Tag: Maclaine Pont

P. A. J. Moojen & Bandung

Oleh: Aditya Wijaya

Arsitek P. A. J. Moojen diapit dua wanita Eropa berkostum Batak dan Mr. D. Fock, saat pembukaan paviliun Belanda kedua di Pameran Dunia Kolonial di Paris (Wereld Museum)

Hari Jumat, 1 Desember 2023, saya berkesempatan mengikuti kegiatan “Ngobrol di Museum” dengan tema “Mencari Kekhasan Arsitektur Hindia Belanda” yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Bandung bekerja sama dengan Bandung Heritage.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya pada kegiatan tersebut ketika Bapak Aji Bimarsono (Ketua Bandung Heritage) mulai memaparkan materinya. Beliau menerangkan tulisan dari C. P. W. Schoemaker terkait “Arsitektur Indo-Eropa”. Dalam tulisan tersebut Schoemaker menerangkan pendapatnya terkait para arsitek di Hindia Belanda yang mencoba membuat bangunan dengan gaya “Arsitektur Indo-Eropa”.

Berikut ini kutipan dari tulisan Schoemaker di “Indisch Bouwkundig Tijdschrift 31 Mei 1923”:

“Namun, tidak dapat disangkal bahwa akhir-akhir ini telah ada bangunan-bangunan di Indonesia yang dibangun dengan gaya plester pribumi yang monumental, yang juga mencerminkan dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan zaman.”

Jika Moojen, seorang pengagum seni Berlage dari Belanda, membawa prinsip-prinsip sederhana dan kebenaran dari Belanda ke sini, ia bekerja terlalu singkat untuk berkontribusi pada perkembangan gaya tropis yang sebenarnya.

Itu adalah Ed Cuypers, yang pertama kali menunjukkan nilai ornamen Indis di bangunan untuk Bank Javasche, tanpa memasukkan prinsip-prinsip gaya Indis dalam bangunan.”

“Meskipun merasa dan berusaha sebagai orang Indonesia, Maclaine Pont menjadi terdepan. Namun, dia pun belum—dengan cinta yang besar pada rakyat, terkecoh oleh seni bangunan kayu Jawa yang rusak—menemukan prinsip-prinsip arsitektur besar di negara-negara yang disinari matahari tropis yang menyengat, kadang-kadang dilanda hujan muson, di mana alam begitu kuat terorganisir, di mana banyak hal yang tak terbatas berkumpul menjadi kesatuan yang hebat, di mana kedamaian yang luas bergabung dengan dorongan kuat dari gunung-gunung tinggi yang dihiasi oleh lembah-lembah dalam.”

Hal menarik bagi saya adalah pendapat Schoemaker yang mengatakan bahwa sebenarnya kontribusi Moojen pada perkembangan gaya “Arsitektur Indo-Eropa” waktunya terlalu singkat. Bayangkan jika saja Moojen mendapat cukup banyak waktu untuk mengembangkan “Arsitektur Indo-Eropa.”

Continue reading

ITB sebagai Objek Wisata Alternatif

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

Alkisah sekitar seabad yang lalu, tepatnya pada 4 Juli 1919, empat gadis mewakili empat bangsa secara simbolis menanam empat batang pohon di tengah lahan persawahan Dago, menandai pembangunan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda – Technische Hogeschool – yang akan didirikan di lahan tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, niat pendirian sekolah tinggi teknik itu sudah dibicarakan oleh sekelompok pengusaha swasta (semacam KADIN) di Belanda. Salah satu pertimbangan utamanya adalah kesulitan mereka memenuhi tenaga teknisi yang handal atas industri mereka di Hindia Belanda. Usaha mendatangkan insinyur-insinyur Eropa ke  Hindia Belanda dianggap sangat mahal, oleh sebab itu muncul ide untuk membuat “pabrik” teknisi sendiri di Hindia Belanda, berbentuk sekolah tinggi teknik yang nantinya diharapkan bisa menghasilkan tenaga-tenaga insinyur “murah” yang kiranya akan diberdayakan pada industri-industri milik orang Eropa.

Nah sampai di sini, bisa disimpulkan bahwa pada awalnya ITB didirikan untuk menghasilkan SDM berkualitas yang diproyeksikan untuk bekerja bagi perusahaan asing. Maka itu, bagi para mahasiswa ITB yang sekarang kuliah hanya untuk bekerja di perusahaan asing, sungguh mulia mereka karena sejatinya telah meneruskan idealisme  para pendiri kampus itu.

Oke lanjut ke sejarah, intinya setelah membentuk komisi khusus yang tugasnya bikin kajian, pengumpulan dana, dan sebagainya, diputuskanlah izin pendirian sekolah teknik di Hindia Belanda oleh kerajaan Belanda sono. Dalam satu pertemuan melibatkan para inisiator dan pemerintah, sempat timbul perdebatan terkait lokasi kampus. Terdapat opsi Batavia, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Tampil memberi solusi, Walikota Bandung yang kebetulan ikut rapat, namanya B. Coops (biasa dipanggil Kang Engkus karena ikut-ikutan Kang Emil), langsung tunjuk tangan. Continue reading

Sekilas Mesjid Agung Bandung.

Repost

Sekarang bila hendak memastikan jadwal berbuka puasa, tak jarang orang menunggui televisi atau radio untuk mendengarkan kumandang suara adzan. Mesjid dengan speaker yang cukup keras memang banyak di Bandung, tapi seringkali suaranya kalah oleh kebisingan suasana kota. Namun di Bandung tempo dulu yang sunyi, bunyi bedug, tanpa harus menggunakan peralatan pengeras suara, sudah cukup membahana sampai ke Ancol, Andir, Tegalega, bahkan sampai Kampung Balubur. Menjelang subuh, bebunyian dari kohkol (kentongan) malah bisa terdengar sampai ke Simpang Dago, Torpedo (Wastukancana), dan Cibarengkok (Sukajadi).

Setiap bulan Ramadhan, Mesjid Agung ramai kunjungan masyarakat Bandung, termasuk oleh warga dari wilayah utara. Ya maklum saja, di utara Bandung masih cukup langka keberadaan mesjid selain Mesjid Kaum Cipaganti. Lagi pula mesjid legendaris ini berada di titik pusat keramaian kota. Orang beramai-ramai berbuka puasa di sekitar Pasar Baru dan Alun-alun. Di sana banyak warung, restoran, atau tukang dagang keliling yang bisa didatangi. Setelah shalat Maghrib, orang biasanya bersantai-santai sambil menunggu saatnya shalat Isya dan Taraweh di Mesjid Agung.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Moskee_en_alun-alun_TMnr_10016554B

Continue reading

Catatan seorang pelajar ITH tahun 30’an…

By : Muhammad Ryzki Wiryawan
Perkenalkan, nama saya Moehammad Hassan Windoedipoero. Hari ini, tanggal 07-06-09 saya akan mengulangi masa-masa muda semasa masih menjadi pelajar di Indische Technische Hoogeschool melalui perjalanan yang diadakan Klab Aleut…

Perjalanan ini cukup berat bagi orang seusia saya, tetapi gairah yang terpancar dari mata para pemuda-pemudi Klab Aleut untuk mengapresiasi sejarah dapat memulihkan kekuatan masa muda saya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila ada data yang salah, karena ingatan saya yang sudah cukup memudar seiring waktu.

Saya (tengah) bersama Mas Kusumo (Kiri) dan Karman (Kanan)
Saya dan Saidi, membelakangi kampus ITH
Baiklah, pertama-tama Klab Aleut mengajak saya mengunjungi tempat saya kuliah dahulu. Indische Technische Hoogeschool pertama kali dibuka tahun 1921 oleh prakarsa dari para pengusaha-pengusaha Belanda yang sukses serta perkembangan Kota Bandung yang menuntut ahli-ahli tehnik dan arsitektur. Sebelumnya, arsitek-arsitek kolonial hanya dihasilkan dari Sekolah Tinggi Tekhnik di Delft Belanda. Hingga kemudian kritik2 bermunculan bahwa lulusan dari sekolah tinggi tersebut memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang kondisi lingkungan dan budaya tropis di hindia belanda, oleh karena itulah perlu dibangun sekolah khusus teknik dan cabang2 ilmunya di hindia Belanda ini. Bandung patut bangga karena Kota ini dianggap cukup layak untuk ditempati komplek sekolah bergengsi ini.

Kampus ITH 1930’an
Rancangan Komplek ITH oleh Maclaine Pont

Kalau membicarakan ITH, mau tidak mau kita akan membicarakan peran Henry Manclaine Pont (1879-1955) yang merancang bangunan-bangunan di ITH ini. Detail2 yang mencolok dalam proses pembangunan ITH menyangkut peran dua guru Maclaine Pont , yaitu Klopper dan Klinkhamer. Prof.Ir. J. Klopper adalah direktur utama ITH saat itu, saya ingat sekali pernah berpapasan dengannya sesekali kala berangkat kuliah. Kemudian saya baru tahu kalau tuan Klinkhammer adalah keponakan dari K.A.R. Boscha, seorang humanis dan pengusaha perkebunan teh terkenal di Priangan.

Beberapa Anak Aleut memperhatikan sebuah plakat yang berisi nama-nama donatur pembangunan ITH. Ya, benar sekali, sekolah ini dibangun atas dana swasta, karena permintaan masyarakat luas akan insinyur-insinyur handal di hindia belanda. Baru 4 tahun kemudian ITH beralih ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Sampai saat didirikannya Sekolah Tinggi Teknik ini, jarang ada perhatian terhadap perancangan arsitektural. Baru kemudian muncullah diskusi-diskusi dan perdebatan mengenai bentuk arsitektur yang cocok untuk kawasan tropis hindia Belanda.

Suasana perdebatan ini sangat santer terasa apabila anda sempat merasakan masa muda yang saya alami sebagai mahasiswa di sekolah teknik ini. Jurnal-jurnal yang diterbitkan saat itu banyak membahas perseteruan antara dua guru besar kampus ini, yang tidak lain adalah Tuan Schoemaker dan tuan Maclaine Pont. Keduanya sama-sama lahir di nusantara, Schoemaker lahir di Banyu Biru, sedangkan Pont di jatinegara, boleh dibilang keduanya memiliki latar belakang budaya yang hampir sama, tetapi pandangan arsitekturnya cukup berlawanan.

Menurut tuan Schoemaker, langgam arsitektur Indo-eropa harus tetap berhaluan pada arsitektur Eropa modern dan tidak banyak mengadopsi arsitektur lokal. Itulah sebabnya rancangan-rancangan beliau tampak kagok dalam menempatkan unsur-unsur lokal dalam karyanya. Lihatlah toko buku Van Dorp dan Societet Concordia. Unsur lokal hanya dijadikan ornamen tanpa arti. Saya lebih menyukai pandangan Maclaine Pont yang berani mengadopsi gaya arsitektur lokal, tetapi dipadukan dengan teknik arsitektur modern. Contohnya adalah bangunan kampus ITH ini, walau dikenal sebagai bangunan bergaya Indo-eropa pertama di hindia Belanda, muncul banyak kritik bahwa Maclaine Pont tidak tepat dalam menempatkan bangunan bergaya Minangkabau dalam lingkungan sunda. Di luar itu, perhatian besar maclane Pont terhadap arsitektur dan budaa lokal patut diapresiasi. Dalam satu jurnal, Wolff Schoemaker pernah mengomentari gedung2 sekolah tinggi teknik bandung sebagai berikut ,”Sekolah Tinggi Teknik dirancang dengan pemakaian contoh dari beberapa ciri khas bangunan Minangkabau, yang di Jawa berada di tanah asing”.

Rancangan Aula Barat ITB oleh Maclaine Pont

Ada satu hal yang menarik, Tuan Wolff Schoemaker sehari-harinya mau tidak mau harus berada dalam gedung rancangan Maclaine Pont saingannya. Dalam beberapa kuliahnya yang saya alami, beliau menjuluki rancangan Maclaine Pont ini sebagai,“Peniruan bentuk yang dibuat-buat” serta meragukan kegunaan “suatu peniruan bentuk atap Sumatera, yang mengakibatkan kobocoran serius?.

Baiklah, kita lupakan dulu segala perdebatan ini dan beralih kepada taman Indah yang berada di poros selatan Kampus ITH. Dahulu saya kerap bersepeda bersama teman-teman mengelilingi taman ini. Saya ingat sekali, jalan yang sekarang bernama jalan ganesha, dulunya bernama Hoogeschoolweg, sedangkan di sebelah selatan taman ini, yang sekarang bernama jalan Gelapnyawang dulunya bernama MaclainePont Weg. saya dan teman kadang berkelakar bahwa tuan Schoemaker tidak akan pernah bersedia untuk melewati jalan bernama saingannya ini.

Taman indah ini didedikasikan untuk Tuan Yzerman, karyawan pegawai staats spoorwegen-SS (Jawatan Kereta Api Negara) dan merupakan salah seorang penggagas pendirian ITH. Dahulu di ujung taman ini terdapat patung dada beliau. Sayangnya patung ini ditebas di masa kemerdekaan Indonesia. Sungguh disesalkan…

Saya, Kusumo dan Kardi bergaya di depan patung Yzerman

Muda-mudi ITH kerap beristirahat dan bercengkrama di taman yang asri ini (kalau tidak salah ada juga salah satu pegiat aleut yang bernama Asri) Ya, Kalau dilihat dari angkasa, jalur di taman ini akan membentuk huruf “Y”, dari inisial Yzerman. Di taman ini pula terdapat dua kolam berbentuk lingkaran, salah satunya memancarkan air. Ada juga peneduh-peneduh berbalur daun yang diatur dengan sangat apik. Kemudian kalau anda perhatikan di belakang patung ini, terdapat plakat-plakat yang menunjukan lokasi gunung-gunung yang memunggungi Bandung dari arah selatan beserta ketinggiannya. Dahulu saya masih bisa melihat jelas lekuk-lekuk gunung ini dari taman ini, sayangnya sekarang sudah tidak bisa.

Landscape taman Yzerman

Taman ini dibangun agar bisa merekam kondisi taman-taman di Eropa, sebagaimana kawasan Bandung utara memang diatur berdasarkan konsep tuinstaad atau Kota taman. Anda tidak perlu jauh-jauh ke negeri Belanda untuk merasakan nuansa Eropa, dahulu anda cukup untuk mengunjungi taman Yzerman ini. Jangan lupa membawa sebuah buku menarik serta sekeranjang roti dan sebotol susu.

Klab Aleut ini memang keterlaluan, tanpa melihat usia saya yang renta, mereka terus mengajak saya untuk mengunjungi lokasi lainnya,, baiklah akan saya turuti kemauan pemuda-pemudi gagah ini… Semoga pengalaman yang pernah saya alami dapat menjadi pelajaran bagi anak-anak muda ini…
(bersambung)

Brievenkart berlatar taman Yzerman

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑