Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)
JIKA BOLEH BERASUMSI, bisa dikatakan Jogja adalah kota penerbit. Dari sekian banyak penerbit yang ada di Kota Gudeg ini, beberapa di antaranya sudah saya kenal karena memang buku-buku hasil terbitannya berjejer rapi di rak kecil yang sering saya kunjungi di Pustaka Preanger–perpustakaan milik Komunitas Aleut.
Sedangkan Bandung, kota tempat saya tinggal ini, adalah kota yang cukup terkenal dengan berbagai macam komunitas. Dari sekian banyaknya komunitas yang ada di Bandung, Komunitas Aleut –komunitas pengapresiasi sejarah Kota Bandung dan sekitarnya– adalah salah satu komunitas yang saya ikuti.
Dua perbedaan dari kedua kota ini sangat saya rasakan betul. Di Jogja, tumbuh pesatnya penerbit-penerbit terutama penerbit baru semakin hari semakin gencar. Di sisi lain, Bandung seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dengan ragam komunitas yang ada, menjadikannya sebagai salah satu kota yang menjadi kiblat komunitas di Indonesia.
Ternyata tak hanya itu, beberapa tahun ke belakang, kantung-kantung literasi mulai terasa menggeliat di Kota Bandung. Walaupun bukan dalam hal penerbitan (karena menurut saya Jogja masih yang terdepan kalau dalam urusan ini) namun beberapa kegiatan seputar literasi mulai mewabah di kota yang konon dulunya pernah dijuluki sebagai Kota Kuburan ini.
Karena tinggal di Bandung, saya sangat merasakan geliat itu. Salah satu buktinya adalah kegiatan yang dilaksanakan di akhir tahun 2016 dengan tema “Pekan Literasi Kebangsaan” yang mana acara ini diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat, tempat bersejarah karena menjadi tempat pembacaan pledoi Bung Karno di tahun 1930.
Jauh sebelum kegiatan itu, dalam komunitas yang saya ikuti, saya sudah cukup sering melakukan kegiatan seputar literasi yang mencakup dalam berbagai hal: membaca, menulis, mendengarkan, dan juga menyimak. Ditambah dengan diskusi lainnya yang setiap Sabtu rutin dilaksanakan. Kegiatan itu bernama Kelas Literasi Pustaka Preanger. Continue reading