor saat momotoran. Ternyata sulit menjadi leader itu. Selain sebagai penunjuk jalan, leader juga harus selalu fokus dan memeriksa keadaan rombongan di belakang, agar semuanya terkendali dan aman.

Tempat pertama yang kami singgahi adalah Tugu Perintis Soekarno di Cimaung. “Ternyata Soekarno pernah datang ke sini,” ucap saya dalam hati. Tugu ini didirikan untuk memperingati peristiwa Soekarno ketika memberikan kursus politik di Cimaung. Lokasi tugu ini sangat strategis, berada di pertigaan Jalan Cimaung-Puntang.

Ilustrasi Soekarno sedang memberikan kursus politik di Cimaung. Foto: Reza Khoerul Iman.

Kami melanjutkan perjalanan menuju selatan. Sempat menemui macet di sekitar PLTU Cikalong, namun sejauh ini perjalanan cukup lancar. Kami melewati situ Cileunca dan melihat sekelompok wisatawan yang sedang melakukan arum jeram.

Continue reading

Catatan Perjalanan Pantai Selatan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Melelahkan dan mengasyikkan, Itulah kesan Momotoran kedua yang kurasakan bersama ADP-20 Komunitas Aleut. Melelahkan karena panjangnya rute yang harus dilalui, mengasyikkan karena banyak sekali pengalaman dan hal-hal baru yang kulihat dan kualami. Sesuai dengan rencana, Momotoran kali ini (Minggu, 8/11/2020) akan menyusuri Pantai Selatan. Rute keberangkatan kami dimulai dari Pasirluyu Hilir (PH) – Dayeuhkolot – Banjaran – Cimaung – Pangalengan – Talegong – Cisewu – Rancabuaya. Sedangkan untuk jalur pulangnya: Rancabuaya – Santolo – Cisompet – Gunung Gelap – Batu Tumpang – Cikajang – Kota Garut – Leles – Nagreg – Cileunyi – Cibiru – PH.

Kami berangkat sekitar pukul tujuh tigapuluh pagi. Kemacetan dan kerumunan adalah pemandangan yang banyak kulihat di perjalanan pergi dan juga pulang. Pada saat berangkat, dari mulai Dayeuhkolot hingga Banjaran tampak rutinitas masyarakat yang umumnya dilakukan setiap hari Minggu pagi, seperti bersepeda, berbelanja, ataupun sekadar bersantai di kawasan Alun-alun. Di Cimaung, kami berhenti di salah satu tempat bersejarah, yaitu Tugu Perintis Kemerdekaan atau disebut juga Tugu Cimaung. Tugu ini didirikan dan diresmikan pada tahun 1932 dan dipelopori oleh Sukarno yang pada saat itu pernah singgah di Desa Cimaung untuk  memberikan pelajaran politik bagi warga desa Cimaung. Terdapat imbauan untuk tidak memasang spanduk ataupun baligo di area Tugu Cimaung. Imbauan hanya sekedar imbauan. Dapat dilihat beberapa spanduk dan baligo terpampang di sekitar area tugu. Mengapa bisa demikian? Entahlah.

Spanduk dan baligo yang terpampang di area Tugu Cimaung. Foto: Inas. Qori Aina

Di Pangalengan, aku menemukan hal menarik yaitu pada angkutan kota atau angkot yang model pintunya berbeda dengan angkot yang selama ini kulihat di sekitar kota Bandung. Angkot berwarna kuning dengan trayek Banjaran-Pangalengan ini pintunya terletak di bagian belakang mobil dan selalu dalam keadaan terbuka. Model pintu seperti itu membuatku berpikir apakah tidak bahaya untuk para penumpangnya? Apalagi dengan jalur Pangalengan yang relatif menanjak dan cukup curam. Entahlah.

Continue reading

Pengenalan Kawasan Perkebunan di Pangalengan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman.

Momotoran merupakan salah satu kegiatan regular Komnuitas Aleut untuk mengobservasi sejarah suatu tempat. Pada tanggal 24 Oktober 2020, tim peserta pelatihan Aleut Program Development (APD) angkatan 2020 mendapat kesempatan pertama kalinya untuk momotoran ke kawasan Pangalengan. Tujuannya adalah untuk mengobservasi jejak-jejak perkebunan tempo dulu dan beberapa tokohnya.

Untuk Tim APD 2020, ini adalah pengalaman baru momotoran dengan total memakan waktu sekitar 13 jam. Namun, bagi sebagian angkatan lama, ini mungkin kegiatan momotoran yang sudah kesekian puluh kalinya mengunjungi kawasan Pangalengan. Meskipun telah sering kali momotoran, tetapi mereka selalu mendapat hal yang baru lagi dari setiap perjalanannya, karena itu tidak ada kata bosan dalam melakukannya.

Banyak hal yang didapat oleh Tim APD 2020 dari hasil momotoran ini. Bukan hanya sebatas kisah tentang K.A.R Bosscha serta perkebunannya, namun juga pelatihan untuk peka terhadap lingkungan sekitar. Skill berkomunikasi dan kemampuan berinisiatif setiap individu juga dilatih secara tidak langsung. Melalui program momotoran ini juga dilatih kemampuan secara kelompok, seperti kemampuan berkoordinasi dan mengorganisir suatu kelompok.  Terasa program momotoran di Komunitas Aleut ini sangat banyak sekali manfaatnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk khalayak umum. Tapi ya, semua akan kembali kepada tujuan masing-masing, apakah orang tersebut ikut hanya untuk sekadar liburan mengisi kekosongan waktu, ataukah malah hanya sekadar untuk menemukan sang pujaan hati?

Di rumah Bosscha. Foto: Reza Khoerul Iman.

Pada pertemuan hari Kamis sebelumnya, terlihat semua kebutuhan dan keinginan masing-masing peserta telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Pembagian tugas dalam momotoranpun sudah dipersiapkan, sampai setiap orang sudah ditentukan partnerperjalanannya untuk memenuhi kelancaran komunikasi dan keaktifan semua individu. Awalnya Pak Alex berpasangan dengan Madiha, begitu juga Pak Hepi berpasangan dengan Agnia, namun ketika bergabung dengan saya dan Annisa yang menunggu di Alun-alun Banjaran, terjadi perubahan komposisi. Ternyata ini bertujuan untuk melatih komunikasi sesama anggota baru.

Continue reading

Momotoran Nyaba ka Pangalengan: Bosscha dan Makamnya.

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh : Wildan Aji

‘t Oude moedertje zat bevend

Op het telegraafkantoor

Vriend’lijk sprak de ambt’naar

Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor

Trillend op haar stramme benen

Greep zij naar de microfoon

En toen hoorde zij, o wonder

Zacht de stem van hare zoon

(Potongan lirik lagu “Hallo Bandoeng” – Wieteke van Dort)

Sebelum mengikuti kegiatan momotoran ke kawasan perkebunan teh di Pangalengan pada hari Sabtu pagi lalu, saya mendengarkan sebuah lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu ini rasanya cocok sekali untuk menemani perjalananku kali ini bersama rombongan Komunitas Aleut. Rasanya seperti akan kembali melihat masa lalu Bandung dan kawasan sekitarnya.

Anggota rombongan yang berangkat ada 14 orang menggunakan 8 motor yang berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasirluyu Hilir, Buah Batu. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Malabar, setelah sebelumnya mampir dulu ke bekas perkebunan kina di Cinyuruan, Kertamanah, dan ke Pusat Penelitian Teh & Kina di Chinchona, Cibeureum.

Perkebunanan Teh Malabar tentunya sudah tidak asing lagi sebagai tempat wisata. Perkebunan ini bisa dibilang paling terkenal dan merupakan salah satu penghasil teh terbesar di dunia pada masanya dengan kapasitas produksi mencapai 1.200.000 kg/tahun. Sejak era Hindia Belanda produksi teh dari Perkebunan Malabar sangat terkenal dan produksinya dijual di pasar Eropa. Produksi teh hitam menggunakan metode orthodox dan hanya memakai tiga pucuk terbaik. Dengan metode ini proses pengolahan teh tidak dicacah namun digiling sehingga dapat menghasilkan citarasa teh yang lebih nikmat mengalahkan kualitas teh dari Tiongkok dan Srilanka yang saat itu juga menguasai pasar Eropa. Hingga saat ini Perkebunan Teh Malabar masih beroperasi dan konsisten menghasilkan teh dengan kualitas ekspor. Untuk proses pemasarannya, 90% produksi perkebunan teh ini untuk ekspor dan hanya 10% yang dipasarkan di dalam negeri.

Continue reading

Banyak Hal yang Tidak Kuketahui tentang Pangalengan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh : Madihatur Rabiah

Sekilas terdengar suara melewati gendang telingaku :

Biippp….biipp…biip….

Alarm telah membangunkanku dari peristirahatan semalam …..

Oh, haii.. Kenalin aku adalah anak Jakarta yang bermigrasi sementara waktu ke Bandung dalam keperluan perkuliahan. dan baru-baru ini mengenal satu komunitas yang sedikit banyaknya memiliki peran sumbangsih bagi Kota Bandung dalam meyadarkan betapa pentingnya melihat dan mengetahui lebih dalam sejarah dari suatu tempat dan lingkungan sekitar.  Tak banyak hal yang kutahui tentang Bandung karena aku masih baru saja mengenal Kota Kembang ini. Saat  aku mengenal Komunitas Aleut, sehentak kubertanya pada diri ini, dan sempat terbersit sebuah lirik lagu:

“Open your eyes “

“Open your eyes”

“Open your eyes, look up to the sky and see ………”

Kata-kata dari lagu Bohemian Rhapsody – Queen itu terngiang dalam benak dan menyadarkanku bahwa ternyata banyak hal yang belum kuketahui dalam kehidupan ini. Ditambah lagi aku yang baru sedikit saja mengenal Bandung. Semenjak mengikuti program momotoran ke Pangalengan-Ciwidey bersama Komunitas Aleut kemarin, aku baru merasakan memotoran keliling salah satu daerah terkenal di Bandug ini, dan mendapatkan banyak hal dari sana.

Sabtu pagi, 24 oktober 2020, perjalanan ke Pangalengan melewati banyak tempat yang baru kukenal, di antaranya, Banjaran –Kertamanah – Pangalengan – Malabar – Pasir Malang – Cileunca – Gambung – Ciwdey – Buahbatu.

Continue reading

Ngobrol Santai bareng Junghuhn dan Alfred Cup di Cinyiruan

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh Rieky Nurhartanto

Sangat senang rasanya bisa kembali menulis walaupun beberapa tulisan yang lain belum selesai wkwkwk. Pengalaman yang sangat berharga, bisa mengenal lebih jauh tokoh luar biasa dan pohon kinanya. Perjalanan ini memang bukan yang pertama bagi saya, karena sebelumnya saya sudah pernah mengunjungi kawasan tersebut. Semakin berharga lagi sehari sebelum perjalanan ini adalah hari yang sangat spesial bagi saya.

Di sini saya menulis petualangan bersama Komunitas Aleut, tapi dengan sedikit perbedaan, karena kali ini hampir semua pesertanya adalah kawan-kawan baru. Oh iya, belakangan ini Komunitas Aleut mengadakan sebuah kegiatan pelatihan untuk umum, yaitu Aleut Program Development (APD). Dalam kegiatan ini Aleut menyelenggarakan berbagai kegiatan secara intensif dengan tujuan pembelajaran dalam berbagai bidang umum yang ditujukan untuk angkatan atau generasi muda. Saya pribadi sih sangat senang sekali dengan program tersebut karena bisa belajar, sambil bertemu, dan mempunyai sahabat-sahabat baru.

Kegiatan momotoran ke Pangalengan ini sebenarnya merupakan sambungan dari hari Kamis sebelumnya, yaitu Kelas Menulis. Kata Bang Ridwan, pada hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2020, kami (para peserta APD 20) akan Ngaleut Momotoran ke wilayah Pangalengan-Ciwidey dengan masing-masing peserta mendapatkan tugas penulisan dengan tema yang berbeda-beda. Saya langsung merasa sangat senang sekali karena bisa kembali ke daerah favorit tempat saya niis, yaitu Pangalengan hehehe.

Oh iya, sebenernya pada hari Jumat-nya saya sudah merencanakan ingin membawa motor sendiri ke Pangalengan nanti, karena bagi saya lebih baik membonceng daripada dibonceng hahahahah. Biasanya kalo dibonceng lama-lama akan pegal pantat dan pegal pinggang juga, apalagi kalo dibonceng pake motor Beat wkwkwk. Saya sudah merencanakan akan membawa motor sepupu saya, karena saat ini kondisi motor saya kurang baik, kapas gandanya harus diganti dan akan terlalu riskan kalo tetap memaksakan memakainya. Tapi ternyata motor ternyata sepupu akan dipakai juga besok hari untuk bepergian bersama teman-temannya, tidak jadi deh membawa motor sepupu saya.

Saya segera saja memberitahu teman-teman di grup whatsapp bahwa besok saya tidak jadi membawa motor sendiri.  Agak sedikit sedih sih sebenarnya, tapi ya mau bagaimana lagi, untung saja dalam daftar pembawa motor besok ternyata masih cukup untuk membawa saya walaupun harus dibonceng.

Pada hari Sabtu, kami yang akan mengikuti Ngaleut Momotoran ke Pangalengan-Ciwidey diharuskan datang tepat waktu ke Rumah Aleut di Pasirluyu Hilir, yaitu pukul 07.00  teng. Saya bangun pukul setengah 6 pagi. Sebelum mandi, saya mempersiapkan dulu air panas yang akan dibawa dalam termos untuk bekal di perjalanan. Lumayan bisa untuk bikin kopi nanti di perjalanan. Bekal makanan saya persiapkan juga untuk makan siang nanti.

Setelah semuanya siap, kami diberi brefing singkat oleh Bang Ridwan dan Teh Rani tentang hal-hal teknis yang harus diperhatikan selama perjalanan nanti. Oh iya, sebenarnya ada dua kawan lain yang tidak ikut berkumpul di Rumah Aleut pagi itu, yaitu Reza dan Annisa, karena tempat tinggalnya masing-masing di Cilampeni dan di Ciwidey. Bang Ridwan menyuruh mereka untuk menunggu saja di kawasan Alun-Alun Banjaran.

Setelah semuanya siap, saya berpamitan kepada Ibu dan berangkat ke Rumah Aleut. Ternyata sudah ada beberapa kawan yang duduk-duduk di depan teras, di antaranya Adit dan Farly, sedangkan di dalam sudah ada Teh Rani dan Inas sedang sarapan, Oh iya seperti yang sudah saya sebutkan dalam tulisan saya yang pertama, Teh Rani ini adalah salah satu koordinator Aleut, sama seperti kang Ervan, yang kebetulan hari ini tidak bisa ikut momotoran. Bosan kali ya? Karena seminggu sebelumnya pun Komunitas Aleut baru saja mengadakan perjalanan ke Pangalengan hahahah.

Continue reading

Sensasi Ngaleut Momotoran Pertamaku

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh Agnia Prilika Riyanto

Apa yang terlintas dibenak teman-teman ketika pertama kali mendengar kata momotoran?

Mungkin kata momotoran yang satu ini bisa merujuk pada kata touring, yaitu ketika kita melakukan perjalanan bersama secara beriringan, menjelajah, dan menyusuri kota yang relatif cukup jauh menggunakan kendaraan beroda dua (sepeda motor). Bagi sebagian orang, aktivitas momotoran ini bisa menimbulkan beragam persepsi dan imajinasi, baik itu dari segi kebermanfaatan, keselamatan, dan atau hanya untuk sekadar bersenang-senang.

Bagaimana denganku? Mengapa aku sangat tertarik mendengar kata momotoran yang akan diadakan oleh komunitas Aleut?

Bukanlah yang pertama bagi komunitas Aleut mengadakan kegiatan momotoran, namun ini menjadi kali pertama bagiku dan teman-teman tim APD (Aleut Program Development) angkatan 2020 untuk melaksanakan kegiatan lapangan pertama bersama dengan menjelajahi kawasan Pangalengan – Ciwidey.

Sabtu, 24 Oktober 2020, akhirnya aku bisa menghabiskan waktuku bersama teman-teman baru, menikmati dunia luar dan merasakan sensasi momotoran ala Komunitas Aleut. Sebenarnya kegiatan ini tidak jauh berbeda dengan definisi momotoran pada umumnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Hanya saja momotoran ala komunitas Aleut ini memiliki ciri khas tersendiri serta selalu meninggalkan kesan dan pesan berharga bagi siapapun yang mengikutinya. Jika kamu penasaran ayo bergabung bersama Komunitas Aleut 😀

Dua hari sebelum hari keberangkatan, aku meminta izin dan meyakinkan kedua orang tuaku, bahkan bisa dibilang ke hampir seluruh anggota keluarga. Wajar saja, aku hanyalah anak rumahan yang jarang bermain jauh, sekalipun bermain jauh itu adalah kegiatan darmawisata sekolah ataupun acara-acara tertentu. Hfftt membosankan sekali. Tapi apa daya.., aku juga tak bisa memaksakan diri dan menyalahkan keadaan serta sikap orang tuaku yang kadang seakan-akan terlihat mengekang/protektif, namun sebenarnya tidak sama sekali. Aku sangat paham betul mengapa mereka begitu. Merupakan hal yang wajar bagi orang tua apabila timbul rasa khawatir dan cemas pada anaknya, apalagi jika anaknya perempuan dan sudah beranjak dewasa. Ditambah kondisi saat itu yang mungkin menurut mereka tidak memungkinkan untuk aku tetap pergi adalah karena sedang musim hujan, pandemi Covid-19, dan melihat aktivitas keseharianku yang selalu begadang.

Setelah aku menjelaskan kegiatan momotoran Aleut ini secara detail dan mencurahkan segala isi hati dan perasaan menggebu serta keinginan kuat untuk mengikuti Ngaleut, akhirnya aku mendapatkan izin dan doa restu dari kedua orang tua dan keluargaku dengan segala pertimbangan yang ada. Hehe. Berhubung tempat ngaleut momotorannya juga tidak terlalu jauh dan masih berada di satu kota tempat kelahiranku. Yups! ngaleut momotoran kali ini masih berada di sekitaran wilayah Bandung, lebih tepatnya di kawasan Pangalengan – Ciwidey. Sekitar pukul 07.00 pagi aku sudah berada di Sekretariat Aleut, begitupun teman-teman APD lainnya. Adapun 2 teman kami yang berasal dari Ciwidey dan Cilampeni (Reza dan teh Annisa) diinstruksikan untuk menunggu di Kamasan, dekat Alun-Alun Banjaran agar tidak mutar balik lagi.  Setelah semua anggota berkumpul di sekretariat, kami sempat mengadakan briefing terlebih dahulu sebelum keberangkatan untuk mengecek kembali barang-barang apa saja yang dibutuhkan, menentukan partner naik motor, dan urutan momotoran ketika di perjalanan. Terhitung ada 8 motor dengan total 14 orang yang siap berangkat menuju tempat yang dituju.

Continue reading

Asyiknya Ngaliwet Bersama Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Aditya Wijaya.

Bunyi alarm membangunkan saya dari tidur lelap setelah melakukan perjalanan momotoran Pangalengan-Ciwidey kemarin bersama Komunitas Aleut. Saya bersiap untuk memacu kendaraan menuju sekretariat Aleut di Pasirluyu Hilir. Cuaca Bandung pagi hari seperti biasa dingin dan berawan. Sesampainya di sekretariat Aleut pukul 09.00 pagi, kami para peserta APD (Aleut Program Development) 2020, dengan ditemani teh Rani, bang Ridwan, dan pak Hevi, bersiap untuk melaksanakan kegiatan ngaliwet yang akan diliput oleh sebuah kanal televisi dari Jakarta.

Sambil menunggu teman-teman yang lain datang, teh Rani mebawa secercah harapan karena membeli sebungkus gorengan hangat yang memang cocok disajikan pada pagi hari. Hari semakin siang, satu persatu teman-teman berdatangan dan mulai terlihat kesibukan untuk mempersiapkan liwetan yang akan disajikan nanti. Kejadian yang membuat sedikit cemas adalah ketika teh Rani menyadari bahwa tahu dan oncom yang baru dibelinya di pasar tidak ada. Bergegaslah teh Rani dan pak Hevi menuju pasar untuk menjemput tahu dan oncom yang hilang.

Reza yang tinggal di Ciwidey pun datang membawa banyak jenis lalab yang sudah mulai jarang ditemui di pasar-pasar kota Bandung, mulai dari takokak, jotang, antanan, selada air, daun mint, dan kemangi. Tak lengkap rasanya bila ngaliwet tanpa lalab dan sambal. Soal lalab, saya sebetulnya merasa asing dengan nama-nama lalaban tersebut, karena memang sudah jarang ditemui di restoran atau warung makan biasa.

Dapur sekretariat Aleut menjadi sangat sibuk oleh teman-teman yang mempersiapkan bahan-bahan liwetan. Tugas pertama saya adalah memotong kangkung bersama pak Hevi, Ricky, Reza, dan Farly. Sementara itu, Agnia dan Madiha mempersiapkan tempe yang akan digoreng serta dibacem. Berikutnya, saya lanjutkan dengan memotong bawang merah dan bawang putih. Begini ternyata rasanya memasak, menyenangkan, ucap saya dalam hati. Setelah itu saya menggoreng tahu dan tempe, sementara Lisa menggoreng teri dan asin.

Continue reading

“Vervoloog Malabar: Riwayatmu Kini”

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Deuis Raniarti.

Karel Albert Rudolf Bosscha datang ke Pulau Jawa pada tahun 1887. Awalnya ia datang untuk membantu pamannya, Kerkhoven, mengelola perkebunan Sinagar, namun pada akhirnya ia mengelola perkebunan miliknya sendiri di Pangalengan. Setelah menuai kesuksesan, Bosscha dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Berbagai sumbangannya terus dikenang dan manfaatnya bisa dirasakan hingga sekarang. Salah satu jasanya dalam bidang pendidikan adalah pendirian Vervoloog Malabar, yaitu sekolah untuk kaum pribumi, khususnya anak para pekerja perkebunan Malabar. Sekolah ini didirikan di tengah Perkebunan Teh Malabar pada tahun 1901.

(Vervoloog Malabar. Sumber: Tropenmuseum)

Pada hari Sabtu lalu, 24 Oktober 2020, saya dan beberapa kawan dari Komunitas Aleut momotoran ke Pangalengan hingga Ciwidey, momotoran ini adalah kelanjutan dari kegiatan “Belajar Menulis”. Seluruh peserta diberi tugas membuat catatan dan liputan tentang berbagai hal yang ditemui dalam perjalanan, seperti sejarah kina dan Kebun Cinyiruan, Kebun Teh di Malabar dan Pasirmalang, tokoh-tokoh seperti KAR Bosscha atau FW Junghuhn, sampai ke pengenalan kawasan-kawasan perkebunan di sekitar Pangalengan-Ciwidey. Dalam tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika berkunjung ke Vervoloog Malabar.

Continue reading

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Mengenal Willem Gerard Jongkindt Conninck

Nisan W.G. Jongkindt Coninck.jpg

Batu nisan W.G. Jongkindt Coninck/foto oleh Asep Suryana

 

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada bulan Juni 1934, sebuah perayaan spesial untuk Tuan W.G. Jongkindt Coninck diselenggarakan di Kertamanah. Banyak telegram, karangan bunga, serta bingkisan diterima oleh panitia perayaan di Kertamanah. Saking spesialnya perayaan ini, banyak artikel koran Belanda yang merekam peristiwa ini. Tapi siapa sih Tuan Jongkindt ini?

Untuk mengenalnya, mari kita mundur sekitar 50 tahun dari perayaan itu yakni tahun 1884.

Pada tanggal 22 Juni 1884, Willem Gerard Jongkindt Conninck dan kakaknya bernama Gerrit Jan Jongkindt Conninck datang di Hindia Belanda untuk pertama kalinya. Tujuan mereka ialah mencari peruntungan di bidang perkebunan. Perlu diketahui Willem dan Gerrit berumur 18 dan 24 tahun.

Karir Willem diawali sebagai pegawai perkebunan tembakau di Sumatera. Pada awalnya, dia bekerja perkebunan di Belawan. Lambat laun, karena kerja keras dan ketekunannya, dia berhasil menjadi seorang administratur perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1889. Saat itu dirinya berumur 23 tahun!

Setelah 15 tahun berkarir di Sumatera, Tuan Willem pindah ke perkebunan di Jawa. Perkebunan pertama yang disinggahinya berlokasi di Lampegan. Lalu, dia pindah ke Kertamanah dan menjadi administratur perkebunan pada 1 April 1904.

Selama di Kertamanah, fokus Tuan Willem lebih ke arah budidaya kina. Metode pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina menjadi fokusnya. Salah satu penelitian yang dilakukan Tuan Willem tentang penyakit kina diterbitkan di koran De Preangerbode edisi Juli 1913.

Berkat metode-metode itu nama perkebunan Kertamanah dan Willem G. Jongkindt Conninck terkenal di Jawa. Hal itu terlihat dengan banyaknya undangan sebagai pembicara yang diterima oleh Tuan Willem. Salah satunya adalah undangan Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan dirinya di seksi agrikultur dan holtikultura.

Hingga pada tahun 1934, Willem Gerard Jongkindt Conninck dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje-Nassau berkat jasa dan kiprahnya selama 50 tahun di budidaya kina. Penganugerahan itu dirayakan di Kertamanah. Banyak koran Belanda yang merekam peristiwa ini.

Sayangnya, jejak langkah Tuan Willem Conninck di bidang budidaya kina berhenti saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Bahkan kehidupan Willem Gerard Jongkindt Conninck pun berhenti saat dirinya berada di Kamp Interniran 7 Ambarawa. Dia meninggal di sana pada tanggal 23 Januari 1945. (Vss/Rap)

 

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑