Ringkasan Biografi Abdoel Moeis

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Farly Mochamad

Sungai Puar

Terdapat sebuah kampung yang permai di daerah Agam, Sumatera Barat. Namanya Sungai Puar. Gunung Merapi di timur, Gunung Singgalang di barat, lalu Danau Maninjau di barat Gunung Singgalang, serta Danau Singkarak di selatan. Indah nian.

Warga Sungai Puar terkenal dengan kerajinan rumahan besi dan baja dengan mutu yang baik. Sungai Puar sering disamakan dengan Sollingen di Jerman Barat, sebuah kota yang banyak menghasilkan besi dan baja, karena itu ada istilah Sungai Puar sebagai Sollingen van Sumatra.

Di kampung ini, pada tanggal 3 Juli 1883, lahir seorang bayi laki-laki dalam keluarga terpandang, ia adalah Abdoel Moeis. Ayahnya seorang Larak Sungai Puar, semacam camat, yang mempunyai perusahaan korek api, namanya Haji Abdul Gani. Ibunya berasal dari Kota Gadang, negeri yang terbilang maju di Sumatra Barat. Ibunya masih berhubungan darah dengan Haji Agus Salim, orang  terpelajar yang berasal dari negeri itu. Sejak kecil Abdoel Moeis terbiasa mendengar hiruk-pikuk besi yang ditempa, sama seringnya dengan mendengar orang-orang berdebat dan bersilat lidah. Orang-orang Minagkabau terkenal pandai berbicara.

Batavia

Abdoel Moeis menjalani pendidikan di STOVIA (sekolah Dokter) di Batavia. Di sekolah ini Abdoel Moeis sibuk mengejar cita-citanya, tapi ia juga tak melupakan pergaulannya. Ia berteman dengan pemuda yang berasal dari berbagai daerah dan sering bertukar informasi tentang keadaan daerahnya.

Baca lebih lanjut
Iklan

Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Ariyono Wahyu

Hasan Mustapa Dunia dan Karyanya

Sastrawan Ajip Rosidi menuliskan petikan “Kinanti Ngandika Gusti” karya Haji Hasan Mustapa dalam buku memoarnya setebal lebih dari 1300 halaman yang berjudul “Hidup Tanpa Ijazah”. Hasan Mustapa tentu memiliki arti yang istimewa bagi Ajip Rosidi sehingga ia memilih petikan karya Kepala Penghulu Bandung tadi sebagai kalimat paling awal dalam buku terpentingnya.

Pengalaman perkenalan, pencarian, dan pemaknaan Ajip Rosidi kepada sosok Hasan Mustapa kemudian dituangkannya dalam satu buku khusus yang ditulisnya dalam bahasa Sunda berjudul “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana”. Memang dalam buku memoarnya tadi bisa juga ditemukan kisah-kisah Ajip Rosidi tentang Hasan Mustapa seiring perjalanan hidupnya. Namun bagi yang ingin membaca sekaligus berkenalan secara khusyuk dengan sosok Hasan Mustapa tanpa terganggu cerita hidup Ajip Rosidi buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana” adalah pilihan yang sangat tepat.

Kenapa buku ini adalah pilihan yang tepat untuk mengenal sosok Haji Hasan Mustapa? Karena Ajip Rosidi menuliskan buku ini sebagai usahanya memperkenalkan sosok yang dikaguminya melalui karya-karyanya. Sebagai sastrawan, Ajip Rosidi tentu paham bahwa bagi banyak orang yang paling dikenal dari sosok Haji Hasan Mustapa adalah anekdot-anekdotnya dan kisah-kisah eksentriknya. Tapi hanya sedikit saja orang yang menaruh minat dan perhatian kepada karya-karya “Sang Begawan Sirna Dirasa”. Padahal sebagai sosok bujangga sastra Sunda terbesar menurut Ajip Rosidi, Hasan Mustapa paling tidak telah menulis lebih dari sepuluh ribu pada dalam bentuk danding (pupuh tradisional) yang terikat aturan baku yang ketat. Berangkat dari hal itulah kemudian Ajip Rosidi menulis buku ini.

Upaya Menemukan Karya Haji Hasan Mustapa

Sejak awal perkenalan Ajip Rosidi dengan sosok Hasan Mustapa adalah melalui karyanya. Karena pada tahun 1950-an saat Ajip Rosidi mulai aktif mencari dan mengumpulkan karya-karya Hasan Mustapa, Hoofd Panghulu atau Kepala Penghulu Bandung yang menjabat dari tahun 1895-1918 ini telah mangkat kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya.

Karena itulah buku ini dibuka dengan kisah awal perjumpaan Ajip Rosidi dengan M. Wangsaatmadja yang bertugas sebagai juru tulis Haji Hasan Mustapa setelah pensiun sebagai Kepala Penghulu Bandung hingga tutup usia, tepatnya dari tahun 1920-1930. Perkenalan pertama dengan Wangsaatmadja pada tahun 1958 inilah yang kemudian seiring waktu mengantarkan Ajip Rosidi berkenalan pula dengan awak (anggota) Galih Pakuan, yaitu kumpulan pengagum Haji Hasan Mustapa.

Melalui Wangsaatmadja dan para awak Galih Pakuan, Ajip Rosidi sedikit demi sedikit mengumpulkan karya-karya Hasan Mustapa. Tentu sebagai seorang yang paham tentang sastra, Ajip Rosidi tak cuma mengumpulkan saja tapi juga melakukan telaah kritis dan validasi atas karya yang diperolehnya. Karena menurut Ajip Rosidi karya Haji Hasan Mustapa banyak yang diragukan keasliannya, salah satu faktor penyebabnya adalah proses terjadinya kesalahan dalam penyalinan karya yang aslinya ditulis dalam aksara Arab yang dilakukan oleh juru tulis Haji Hasan Mustapa yaitu Wangsaatmadja.

Meskipun karya-karya Hasan Mustapa yang disalin dan kemudian dipelihara oleh Wangsaatmadja terdapat cacat dalam proses penyalinan, namun karya-karya tersebut tetap sangat penting. Salah satunya adalah untuk mengetahui riwayat hidup Hasan Mustapa. Ditambah dengan riwayat  Hasan Mustapa yang ditulis oleh Wangsaatmadja, Ajip Rosidi kemudian mampu memberikan versi riwayat hidup Sang Begawan Sirna Dirasa dengan lebih orisinal. Riwayat hidup Hasan Mustapa menjadi penting untuk ditelaah menurut Ajip Rosidi adalah salah satunya untuk menentukan berapa lama Haji Hasan Mustapa mukim di Mekah dan kapan kemudian ia berjumpa dengan sosok penting lainnya yaitu Christian Snouck Hurgronje di kota paling suci bagi kaum Muslim ini.

Usaha Ajip Rosidi untuk menemukan karya Hasan Mustapa tak hanya dilakukannya di dalam negeri. Ketika ia menetap di Jepang sebagai dosen pada tahun 1980-an, Toyota Fondation kemudian memberikan bantuan biaya untuk melakukan penelusuran ke Belanda. Dalam koleksi naskah milik Snouck Hurgronje di Universitas Leiden, Ajip Rosidi menemukan beberapa dokumen karya Haji Hasan Mustapa.

Anekdot-Anekdot Hasan Mustapa

Dari kisah-kisah tentang Haji Hasan Mustapa yang hidup di kalangan awak Galih Pakuan, Ajip Rosidi kemudian mengumpulkan anekdot-anekdotnya dan dituliskan sebagai bagian khusus dalam buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana”. Anekdot-anekdot ini penting sebagai upaya untuk menilai kepribadian Hasan Mustapa. Contohnya adalah bagaimana Haji Hasan Mustapa menjawab pertanyaan tentang bagaimana wujud Allah dengan membuat perumpaan bahwa Allah adalah sosok di atas Kanjeng Bupati dan Tuan Gubernur Jenderal. Dari jawaban yang bagi banyak orang dianggap mahiwal inilah Haji Hasan Mustapa dicap berpaham Wahdatul Wujud.

Dengan mempelajari cara Hasan Mustapa memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan, dapat disimpulkan bahwa ia berusaha memahami alam dan cara berpikir orang yang bertanya.

Karya-Karya Hasan Mustapa

Buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana” yang ditulis oleh Ajip Rosidi pertama kali diterbitkan oleh penerbit Pustaka pada tahun 1989. Sesuai dengan judulnya mengenai karya Haji Hasan Mustapa, dari jumlah total 507 halaman hanya 86 halaman yang berkisah tentang proses usaha Ajip Rosidi dalam mencari dan mengumpulkan karyanya, riwayat hidupnya, dan anekdot-anekdotnya.

Sisa halaman buku ini, kurang lebih 400 halaman, berisi berbagai karya Haji Hasan Mustapa yang berupa danding, kumpulan surat, dan kumpulan tulisannya tentang adat istiadat. Tentu saja sisa halaman buku ini tidak cukup untuk menyajikan semua karya sastra Haji Hasan Mustapa secara lengkap, namun setidaknya buku ini memuat cuplikan karya-karya terpenting Haji Hasan Mustapa adalah usaha Ajip Rosidi untuk memperkenalkan sosok sastrawan Sunda terbesar itu melalui karyanya.

Ringkasan Biografi Inggit Garnasih

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Deuis Raniarti

Buku: Senja di Ranah Bandung; Sejarah Singkat Inggit Garnasih.

Inggit Garnasih adalah seorang wanita yang perannya sangat besar bagi kesuksesan Sukarno, beliau adalah wanita yang mampu berperan sebagai teman, kekasih, serta ibu, bagi Sukarno. Ia menemani Sukarno dalam berbagai tahap kehidupan seperti membantunya menyelesaikan pendidikan, menemani perjalanan politiknya, hingga bertahan pada setiap masa sulit maupun senang.

Dalam perjalanannya menemani Sukarno, Inggit tidak ditakdirkan memasuki istana. Ia hanya mengantarkan Sukarno hingga gerbang kemerdekaan.

Sinopsis

Buku ini menceritakan biografi Inggit secara singkat. Inggit lahir di Kamasan, ia tumbuh dalam keluarga petani yang sederhana. Inggit dikenal sebagai gadis cantik yang dikagumi banyak pria, namun pilihan Inggit jatuh pada Sanusi, tapi kisah cinta mereka terhalang oleh status ekonomi, karena Sanusi adalah seorang keturunan kaya raya. “Waja harus dengan waja, besi harus dengan besi.” pada saat itu memang status dan kedudukan keluarga selalu menjadi pertimbangan manakala sebuah perkawinan akan dilangsungkan.

Akhirnya, pada usia 16 tahun ia menikah dengan seorang Kopral Residen Belanda bernama Nata Atmaja, namun pernikahan mereka hanya bertahan 4 tahun dan tanpa dikaruniai anak. Inggit bertemu kembali dan menikah dengan Sanusi yang statusnya sudah berubah menjadi duda anak dua, mereka tinggal di daerah Kebonjati. Sanusi adalah saudagar kaya, selama tinggal dengannya Inggit tidak pernah merasakan kesusahan.

HOS Cokroaminoto menitipkan menantunya, Sukarno, kepada Sanusi. Selama bersekolah, Sukarno tinggal di rumah Sanusi bersama Inggit. Rumah itu menjadi lebih sering kedatangan tamu karena Sukarno aktif dalam dunia politik. Sanusi lebih sering menghabiskan harinya di luar, dari sanalah kedekatan Sukarno dan Inggit semakin menjadi setiap harinya. Sanusi menyadari apa yang terjadi di antara keduanya, akhirnya ia memutuskan untuk bercerai dengan Inggit dan menitipkannya pada Sukarno. Sukarno pun menceraikan istri pertamanya, Utari.

Menjalani kehidupan setelah menikah dengan seorang mahasiswa tentu berbeda dengan kehidupannya sebelumnya. Inggit membuat bedak, lulur dan kutang untuk dijual. Hasil dagangnya ini ia gunakan untuk membiayai hidup sehari-hari dan untuk perjalanan politik Sukarno. Sukarno beberapa kali dipenjara dan diasingkan karena dianggap terlalu membahayakan Belanda. Inggit tetap setia mendampingi dan selalu bersiasat mengabarkan kondisi yang sedang terjadi ketika Sukarno di dalam bui. Ia rela berpuasa untuk menyembunyikan buku di perutnya dan berjalan kaki menempuh jarak beberapa kilometer untuk menemui Sukarno.

Suatu hari, Sukarno diasingkan ke Ende, lalu dipindahkan ke Bengkulu. Di sinilah ia bertemu dengan Fatmawati. Gadis itu mampu menarik perhatian Sukarno. Tak lama setelah itu, Sukarno pun ingin menikahi Fatmawati. Inggit enggan dimadu dan memilih bercerai. Inggit kembali ke Bandung. Dua tahun setelah perceraian mereka, Indonesia merdeka dan Sukarno menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

  • Informasi Tambahan

Buku ini adalah buku untuk gerakan literasi sekolah dan tidak diperjualbelikan. Cerita lebih lengkap mengenai kisah Inggit Garnasih dan Sukarno dapat dibaca di buku Kuantar Ke Gerbang karya Ramadhan K.H.

Ringkasan Biografi Iwa Kusuma Sumantri

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Rieky Nurhartanto

Latar Belakang

Iwa Kusuma Sumantri lahir pada hari Rabu, 30 Mei 1899 di Ciamis. Beliau merupakan putra sulung dari Keluarga Raden Wiramantri. Walaupun berasal dari keluarga menak, dalam pergaulannya Iwa sangat ramah dan luwes, tidak pernah membeda-bedakan pergaulan mana dari kalangan atas maupun kalangan bawah.

Pada tahun 1910, Iwa Kusuma Sumantri bersekolah di Erste Klasse School. Sekolah kelas 1 di Ciamis, tapi sekolah tersebut hanya untuk kaum pribumi menak saja. Selain bersekolah, Iwa juga privat bahasa Belanda bersama Ny Stanler. Selanjutnya Iwa melanjutkan Pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School), yaitu sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda dan hanya untuk kalangan menak pribumi saja.

Selesai Sekolah Dasar tersebut, Iwa melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Calon Amtenar, yaitu OSVIA (Opledingschool Voor Inlandsche Amtenaren), tahun 1915 di Bandung. Tapi di sini sebetulnya Iwa sangat tidak betah, karena selain pergaulannya, perpeloncoannya tidak sehat. Setelah lulus, akan bekerja di bawah pemerintah kolonial, dan ini tidak sesuai dengan hati nurani Iwa. Karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya, Iwa mencoba bertahan di sekolah tersebut, namun hanya bertahan selama 1 tahun saja.

Kiprah di Bidang Hukum

Setelah keluar dari Sekolah Calon Amtenar tersebut, tahun 1916 Iwa masuk ke Sekolah Hukum yang sesuai dengan bakat minat Iwa di Batavia. Semasa sekolah Iwa juga aktif di organisasi pemuda ‘’Tri Koro Darmo’’, yang nantinya menjadi Jong Java. Seiring waktu, Iwa mendapat gemblengan politik, jiwa kebangsaan dan rasa kasih sayang terhadap rakyat kecil tumbuh juga di organisasi tersebut dan ia behasil menjadi ketua organisasi.

Baca lebih lanjut

Ringkasan Biografi Maskoen Soemadiredja

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Madihatur Rabiah

Buku merupakan jendela dunia. Dengan membuka buku berarti kita membuka jendela dunia, maka melalui buku yang dituliskan oleh Prof. Dr. Nina H. Lubis tentang salah satu tokoh Pahlawan Nasional Jawa Barat, kita dapat mengenal tokoh tersebut dengan baik.

Pahlawan, sosok yang seringkali dikagumi banyak orang, walaupun mungkin mereka sendiri tidak ingin dipuja-puja atau didamba. Walaupun begitu, seringkali orang-orang yang telah banyak memiliki jasa untuk masyarakat dan negara ini, tidak mendapatkan apresiasi yang sepantasnya, baik ketika mereka masih hidup ataupun setelah meninggal. Untuk itulah kemudian peran sejarawan diperlukan untuk mengungkap para pahlawan tersebut.

Maskoen Soemadiredja

Baca lebih lanjut

Ringkasan Biografi Ir. H. Djuanda

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Barangkali itulah kutipan yang ingin disampaikan oleh penulis buku “9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat” bagi para pembaca agar senantiasa mengingat perjuangan para pahlawan bagi kemajuan bangsa.

Beberapa nama dalam buku ini rasanya tak asing ditemui di sudut kota sebagai nama jalan seperti Ir. Djuanda, Dewi Sartika, K.H. Zaenal Mustofa ataupun R. Oto Iskandar Di Nata. Namun lebih dari itu, nama-nama tersebut perlu kita ketahui kisahnya dan teladani dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini khusus meresensi bagian biografi Ir. H. Djuanda.

Latar Belakang Ir. H. Djuanda Kartawidjaja

Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 Januari 1911, dalam sebuah keluarga menak dan berpendidikan. Ayahnya Raden Kartawidjaja dan Ibunya Nyi Momot. Sifat Djuanda yang pendiam merupakan warisan dari ayahnya yang akhirnya terbawa sampai masa tuanya.

Pendidikannya dimulai dari Hollands Indlandsche School (HIS) di Kuningan. Namun karena mengikuti orang tuanya yang diangkat menjadi Mantri Guru di Cicalengka, Djuanda pun pindah ke Europese Lagene School (ELS) di Cicalengka (1923). Setelah menamatkan pendidikannya di ELS, Djuanda melanjutkan pendidikan di HBS Bandung dan lulus dengan predikat schitterend geslaagd (lulus dengan baik sekali) bergelar diploma HBS. Atas pencapaiannya tersebut, Djuanda memperoleh beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool(THS; sekarang ITB) pada bulan Juli 1929. Gelar civiel ingenieur (Insinyur Sipil) didapatnya setelah ia dinyatakan lulus dari THS.

Kiprah Politik

Baca lebih lanjut

Ringkasan Biografi Rd. Dewi Sartika

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman

Latar Belakang Penulis dan Buku “9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat”

Buku yang berjudul 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat merupakan hasil buah karya Prof. Dr. Nina Herlina, M.S.. Ibu Nina adalah seorang sejarawan yang telah menghasilkan banyak karya, 44 judul buku telah beliau tulis termasuk yang ditulis secara mandiri maupun bersama. Salah-satu adikaryanya yang memberikan peran dalam dunia literasi adalah buku Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.

Selain menjadi seorang sejarawan, wanita asli Sunda ini juga merupakan guru besar di Universitas Padjadjaran yang merangkap beberapa jabatan. Beliau banyak tampil menjadi narasumber baik di dalam negeri hingga ke luar negeri. Wanita yang mendapat penghargaan dari Universitas Gadjah Mada sebagai Lulusan Terbaik Program Pascasarjana S-2 tahun 1990 juga mendapatkan berbagai penghargaan lainnya. Beliau mengikuti berbagai organisasi, sehingga namanya tercatat di berbagai organisasi. Informasi selengkapnya bisa dilihat di http://ninaherlinalubis.com/.

Dengan diterbitkannya buku 9 Pahlawan Nasional Asal Jawa Barat, Ibu Nina berharap agar setiap warga Indonesia, khususnya generasi muda dapat mengenali dengan baik pahlawan-pahlawan Indonesia, dan dapat mengambil nilai moral dari kisah patriotsme dan nasionalisme para pahlawan Indonesia, khususnya asal Jawa Barat.

Dewi Sartika

Baca lebih lanjut

Pernik KAA 2015

WhatsApp Image 2016-08-03 at 6.51.43 PM (1)

Pernik KAA 2015; Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika 1955.
Catatan Liputan Komunitas Aleut!
Penyunting: Ridwan Hutagalung

Nugent dalam bukunya Creative History (1967) menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mempelajari sejarah dari dua segi, yaitu bagaimana sejarah itu dapat menolong kita untuk hidup dan bagaimana sejarah itu dapat menolong kita menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Nugent mengatakan dengan tegas bahwa “Know other peoples, know yourself”.

Sejarah sebagai pengalaman manusia memberikan berbagai alternatif untuk memilih begitu banyak cara hidup (a multitude of ways). Setiap orang adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk masa lampau, produk sejarah. Dengan mempelajari sejarah kita akan mampu menghindari berbagai kesalahan dan kekurangan masyarakat masa lampau untuk kemudian memperbaiki masa depan.

Sejarah juga selalu melahirkan panggung bagi orang-orang besar. Namun demikian, tak banyak yang mencatat peran orang-orang di balik layar panggung sejarah. Ada banyak peristiwa kecil di balik panggung sejarah. Peristiwa-peristiwa itu terangkai menuju pada peristiwa besar. Peristiwa kecil menentukan kesuksesan aktor di panggung sejarah.

Di balik hingar bingar Peringatan ke-60 Tahun KAA Tahun 2015 ada banyak peristiwa sejarah. Ribuan warga Kota Bandung, mulai dari usia dini, remaja, hingga lanjut usia bergemuruh mengumandangkan gema Dasasila Bandung. Setiap warga mempunyai caranya tersendiri untuk menghormati lahirnya Nilai-nilai Luhur Dasasia Bandung.

Buku ini telah merekam dengan baik semua peristiwa di balik layar itu. Tak hanya mengabadikan peristiwa sejarah, namun lebih dari itu Komunitas Aleut! telah melestarikan ruh gotong royong warga Kota Bandung yang masih terus menyala-nyala. Gotong royong adalah ruh kreatif Konferensi Asia Afrika.

Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Mei 2016
Penulis: Ridwan Hutagalung (ed.)
Halaman : 222
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-73-9

Harga Rp.65.000

Pemesanan: 0859-7490-5769

Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu
Bandung 40264

#KelasResensi: Pekan ke-1

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Sabtu depan, tepatnya tanggal 5 September 2015, Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut akan memasuki pekan ke-10. Telah puluhan buku yang berhasil dibaca dan diceritakan ulang secara lisan. Ya, “berhasil”, sebab tak semua orang punya waktu dan minat yang cukup, untuk mengkhatamkan satu buku dalam waktu satu minggu.

Pada pekan ke-1, peserta kelas resensi buku hanya berjumlah enam orang. Awal yang kecil memang. Namun dari sini pula, ke depan, semangat yang telah ditabur oleh beberapa orang itu, bisa menular ke kawan-kawan yang lain. Adapun buku yang dibaca, meskipun Aleut adalah komunitas yang amat kental irisannya dengan sejarah, namun dalam kelas resensi ini, keragaman tema dan genre buku justru yang coba diangsurkan.

Ya, buku yang dibaca dan diceritakan ulang, tidak melulu tentang sejarah, namun ada pula buku tentang sastra, filsafat, budaya, dan lain-lain. Inilah catatan pendek dari beberapa buku yang dibaca pada pekan ke-1 itu :

  1. “Jalan Lain ke Tulehu” (Zen RS)

Kisah yang berlatar kerusuhan berbau agama di Timur Indonesia ini, bercerita tentang sepakbola dan kenangan yang berarak di tempurung kepala, serta ingatan yang mengejar. Gentur, seorang wartawan dari tanah Jawa terperangkap dalam kerusuhan yang pelik. Ia kemudian terdampar di sebuah perkampungan Muslim yang terlibat konflik tersebut. Dalam kondisi yang serba berbahaya, beberapa kali nyawanya sempat terancam. Namun pada akhirnya sepakbola berhasil membuka “jalan”. Sepakbola beberapakali meredakan ketegangan antar yang bertikai, juga Gentur dengan kenangannya.

  1. “Ayah” (Andrea Hirata)

Novel terbaru dari pengarang “Laskar Pelangi” ini bercerita tentang hubungan ayah-anak yang begitu karib. Namun karena hubungan ayah dan ibunya tidak mulus, terpaksa keduanya berpisah. Dengan gaya bertutur yang khas, penulis kembali menampilkan tokoh die hard yang begitu komikal. Namun justru di tokoh seperti itulah dia menyematkan pesan-pesannya.

  1. “Jugun Ianfu; Jangan Panggil Aku Miyako” (Rokajat Asura)

Kasus perbudakan seks di zaman Jepang, setidaknya di Indonesia, tidak terlalu banyak yang mengangkatnya ke dalam teks-teks fiksi. Novel berlatar sejarah ini mencoba mengetengahkan Jugun Ianfu dengan balutan kisah romantisme cinta segitiga di tengah kecamuk revolusi.

  1. Zaman Perang (Hendi Jo)

Narasi sejarah yang ditulis secara resmi oleh negara, jarang mengemukakan kisah tentang orang-orang kecil. Jutaan rakyat yang ikut berdenyut dalam pusaran sejarah, seolah hanya tokoh pinggiran yang kiprahnya tidak penting untuk diabadikan dalam catatan ingatan kolektif bangsa. Di titik ini, kumpulan kisah yang terbuhul dalam buku karya Hendi Jo, adalah sebuah ikhtiar untuk menimbang ulang; bahwa rupa sejarah bangsa, juga diwarnai oleh beragam kisah heroik orang-orang kecil. Mereka yang terpinggirkan dalam teks resmi itu, adalah–seperti kata penulisnya; “Orang biasa dalam sejarah luar biasa”.

  1. Burung Kecil Biru di Naha (Linda Chrystanti)

Kumpulan esai dan reportase berbentuk jurnalisme sastrawi ini mempunyai benang merah tentang kekerasan, konflik, dan tentu saja luka. Linda yang telah lama bergelut di dunia ini, lihai meramu fakta-fakta baru lalu menyajikannya dengan ketajaman dan kepekaan kemanusiaan. Dalam tulisannya, selain membibit semangat rekonlisiliasi, Linda juga menegaskan bahwa ketidakadilan bisa hadir dengan mengatasnamakan apa saja; suku, ras, agama, maupun ideologi. Bagi Linda semua isme hanyalah gagasan, yang bisa dinilai adalah praktek para pelakunya; apakah berguna bagi kemanusiaan atau malah sebaliknya.

  1. Dracula (Bram Stocker)

Inilah kisah vampir legendaris dari Rumania. Buku yang mula-mula terbit di tahun 1897 ini adalah cikal bakal bagi cerita-cerita drakula yang ditulis setelahnya. Drakula, sosok yang lemah di hadapan bawang putih, salib, dan roti sakramen ini hadir dalam beberapa fragmen kisah cinta manusia. “Dracula”, bisa jadi, adalah magnum opus-nya penulis yang meninggal di usia 64 tahun tersebut. [ ]

Riungan Buku Aleut

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

riungan buku aleut

“Aku agak introvert. Aku tidak terlalu nyaman dengan klub buku, kecuali klub bukunya kecil dan orang-orangnya sudah kukenal baik,” ungkap sang penulis Lelaki Harimau saat ditanya soal pentingnya klub buku dalam pos Eka Kurniawan: Aku Lebih Ingin Membesarkan Diriku Sebagai Pembaca Daripada Penulis di Revi.us. Seperti inilah saya, meski hidup di orde kebebasan berpendapat, saya lebih senang jadi pendengar.

Namun beruntunglah kita bisa hidup tanpa takut diawasi teleskrin dan diciduk polisi pikiran seperti pada novel ‘1984’. George Orwell dalam karyanya ini menggambarkan soal negara yang adem ayem, bukan karena penduduknya memang adem ayem, namun karena mulut mereka dibungkam dan jika mereka sedikit saja membuka mulut, mereka akan diuapkan, dilenyapkan. Diskusi diharamkan, buku dimusnahkan. Kita tahu, buku sebagai produk intelektual butuh pertukaran gagasan – bukan hanya antara penulis dan pembaca, tapi juga antara pembaca dan pembaca. Sebab lewat budaya literasi dan diskusi, bisa muncul yang namanya revolusi. Maka patut bersyukur Komunitas Aleut eksis di masa kondusif, ketika bisa bebas berpikir dan bebas bicara tanpa ada yang harus ‘diuapkan’ Bung Besar dan Partainya. Nggak perlu sembunyi-sembunyi melakukan sebuah riungan.

Di antara sebab kebahagiaan adalah meluangkan waktu untuk mengkaji, menyempatkan diri untuk membaca, dan mengembangkan otak dengan hikmah-hikmah. Jika teman duduk terbaik adalah buku, maka teman nongkrong terbaik adalah mereka yang bisa diajak berbagi hikmah. Warga Bandung sendiri adalah manusia yang hobi ‘ngariung’, senang kumpul bareng-bareng. Dari sekedar untuk berbagi omong kosong dan keluh kesah sampai untuk beradu pemikiran dan ide.

karena setiap lembarnya, mengalir berjuta cahaya
karena setiap aksara membuka jendela dunia

Setiap Sabtu di Kedai Preanger yang berlokasi di Jl. Solontongan 20D, Buahbatu,  rutin diadakan acara resensi buku bersama kawan-kawan dari . Buku yang dibaca kemudian diresensi secara lisan cukup beragam; sejarah, sastra, filsafat, budaya, dan lainnya. Baik non-fiksi dan fiksi, dari karya klasik sampai kontemporer kita bahas sampai menjelang malam Minggu.

Kelas resensi buku secara lisan ini diharapkan menjadi pijakan untuk melatih keterampilan berbahasa; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sebabnya keterampilan berbahasa ini erat kaitannya soal pola pikir seseorang. Nah, inilah hal paling penting, untuk merubah pola pikir lewat adanya pembudidayaan literasi dan diskusi. Pola pikir adalah kunci! Ini mengingatkan pada sabda Lao Tze, “Jika kau ingin mengubah takdirmu, ubahlah kebiasaanmu. Jika kau ingin mengubah kebiasaanmu, ubahlah tindakanmu. Jika kau ingin mengubah tindakanmu, ubahlah perkataanmu. Dan jika kau ingin ingin mengubah perkataanmu, ubahlah pola pikirmu.”

Jangan bermimpi bisa melakukan revolusi terhadap kedzaliman seorang Bung Besar, jika untuk merevolusi diri sendiri pun nggak becus. Ini semata-mata kecaman buat diri sendiri sih. Revolusi diri! Ya, sebuah revolusi yang akan tercipta lewat jalan literasi, teman diskusi, dan mungkin sempurnakan dengan secangkir kopi. Ah ya, sesungguhnya nggak ada yang bisa mengalahkan kepuasan masturbasi jenis ini. Selamat berevolusi!

Lego ergo scio!

+

Post-scriptum:

“Riungan Buku Aleut” sendiri adalah istilah yang dilemparkan kamerad Irfan TP (@irfanteguh) di pos Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut.

Buku yang saya baca dan resensi

  1. Baruang Kanu Ngarora – D. K. Ardiwinata (4 Juli 2015)
  2. Sabda Zarathustra – Friedrich Wilhelm Nietzsche (25 Juli 2015)
  3. The Professor and The Madman – Simon Winchester (8 Agustus 2015)
  4. Haji Murad – Leo Tolstoy

 

Tautan asli: http://yeaharip.com/2015/08/10/riungan-buku-aleut/