Tag: Pabrik Teh Santosa

Catatan Perjalanan: Momotoran Kertamanah (– Sedep) Bagian-2

Oleh Irfan Pradana Putra

Ini tulisan lanjutan Catatan Momotoran Kertamanah yang bagian pertamanya bisa dibaca di sini.

Memasuki jalan raya Pangalengan cuaca malah berubah jadi panas terik, padahal rasanya baru saja kami pakai jas hujan. Terlihat lucu juga, karena hanya kami iring-iringan motor yang mengenakan jas hujan. Walhasil badan pun terasa gerah. Jahil sekali langit hari itu. Tujuan berikutnya adalah ke kawasan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa yang wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Kertasari.

Di gerbang perkebunan Malabar, kami semua berhenti di Warung Nasi Rehan yang katanya sudah lama jadi langganannya Komunitas Aleut. Di sini kami tidak makan di tempat, tapi beli bungkus untuk dimakan di Santosa nanti. Sebelumnya saya sudah cukup sering mendatangi Rumah Bosscha dan sesering itu juga melihat warung nasi ini dalam perjalanan, tapi ini adalah kali pertama saya mampir dan membeli beberapa pilihan makanan untuk bekal.

Warung Nasi Rehan di Pintu, Malabar. Foto Komunitas Aleut.

Di dalam warung sudah cukup banyak orang antre beli makanan dan rata-rata untuk dibungkus juga. Dibandingkan warung-warung lain di sekitar, sepertinya Warung Rehan ini paling populer. Pilihan menunya cukup banyak, masakan rumahan. Semua tampak menggugah, tapi tidak mungkin juga mengambil semuanya. Saya memilih nasi dengan lauk tambusu (usus sapi) yang dimasak dengan parutan kelapa.

Bekal sudah lengkap, saatnya melanjutkan perjalanan. Memasuki perkebunan Malabar kami melihat iring-iringan warga mengenakan kaos partai. Ternyata hari itu sedang ada kampanye besar dari salah satu caleg. Mendekati lapangan desa di Tanara, kendaraan kami terjebak kemacetan parah. Hampir 30 menit kendaraan tidak bisa maju maupun mundur. Kesabaran menjadi semakin tipis karena matahari kian terik menyengat kulit. Akhirnya saya dan seorang kawan di depan mencari-cari jalan tikus demi menghindari kemacetan.

Kami coba memasuki jalanan kecil dan masuk ke perkampungan warga. Warga bilang tidak ada jalan, tapi kami nekat saja dan akhirnya masuk ke area perkebunan teh malabar. Menerjang jalan berbatu dan berlumpur. Orang Sunda bilang “Ngaprak”. Lumayan, lah, hitung-hitung refreshing nyukcruk galur kebon. Bonus ketemu makam (lagi) yang berderet memanjang di tepi kebun. Di bawahnya ada aliran kali kecil. Makam-makam ini tidak segera terlihat karena semuanya terletak agak tersembunyi di balik ilalang tinggi dan beberapa pohon besar.

Tidak ada kata “Nyasar” di Aleut. Adanya adalah eksplorasi. (Dokumentasi: Komunitas Aleut)

Setelah mampir eksplor makam-makam itu, akhirnya kami dapat menemukan jalur untuk kembali ke jalan utama. Kawan-kawan lain entah di mana batang hidungnya. Saya dan satu kawan di motor lain melanjutkan perjalanan menuju pabrik Santosa. Nanti saja di sana janjian untuk bertemu. Kami berhasil melewati kemacetan parah yang sebetulnya kalau ditunggu juga durasinya sama dengan waktu yang kami habiskan untuk eksplor barusan.

Jalan menuju pabrik Santosa sudah sangat mulus. Saking mulusnya saya beberapa kali melepas tangan dari stang motor. Tidak khawatir akan terjatuh. Enaknya lagi, ditambah dengan pemandangan kebun teh yang rapat. Syahdu sekali rasanya tubuh diterpa angin perkebunan.

Lima belas menit jarak kami dengan motor kawan-kawan yang ternyata sudah leha-leha duluan di depan Pabrik Teh Santosa. Ternyata tadi mereka memilih menunggu kemacetan ketimbang mengekor kami mengeksplor jalan di sela-sela kebun. Sungguh kesabaran yang patut dijadikan teladan.

Kami memarkir motor di warung yang berada di seberang gerbang Pabrik Teh Santosa. Saya langsung menghampiri pos satpam untuk sekadar ngobrol. Pak Asep, nama satpam tersebut, memperbolehkan saya melihat-lihat dari luar. Kebetulan pabrik tetap beroperasi meskipun hari minggu. Demi mengejar target produksi. Menurutnya, bahan teh sedang melimpah usai beberapa bulan lalu lesu karena diterpa kemarau panjang. Semerbak wangi teh yang tercium, nikmat sekali. Ini pengalaman pertama menghirup aroma teh langsung di muka pabriknya.

Kiri: Pabrik Teh Santosa. Kanan” Kipas Penyaring Udara. Foto Irfan Pradana Putra.

Waktunya makan siang, kami membuka bekal yang dibeli tadi di Warung Rehan, lalu makan rame-rame di warung itu. Tentunya sudah minta izin dulu, bagaimana pun ada rasa engga enak karena beli di tempat lain tapi makannya di warung itu. Untunglah bapak-ibu pemilik warung mengerti situasinya, sehingga bukan hanya mengizinkan, bahkan membantu menyiapkan tempat dan minumnya. Sebagai gantinya, kami belanja apa saja yang bisa dibeli di situ.

Usai makan, sejenak kami meluruskan punggung sambil berbincang dengan bapak-ibu warung yang baik ini. Si bapak pensiunan dari Pabrik Teh Santosa. Ia purna tugas di tahun 2016 lalu dan sekarang bersama istrinya, yang juga pensiunan pabrik, membuka warung makanan. Saya makan sambil memandangi deretan pohon Rasamala yang begitu tinggi. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Dulu pohon-pohon seperti ini ditebang dan digunakan untuk berbagai kebutuhan perkebunan, termasuk peti penyimpanan teh.

Batang-batang pohon Rasamala (KITLV)

Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik teh Sedep yang terletak di kawasan perkebunan Negla. Menurut penuturan rekan-rekan yang sudah beberapa kali ke Sedep, di sana masih banyak bangunan lama, lebih banyak dari yang ada di wilayah Kertamanah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit perjalanan motor dari lokasi pabrik Santosa.

Setibanya di Sedep, kami mulai berpencar mengambil dokumentasi. Saya mulai dengan bangunan mess yang –sayangnya– terkunci. Jadi saya hanya bisa memotretnya dari luar saja.

Pabrik Teh Sedep dan mess-nya. Foto Irfan Pradana Putra.

Kami beruntung karena salah satu kawan Aleut memiliki kenalan yang bekerja di pabrik Sedep. Kami berhasil menghubunginya dan yang bersangkutan memberikan izin untuk masuk ke kantor administrasi pabrik. Di dalam kantor ia menunjukkan album-album foto lama, arsip pabrik Sedep. Sayangnya banyak album yang tidak memiliki keterangan waktu, sehingga kami agak kesulitan menganalisa konteks sejarahnya. Rencananya kami akan datang lagi di lain waktu untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto tersebut.

Dari sekian banyak album foto yang kami buka, saya tertarik pada salah satu foto yang menunjukan keberadaan sebuah tempat penitipan bayi di pabrik Kertamanah. Menyenangkan rasanya menemukan arsip lama mengenai hal ini.

Rumah Penitipan Bayi di Perkebunan Sedep. Arsip Pabrik Sedep

Cukup lama kami menghabiskan waktu di kantor pabrik Sedep. Semua kawan asyik memilah-milah dan menganalisa foto hingga lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, padahal masih ada satu lokasi tujuan lagi yang sudah diagendakan untuk perjalanan kali ini. Kami segera berpamitan sambil berjanji akan berjumpa lagi dalam waktu dekat ini.

Tujuan terakhir hari ini adalah kawasan permukiman para pekerja Perkebunan Negla di Neglawangi. Jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi dengan kondisi jalan yang sudah bagus seperti sekarang. Dulu, sebelum jalannya diperbaiki, katanya waktu tempuhnya bisa satu jam. Di lokasi permukiman ini saya tertarik pada susunan rumah bedeng dan jalur-jalur jalannya tertata rapi. Dari jauh, suasana kampungnya pun terlihat resik. Dari arsip foto lama terlihat bahwa paling tidak perkampungan ini sudah ada sejak tahun 1920.

Perumahan para pekerja Perkebunan Negla. Foto Komunitas Aleut
Rumah-rumah panggung di permukiman para pekerja Kebun Negla tahun 1925-1930. Foto dari Wereld Museum.

Tiba-Tiba di Garut

Di kampung terujung, Cibutarua, saya dapati rekan yang tadi paling depan sedang berbicara dengan seorang bapak. Lalu ia berputar dan masuk ke arah jalan yang tidak ada dalam rencana. “Hayu ka dieu,” serunya. Kami yang di belakang mengikut saja. Setelah beberapa saat, jalan beton yang rapi berubah total menjadi jalanan batuan khas perkebunan. Batunya besar-besar pula. Dan pas di sebuah belokan, saya kaget tiba-tiba melihat tugu dengan tulisan jelas “Batas Kabupaten Bandung – Garut.” Lah, kok sudah di Garut aja?

Faktor kedua yang membuat kaget adalah karena sehari sebelumnya saya baru saja turun dari pendakian ke Gunung Papandayan. Lalu sekarang, begitu saja nyampe Garut lagi, dari arah yang berbeda. Luar biasa Aleut. Pada saat motor tersendat gerakannya disebabkan oleh kondisi jalan yang parah, barulah saya berkesempatan bertanya akan ke mana arah perjalanan ini. Jawabnya, ke Kincir. Nama ini beberapa kali disebut sebelum perjalanan hari ini, dan ujug-ujug hari ini kami ke sana. Perjalanannya agak diburu-buru juga karena memang sudah sore dan tidak ingin terjebak gelap saat di pedalaman nanti.

Tugu Batas Kabupaten Bandung – Garut. Foto Fikri M Pamungkas

Jalan menuju Kincir ini sangat terjal. Kombinasi batuan dengan lumpur. Lagi-lagi yang berboncengan harus turun. Saya sudah kehabisan tenaga, tangan rasanya pegal bukan main. Maka saya memilih untuk turun dari motor, lalu cari parkiran yang cukup aman di jalan sempit ini, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Mula-mula saya bersama dua orang kawan menuruni area perkebunan karena menurut warga yang sedang bekerja di ladang lokasi Kincir ada di sana. Di bawah, kami sudah merambah ke sana-sini. Lahan datarnya tidak terlalu luas juga, karena setelah itu langsung jurang yang di bawahnya ada aliran sungai.

Nyatanya kami bertiga salah. Salah berbelok tepatnya. Karena area ini cukup curam, kami menyerah dan menyerahkan tugas mendokumentasikan Kincir ke dua kawan lain yang belum turun. Mereka coba mencapainya dengan motor melalui jalur jalan lain, namun gagal juga. Jalanan setapak itu terhalang oleh rimbunnya rumput sehingga ban motor tersangkut. Dari kejauhan terlihat mereka turun dari motor dan memarkirkannya di jalur jalan setapak.

Mereka berdua lanjut dengan berjalan kaki dan akhirnya menemukan mesin kincir yang dimaksud agak jauh di bawah, dekat dengan aliran sungai. Kondisinya mengenaskan karena tergerus longsor. Bangunan pelindungnya sudah tak bersisa sama sekali, sedangkan mesin-mesin besar dan berbagai peralatan lainnya terbengkalai begitu saja di ruang terbuka.

Kondisi Kincir. Foto Aditya Wijaya.

Kincir menjadi destinasi terakhir dalam Momotoran kali ini. Langit sudah gelap sehingga kami harus segera pulang karena penerangan jalan masih terbatas. Sambil berkendara pulang saya memperhatikan bangunan-bangunan unik yang terlewat. Salah satunya bangunan yang kini dijadikan Taman Kanak-Kanak di bawah ini. Bentuk atapnya unik seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Seorang rekan menyebutnya bergaya jengki, dan yang menjadikannya lebih unik lagi karena bangunannya berbahan papan kayu. Hanya sedikit bagian bawahnya berbahan tembok dan batu kali.

Bangunan kayu yang unik di Negla. Foto Deuis Raniarti.

Momotoran bersama Aleut memang tidak pernah gagal meninggalkan kesan, meskipun harus diakui selalu saja melelahkan. Setiap perjalanannya dipenuhi dengan spontanitas walaupun perencanaannya juga sebetulnya cukup detail. Pengetahuan yang didapat dari setiap perjalanan selalu memiliki manfaat lebih, tidak sekadar jalan-jalan atau lewat atau menikmati pemandangan.

Bagi saya perjalanan kali ini menebalkan keinginan untuk melakukan penelusuran lebih dalam mengenai dinamika kondisi buruh perkebunan. Hal ini dipantik oleh bangunan bedeng serta arsip foto penitipan bayi yang saya dapatkan di kantor Sedep. Sebab, lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik pada sejarah dari orang-orang kecil tak berpunya. Mereka yang menjadi sekrup-sekrup peradaban punya peran yang sangat penting selain para pembesar yang namanya selalu hilir mudik di dalam teks-teks sejarah. Semoga ada waktu dan tenaga untuk melakukannya. ***

Catatan Momotoran; Pabrik Teh Santosa

Oleh: Fikri M Pamungkas

Desir angin Pangalengan yang menerpa tubuh pagi ini sungguh terasa menggigit, padahal kali ini saya duduk di belakang, dibonceng oleh Reza, rekan di Komunitas Aleut. Hari ini kami mengadakan perjalanan momotoran ke kawasan Pangalengan untuk mengungjungi beberapa lokasi di sana. Rute yang sudah disusun adalah Cinyiruan/Kertamanah, Talun-Santosa, Sedep, dan Negla.

Karena kali ini kami berbagi catatan dengan rekan-rekan lain, saya hanya akan bercerita pengalaman di bagian Santosa saja. Bagian awal perjalanan mungkin sudah diceritakan rekan lain, kami diterpa hujan sejak di Cimaung. Bukan hujan turun sekali saja, tapi hujan yang sebentar-sebentar berhenti, lalu turun lagi. Akibatnya, bolak-balik juga pasang lepas jas hujan. Walaupun begitu, tak ada yang perlu dikeluhkan, perjalanan tetap terasa menyenangkan seperti biasanya.

Singkat cerita, kami melewati belokan di depan gerbang Perkebunan Malabar, ambil ke kiri, lalu menyusuri kawasan perkebunan tetangganya Malabar sampai tiba di tugu pertigaan Talun-Santosa di depan Pabrik Teh Santosa. Bagian jalan ini kurang lebih 10 kilometer panjangnya. Akses jalan cukup bagus, semua sudah dibeton. Durasi perjalanan lebih kurang 20 menit dengan kecepatan relatif santai.

Embung Cihaniwung. Foto Komunitas Aleut, 2024.

Sepanjang perjalanan menuju Santosa pemandangannya adalah kawasan perkebunan teh yang selalu terlihat indah. Bukan hanya suasana, hati juga terasa sejuk oleh suguhan alam seperti ini. Kami melewati beberapa cekungan penampung air atau embung, yaitu waduk berukuran mikro yang dibuat untuk menangkap kelebihan air saat musim hujan seperti sekarang ini.

Di wilayah Pangalengan ini embung sudah dibuat sejak dahulu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai danau bisa saja, danau kecil dengan pemandangan indah di sekitarnya, sehingga seringkali disinggahi orang yang kebetulan lewat. Sebagian embung itu belakangan ini dijadikan objek wisata, ada beberapa yang menjadi cukup populer, seperti Cicoledas milik Kebun Malabar dan Cihaniwung milik Kebun Talun-Santosa. Pengemasan wisata di Cihaniwung terlihat lebih masif dan ramai dibanding Cicoledas yang baru ada 1-2 warung saja di atasnya.

Hari mulai siang, pukul 12.43, saat saya beserta dua rekan Aleut lainnya sampai di depan kantor Desa Santosa.  Aneh juga rekan-rekan lain masih tertinggal di belakang, padahal tadi pas kejebak macet di sekitar Tanara mereka ada di depan kami. Hari itu memang ada acara besar di lapangan Tanara yang membuat jalanan macet oleh manusia dan kendaraan. Mungkin sekitar setengah jam kami terpaksa merayap pelan di tengah kepadatan tadi. Belakangan baru saya tahu, ternyata rekan-rekan di depan berinisiatif mengambil jalan perkampungan demi menghindari macet. Jadi jalan mereka berputar-putar ke tengah perkebunan. Makanya tiba lebih belakangan di pertigaan Santosa ini.

Pertigaan Talun-Santosa. Foto Komunitas Aleut, 2024.

Sembari menunggu rekan-rekan di belakang tiba, saya mencari minuman ke sebuah warung di depan Kantor Desa Santosa. Dari sini terlihat Pabrik Teh Santosa. Di tengah pertigaan jalan terdapat tugu penunjuk arah, kanan ke Sedep, lurus ke Kertasari. Tak lama kemudian, rekan-rekan sudah tiba, dan langsung menuju tempat parkiran pekerja Santosa yang di dalamnya ada warung.

Beberapa rekan langsung melangkahkan kaki ke halaman pabrik dan mengobrol dengan penjaga di gerbang, lalu ke area pabrik. Rekan-rekan yang tinggal di warung sibuk mengobrol dan memesan macam-macam. Ini pertama kalinya saya berada di dalam area Pabrik Teh Santosa, terdengar suara seorang petugas bagian kemananan menjawab pertanyaan Irfan, “Eta teh anu tos janten, atos siap dikirim. Eusina sa-sak sapertos semen, lima puluh kilo(gram).”

Hak sewa lahan Santosa didapatkan oleh J.H.W. Rusch pada tahun 1894, lalu persiapan lahan sampai sekitar 1901. Bibit-bibit awal yang didapat dari Perkebunan Gambung ditanam di blok Tebakasih dan Cisabuk. Dilanjutkan dengan membuka pabrik dan perumahan karyawannya pada tahun 1905. Pada tahun 1912 pabrik ini mengalami kebakaran besar yang membuat aktivitas pengolahan terhenti sampai tahun berikutnya. Pada 1913 pabrik didirikan lagi, kali ini lebih besar dan lebih luas. Pada tahun 1920 pabrik ini membangun turbin tenaga listrik di Cibutarua-Cileuleuy.

Pada masa Jepang, kawasan perkebunan teh dibongkar dan diganti dengan tanaman pangan sepeti jagung, singkong, ubi, dan talas. Pada masa revolusi kemerdekaan, perkantoran di Santosa dijadikan kantor darurat pemerintahan Kabupaten Bandung yang terpaksa mengungsi akibat peperangan. Rumah-rumah bedeng pun diisi oleh para pegawai pemerintahan. Dengar dari rekan-rekan lain, kantor darurat pemerintahan kabupaten ini akan terus berpindah menyusuri jalur perkebunan dan hutan di sini. Dari Santosa lalu ke Pasirgaru, pindah lagi ke Cikopo, dan akhirnya ke Bungbulang, Garut.

Setelah keadaan kembali normal dan perkebunan pun sudah berada dalam pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) III Unit Jawa Barat, satu per satu perkebunan tetangga digabungkan dengan Santosa. Dimulai dengan kebun tertua, yaitu Lodaya yang sudah berdiri sejak 1882, digabungkan pada tahun 1965. Kemudian pada tahun 1983 bergabung kebun Cikembang, dan akhirnya pada 1993. Kebun Talun yang sudah berdiri sejak 1902 pun ikut bergabung. Sejak itulah dikenal nama kebun Talun-Santosa (Talsan) yang sering ditulis tanpa tanda pisah jadi Talunsantosa.

Di sisi lain, lembaga pengelola perkebunan pun mengalami perubahan-perubahan nama, dari PPN III menjadi PPN Aneka Tanaman X, lalu menjadi PNP XIII, pada tahun 1968. Tiga tahun berikutnya, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Perbandingan kawasan Santosa sekarang dan dari peta lama di oldmapsonline.

Berada di area pabrik dan perkebunan Santosa ini udara terasa sejuk sekali. Walaupun pemadangan alam tidak bebas karena berada di dataran yang cukup luas dengan pepohonan besar dan tinggi di sekitar, namun tetap nyaman. Desa Santosa memang berada dalam lingkungan pergunungan di sekitarnya, ada kompleks gunung Wayang-Windu, Pergunungan Malabar, dan di selatan paling tidak ada gunung-gunung Kendeng, Papandayan, Geulis, dan Kancana. Desa ini berada di ketinggian 1500 mdpl dengan suhu rata-rata 20 derajat celsius.

Berdasarkan buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis oleh Her Suganda, Priangan menjadi salah satu sasaran utama politik tanam paksa karena topografinya yang lengkap, wilayah utara cenderung dataran rendah, wilayah tengah bergunung-gunung, wilayah selatan pun masih berbukit-bukit. Wilayah tengah dan selatan ini sangat cocok untuk usaha perkebunan yang memerlukan iklim sejuk. Setelah diterbitkannya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870 yang memungkinkan pengusaha swasta membuka usaha perkebunan, wilayah tengah ke selatan ini pun menjadi perhatian utama mereka, terutama untuk penanaman kina, kopi, dan teh.

Santosa dan sebagian besar perkebunan di sekitarnya dibuka sebagai respon atas undang-undang itu, dan dari masa inilah lahir para juragan teh yang perusahaan dan produknya merambah ke seluruh dunia. Sekarang para peminat sejarah populer kenal dengan baik nama-nama juragan tersebut, van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kiprah dan riwayatnya masih terus diungkap dan diceritakan kembali. Nama Santosa memang tidak sebesar Malabar atau Gambung, tapi berbagai perannya, baik dalam bidang perkebunan ataupun kesejarahan lokal, tetaplah merupakan bagian penting yang juga perlu digali lebih dalam untuk mengisi mozaik sejarah Bandung Raya yang masih banyak berlubang.

Bangunan Pabrik Teh Santosa saat ini yang sudah mengalami berbagai perubahan karena bangunan aslinya rusak pada masa perang. Foto Komunitas Aleut 2024.

Sambil merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, di depan bangunan pabrik saya berhenti sejenak. Tiba-tiba aroma teh menyeruak dengan kuat. Wangi sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan aroma teh yang biasa saya hirup dari teh yang dijual di pasaran. Sejenak saya menikmati waktu yang langka ini.

Saat menengok ke sebelah kiri, di luar pagar pabrik, terlihat pepohonan besar dan tinggi yang berjajar di tepi jalan utama. Teduh sekali. Sudah berapakah usia pepohonan itu? Puluhan tahun? Atau mungkin ratusan tahun? Mereka adalah saksi bisu perjalanan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa. Pasti punya lebih banyak cerita. Seandainya mereka bisa bercerita, saya akan mendengarkannya dengan penuh khidmat. ***

Foto Komunitas Aleut, 2024.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑