
Salah satu uwak saya sudah sangat lama tinggal di Majalaya, dari tahun 1950-an. Dia bekerja sebagai mantri gigi di Rumah Sakit Majalaya. Dulu rumah tinggal uwak adalah rumah dinas rumah sakit yang terletak di halaman belakang. Rumah bergaya kolonial yang dikelilingi halaman rumput yang luas. Di belakang rumah juga ada halaman rumput luas dan sebuah kolam. Bila keluarga besar berkumpul, biasanya kami gelar tikar di situ makan siang bersama. Di dekat kolam ada menara besi tinggi yang di puncaknya terdapat penampungan air. Anak-anak senang memanjati menara itu.
Selain menara, kami juga senang memanjati pohon jambu batu yang batangnya meliuk-liuk sehingga bisa kami duduki. Dari atas pohon terlihat bentangan sawah di balik pagar semak yang membatasi halaman rumah dengan sawah. Di kejauhan membayang jajaran pergunungan, katanya di sana ada satu tempat yang sangat sejuk, nama daerahnya terdengar aneh, Pacet.

Belasan tahun kemudian saya benar-benar punya kesempatan menginjakkan kaki ke Pacet. Saat itu saya sudah punya tambahan sedikit informasi tentang Pacet dan kawasan sekitarnya. Kali pertama menuju Pacet, saya dibuat kagum sepanjang perjalanan mulai dari arah Ciparay. Jalanan terus menanjak dengan pemandangan persawahan yang bertingkat-tingkat di kiri-kanan jalan.
Di lembah sebelah kiri, mengalir sungai Ci Tarum yang penuh dengan sebaran batuan berukuran besar. Di sebelah kanan jalan pemandangan terisi oleh jajaran perbukitan yang termasuk kawasan Arjasari. Pada masa Hindia Belanda, di Arjasari terdapat perkebunan teh yang cukup luas yang dikelola oleh salah satu perintis Preangerplanters, Rudolf A. Kerkhoven (1820-1890). Continue reading