Tag: Lembang (Page 2 of 2)

Bandoeng Vooruit dan Komunitas Baheula di Bandung

Repost

bandoeng vooruit 1

Sebagai kota pendidikan, sepanjang tahun Bandung diserbu pendatang baru dari berbagai daerah di Indonesia dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Akibatnya angkatan muda di Bandung sangat banyak jumlahnya. Sebagian dari angkatan muda ini berkelompok sesuai minatnya masing2, membentuk komunitas2, tak heran bila saat ini Bandung menjadi gudangnya komunitas. Mulai dari komunitas yang sekadar berkumpul dan menyalurkan hobi sampai komunitas belajar yang serius bisa ditemukan di sini.

Sebagian di antara komunitas2 ini punya perhatian khusus terhadap kota Bandung. Cara dan fokus perhatian setiap kelompok ini bisa berbeda-beda tetapi umumnya bertujuan untuk mengapresiasi kehidupan Kota Bandung. Pernyataan yang muncul juga beragam; betapa senangnya tinggal di Bandung; betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kenyamanan tinggal di Kota Bandung; betapa banyaknya persoalan yang harus dihadapi masyarakat akibat pengelolaan resmi yang tidak memuaskan, dst dst.

Continue reading

Jelajah Alam Sukawana – Tangkuban Parahu

By : Yanstri M.
(12/07/09)

Ini adalah kali kedua aku ke Tangkuban Parahu di bulan Juli 2009 tetapi dengan jalur dan teman-teman yang berbeda. Kali ini aku dan teman-teman Aleut menuju Tangkuban Parahu melalui Villa Istana Bunga (VIB), Ciwangun Indah Camp (CIC), Sukawana, Pasir Ipis.

Jam 8:15 aku mulai menunggu di angkot yang akan membawaku ke Terminal Parongpong tempat aku berjanji untuk bertemu dengan teman-teman Aleut. Setelah lama menunggu, angkot yang aku naiki mulai berjalan. 25 menit kemudian aku sudah terdampar dengan selamat di Terminal Parongpong.

Karena belum ada yang datang, akhirnya aku putuskan untuk menikmati semangkuk mie untuk mengisi bahan bakar dan mengusir rasa dingin yang cukup menggigit. Tepat pada suapan terakhir di kejauhan aku lihat satu angkot yang disesaki oleh wajah-wajah yang tampak familiar buatku. Yup, akhirnya datang juga teman-teman Aleut yang lain. Mereka bersesakan di dalam angkot yang biasanya hanya diisi oleh maksimal 16 orang, tetapi kali ini diisi oleh 22 orang. Sungguh perjuangan yang tidak mudah untuk bertahan di dalam angkot yang penuh sesak dan harus melalui jalanan yang menanjak dan terkadang tidak rata. Tetapi itulah hebatnya anak-anak Aleut. Mampu bertahan di segala situasi (padahal kpaksa ya hehehehe).

Tepat pukul 8:30 setelah briefing dan melakukan doa bersama kami mulai berjalan melalui VIB. Rencana awal kami akan menuju CIC melalui pintu belakang VIB. Tetapi baru setengah perjalanan ada yang mengusulkan jalan lain melalui jalan setapak di pinggiran kebun penduduk.

Karena bukan Aleut namanya kalau tidak melalui jalan yang aneh bin ajaib. Kami melalui ladang penduduk. Jalan yang kami lalui cukup sempit dan licin di beberapa bagian. Terkadang di sebelahnya terdapat jurang. Kami harus terus berkonsentrasi agar tidak tergelincir.
Setelah sempat salah jalan beberapa kali, sampailah kami di jalanan beraspal sekitar 25m dari pintu belakang VIB. Kami terus menyusuri jalanan beraspal yang menanjak melalui samping CIC kemudian berbelok ke jalanan dari tanah melalui rumah penduduk dan keluar di daerah Sukawana.
Mulai tercium bau yang familiar dan menenangkan yang ternyata berasal dari daun teh yang sedang diolah. Kami berkesempatan berkunjung ke pabrik pengolahan teh milik PTPN VIII. Di sana kami melihat proses pembuatan teh. Sebenarnya ada 6 tahap proses pembuatan teh mulai dari proses pelayuan sampai yang terakhir proses pengepakan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu kami hanya bisa melihat 2 dari 6 proses tersebut, yaitu proses pelayuan dan proses penggilingan.
Puas berkunjung ke pabrik teh, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan teh. Di tengah kebun teh, mendadak Bang Ridwan meminta kami berhenti sebentar untuk menjelaskan mengenai danau bandung purba. Memandang ke arah selatan kami dapat menikmati pemandangan daerah Batu Jajar. Di sana juga terdapat bukit Lagadar yang menyimpan keunikan tersendiri. Bukit tersebut menghasilkan bebatuan yang apabila kita pecahkan akan berbentuk seperti kristal bersegi delapan.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri lahan milik Perhutani, melewati jalan dari tanah dan berbatu yang rusak di beberapa bagian dan membuat kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tidak terperosok. Di kanan kiri jalan kita bisa melihat deretan pohon pinus yang tumbuh menjulang. Menciptakan sedikit kesejukan.
Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan beberapa pengendara sepeda gunung dan motor trail serta penduduk setempat yang sedang mengumpulkan semak-semak untuk pakan ternak.
Untuk mencapai benteng yang ada di Pasir Ipis kami mulai menyusuri hutan, terkadang harus menerobos semak-semak. Setelah sempat berputar-putar akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sayangnya sebagian besar benteng tersebut tertutup semak-semak. Hanya sebagian kecil bagian benteng yang terlihat.
Benteng Pasir Ipis
(taken by Galih)
Tuntutan dari cacing di perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi membuat kami memutuskan beristirahat tidak jauh dari benteng sambil menyantap makan siang yang kami bawa. Sayangnya kenyamanan kami bersantap sempat terganggu oleh tawon yang berputar-putar tanpa henti di sekeliling kami.
Puas bersantap, kami kembali berjuang untuk mencapai Tangkuban Parahu. Jalanan yang tadinya datar mulai menanjak. Membuat kami harus mulai mengatur napas. Mendadak dari belakang terdengar seseorang berdendang:

Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Ingat, ingat ingat ingat, cuman ingat nanjaknya
Ingat, aku ingat ingat, cuman ingat nanjaknya

Yup, itulah lagu yang dengan semangat 45 dinyanyikan oleh Eki ketika teman-teman yang lain sudah mulai kelelahan menghadapi jalanan menanjak yang seakan tidak bertepi. Entah baterai apa yang Eki pakai hingga bisa terus semangat disegala kondisi?

Rasanya kaki sudah siap-siap lepas dari engselnya. Andai saja ada Mbah Surip, alangkah enaknya. Aku bisa minta gendong. Yang ajaib, di jalanan yang sempit, menanjak dan terkadang terhalang pohon tumbang kami bertemu kembali dengan pengendara motor trail. Tidak terbayang sulitnya mengendarai motor di jalanan seperti itu. Aku saja yang berjalan kaki terkadang kewalahan mengatur langkah agar tidak tergelincir.
Kami sempat melemaskan kaki sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak bukit di mana kami bisa memandang Kawah Ratu dan Kawah Upas di kejauhan. Keindahan pemandangan dari puncak bukit tersebut menghapus rasa lelah yang mendera kami akibat tanjakan yang tidak berkesudahan. Di kejauhan aku melihat seseorang yang tampaknya tak asing bagiku. Tetapi aku masih ragu untuk menyapanya. Yuhui, ternyata dia memang teman lamaku. Aku tidak menyangka bisa bertemu teman lama di atas bukit yang baru pertama kali aku datangi.
Satu Jam menikmati keindahan kawah, perjalanan dilanjutkan menuju pelataran parkir Tangkuban Parahu. Ternyata perjuangan kami belum berakhir. Untuk menuju ke sana, kami harus menuruni jalan menggunakan bantuan tali dan melewati bebatuan besar yang bisa membuat kami terluka apabila tidak berhati-hati melangkah. Tetapi, pemandangan yang tersaji dikejauhan sungguh mengagumkan.
Dengan menggunakan elf sewaan dengan tarif Rp 15.000,- per orang kami menuju Alfamart Sersan Bajuri. Perjalanan pulang berlangsung cukup singkat berkat hiburan dari Asep dan Ekoy yang sibuk merayu Unie dengan berbagai banyolan-banyolan yang sukses membuatku tak bisa berhenti tertawa. Untungnya, Eki sudah tewas kehabisan baterai jadi berkurang satu orang pembanyol (piss ach!). Kalau tidak, bisa-bisa turun dari elf perutku bakal sakit akibat terlalu banyak tertawa. Ternyata baterainya baru akan terisi kalau di alam terbuka karena menggunakan tenaga surya.
Akhirnya, selesailah perjalanan hari ini. Sampai jumpa di acara Aleut berikutnya.

CATPER…. Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu Share

CATPER….
Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu
By : Asep Nendi R.
Sabtu, 110709
Sehari menjelang perjalanan bersama Klab Aleut menyusuri kawasan utara Kota Bandung, persiapan fisik sepertinya terabaikan padahal sudah lama sekali aya tidak berolahraga. Yang menjadi perhatian adalah sepatu trekker saya yang sudah tidak nyaman lagi, karena alasnya yang sudah tipis. Akhirnya sepetu itu saya bawa ke tempat sol di sekitaran rumah, hasilnya sepatu kembali nyaman….

Minggu, 120709
06.00
Pagi buta tanpa sarapan nasi terlebih dahulu, tidak seperti biasanya, saya langsung mandi. Sereal dan susu cukup membuatku kenyangg pagi itu.

06.45
Saya berangkat dari rumah berjalan kaki menuju Sirnagalih, untuk kemudian menggunakan angkot St. Hall-Lembang menuju Ledeng.

07.15
Tiba di seberang terminal Ledeng saya berjalan kaki sedikit menuju meeting point di Indomart Ledeng, persis di sebrang Puskesmas Ledeng. Di sana sudah ada tiga orang yang menunggu (Ayan, Adi, Eko). Sambil menunggu pegiat lain datang, saya membeli sedikit bekal untuk perjalanan nanti ; 2 botol minuman elektrolit dan sebungkus roti.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya 22 orang pegiat mulai bersiap berangkat. 22 orang dalam satu angkot, Yup Amazing….
Semua pegiat terlihat menikmati situasi berdesak-desakan di dalam angkot, saya sendiri beruntung karena hanya menggantung di pintu, berdua bersama Yanto. Udara segar menjadi milik saya kala itu, meskipun sedikit pegal karena harus terus bergantungan.
Starting point perjalanan di terminal Parongpong tepat di gerbang masuk Vila Istana Bunga, disana menunggu satu pegiat lain (Yanstri), setelah berdoa dan briefing, perjalanan dimulai.
Pimpinan rombongan hari itu Adi Nugraha, tapi dengan sok tahunya saya merubah jalur awal perjalanan, idenya muncul karena malas berjalan di atas aspal berpanoramakan bangunan mewah.

Alhasil, meskipun agak bingung, kita sampai di Ciwangun, tepat di pinntu wanawisata Curug Tilu Leuwi Opat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam 10 menit, molor jadi 30 menit. Pegiat pun mulai berkeringat…..
Tapa diduga di pintu Curug Tilu Leuwi Opat saya bertemu pelatih tari Lises berserta istrinya.
Setelah sejenak bertegur sapa, perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya perjalanan menanjak mulai merongrong, pemanasan, sampai tiba di area desa Ciwangun, sejenak berfoto di areal rumah panggung (khas jaman dulu). Perjalanan berlanjut, sampai tiba di Pabrik Pengolahan/Produksi teh di Sukawana, yang menurut Bapak BR, produksinya yang nomor 1 dijual ke Inggris (Lipton), dan kualitas rendahnya di pasarkan di Indonesia. Aroma teh yang menyengat membuat kepala saya agak pusing, sehingga saya hanya memperhatikan dari kejauhan….

Perjalanan berlanjut, melalui kebun teh yang mirip lingkar labirin. Panas terik mentari mengiringi perjalanan itu, hingga sampai di sebuah tempat yang agak lapang dan cukup luas. Pemandangan kota Bandung dari atas terlihat sangat jelas, dilingkung gunung heurin ku tangtung, Bandung benar-benar padat, meskipun dari atas. Di sana Bapak Ridwan menunjukkan bekas Danau Purba Bandung yang mencekung agak ke arah Barat, kemudian ditunjukkan deretan perbukitan/gunung yang membelah Danau Bandung menjadi dua bagian, yaitu Danau Timur dan Danau Barat.
Dijelaskan rangkaian perbukitan atau gunung tersebut merupakan pematang tengah, yang berupa gunung api tua, dengan batuan intrusif yang muncul pada zaman tersier. Bahkan beberapa daerah menghasilkan batuan yang nilainya sangat berharga (mis: garnet). Beberapa gunung tersebut sedang dalam proses penghancuran, penambangan pasir dan batu dilakukan sudah sejak lama, demi kebutuhan perumahan di kawasan Bandung. Kawasan yang memanjang tersebut diantaranya terdapat ; Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Pasir Kamuning, sampai ke pegunungan/perbukitan di Selatan Cimahi.
Terik mentari tidak menghalangi minat kami untuk mengira-ngira bentuk dari Danau Bandung Purba dan seperti apa Bandung kala itu…..

Matahari mulai naik ke atas kepala kami, dan perjalanan pun dilanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Benteng Pasir Ipis, saya sendiri baru mendengar nama itu. Memasuki kaki Gunung Tangkuban Parahu, meskipun tidak menanjak, debu dan tanah yang kering menjadi musuh kami… tidak hanya debu, kami pun disajikan hidangan asap pekat knalpot yang penuh CO2 dari para kroser yang melewati, juga tanpa sopan santun. Sepertinya masa kecil mereka terkekang, tidak boleh main kotor apalagi keluar masuk hutan, sehingga masa kecil mereka kurang bahagia dan sudah tua kurang ajar…..!!!
Setelah berhenti sejenak untuk menghindari kepulan asap knalpot, perjalanan dilanjutkan menuju lokasi Benteng, meskipun awalnya kami dibuat bingung oleh Bapak Ridwan mengenai keberadaan Benteng tersebut. Konon, Benteng Pasir Ipis merupakan benteng pertahanan Belanda pada Perang Dunia I (sekitar 1930an). Peralatan yang kami bawa tidak memadai (golok), sehingga ilalang dan semak belukar menjadi sulit untuk dikalahkan. Berfoto sejenak cukup mengobati rasa keingin tahuan kami, sepertinya…
Makan siang pun menjadi agenda selanjutnya, dan terima kasih pada Saudara Cici yang telah menawari saya bekalnya, tanpa rasa malu.. HAJAR…!

Perjalanan dilanjutkan, lagi-lagi Bapak Ridwan bertanya mengenai jalur (ngetes jigana mah), tanpa ragu saya bersama Eko langsung menunjukkan jalur pendakian yang bukan memutar untuk masuk ke kawasan wisata… Nanjak….
Nanjak…..

Masih Nanjak….
Terus Nanjak….

Senyum miris pegiat lain mulai menghantui, seiring tanya yang sama yang terus mereka lontarkan… “masih jauh?” dan “masih lama?’
Hingga akhirnya kami terpaksa beberapa kali berhenti, selain karena lelah, lagi-lagi karena kroser yang tidak mau mengalah.

15.00an
Tibalah kami di puncak, tepat di muka kawah Upas (katanya)… Mantaph….
Disana kami bertemu para kroser yang dengan bangganya berkata…
“dulu jalan ini menanjak, namun setelah dibuka jalur jadi tidak berbahaya lagi, salah satu jalur klasik…”
Saya yang tak mau kalah bersombong ria menjawab, “saya mah resep mapah ka gunung mah, soalna tiasa balap lumpat bari ucing sumput”
Klab Aleut 1 vs 0 Kroser

16.00an
Setelah berfoto dan beristirahat, perjalanan turun dimulai. Menuju terminal di atas Gunung Tangkuban Parahu.
Terjal, bahkan satu jalur dibuat safety lines dengan 4 webbing dan 1 rope…
Perjalanan turun pun diselang beberapa kali istirahat, untuk sekedar berfoto dan jajan. Misalnya di warung dekat Tower (lupa namanya).
Ketika seorang teman bersandar di tugu batu yang tinggi, seorang pemilik warung menunjukkan kalau itu adalah makam 3 orang Belanda, tugu batu yang sudah dipenuhi vandalisme itu anonim, tapi rangka baja sepertinya agak menandakan itu tugu Belanda…..

17.15
Setelah berfoto bersama, kami pulang menuju meeting point menggunakan angkot dengan tarif Rp. 15,000 per orang.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat, karena tidak memilih jalur utama (setiabudhi-lembang). Tepat beberapa saat setelah adzan Magrib kami tiba, dan setelah penutupan kami mulai membubarkan diri. Saya sendiri berjalan kaki bersama Galih dan Yanstri sampai tepat di Gerbang Utama UPI. Disana kami berpisah, karena mereka sholat.
Niat jalan kaki sampai Gerlong pun diurungkan, karena saya naik angkot di sekitaran Panorama.
Maklum, takut digodain… dan futsal teu jadi…!!!

Ngaleut Ka Jaya Giri

By : Yanstri M.
Minggu (06-11-2009) saya dan 7 (tujuh) Pegiat Aleut lainnya berkumpul di depan Museum Sri Baduga. Pada awalnya kami berencana akan berkunjung ke Gn. Puntang. Tetapi karena jumlah pegiat yang hadir hanya sedikit, membuat kami merubah haluan. Akhirnya diputuskan untuk menelusuri Wana Wisata Jaya Giri dan sebagian jalur Geotrek 1 dari Buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Titik awal perjalanan kami adalah Pasar Lembang melalui jalur yang menuju Taman Junghuhn. Kami sempat berkunjung ke taman tersebut. Ini merupakan kali kedua saya berkunjung ke sana. Tidak jauh dari Tugu Jughuhn, yang juga merupakan makam dari Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, kami menemukan sebuah makam lain yang menurut dugaan kami merupakan makan sahabat Junghuhn. Junghuhn merupakan pelopor budidaya kina di Jawa Barat. Beliau lahir di Mansfield/Magdeburg pada 26 Oktober 1809 dan wafat di Lembang pada 24 April 1864. Sejak tahun 1856 hingga akhir hayatnya, Franz Wilhelm Junghuhn bertugas mengelola perkebunan kina pertama di Jawa Barat.

Perjalanan pun berlanjut. Kami sempat terpikir untuk berkunjung ke Benteng Gn. Putri, tetapi karena perjalanan ke sana terlalu jauh maka diputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Wana Wisata Jaya Giri. Untuk masuk ke wana wisata tersebut pengunjung harus membayar retribusi sebesar Rp 4.000,- dan sumbangan PMI Rp 500,-. Jalanan terus menanjak membuat saya mulai terengah-engah. Saya merasa ada perbedaan dengan jalan yang kami lalui. Seingat saya, sewaktu pertama kali berkunjung pada bulan Juli 2009 jalanan yang kami lalui tidak terlalu lebar. Tetapi sekarang jalanan tersebut lebih lebar dan lebih landai. Sehingga kami tiba di lapangan yang merupakan titik pemberhentian pertama dalam waktu ± 1 jam. Di perjalanan kami bertemu dengan masyarakat sekitar yang sedang mengangkut kayu bakar dan sekelompok pencinta alam yang juga akan menuju ke Obyek Wisata Gn. Tangkubanparahu.
Kami sempat berdebat mengenai rute yang akan kami lalui selanjutnya karena ada beberapa alternatif jalan. Akhirnya kami mengambil rute yang menuju parkiran Jaya Giri. Di jalan yang kami lalui terdapat 2 (dua) buah pipa air yang membentuk seperti rel kereta api dan salah satunya berujung ke dam air. Lokasi ini cukup bagus untuk digunakan sebagai tempat foto pre wedding menggantikan rel kereta api. Hujan dan kabut menyambut kedatangan kami selewat parkiran Jaya Giri. Perjalanan yang akan dilanjutkan ke Kawah Domas terpaksa dihentikan sementara karena hujan semakin lebat. Udara dingin membuat cacing-cacing perut kami berteriak lagi minta diisi. Padahal belum terlalu lama kami “berpiknik” di Wana Wisata Jaya Giri.
Warung Ibu Kartini merupakan tujuan kami untuk memenuhi tuntutan perut. Beberapa pegiat termasuk saya tanpa ragu langsung memesan semangkuk mie rebus ditambah cabai rawit. Pegiat lainnya cukup puas mengisi perut dengan gorengan. Untuk semangkuk mie rebus+telur kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp 7.000,-. Harga yang cukup mahal bila dibandingkan dengan harga mie rebus di warung kopi. Yah, harap dimaklumi, namanya juga tempat wisata. Tak apalah daripada kami harus menahan lapar.
Aroma belerang mulai memanggil kami untuk menyapa Kawah Domas. Jalanan yang kami lalui sempat menurun. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Kami harus sedikit melalui jalanan menanjak. Sekitar 300 m dari Kawah Domas kami sempat beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam. Hamparan kawah yang berwarna putih dan kebun teh nan hijau di kejauhan benar-benar membawa kedamaian. Perjalanan dilanjutkan menuruni tangga yang cukup curam dan licin. Tangga tersebut sangat lebar dan terkadang jarak antara tangga yang satu dengan yang lainnya bisa mencapai 25cm, yang dengan sukses membuat kaki saya kram. Beberapa meter sebelum mencapai Kawah Domas terdapat papan peringatan bergambar kaki dengan tulisan “kade tisoledat” (bahasa Sunda : awas tergelincir) yang memperingatkan pengunjung agar berhati-hati melangkah supaya tidak tergelincir.
Kepulan asap dan kolam-kolam air panas menyambut kami. Ada satu kolam yang airnya menggelegak. Pengunjung bisa merebus telur di sana, tetapi tidak disarankan untuk memasukkan anggota badan kecuali Anda memang berniat untuk membuat kaki rebus. Pengunjung yang ingin merendam kaki bisa memanfaatkan kolam-kolam kecil lainnya. Tak sedikit pengunjung yang menggunakan lumpur dari kolam tersebut untuk melulur kakinya, karena lumpur tersebut dipercaya bisa menghilangkan penyakit kulit seperti gatal-gatal. Jika ingin mengenal Kawah Domas lebih dalam bisa membaca papan informasi yang tersedia tidak jauh dari pintu masuk Kawah Domas.
Hari beranjak semakin sore. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah kami untuk melanjutkan perjalanan ke hamparan kebun teh yang sempat kami nikmati dari atas Kawah Domas. Melalui jalan setapak di belakang Kawah Domas kami mulai melangkah. Semakin ke dalam ilalang semakin rimbun. Beberapa kali kami harus menerobos terowongan ilalang. Pandan hutan berduri terkadang menggores lengan apabila kami tidak berhati-hati. Di kanan kiri jalan rimbunan pohon suplir mengiringi langkah kami.

Di tengah perjalanan kami dihadang hujan deras yang memaksa kami untuk segera menggunakan jas hujan. Langit semakin gelap, tetapi kebun teh yang kami tuju belum juga kelihatan. BR sempat berucap, “nanti kalau sampai kebun teh kita nyanyi bukit berbunga, ya”. Nyatanya begitu sampai kebun teh kami sudah lupa akan nyanyian apapun. Mata begitu terkesima akan pemandangan yang tersaji. Hamparan kebun teh dengan latar belakang pegunungan berselimut kabut membuat saya tak bisa berkata-kata. Mudah-mudahan masih bisa dinikmati juga oleh generasi masa depan.

Sayang kami tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan itu. Hujan deras, udara dingin dan langit senja memaksa kami bergegas menuju jalan raya. Kaki saya mulai terasa kram lagi. Terseok-seok saya paksakan diri melangkah. Akhirnya, tibalah kami ke Jalan Raya Bandung-Subang. Tetapi perjuangan kami belum berakhir. Kami harus segera mencari warung tempat berteduh dan segelas teh manis hangat untuk mengusir dinginnya senja. Perjalanan kali ini ditutup dengan berdesak-desakan di dalam elf yang membawa kami ke kota Bandung tercinta.

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑