Oleh: Angie Rengganis (@angiesputed)
Kegiatan Ngaleut pada hari Minggu (6/11/2016) dimulai dengan berkumpul di depan Pasar Ulekan Pagarsih Bandung. Setelah berkumpul, kami berjalan kaki menyusuri babakan Tarogong. Sebuah pemukiman padat yang dialiri aliran sungai di kanal Babakan Tarogong di sepanjang jalannya. Minggu pagi ini terlihat pemadangan sedikit berbeda dengan pasar tumpah di sekitar pinggir kanal. Tujuan mencari keberadaan Blok Tempe masih jauh. Kami harus melewati jalan besar dan menembus Gang Babakan Irigasi. Jalan semakin menyempit, kami memasuki gang perkampungan padat yang mengarah ke Blok Tempe.
Bertemulah kami dengan seorang Ibu yang sedang sibuk memotong sayuran. Kami pun bertanya menggali informasi tentang sejarah Blok Tempe dan asal usul nama tempe tersebut. Menurut beliau dulu di jaman penjajahan, di daerah sini banyak warga memproduksi tempe dan dikirimkan untuk dijual. Namun kini sudah tidak ada lagi yang warga yang memproduksi tempe, “Sekarang di sini warga banyak membuat bolu”, si Ibu menambahkan sambil bercanda. Obrolan pun panjang lebar berlanjut dengan cerita-cerita si Ibu yang menyangka kami ingin membeli tempe. Kami pun pamit dan meneruskan perjalanan menuju Blok Tempe dengan panduan arah si ibu.
Setelah beberapa lama menyusuri gang-gang sempit dan ditambah dengan bertanya ke warga setempat, akhirnya tibalah kami di tempat yang dicari, Blok Tempe. Sebuah kawasan yang masih berada di sekitar gang dengan petak tanah yang lebih luas. Kami menemukan sebuah bale yang berdiri dihimpit oleh rumah warga. Rangkanya mirip rumah pohon, terbuat dari bambu dan disusun membentuk panggung. Bale tersebut digunakan oleh Karang Taruna dan warga untuk mengaji. Di luar bale, tembok-temboknya penuh dengan mural yang kelihatannya tidak asal-asalan dibuat. Salah satunya tergambar tipografi tulisan Blok Tempe. Continue reading