Tag: Kuncen Bandung

Takdir Tujuh Sumur

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Salah satu pertimbangan bagi orang tua dahulu dalam menentukan pilihan tempat bermukim adalah ketersediaan sumber daya alam  berupa air. Dikisahkan penentuan lokasi ibu kota beberapa kabupaten di Tatar Priangan

sangat mempertimbangkan keberadaan mata air yang dikiaskan sebagai tempat berkumbangnya badak putih (paguyangan badak putih).

Sumber Air dan Pusat Pemerintahan

Sebagai  contoh, kisah perpindahan ibu kota Kabupaten Limbangan pada tahun 1813 dari daerah Suci ke lokasi yang saat ini menjadi kota Garut adalah berdasarkan pertimbangan sumber air. Sebelumnya lokasi ibukota kabupaten sempat akan didirikan di sekitar daerah Cimurah, namun karena sumber mata air sulit diperoleh, rencana ini kemudian diurungkan.

Pemilihan ibukota Kabupaten Cianjur di lokasi saat ini juga memperhatikan ketersediaan sumber air bersih dengan keberadaan tempat yang dipercaya sebagai paguyangan badak putih di salah satu sudut Alun-alun.

Pencarian keberadaan kubangan badak putih (mata air) sebagai faktor penting dalam pemilihan lokasi ibukota kabupaten terjadi pula saat Kabupaten Bandung – berdasarkan surat keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Daendels tertanggal 25 September 1810 – diminta untuk memindahkan ibukotanya dari Dayeuhkolot ke lokasi dekat Jalan Raya Pos.

Naskah Sadjarah Bandoeng menyebutkan bahwa Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah II pada tahun 1809 disertai sejumlah rakyatnya telah pindah dan menetap di daerah Cikalintu (Cipaganti). Pemilihan Cikalintu yang terletak di utara Grote Postweg karena daerah ini memiliki beberapa mata air, salah satunya, Pancuran Tujuh di Cikendi.

Continue reading

Komunitas Aleut: Mencintai Kota dari Dekat

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

“Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa

Banyak yang terasa baru, segala yang lama

mungkin akan tinggal cerita,

dan kita tak punya waktu untuk berduka.”

(Joko Pinurbo)

***

Karsa 1Seseorang datang ke kantor Pemkot Bandung hendak melihat dokumentasi catatan sejarah tentang kota tempat lahirnya, namun sayang sejarah yang dia cari hanya tersaji pada tiga lembar kertas folio. Tiga lembar saja! Dia adalah Haryoto Kunto (alm). Berangkat dari kekecewaan itulah akhirnya beliau menulis beberapa buku tentang Bandung yang sangat lengkap, di antaranya adalah Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, tak lama kemudian beliau ditasbihkan sebagai Kuncen Bandung.

Kelahiran Komunitas Aleut sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku Sang Kuncen Bandung itu. Komunitas ini, satu dari beberapa komunitas lain yang—seperti sepenggal puisi Joko Pinurbo yang saya kutip di awal tulisan—merasakan kegelisahan terhadap kondisi kota yang semakin hari kian berubah. Pembangunan merangsek di segala penjuru, yang celakanya kadang kurang memperhatikan unsur sejarah yang menjadi ingatan kolektif warga kota.

Cikal bakal komunitas ini diawali ketika Direktur Program Radio Mestika FM Bandung, yaitu Ridwan Hutagalung, membuat satu program di radionya yang bernama “Afternoon Coffee”. Acara ini sepekan sekali disajikan untuk membahas sejarah Kota Bandung yang sumbernya sebagian besar diambil dari buku-buku Haryoto Kunto.

Ridwan–di tengah tahun 2005, kemudian dilibatkan oleh panitia ospek mahasiswa baru Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran untuk ikut dalam acara yang relatif segar, yaitu ospek tanpa kekerasan, dan sebagai gantinya adalah mengunjungi situs-situs bersejarah di Kota Bandung. Gagasan ini ternyata mendapatkan respon yang positif dari para peserta ospek. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mendirikan sebuah komunitas yang fokus utamanya pada apresiasi sejarah kota. Maka pada tahun 2006 resmilah didirikan Komunitas Aleut. Continue reading

Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

01

“Kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”

–Asma Nadia

Meskipun pada mulanya lahir dari rahim sejarah kota, namun pada perjalanannya Aleut berkembang menjadi wadah yang bukan hanya belajar tentang sejarah dan masa lalu. Sebagaimana kelahirannya, komunitas ini turut dibidani oleh buku. Beberapa buku Haryoto Kunto–Sang Kuncen Bandung, seolah menjadi batu tapal. Berangkat dari sana, buku atau lebih luasnya lagi teks, mau tidak mau menjadi teman, pengiring, dan pembimbing yang setia. Laku membaca dan menulis kemudian bergulir dengan sendirinya, meskipun memang alirannya tidak selalu deras, kadang kemarau datang dan kanal menjadi kerontang.

Di ruang privat, para pegiat Aleut tentu tidak hanya membaca buku-buku yang terkait dengan sejarah, terutama sejarah lokal Bandung dan Jawa Barat. Tapi barangkali porsinya masih kurang proporsional antara buku sejarah dan non sejarah. Sementara dalam pergaulan hidup sehari-hari, sudut pandang tidak melulu dibentuk oleh sejarah, namun lebih luas dan beragam. Juga karena pada perjalanannya, komunitas ini kian besar dan makin luas jejaringnya, maka tentu perspektif pun menjadi lebih rumit.    Continue reading

Terinspirasi Tulisan Pak Hari

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

Sabtu, 20 Juni 2015, siang tadi saya mengunjungi rumah almarhum Haryoto Kunto bersama Komunitas Aleut. Rumah beliau yang terletak di Jalan H. Mesri cukup dekat dengan halaman dan parkiran Stasiun Bandung sebelah utara. Sekitar jam 10, kami tiba di rumah beliau. Sebuah rumah jaman dahulu yang mengalami perbaikan sebagai bagian dari pemeliharaan koleksi buku-buku almarhum yang akrab dipanggil Pak Hari itu.

Bagi saya pribadi, penulis yang tersohor dengan sebutan Kuncen Bandung tersebut adalah seorang inspirator. Belasan tahun yang lalu, Saya membaca beberapa tulisan beliau di Harian Pikiran Rakyat yang selalu bapak saya bawa setiap sore dari kantor. Dua buku terkenal beliau, yang menjadi acuan bagi mereka yang akan mempelajari Kota Bandung, pernah saya lalap masing-masing dalam satu malam. Saya ingat, di pertengahan 90-an, saya melalap satu buku Wajah Bandung Tempo Dulu di suatu malam minggu, setelah saya meminjamnya dari perpustakaan sekolah.

Di masa itu, saya lebih senang meminjam buku bergenre sejarah dan sastra lama. Selain dua buku tersebut, buku novel lama seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dll, adalah buku yang sering saya pinjam dari perpustakaan. Buku yang saya pinjam tersebut sebenarnya memperlihatkan ketertarikan saya kepada dunia humaniora, yang dipandang sebelah mata oleh orang tua saya, dibanding dunia eksakta yang di level selanjutnya tidak saya fahami. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑