Tag: Kawasan Jalan Pegunungan

Catatan Perjalanan Aleut 13 Januari 2013 – Komplek Pegunungan, bukan Pegunungan!

Oleh : Putri Destyanti (@SockoJinki)

Minggu, 13 Januari 2013. Seperti biasa merupakan jadwal  komunitas aleut untuk ngaleut bersama. Ini kali ketiga saya ngaleut, dan tema ngaleut kali ini adalah mengenai kamp konsentrasi dan komplek pegunungan. Sedikit terkecoh dengan tema yang ada, saya kira komplek pegunungan itu adalah benar-benar pegunungan dimana para aleutians akan diajak menjelajahi pegunungan alias hiking, karena ternyata komplek pegunungan disini adalah nama jalan yang memakai nama-nama pegunungan seperti Malabar dan juga Gunung Puteri. Simak cerita lengkap ngaleut kali ini. 😀

Para peserta perjalanan aleut yang telah mengkonfirmasi kehadiran, pertama-tama berkumpul di jalan Sumur Bandung no 4. Ya, tepatnya di sekretariat Aleut sendiri. Disana saya dan teman-teman yang sudah datang tampak menunggui para peserta aleut lainnya yang belum juga tampak batang hidungnya. Setelah akhirnya terkumpul semua, seperti biasa diadakan perkenalan terlebih dahulu. Kami saling menyebutkan nama serta asal sekolah/kuliah masing-masing di halaman rumah Aleut. Sambil menunggu giliran untuk perkenalan, salah satu pengurus Aleut berputar untuk meminta biaya transportasi. Untuk perjalanan aleut kali ini memang terdapat pungutan biaya untuk biaya transportasi tadi, karena start awal perjalanan memang cukup jauh jaraknya dari Sumur Bandung. Begitulah, setelah semuanya beres, perkenalan beres dan acara pungut-memungut uang beres, akhirnya peserta ngaleut pun mulai berangkat dengan menaiki tiga mobil angkutan umum. Saya bersama dua teman perempuan saya serta beberapa teman laki-laki menaiki mobil yang terakhir. Sepanjang perjalanan, saya dan peserta aleut di dalam mobil saling bersenda gurau dan mengobrol supaya lebih dapat mengakrabkan diri.

Kira-kira 20 menit kemudian, akhirnya para peserta tiba di tempat start awal. Start awal ini di komplek pegunungan tadi yang sempat saya singgung di atas. Komplek pegunungan dimana nama-nama jalannya memakai nama-nama gunung seperti Malabar dan Gunung Puteri. Dengan demikian saya berhasil terkecoh karena secara persiapan baik itu pakaian dan sepatu, sudah seperti akan mendaki gunung (mekipun tentu saja tidak membawa carrier hingga 80 L, hahaha xD).

Oh ya, cuaca saat itu sebenarnya tidak terlalu nyaman dalam melakukan perjalanan dikarenakan hujan yang gerimis serta padat. Bandung diguyur hujan sepanjang pagi. Membuat para peserta Aleut siap sedia dengan payung serta jas hujannya masing-masing.

Well, setelah tiba di Komplek Pegunungan tersebut, para peserta berkumpul di depan sebuahtempat yang tadinya adalah pabrik roti. Pabrik roti tersebut adalah pabrik yang men-supply roti-roti ke rumah-rumah di komplek pegunungan tersebut. Saya kebetulan lupa nama pabrik roti-nya :p (kalau ada yang tahu, boleh dong infonya ^^). Yang jelas pabrik roti tersebut kini sudah tidak ada. Sayang sekali saya pikir, padahal saya yang penggemar western food seperti roti, ingin sekali mencicipi roti-roti tersebut.

Dari depan pabrik roti, ngaleut dilanjutkan ke SMK Pariwisata Sandhy Putra. Kebetulan salah satu anggota di komunitas Aleut ada yang bersekolah di sana, sehingga mudah untuk mendapatkan izin kepada Kepala Sekolah untuk berkunjung ke sekolah pariwisata tersebut. Menurut sejarah sekolah ini, sekolah ini tadinya merupakan bangunan Belanda yang dijadikan Rumah Sakit dadakan. Dari segi arsitektur, bangunan sekolah ini tadinya bergaya gothic seperti bangunan-bangunan yang dibangun pada abad ke 18. Baru setelah itu bangunan-bangunan di sekolah tersebut di pugar menjadi bergaya Art Deco. Oh ya, kabarnya, gentengnya itu murni di ambil dari Batavia dan tak pernah diganti sampai sekarang (kecuali untuk bangunan-bangunan baru). Genteng-genteng ini dibuat oleh Pengusaha China yang tinggal di Batavia. Karena itulah, bangunan SMK Pariwisata Sandhy Putra ini masuk menjadi Cagar Budaya Kota Bandung, dimana bangunannya tak bisa diruntuhkan atau dihancurkan begitu saja, karena merupakan warisan budaya.

Di sekolah ini, para peserta diperkenankan untuk melihat-lihat bangunan bagian luar dan beruntung, bagian dalamnya juga. Melihat bagian dalam bangunan sekolah ini, banyak peserta Aleut yang berkata kalau bangunan ini tidak cocok dijadikan sebagai rumah sakit ataupun sekolah. Hal ini dikarenakan interior yang terasa sempit dan sumpek antara ruangan satu dan ruangan yang lainnya. Meskipun demikian, kebanyakan furniture serta perabotan lainnya masih kental dengan gaya zaman kolonial Belanda yang salah satunya bisa dilihat dari pintu serta jendelanya. Para peserta juga di perbolehkan untuk memasuki salah satu ruang kelas, dan kelasnya pun memang benar-benar bergaya zaman dulu di masa kolonial. Sangat antik meskipun terkesan suram. Setelah keluar dari kelas, para peserta berjalan-jalan dulu sebentar untuk melihat-lihat sekitaran bangunan sekolah ini. Setelah selesai, aleutians pun kembali keluar dari bangunan sekolah ini dan berfoto di depan pintu bangunan di area lapangan basket.

Usai ngaleut ke SMK Pariwisata Sandhy Putra, perjalanan pun dilanjutkan. Aleutians kemudian berjalan ke area sekitar depan hotel Papandayan. Disana, Aleutians berkumpul di depan sebuah rumah untuk mendengarkan penjelasan salah satu pengurus Aleut yang mengatakan bahwa rumah tersebut merupakan rumah hasil karya Soekarno. Sebetulnya setiap rumah hasil karya Soekarno itu pasti di terdapat plakat di depannya yang mengatakan bahwa rumah tersebut adalah hasil karya miliknya. Namun ironisnya, plakat-plakat tersebut dicopot begitu saja. Lebih miris lagi, rumah-rumah tersebut malah dijadikan kos-kosan…

Perjalanan pun dilanjutkan. Masih sekitar depan Hotel Papandayan, di sekitar situ terdapat rumah gaya kolonial yang didepannya terdapat tulisan “Marie”. Kabarnya, dahulu orang-orang Belanda yang mempunyai anak pertama dan anaknya tersebut perempuan, otomatis akan mengukir depan rumah mereka dengan nama si anak perempuannya tersebut (it’s so unique >< coba yah di Bandung kaya gitu.. tapi pasti jadi lucu xD). Jadi dapat dikatakan bahwa rumah yang para Aleutians lewati tersebut merupakan rumah seorang Belanda yang mempunyai anak pertama perempuan bernama Marie.

Usai melewati rumah unik tersebut, Aleutians pun kembali berjalan. Kali ini tujuannya adalah kamp konsentrasi Karees sebelum nantinya akan dilanjutkan menuju Cikudapateuh. Untuk mencapai tujuan, Aleutians melewati gang-gang rumah penduduk yang cukup sempit. Cukup lama saya dan teman-teman melewati gang-gang yang entah berada dimana ujungnya tersebut, hingga akhirnya kami sampai di suatu sungai buatan. Sungai tersebut terlihat sangat menyedihkan dengan sampah dimana-mana dan air sungai yang sangat kotor. Di sungai tersebut terdapat gorong-gorong berbentuk bulat. Diceritakan bahwa pada zaman pendudukan Jepang, para tahanan kamp konsentrasi yang berusaha kabur melewati gorong-gorong semacam itu. Disini juga pengurus Aleut bercerita mengenai kamp konsentrasi Karees yang sudah benar-benar habis. Dahulu, kamp konsentrasi adalah suatu tempat atau lebih ke perumahan para tawanan Jepang yang dikelilingi oleh pagar. Nah, siapapun tawanan yang hendak kabur serta melewati pagar pembatas tersebut, otomatis akan ditembak di tempat, tanpa ampun.

Ada cerita juga soal seseorang bernama Schomper. Schomper ini adalah pemilik Hotel Schomper baik Hotel Schomper 1 yang berada di Batavia serta Hotel Schomper 2 di Bandung yang sisa-sisanya masih bisa dilihat di Hotel New Naripan. Schomper ditawan di Cikudapateh. Sebelum kembali ke negaranya, Schomper menulis buku yang berjudul “Selamat Tinggal Hindia Belanda”.

Di daerah Cikudapateuh (yang berarti Kuda-Pateuh atau Kuda Pincang), para peserta ngaleut lanjut menuju suatu Sekolah Dasar yang bernama SD Centeh. Bangunan SD ini sudah berdiri sejak tahun 1923 dan dulunya dijadikan sekolah semacam Lab School, atau nama lainnya adalah ‘Sekolah Raja’. Tak jauh dari lapangan, terdapat bangunan yang kini dijadikan sebagai kantin. Bangunan yang berdiri hampir 90 tahun ini masih terlihat kokoh saja dan tidak pernah ambruk meskipun ada bencana alam seperti gempa. Mungkin para arsitek zaman sekarang bisa memetik  pelajaran seperti melakukan penelitian terhadap bangunan-bangunan tersebut supaya dapat membangun bangunan baru di Kota Bandung dengan sama kokohnya.

Dari Cikudapateuh, aleutians menuju kosambi, mencoba untuk menyebrang dengan memakai jembatan penyebrangan yang ada disana. Katanya sih, itu jembatan sudah tidak begitu kuat. Makanya para aleutians tidak sekaligus menyebrangi jembatan tersebut, sebaliknya menyebranginya hanya dua sampai tiga orang saja. Di bawah jembatan ini terdapat sisa-sisa bangunan ‘Toko Bandung’ yang berdiri sejak zaman dahulu kala (kapan waktu berdirinya tidak sempat dijelaskan). Tak jauh dari jembatan, terdapat sebuah toko roti bernama ‘Cari Rasa’. Bukan promosi atau apapun, tapi toko roti disini memang benar-benar enak, baik roti kukus maupun roti bakarnya. Dan semua bahan roti hingga bumbu-bumbunya seperti mentega dan selai, merupakan buatan sendiri. Saya dan kedua teman saya sempat membeli roti ukuran besar untuk dimakan bertiga, dan memang benar enak 😀 (saya berniat untuk kembali kesana lain waktu untuk mencoba rasa lain ^^).

Dari arah kosambi, Aleutians pun terus berjalan hingga melewati lagi-lagi gang perumahan penduduk yang cukup sempit… hingga ujung-ujungnya keluar di rel kereta api di dekat Gudang Utara. Aleutians pun berjalan dan berjalan… hingga akhirnya kami duduk-duduk sebentar di dekat perbatasan rel kereta api. Setelah cukup beristirahat, kami pun mulai berjalan lagi. Kali ini aleutians bermaksud menuju gereja yang berada di sekitar stadion Persib tak jauh dari SD soka.) Gereja tersebut dulunya merupakan gedung pertemuan milik Belanda yang akhirnya dijadikan gereja. Arsitek dari gereja ini adalah Fermont Cuypers, dimana namanya bisa kami temukan di dinding bawah sekitaran majalah dinding di sana. Nama tersebut tertanam di dinding (dijadikan plakat). Hal ini cukup berkesan karena tidak banyak arsitek-aristek zaman sekarang yang namanya dijadikan plakat seperti itu.

Setelah berfoto-foto di sekitar area gereja, aleutians kembali berjalan menuju SD Soka sebagai tempat yang menjadi titik finish – tempat berakhirnya perjalanan Aleut minggu ini. Di sana, para aleutians melakukan kegiatan yang sudah menjadi tradisi yaitu sharing soal kesan dan pesan masing-masing. Sambil duduk membentuk lingkaran, para peserta dipersilakan untuk bicara menyampaikan apa yang ingin mereka ungkapkan. Kira-kira setelah satu jam, kegiatan aleut kali ini pun ditutup, peserta pun kembali menuju Jalan Sumur Bandung dengan menaiki angkutan umum.

END

Image

Image

Image

Image

Image

Ngaleut pertama saya bersama Komunitas Aleut Bandung (Selesai)

Oleh : Atria Dewi Sartika  (@atriasartika )

Image

Setelah berfoto di depan salah satu rumah karya Ir. Soekarno kami kemudian menyusuri jalan Gatot Subroto tersebut. Kami sempat melewati sebuah rumah yang bertuliskan Marie. Menurut penuturan salah satu pasukan Aleut bahwa di zaman Belanda dulu sebuah rumah dinamakan berdasarkan nama anak perempuan pertamanya. Nah ini berarti nama anak perempuan tertua pemilik rumah yang kami singgahi bernama Marie. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke dan saya sempat memotret sebuah gedung yang bernama Vila Gruno. Namun karena keterlambatan saya berjalan. Saya melewatkan penjelasan apa punyang mungkin sempat dikeluarkan oleh anggota komunitas Aleut.

ImageSetelah itu kami dipandu melewati gang-gang sempit sebagai jalur alternatif. Kami melewati gang-gang kecil yang padat pemukiman. Kami bahkan harus berpuas diri dengan mencium wangi masakan warga yang sempat kami lewati. Di salah satu jalan kami melewati sebuah aliran sungai Anak CI Kapundung. Entah sungai itu terbentuk alami atau buatan. Aliran sungainya hitam.

ImageNah saat itu kami sempat berhenti sambil mendengarkan penjelasan Om Ridwan Hutagalung (Om, pamang, kang, abang, atau apapun sebutannya (^_^)v ). Beliau menceritakan tentang kisah-kisah kamp konsentrasi yang sempat dibuat oleh Jepang saat menjajah Indonesia. Kamp-kamp tesebut digunakan untuk menampung orang-orang Belanda yang berhasil mereka kumpulkan dan tangkapi. Kisah yang ia tuturkan menyadarkan saya bahwa tulisan Eka Kurniawan dalam novelnya Cantik itu Luka yang masih berusaha saya tamatkan menceritakan kejadian yang hampir sama dengan yang dituturkan oleh Om Ridwan. Memang kamp komsentrasi yang dibuat di Indonesia itu tidak semengerikan yang dibuat oleh Nazi di Jerman pada masa Holocaust. Namun tetap saja diceritakan bahwa kamp konsentrasi yang paling parah adalah kamp yang diperuntukkan untuk laki-laki dewasa. Sedangkan untuk wanita dan anak-anak masih sedikit lebih berdab. Sedikit tambahan yang saya peroleh dari buku Cantik itu Luka dikatakan bahwa sejumlah wanita Belanda kemudian diambil dari kamp konsentrasi untuk kemudian dijadikan sebagai pelacur.

ImageAkhirnya kami melanjutkan perjalanan hingga sampailah kami pada salah satu sekolah yang dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1922. SD ini dijadikan sebagai tempat praktek Kweekschool yang sering diasosiakan sebagai sekolah raja. Entah karena anak-anak bangsawan pribumi banyak yang bersekolah atau ada yang mengatakan bahwa Kweekschool mungkin saja dibangun sebagai peringatan atas pengangkatan raja baru. SD ini kemudian ditempati oleh SD Centeh 1,2,3,4,5,6. Menurut data yang berhasil dihimpun oleh Komunitas Aleut diketahui bahwa awalnya hanya bangunan SD tersebut yang berada di wilayah Centeh ini, sedangkan disekitarnya masih berupa rerumputan yang luas. Namun kini bahkan bagian depan SD centah telah tertutupi pemukiman waga. Kami harus melewati lorong sempit hingga akhirnya berhasil masuk ke dalam lingkungan sekolah tersebut. Saat melewati lorong sekolah ini akan ditemukan plakat yang terpasang di kedua sisi dinding yang saling berhadapan. Selain itu terdapat juga patung pendiri sekolah (yang kemudian agak diragukan keasliannya oleh orang-orang di Komunitas Aleut). Setelah itu kami sempat beristirahat di aula yang berbentuk seperti sebuah pendopo yang berada di SD tersebut. Tampak bahwa tiang penyangga aula itu telah dimakan oleh usia (dan rayap). Sesi istiarahat ini diisi dengan cerita tentang nama-nama jalan yang dahulu kala dibuat berdasarkan nama tanaman-tanaman. Dan jenis tanaman-tanaman tersebut bahkan digolongkan menjadi bunga-bungaan, pohon dengan ranting yang kurang padat, dan pohon dengan ranting yang padat. Namun kini nama-nama tersebut diganti menjadi nama pahlawan yang membuat bingung dalam hal pencariannya. Bahkan membingungkan karena akhirnya sebuah jalan bisa jadi memiliki dua identitas atau dua nama.

Image

Tidak lama kunjungan tersebut diakhir dengan foto bersama dilapangan sekolah. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Pasar Kosambi. Ternyata di pasar ini masih berdiri pertokoan tua. Namun lagi-lagi saya ketinggalan penjelasan dan bahkan kali pun saya tidak menyempatkan diri mengambil foto karena takut menghadari ketinggian jembatan penyebrangan yang sudah cukup rapuh. Saya akhirnya hanya menyebrang dan menunggu seluruh rombongan berkumpul di depan ruko toko roti Cari Rasa yang merupakan salah satu toko yang cukup lama di Bandung. Setelah itu kami kembali menyusuri lorong dan melewati gang-gang sempit pemukiman penduduk. Kami bahkan melintasi rel kereta api di Kebon Pisang Kosambi. Sejujurnya inilah pertama kalinya saya menginjakkan kaki dan melewati rel kereta api yang berada di pemukiman penduduk. Biasanya saya hanya melewati rel kereta di stasiun kereta api saja saat harus mencapai peron tertentu.

Setelah itu kami sempat cerita sejenak terkait salah satu jalur kereta api tertua di pulau Jawa. Namun saya tidak berani menuturkan ulang meskipun saya telah mencoba untuk menggoogling data-data tentang stasiun tertua ini. Namun saya menyadari bahwa saya sudah cukup lupa dank arena masalah baterai gadget, saya tidak berhasil mencatat banyak hal kala itu.

Image

Setelah istirahat kami kembali melanjutkan perjalan ke salah satu Gereja yang maaf ternyata kini telah saya lupakan namanya. Gereja itu tidak bisa kami kunjungi cukup lama karena mendapat teguran dari pihak penjaga keamanan gereja tersebut. Namun kami masih sempat diperliahtkan plakat nama yang ada di gereja tersebut sebagai sebuah tanda dari arsitek gereja tersebut. Plakat itu agak tersembunyi di balik tanaman yang tumbuh mengelilingi gereja.

Image

Akhirnya kami pun melanjutkan perjalan ke SD Soka. Kami sempat melewati salah satu tokoh oleh-oleh makana Sari Rasa dan bahkan sesampainya kami di SD tersebut wangi roti yang menggugah selera masih tercium. Kami yang siang itu akhirnya mulai terserang lapar dan cukup lelah karena seharian berjalan kaki akhirnya mengakhiri perjalan dengan menceritakn kesan kami dalam kegiatan ngaleut hari itu. Kesan-kesannya semua positif selama mengabaikan bagian “lapar” dan “cukup lelah karena jalan kaki seharian” mengingat rute kami sebenarnya cukup jauh dari jalan Malabar hingga akhirnya sampai di Jl. Soka yang tidak jauh dari jalan RE Martadinata. Tapi di hari itu pun kami menyadari bahwa penting untuk peduli pada lingkungan. Kita perlu ikut menyebarkan kesadaran bahwa peninggalan sejarah termasuk gedung-gedung tua perlu dijaga karena dapat menjadi pembelajaran bagi generasi-generasi penerus kita.

catatan: foto-foto dalam blog ini adalah hasil dokumentasi pribadi dan hasil dokumentasi yang dipublish dalam @KomunitasAleut di twitternya.

Original Post

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑