Tag: Komunitas Aleut (Page 3 of 3)

Naik Sepur Sepanjang Bandung – Cicalengka

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

All aboard! The Night Train! (James Brown – Night Train)

Ibu saya pernah menceritakan pengalamannya saat naik kereta api ekonomi ke Kebumen. Dalam ceritanya, gerbong kereta yang dinaiki ibu dipenuhi oleh penumpang dan barang bawaannya. Saking penuhnya, ibu saya yang masih berumur 10 tahun kerap tersenggol hingga jatuh. Selain oleh penumpang, penjual jajanan dan mainan ikut meramaikan gerbong dengan lapaknya!

Cerita ibu saya tidak selesai di gerbong yang penuh oleh manusia. Ibu menceritakan juga kondisi gerbong kereta api ekonomi. Saat dia masih berdiri di gerbong, ibu sering menginjak sampah basah yang berserakan di lantai. Selain sampah, dia pernah beberapa kali menginjak air minuman yang tumpah ke lantai gerbong.

Dari cerita ibu, bayangan banyaknya penumpang, lantai gerbong yang kotor, dan lapak penjual edan di gerbong kereta memenuhi pikiran saya saat hendak naik atau memilih jenis kereta api. Selain itu, karena cerita ibu juga, saya menjadi enggan bahkan anti naik kereta api ekonomi karena tidak mau berdesak – desakan di dalam gerbong.

***

Tapi pada hari minggu (18/10/2015), saya dengan terpaksa harus menaiki kereta api ekonomi jurusan Bandung – Cicalengka. Saat itu, saya naik kereta api bersama kawan – kawan Komunitas Aleut yang sedang Ngaleut Spoorwagen. Imajinasi saya mulai kembali ke bayangan buruk tentang kereta api ekonomi saat menunggu kereta api datang.

Kereta api ekonomi Bandung - Cicalengka

Kereta api ekonomi Bandung – Cicalengka

Setelah kereta api datang, saya tidak bisa langsung masuk ke gerbong kereta karena masih banyak penumpang yang turun. Saya akhirnya masuk ke kereta api setelah seluruh penumpang turun.

Saat menginjakkan kaki di gerbong, saya seperti anak kecil yang kegirangan karena mendapat angpao. Angpao yang saya dapat saat itu adalah tidak ada sampah berserakan di lantai gerbong. Sehingga lantai gerbong yang berwarna hijau muda terlihat terang dan mengkilat! Bayangan lantai gerbong yang kotor hilang dan lenyap dari pikiran saya saat melihat lantai ini.

Tapi, masih ada dua bayangan yang teringat oleh saya yakni banyaknya orang – orang dan pedagang di gerbong. Setelah beberapa menit, penumpang mulai memasuki gerbong dan memilih bangku – bangku yang menurut mereka nyaman. Tapi saya tidak menemukan pedagang yang membawa dagangan ke dalam gerbong. Selain itu, saya tidak merasa berdesakan saat para penumpang menaiki gerbong. Mereka sangat tertib!

Saat kereta berjalan, saya sempat bertanya ke beberapa penumpang yang telah menjadi pelanggan kereta. Mayoritas penumpang yang saya tanya tinggal di Cicalengka tapi bekerja di pusat kota Bandung. Karena hal itu, tiap hari mereka menaiki kereta api ekonomi yang memiliki tiket murah (hanya 4 ribu). Selain itu, mereka berbagi cerita pengalaman mereka menaiki kereta api ini. Menurut mereka, kondisi kereta api ekonomi sekarang jauh lebih bagus sehingga mereka merasa nyaman.

Komunitas Aleut di gerbong kereta api

Komunitas Aleut di gerbong kereta api

Selesai berbincang – bincang, saya mulai berkelana di dalam gerbong sembari mengisi bayangan tentang kereta api ekonomi. Ternyata setiap gerbong memiliki satu tempat sampah yang terbuat dari plastik. Selain tempat sampah, bagi manusia modern yang memiliki kebutuhan primer baru yakni stopkontak, sekarang setiap gerbong memiliki banyak stopkontak yang berfungsi.

Tapi lepas dari kebutuhan primer baru dan tempat sampah, ada hal baru yang mengingatkan saya akan anime yakni tempat duduk. Jika dalam anime seperti Yakitate Japan! atau Daily Live of Highschool Boy, kita akan menemui tempat duduk memanjang seperti di angkot.Nah, tempat duduk di gerbong kereta api ini memiliki hal serupa yakni tempat duduk memanjang.

Setelah satu jam perjalanan, kereta api akhirnya sampai di Stasiun Cicalengka dengan banyak pengalaman dan bayangan baru. Pertama, saya merasa bahagia dan ketagihan untuk menaiki kereta api ekonomi rute ini karena pemandangan alam yang disajikan selama perjalanan. Kedua, kondisi gerbong yang bersih dan tanpa sampah di lantai. Ketiga, banyak stopkontak yang berfungsi di gerbong. Keempat, tempat duduk yang nyaman mengingatkan saya dengan anime dan manga Jepang. Terakhir, ketepatan waktu kereta api yang luar biasa.

 

Sumber foto : Komunitas Aleut

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/10/28/catatan-perjalanan-naik-sepur-sepanjang-bandung-cicalengka/

Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

01

“Kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”

–Asma Nadia

Meskipun pada mulanya lahir dari rahim sejarah kota, namun pada perjalanannya Aleut berkembang menjadi wadah yang bukan hanya belajar tentang sejarah dan masa lalu. Sebagaimana kelahirannya, komunitas ini turut dibidani oleh buku. Beberapa buku Haryoto Kunto–Sang Kuncen Bandung, seolah menjadi batu tapal. Berangkat dari sana, buku atau lebih luasnya lagi teks, mau tidak mau menjadi teman, pengiring, dan pembimbing yang setia. Laku membaca dan menulis kemudian bergulir dengan sendirinya, meskipun memang alirannya tidak selalu deras, kadang kemarau datang dan kanal menjadi kerontang.

Di ruang privat, para pegiat Aleut tentu tidak hanya membaca buku-buku yang terkait dengan sejarah, terutama sejarah lokal Bandung dan Jawa Barat. Tapi barangkali porsinya masih kurang proporsional antara buku sejarah dan non sejarah. Sementara dalam pergaulan hidup sehari-hari, sudut pandang tidak melulu dibentuk oleh sejarah, namun lebih luas dan beragam. Juga karena pada perjalanannya, komunitas ini kian besar dan makin luas jejaringnya, maka tentu perspektif pun menjadi lebih rumit.    Continue reading

Menelusuri Taman di Kota Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Hari Minggu tanggal 20 Oktober 2013, Komunitas Aleut berkesempatan untuk menelusuri beberapa taman yang ada di Kota Bandung. Kegiatan ini merupakan kegiatan kedua Komunitas Aleut di pekan ke-3 bulan Oktober. Kegiatan pertama berlangsung pada tanggal 19, yaitu kegiatan Ngaleut Kampung Adat Cirendeu.

Sebagai titik awal penelusuran, kami memilih boulevard yang berada di depan Masjid Istiqamah. Boulevard di Kota Bandung belakangan ini cukup sulit ditemui setelah boulevard yang menjadi ikon Bandung di Jalan Pasteur hilang akibat pembangunan jalan layang Pasupati. Kondisi boulevard di depan Masjid Istiqamah cukup terawat, hanya sedikit sampah yang terlihat di lokasi ini. Sayangnya di lokasi ini saya tidak sempat mengambil gambar, sehingga cukup sulit untuk membuktikan persepsi saya mengenai boulevard di sini.

Masih dari boulevard ini, saya beserta Hani menjelaskan Tjitaroemplein. Di atas lahan Tjitaroemplein pernah berdiri sebuah monumen untuk memperingati percakapan pertama melalui radio telepon antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Belanda pada tanggal 3 Juni 1927, di stasiun pemancar Malabar.

Bentuk monumen berupa bola besar yang mengibaratkan bumi dan dua patung lelaki berhadap-hadapan tanpa busana di kedua sisinya. Ekspresi sebuah patung tampak sedang berteriak dan yang lainnya menempelkan telapak tangan di telinga. Monumen ini melambangkan jarak bumi menjadi tidak berarti lagi melalui komunikasi radio telepon.

(sumber: Tropenmuseum)

Pada tahun 1950-an, monumen ini diruntuhkan karena dianggap melanggar norma kesusilaan. Setelah monumen diruntuhkan, kemudian dibangunlah sebuah masjid di atas lahan Tjitaroemplein. Nama masjid tersebut adalah… Masjid Istiqamah.

Kemudian sebagai titik kedua penelusuran, kami mendatangi Taman Lansia. Taman ini dahulu bernama Tjilakiplein. Taman ini memiliki aliran air yang berasal dari Sungai Cikapayang. Aliran ini berada di tengah-tengah taman. Taman Lansia sendiri terbagi menjadi 2 segmen. Segmen pertama membentang dari tepi Jalan Diponegoro hingga persimpangan Jalan Cisangkuy dan Jalan Cimandiri, sedangkan segmen berikutnya membentang hingga simpang Jalan Citarum.

Di segmen pertama, terlihat terjadi banyak aktivitas. Hal ini wajar, mengingat perjalanan kami dilaksanakan pada hari Minggu yang bertepatan dengan pasar kaget mingguan. Sayangnya, pada segmen ini taman digunakan juga untuk berjualan oleh beberapa pedagang pasar kaget, sehingga kurang nyaman bagi para pejalan kaki. Bahkan di foto kedua, terlihat adanya tumpukan sampah di dekat kanal air. Cukup disayangkan.

Di segmen kedua, kondisi taman lebih kondusif dibandingkan segmen pertama. Terlihat beberapa orang bersantai di segmen ini. Selain itu, di segmen ini juga terlihat beberapa orang yang berolahraga jalan santai, mengingat aktivitas di segmen ini tidak seramai segmen pertama.

Dari Taman Lansia, kami bergerak menuju Taman Cibeunying. Taman ini diresmikan pada tanggal 6 September 1986 dengan nama “Taman PKK Cibeunying”, merupakan hasil kerja sama antara Tim Penggerak PKK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dengan Dharma Wanita Unit Perumtel (sekarang Telkom) Pusat. Sempat beralih fungsi menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina, pada awal tahun 2013 oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman fungsinya dikembalikan lagi menjadi taman.

Taman ini cukup luas. Saat kami mendatangi taman ini, terjadi banyak aktivitas. Saya melihat ada beberapa orang membawa anjing peliharaan mereka, ada yang duduk bersantai di gazebo, ada juga anak-anak yang sedang berlarian. Kondisi taman ini terbilang bersih, walapun di beberapa titik terlihat ada sampah gelas air mineral.

Luas Taman Cibeunying tidak hanya hingga tulisan “Cibeunying Park” pada foto di atas. Di belakang tulisan ini, masih terdapat taman yang juga bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.

Menurut Kabid Taman Dinas Pertanaman dan Pemakaman (Distankam) Kota Bandung, Dadang Darmawan, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan pemasangan wi-fi di Taman Cibeunying. Beberapa provider telekomunikasi sudah melakukan pengajuan, namun pihak Distankam masih mempelajari dan menyeleksi terlebih dahulu. Sebagai fakir koneksi wi-fi, saya sangat mengharapkan adanya koneksi internet di taman ini, hehehe.

Dari Taman Cibeunying, kami beranjak menuju Taman Cilaki. Sesuai dengan namanya, taman ini terletak di Jalan Cilaki. Mudah untuk menemui taman ini, karena taman ini terletak dekat dari SD Ciujung dan SD Priangan.

Taman Cilaki

Kondisi taman cukup terawat dan terhitung bersih, karena tidak terlihat adanya sampah yang berserakan. Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa Taman Cilaki digunakan sebagai tempat berolahraga karena di tengah taman terdapat lantai beton dan terdapat tiang yang posisinya berseberangan. Umumnya, tiang seperti ini digunakan sebagai tempat menggantungkan jaring, baik itu untuk bulutangkis ataupun bola voli.

Taman ini juga memiliki sebuah bale di sudut yang dekat dengan Jalan Jamuju.

Bale di Taman Cilaki

Bale ini cukup nyaman untuk berteduh dari sinar matahari, mengingat Taman Cilaki tidak terlalu rindang. Jika tertarik berkegiatan di taman ini, saya menyarankan untuk menggunakan krim tabir surya jika tidak ingin kulit menghitam.

Kemudian kami bergerak menuju Lapangan Supratman, yang terletak hanya beberapa puluh meter saja dari Taman Cilaki. Lapangan ini sudah ada sejak pembangunan ruas Jalan Supratman di jaman penjajahan Belanda.

IMG_8385

Serupa dengan Taman Cilaki, lapanganini juga berfungsi sebagai tempat berolahraga. Namun, jika kita lihat lebih seksama, taman ini lebih difungsikan sebagai lapangan sepakbola karena di kedua ujung lapangan terdapat dua buah gawang.

Pada tahun 2010, lapangan ini pernah dijadikan lokasi syuting film Obama Anak Menteng. Menurut Damien Dematra, penulis skenario dan co-sutradara film Obama Anak Menteng, lokasi ini dipilih karena dinilai memiliki kesamaan dengan Jalan Matraman, tempat Obama dulu tinggal.

Walikota Bandung saat ini, Ridwan Kamil, berencana mengubah lapangan ini menjadi sebuah lapangan sekaligus Taman Persib. Kombinasi lapangan dan taman ini akan dibuat nyaman. Taman sebagai tempat nongkrong akan difasilitasi dengan wifi. Sedangkan lapangan, selain untuk bermain bola, suatu saat pun bisa dijadikan tempat untuk menggelar nonton bareng pertandingan. Rumput di Lapangan Supratman yang terkesan tak terurus ini juga sudah direncanakan Ridwan Kamil untuk diperbaiki.

Dari Lapangan Supratman, kami beranjak menuju Taman Anggrek. Taman yang berlokasi di Jalan Anggrek ini dahulu bernama Wilhelminaplein. Taman Anggrek sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

Taman Anggrek

Pada saat kami berkunjung ke taman ini, kondisi taman berbeda dengan apa yang saya lihat 4 bulan yang lalu. Taman terlihat bersih dan bebas dari tuna wisma. Taman dicat warna oranye karena taman ini diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon. Taman ini merupakan taman bertema fotografi. Kondisi taman terhitung bersih, sampah hanya terdapat di beberapa bagian taman dalam jumlah kecil. Taman ini kini semakin nyaman digunakan anak-anak untuk bermain, seperti yang terabadikan di foto di atas.

Dari Taman Anggrek, kami bergerak menuju Taman Salam. Taman yang terletak di Jalan Salam ini tidak terlalu banyak diketahui warga Kota Bandung. Hal tersebut tercermin dari mayoritas pegiat yang baru kali itu berkunjung ke Taman Salam.

Taman Salam

Kondisi Taman Salam sangat terawat dan sangat rindang. Kondisi taman yang terawat ini menurut saya karena taman ini terletak di wilayah perumahan, sehingga ada anggaran dari setiap penghuni rumah untuk merawat taman. Taman ini juga representatif untuk digunakan sebagai ruang beraktivitas selama tidak membuat kegaduhan. Saran saya jika berkunjung ke taman ini, gunakanlah lotion anti-nyamuk karena serangan nyamuk di taman ini cukup ganas.

Masih di sekitar Jalan Salam, kami menemukan bekas menara listrik di jaman kolonial.

Para Pegiat di Depan Bekas Menara Listrik

Hal yang membuat saya cukup yakin bahwa bangunan ini adalah bekas menara listrik adalah karena saya dan Ayan (@SadnessSystem) menemukan plakat kecil yang bertuliskan GEBEO. GEBEO adalah perusahan listrik di jaman kolonial.

Plakat GEBEO di Dekat Menara Listrik Jalan Salam

Setelah dari menara listrik Jalan Salam, kami bergerak menuju titik terakhir perjalanan, yaitu Taman Cempaka.

Taman Cempaka

Sama seperti Taman Anggrek, taman ini juga diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon dan merupakan taman dengan tema fotografi. Taman ini sudah ada sejak jaman kolonial, dengan nama Nassauplein.

Kondisi taman dalam keadaan baik, karena baru satu bulan diperbaiki. Namun disayangkan, taman ini tidak bersih karena sampah berserakan dimana-mana, belum lagi jumlah tempat sampah kurang dan tempat sampah yang adapun penuh.

Kondisi Taman Cempaka

Sampah Berserakan di Taman Cempaka

Meskipun demikian, Taman Cempaka sangat representatif untuk digunakan sebahai tempat berkegiatan. Taman ini cukup luas, rindang, dan juga dilengkapi arena bermain anak, sehingga cocok juga untuk dijadikan tempat berekreasi keluarga.

Seperti biasa kami mengakhiri kegiatan dengan berfoto bersama.

Pegiat Komunitas Aleut Berfoto di Taman Cempaka

Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/10/20/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-1/ dan http://aryawasho.wordpress.com/2013/11/06/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-2/

Imhoff, Mengurusi Limbah Rumah Tangga

Dalam liputan koran Pikiran Rakyat 2 Februari 2011, berjudul “Melebihi Kapasitas, TPSA Ciniru Bisa Meledak”, disebutkan mengenai kekuatiran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kuningan bahwa lokasi pembuangan sampah (Tempat Pembuangan Sampah Akhir/TPSA) itu bisa menimbulkan ledakan yang sangat kuat. Kapasitas penampungan tempat itu sudah tidak memadai lagi. Tumpukan sampah di sana sudah mencapai volume 550 meter kubik dengan bobot ribuan ton. Dimulai sejak tahun 2000-an, kini tumpukan itu sudah mencapai ketebalan 7 hingga 10 meter dalam area seluas sekitar 2 hektare.

Liputan koran itu juga menyebutkan bahwa solusi yang diusulkan dalam menghadapi masalah itu adalah dengan mencarikan lokasi lain atau dengan memperluas wilayah buangan di area itu. Untuk itu BPLHD sudah mengajukan anggaran pembelian tanah untuk lokasi baru, itu pun hanya akan efektif untuk dua tahun saja.

Saya teringat salah satu kegiatan Komunitas Aleut! yang saya asuh. Komunitas ini sering mensurvei lokasi-lokasi bersejarah di Kota Bandung untuk kemudian dijadikan bagian dari tour sejarah yang dilakukan setiap hari Minggu. Salah satu lokasi bersejarah yang mungkin berhubungan dengan cerita penampungan sampah di atas adalah Jalan Inhoftank di sekitar Tegalega, Bandung.

Continue reading

Ngaleut dan Piknik di PLTA Bengkok, Minggu, 26 Mei 2013

Ini catatan ringkas saja tentang perjalanan ngaleut kemarin bersama @KomunitasAleut. Untuk ngaleut hari ini sudah dirancang sebuah rute pendek dengan beberapa objek berbeda yang berada di jalur jalan kampung antara Kolam Pakar dengan kompleks PLTA Bengkok di Dago.

Peta Pakar Bengkokb       1369671264575
Peta dan rute perjalanan ngaleut kemarin. Rekaman rute oleh @adam_taufik.

Kegiatan dimulai dengan pembagian kelompok untuk berbelanja bahan masakan di Pasar Elos, Terminal Dago. Ada yang bertugas berbelanja bahan sayuran, bahan beberapa macam sambal, bahan lauk, dan lain-lain. Setiap kelompok ini nanti akan bertanggungjawab juga untuk mengolah setiap bahan yang ditentukan. Ternyatalah ada peserta yang belum pernah ke pasar, tidak tahu nama dan bentuk bahan makanan atau masakan tertentu, tidak tahu bahan2 yang diperlukan untuk membuat masakan tertentu, tidak berani menawar, dan sebagainya. Tentu saja ini menjadi pengalaman menarik..

Dari Pasar Elos, rombongan @KomunitasAleut menuju Kolam Pakar sebagai titik awal perjalanan. Dari sini perjalanan tidak terlalu jauh dan melulu akan melalui jalanan menurun. Sebelum mencapai titik tertinggi pipa pesat PLTA Bengkok (Tangga Seribu), rombongan mampir dulu ke suatu kawasan yang oleh masyarakat dulu dikeramatkan, yaitu Kampung Cibitung. Di kawasan lembah curam ini terdapat beberapa mata air yang menjadi sumber kebutuhan air warga sekitar. Terdapat beberapa bak penampungan dengan jalur2 pipa.

Continue reading

Catatan Seputar Penemuan Gunung Padang, Cianjur

Banner 1

Pada bagian Pendahuluan dalam buku Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat {1}, susunan Haris Sukendar, tertulis seperti ini:
“Penemuan kembali bangunan berundak oleh para petani Endi, Soma, dan Abidin di Gunung Padang yang dilaporkan kepada Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Cianjur R. Adang Suwanda pada tahun 1979 telah menggugah para arkeolog untuk mengadakan penelitian. Bangunan ini telah dicatat oleh N.J. Krom pada tahun 1914, tetapi penelitian yang intensif belum pernah dilaksanakan. Pada tahun 1979 tim Puspan yang dipimpin oleh D.D. Bintarti mengadakan penelitian  di daerah tersebut. Selajutnya pada tahun 1980 diadakan pula penelitian ulang yang dipimpin oleh R.P. Soejono.

Dr. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst tahun 1914 menyebutkan sebagai berikut: op dezen bergtop nabij Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terrassen, ruw bevloerd en met scherpe opstaande zuilvormige andesict steenen versierd. Op elk terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en voorzien van twee spitse steenen. Rupanya setelah tahun 1914, yaitu setelah N.J. Krom menulis tentang bangunan berundak Gunung Padang ini, bangunan tersebut tertutup oleh hutan dan semak belukar, dan baru ditemukan kembali sesudah tahun 1979”.

Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑