Tag: Mikihiro Moriyama

Legenda Lagu Anak Sunda Mengkritik Kekuasaan

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Lagu yang memuat kritik sosial yang, salah satunya, menyindir kekuasaan bukan baru di Indonesia. Jauh sebelum lagu-lagu kritik Iwan Fals menjadi populer, di tatar Sunda telah hadir lagu “Ayang-ayang Gung”. Lagu ini, meski menjadi pengiring permainan anak-anak dengan cara didendangkan bersama-sama dan dibawakan secara ceria, namun sejatinya adalah sindiran keras terhadap pejabat yang haus kuasa sehingga menjilat kaum kolonial.

Menurut catatan Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, yang mula-mula memperkenalkan lagu ini adalah  R. Poeradiredja (ketua editor untuk bahasa Sunda pada kantor Volkslectuur atau Balai Pustaka) dan M. Soerijadiradja (guru bahasa Sunda dan Melayu di Opleidingsschool atau Sekolah Pelatihan di Serang) dalam makalah yang berjudul “Bijdrage tot de kennis der Soendasche taal” yang dipresentasikan pada Kongres Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa pada 1919. Berikut lirik lengkapnya: Continue reading

Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Perkembangan bahasa Sunda sampai bentuknya yang sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang Belanda. Atau, menurut Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, bahasa Sunda dalam sejarahnya “ditemukan”, “dimurnikan”, dan “didayagunakan” oleh orang kolonial.

“Kaum cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah kolonial, penginjil, dan partikelir yang hidup pada abad itu baru menemukan bahasa Sunda sebagai bahasa mandiri yang memiliki kosa kata dan struktur tersendiri pada abad ke-19,” tulis Edi S. Ekadjati dalam pengantar buku tersebut.

Seorang Belanda yang perannya cukup besar dan tidak bisa dilepaskan dari hadirnya budaya cetak dalam bahasa Sunda adalah Karel Frederik Holle atau K.F. Holle. Her Suganda dalam buku Kisah Para Preangerplanters menuturkan bahwa sebelum berkenalan dan mendalami bahasa Sunda, K.F. Holle hanya salah seorang yang ikut dalam rombongan pelayaran warga Belanda pimpinan Guillaume Louis Jacques van der Hucth. Pada 1843, rombongan yang berlayar dari Belanda itu hendak menuju tanah harapan di timur jauh, yaitu sebuah negeri koloni yang bernama Hindia Belanda.

Setelah bekerja selama sepuluh tahun di Kantor Residen Cianjur sebagai klerk dan di Kantor Directie van Middelen en Domeinen di Batavia, K.F. Holle merasa tidak puas. Ia akhirnya memilih menjadi administratur sebuah perkebunan teh di Cikajang, Garut. Setelah itu ia lalu membuka perkebunan teh dan kina waspada (Bellevue) di kaki Gunung Cikuray.

Di tempat kerja barunya, K.F. Holle tertarik dengan literasi dan kebudayaan Sunda. Sambil belajar bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat dan penguasa setempat, ia pun kerap mengenakan pakaian seperti halnya pribumi, seperti sarung dan kerepus.

Continue reading

Anak Muda dan Media Sunda

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

DSCN0307Di tengah gairah kampanye Kesundaan yang divisualkan dengan baju pangsi, iket, kebaya, dan hal-hal yang tak esensial lainnya, media Sunda yang berusaha menjaga budaya literasi justru hampir sekarat tanpa perhatian yang signifikan. Sebagai contoh, Majalah Mangle yang kini berusia 58 tahun berjalan terseok dengan tren jumlah pembaca yang kian turun. Juga mingguan Galura yang jika dilihat dari sisi bisnis hampir pasti tidak menggembirakan. Dengan jumlah penutur kedua terbesar di Nusantara, Bahasa Sunda mestinya adalah pasar yang jelas bagi media Sunda itu sendiri, namun kenyataannya adalah paradok yang semakin buruk.

Kondisi ini tentu menjadi tanggungjawab Ki Sunda yang peduli dengan perkembangan medianya. Jika dipetakan secara sederhana berdasarkan usia, demografi pengembannya mencuatkan satu identitas yang khas, yaitu anak muda. Di luar kata dan kalimat yang kerap dilekatkan kepada anak muda seperti “pembaharu”, “pelopor”, “agent of change” dan lain sebagainya, dalam kontek Bahasa Sunda, anak muda ini adalah generasi pertengahan yang diapit oleh dua tubir jurang.

Jurang pertama adalah anak-anak yang kini terperangkap dalam sistem pengajaran bahasa yang terdegradasi. Di rumah, di lembaga yang mula-mula menadah pemahamannya terhadap bahasa, para orangtua (ibu dan ayah) yang keduanya pituin (asli) Sunda, yang dalam komunikasi antar keduanya menggunakan bahasa Sunda, justru berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anaknya. Ihwal ini, Ajip Rosidi pernah menulis dalam buku “Kudu Dimimitian di Imah” (Harus Diawali dari Rumah).

Dalam pendadaran pengalamannya, Ajip menemukan dan menyimpulkan, bahwa lembaga utama dan pertama dalam pewarisan bahasa adalah mutlak harus dimulai dari rumah. Laku komunikasi sehari-hari akan menghasilkan pemahaman bahasa yang jauh lebih baik daripada hanya belajar di sekolah, atau pun dari lingkungan pergaulannya. Jika hal penting ini tidak disadari oleh para orangtua, lalu abai, maka Ajip menegaskan, “Lamun para indung-bapa Sunda henteu ngajak nyarita ku Basa Sunda ka barudakna, tanwandě hirupna Basa Sunda ngan baris nepi ka generasina.” (Kalau para ibu dan ayah Sunda tidak mengajak bicara memakai Bahasa Sunda kepada anak-anaknya, tentu keberlangsungan hidup Bahasa Sunda hanya sampai pada generasinya).

Anak-anak Sunda yang dilahirkan dan besar di tengah kedua orangtua yang merasa lebih bangga jika anaknya–dalam percakapan sehari-hari, berbahasa Indonesia, adalah generasi yang tercerabut dari bahasa sěkěsělěr-nya. Ikatan batin luntur, keterampilan lumpuh, lalu harapan seperti apa yang hendak disandarkan kepada anak-anak ini dalam melanjutkan estafet pengelolaan media Sunda? Pondasi yang lemah seperti ini adalah tubir yang punya kengeriannya sendiri dalam keberlangsungan hidup bahasa dan media Sunda.

Sementara di kalangan para senior (untuk tidak mengatakan tua), usia adalah sesuatu yang tak bisa dilawan. Meskipun ada beberapa yang masih produktif sampai di titik yang sudah senja sekalipun, namun satu-persatu barisan ini mulai pensiun dari medan laga kerja media, juga tak sedikit yang sudah kembali ke hadirat-Nya. Tentu jarak antara generasi ini dengan generasi yang seusia dengan para cucunya cukup jauh, dan perlu jembatan untuk menghubungkannya. Di sinilah letak angkatan muda itu.

Dari cerita dan pengalaman para senior, bahwa pada pengelolaannya, media Sunda kerap terabaikan sebagai anak tiri yang seolah tak pernah sudah. Pemerintah sebagai perwakilan negara selalu berada di posisi yang kurang jelas dalamngamumulě bahasa dan media Sunda. Seperti yang sudah ditulis di atas, pemerintah justru lebih mementingkan tampilan daripada menyentuh persoalan yang sesungguhnya.

Karena di satu sisi pewarisan bahasa menemui jalan yang keliru, dan di sisi lain dukungan dari pemerintah pun kerap membentur setapak buntu, maka tak heran jika media Sunda seolah hanya bertahan dari kematian.

Tapi perspektif di atas bagi anak muda adalah pandangan yang terlalu pesimis. Meskipun diapit oleh dua tubir jurang yang akhirnya memposisikan dirinya (seolah-olah) menjadi generasi—meminjam istilah Sjahrir, “yang apabila diam akan menjadi generasi yang hilang, dan apabila bergerak akan menjadi generasi yang kalah”, namun selalu ada celah untuk berkreasi dan terus produktif.

Anak muda Sunda hari ini, yang pernah dibesarkan di lingkungan keluarga yang masih memuliakan bahasa Sunda, namun dihadapkan pada kenyataan tentang payahnya keberlangsungan media Sunda, tentu harus bersiasat dengan mengisi dan mengolah ceruk-ceruk lain untuk membebaskan media Sunda itu sendiri dari keterbatasan. Media sosial yang kini begitu memanjakan alur dan arus informasi, adalah salah satu celah untuk mengibarkan ajěn-inajěn bahasa Sunda.

Di blog, twitter, facebook, dan kanal-kanal lainnya, anak muda Sunda harus mulai produktif menulis dalam bahasasěkěsělěr-nya. Di sini, di gorong-gorong media tak berbayar, anak muda tak perlu menengadah dan mengiba perhatian dari pemerintah, namun justru berdikari dengan keras kepala–bahwa dengan niat, minat, dan tekad yang bulat, media Sunda “independen” ini bisa terus hidup dan berkontribusi.

Kata “buntu” mesti segera dipensiunkan dari entry kamus anak muda. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh, dan banyak cara yang bisa dilakukan. Di media Sunda formal, anak muda pun bisa berkontribusi dengan cara mengirim naskah-naskah segar dan trengginas. Bahwa media-media itu dinakhodai oleh para senior yang sudah legok tapak gentěng kaděk tak bisa dipungkiri, namun siapa yang bisa menjamin bahwa ketersediaan naskah begitu melimpah? Hal inilah yang perlu didukung oleh anak muda.

Dalam buku “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19″ karya Mikihiro Moriyama, tersirat bahwa sesungguhnya bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda untuk kemudian berkembang meniti gelombang modernitas. Jika media Sunda diibaratkan bahasa yang didayagunakan itu, maka di tengah keterpurukannya seperti sekarang,  anak muda sudah saatnya mengambil peran sebagai pelaku aktif, bukan malah menjadi pengekor tiada guna dan tanpa tendens. Dan pada muaranya, hirup-huripbahasa dan media Sunda kita pertaruhkan. [irf]

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/15/anak-muda-dan-media-sunda/

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑