Balong yang terletak di Kampung (Visscherij En Vischteelt in Nederlandsch Indie)
Belakangan ini timbul rasa penasaran saya, kenapa kebanyakan orang Sunda suka membuat kolam ikan air tawar atau biasa disebut “balong” dalam Bahasa Sunda. Pertanyaan ini muncul ketika saya menonton video mengenai orang-orang Sunda yang bertransmigrasi di Sumatra, Kalimantan, dlsb. Saya perhatikan orang Sunda di daerah transmigrasi umumnya memiliki balong di dekat rumahnya.
Di Bandung dan sekitarnya, cukup banyak rumah makan Sunda yang menggunakan balong sebagai setting tempat rumah makannya. Saya rasa balong, saung dan tempat duduk lesehan sudah melekat menjadi ciri khas rumah makan Sunda. Ciri khas ini sepertinya sudah melekat di alam bawah sadar masyarakat Sunda.
Rasa penasaran ini kemudian bisa sedikit berkurang ketika menelusuri buku-buku lama. Dalam buku “Onderzoek naar de oorzaken van de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera” tahun 1905 dari Landsdrukkerij dijelaskan bahwa jumlah kolam ikan air tawar di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih sedikit dibandingkan di daerah Priangan.
Kemungkinan besar penyebaran budaya kolam di wilayah Priangan dapat dijelaskan oleh letak lokasinya yang jauh dari pantai utara yang kaya ikan dan oleh kenyataan bahwa pantai selatan memiliki gelombang yang besar mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan ikan. Karena itu, kebutuhan akan ikan harus dipenuhi dengan cara lain.
Sebelum Reorganisasi Priangan (1872), para regent Priangan menyatakan bahwa penangkapan ikan di sungai-sungai merupakan hak eksklusif. Hak ini hanya dimiliki oleh para regent untuk memuaskan keinginan mereka akan ikan. Oleh karena itu penduduk hanya bisa mengandalkan budidaya ikan buatan.
Penduduk melakukan budidaya ikan ini di kolam buatan ataupun di sawah-sawah. Perkembangan pesat dalam budidaya ikan ini membuat perubahan yang signifikan dalam perekonomian penduduk. Perkembangan pesat ini berkat bimbingan, pelajaran, dan dorongan dari tokoh-tokoh terkemuda dalam masyarakat, seperti Raden Haji Mohamad Moesa dan K.F. Holle. Bahkan K.F. Holle menulis buku-buku panduan untuk budidaya ikan air tawar.
Secara umum, di mana ada lahan luas dan air melimpah memungkinkan orang Sunda untuk menggunakannya sebagai kolam ikan. Kolam-kolam ini selain sebagai sumber untuk mendapatkan ikan sebagai konsumsi mereka, dan biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk mandi dan mencuci.
Saluran air yang mengalir ke kolam ditutupi dengan penyekat bambu di tempat masuknya air (dari pancuran) untuk memisahkan bagian lain dari kolam. Sementara, di bawahnya diletakkan beberapa batu datar besar sebagai tempat untuk mandi dan mencuci. Balong juga menjadi sumber pendapatan penduduk dengan cara menanam ikan bibit yang diperlukan untuk budidaya ikan. Biasanya ikan yang dibiakkan berjenis gurame, nila, dan tawes.
Penelusuran ini berawal dari satu paragraf catatan kaki dalam buku “Preanger Schetsen” karya P. De Roo De La Faille. Berikut keterangan dalam catatan kaki di buku tersebut:
Preanger Schetsen 1895 (halaman 12)
“Mungkin representasi ini adalah suatu “keterlibatan yang sangat kontroversial”: para pertapa umumnya tinggal di dalam gua. Namun, mengingat bahwa di pegunungan di sekitar sini tidak banyak gua atau setidaknya sangat jarang; mengingat bahwa di sini kita menemukan jejak-jejak penghormatan terhadap dewa, maka saya cenderung mengambil contoh desa di pegunungan, seperti yang masih sering kita temukan, misalnya di Pasir Roembija, di mana terdapat lonceng-lonceng kuil dan sebagainya.”
Terdapat informasi mengenai sebuah desa di pegunungan yang memiliki benda-benda purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya. Desa tersebut bernama Pasir Rumbia. Dari keterangan ini saya coba mencari lokasi persisnya lewat peta lama. Tak sulit menemukan lokasi pasti desanya, hingga akhirnya awal Oktober 2023 kami melakukan Momotoran ke sana.
Di Desa Rumbia terdapat sebuah mata air yang disakralkan oleh warga dan terdapat juga makam keramat. Sebenarnya tujuan kami bukanlah desanya tetapi Pasir Rumbia atau dalam Bahasa Indonesia artinya Bukit Rumbia. Menuju lokasi Pasir Rumbia medannya sulit karena kami harus mendaki bukit yang jalannya curam.
Untunglah ada jalan untuk motor dapat naik ke bukit itu pun hanya cukup untuk satu motor saja. Motor kami parkirkan di sisi bukit. Kata pertama yang saya ucapkan di posisi parkiran tersebut adalah “spektakuler”. Di depan saya terhampar sebuah pemandangan yang saya rasakan memang spektakuler, ada banyak undakan seperti teras yang tingginya sekitar 1-2 meter dengan batu kali sebagai penyusunnya. Batu kali ini banyak sekali, rasanya tak mungkin ada orang yang iseng menyusun banyak sekali batu-batu tersebut. Jika berfungsi sebagai tanggul, pondasi atau terasering untuk bercocok tanam rasanya kok tidak mungkin juga, karena lebar teras antar undakan terlalu pendek.
Undakan batu di Pasir Rumbia (Komunitas Aleut)
Undakan batu yang berada di punggung bukit sebelah kiri foto ini, saat kami datang digunakan untuk berladang. Tidak ada tanda-tanda untuk dibuka juga. Hanya punggungan sebelah kanan ini saja yang dibuka untuk berladang (Komunitas Aleut)
Apakah mungkin Pasir Rumbia dahulunya merupakan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat peribadatan orang-orang di masa lampau? Inilah pendapat yang terus saya pikirkan saat berada di Pasir Rumbia. Berdiri di atas bukit dengan pemandangan yang luas ke arah barat, rasa-rasanya jika membayangkan sebuah tempat peribadatan masa lampau di Pasir Rumbia tidak ada salahnya. Lokasinya cocok betul!
Setelah selesai Momotoran dan sampai di Bandung, seperti biasa saya kembali mengulang atau mencari kembali materi-materi seputar Momotoran. Ternyata ada koreksi informasi seputar Pasir Rumbia. Barang-barang purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya terletak bukan di Pasir Rumbia melainkan di Desa Selakaso. Informasi ini saya dapatkan dalam:
Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Tahun 1894:
“Bahwa dia telah menerima surat dari anggota, Tuan P. de Roo de la Faille, calon pengawas di Tjitjalengka, tertanggal 21 Mei, yang berisi hal-hal berikut:
Selama verifikasi di lokasi di distrik Madjalaja, kami – Tuan de Graaff dan saya – di desa Selakaso, dekat pasir Roembija, tidak jauh dari Tjitaroem, menemukan beberapa senjata kuno. Senjata-senjata ini disimpan oleh seorang koentjen di sebuah saoeng yang cukup tinggi, berdiri di atas tiang, yang dapat diakses dengan tangga. Di dalamnya, kami menemukan: tiga lonceng kuil, disimpan dalam dua kotak bambu sederhana yang teranyam; dari salah satu lonceng tembaga, pegangannya berbentuk naga atau figur naga yang cukup bagus; selanjutnya, dibungkus dalam kulit daloewang, sebuah kris, sebilah klewang, sebilah pisau tembaga kasar, tujuh tombak yang kasar dengan sarung kayu mereka, dan sebuah ujung tombak yang dihiasi dengan beberapa helai daun emas; dan akhirnya dua lela tembaga berukuran sekitar 0,80 meter, dengan mulut lebih dari 1 cm diameter, bersama dengan yang ketiga yang lebih kecil, yang kurang dari 3 dm panjangnya: lela-lela ini memiliki tonjolan runcing di bagian bawahnya (mungkin untuk menopang meriam atau menancapkan ke tanah?). Selain itu, ada juga sebuah bak kayu berbentuk panjang yang tampaknya digunakan untuk gambang kayu.
Koentjen awalnya mengklaim tidak tahu benda-benda ini milik siapa; kemudian ia menyebutkan nama-nama pemukim terdahulu yang dikuburkan tidak jauh dari saoeng di bawah kiara tinggi, yaitu Embah Roembija, E. Anggem, E. Djagaraksa, E. Djagajoeda, dan E. Hadji Doerahman, tetapi nama-nama yang tidak bermakna ini tidak layak mendapat perhatian yang besar. Selain itu, ia tidak tahu atau tidak mau memberikan informasi lebih lanjut; ia mengklaim tidak memiliki piagem atau tulisan-tulisan kuno lainnya. Menurut Patih Tjitjalengka, kepercayaan rakyat mengatakan bahwa semua ini pernah dimiliki oleh Kjai Hjang Santang, sebelum putra kerajaan Padjadjaran ini memeluk Islam; makamnya – dikenal sebagai “Soennan Godog” terletak di Limbangan, dalam distrik Soetji.”
Peta tahun 1919 oleh Army Map Service U.S. (oldmapsonline)
Tahun 1906:
Pada bulan Juli yang lalu selama saya berada di Madja Laja, saya mendengar bahwa di Sela Kaso, di bawah kecamatan Patjet, Preanger-Regentschappen, ada beberapa benda purbakala logam dari zaman Hindu yang dijaga oleh seseorang bernama Pa Arsah. Penelitian lokal menunjukkan bahwa benda-benda tersebut meliputi:
1 Patung Akshobhya yang indah dari perunggu.
5 lonceng doa dengan pegangan yang berbeda, disebut Sangjang Këling.
4 senjata pukulan.
4 ujung tombak, salah satunya dihiasi dengan emas.
2 pisau belati.
1 kris.
1 pisau.
3 lonceng kecil.
1 tongkat besi, disebut entjis.
2 gunting pinang besi.
3 meriam tembaga.
Masih ada sebilah kropak yang harusnya ada, yang pada tahun 1902 dibawa oleh Wadana dari Tji-keulang ke Bandoeng. Terkait dengan barang-barang purbakala ini, saya diberitahu:
“Te djaman baheula doemoegi ka ajeuna dismipènan dina hidji saoeng sapertos papangopengan de Roembia.”
Mereka masih disimpan di sini sampai sekarang.
Awit ti nalika ratoe boeda djoemënèngan Ratoe Manabaja doemoegi kana sapoeloeh padjënëngan anoe masih kawëngkoe koe alam agama boeda.
anoe parantas islam. Itulah beberapa catatan informasi yang berhasil saya dapatkan mengenai Desa Selakaso. Semoga dapat kesempatan untuk berkunjung ke Selakaso, mencari jejak-jejak masa lampau yang mungkin saja terlupakan.
Peta awal abad 19 oleh Bik. Selakaso ditunjukan oleh panah warna merah (Nationaal Archief)
Judul di atas ini bukanlah judul kegiatan Ngaleut atau Momotoran kami kali ini, melainkan mengacu pada sebuah buku yang ditulis oleh P. De Roo de la Faille, diterbitkan oleh G. Kolff & Co, di Batavia tahun 1895. Sudah lama sekali, 128 tahun yang lalu. Pada colofonnya, tertera keterangan Niet in den Handel alias tidak tersedia secara komersial atau ya kira-kira tidak untuk dijual. Kami juga tidak memiliki buku ini secara fisiknya, hanya berupa dokumen digital yang kami dapatkan dari lembaga penyedia dokumen-dokumen lama melalui internet.
Beberapa waktu belakangan ini kami secara random saja selalu membahas isi buku ini, terutama yang berhubungan dengan nama-nama tempat yang disebutkan di dalamnya. Satu per satu tempat-tempat itu kami kunjungi dengan bermotor, tidak dengan perencanaan yang serius atau dengan kegiatan yang intensif juga, tetapi lebih karena kebetulan saja ada beberapa kali kegiatan kami, yang berhubungan dan kebetulan lagi, berdekatan dengan nama-nama tempat tersebut.
Begitu juga Minggu kemarin, 8 Oktober 2023, kami ingin menyelesaikan catatan kami tentang nama Tegal Padung yang disebutkan dalam buku itu, bahkan dijadikan sebagai lokasi acuan dalam salah satu bab-nya: Beberapa peninggalan purbakala di plateau Tegal Padoeng dan di desa Paboentelan. Sepertinya nama ini pernah penting di masa lalu:
“Tersembunyi di antara dua gunung, Malabar dan Rakutak, di kaki Gunung Windu, pada ketinggian 5000 kaki berdiri plateau kecil, Tegal Padung.”
Sebelumnya, kami sudah beberapa kali menelusuri nama ini, dengan bekal peta-peta lama, ke lokasi mulai dari Tjikembang, Lodaja, dan di sekitar perkebunan Kertasari sekarang. Sudah kami dapatkan sejumlah gambaran dan kami datangi nama-nama tempat lama yang ternyata masih hidup sampai sekarang, di antaranya Tjikembang, Lodaja, dan Argasari, serta nama-nama sudah menjadi samar saat ini, seperti Tjibitoeng, Paboentelan, atau Tegal Padoeng.