Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

memotret braga

Pedati dan otomobil hilir mudik di Jalan Braga, tepat di seberang gedung Societeit Concordia, saya berdiri mematung bersama tustel format besar Graflex 4×5. Membidik cantiknya arsitektur dengan sisipan seorang juffrouw yang anggun melintas. Sungguh mereka tak berdusta, kota ini memang pantas dilabeli Parijs van Java. Dan mungkin terlalu indah untuk dilukiskan hanya jadi foto hitam putih.

Ini tahun 1930. Namun kemudian terlihat ada yang ganjil. Kok bisa-bisanya ada rombongan anak muda inlander berkalung DSLR? Akhirnya saya tersadar. Saya pun seorang pribumi.

Ah sialan, halusinasi dan delusi liar saya kembali berkecamuk. Ini memang sudah era kekinian, bukan lagi era kolonial. Sebuah fantasi yang membuncah karena melihat foto lawas Braga, ingin mengapresiasi sang juru kamera yang sayangnya namanya tak tercatut.

Sumber: Tropenmuseum

Ah ya, sebuah pertanyaan pun muncul dari dalam kepala saya. Pertanyaan tentang siapa fotografer dan apa kamera yang digunakan waktu itu.

Terimakasih kepada Google, untuk nama fotografer memang tak teridentifikasi, namun ada informasi penting tentang dimensi fotonya yang bisa mengarahkan kita pada jenis kamera yang digunakan. Disebutkan kalau dimensi foto yang digunakan adalah 9 x 12 cm, atau kalau diubah satuannya menjadi 4×5 inchi. Ya, ini artinya kamera large format lah yang digunakan.

Dan jika ditelusuri soal teknologi kamera saat itu, untuk awal abad ke-20 memang kamera large format lah yang paling umum digunakan untuk pendokumentasiaan. Singkatnya, kamera large format itu yang super gede, bayangkan aja klise film yang digunakan 16 kali lipat dari klise standar yang sering kita gunakan.

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=wML47KVnujM?version=3&rel=1&fs=1&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Tercatat, distribusi produk alat-alat fotografi di Bandung waktu era kolonial adalah melalui agen NV. Handelmy – C.M. Luyks. Telah ada sejak tahun 1898, menjadikan N.V Luyks ini toko tertua kedua di jalan Braga. Namun pada akhirnya mati suri memasuki masa perang pasific dan pendudukan Jepang 1942-1945

Meski sekarang Toko Luyks telah tiada, di Braga sendiri masih terdapat toko penyedia alat fotografi yang jadi primadona, Kamal Photo Supply. Ini toko paling saya rekomendasikan.

Memang Braga hari ini nggak seindah pas zaman kolonial dulu, keromantisan Parisnya sudah lama hilang. Hanya tinggal bekas-bekasnya. Tapi ini juga sudah lebih dari cukup. Kaum pribumi memang pengelola kota yang buruk, tapi selalu ada upaya-upaya untuk menghidupkan kembali kejayaan Braga.

Semoga saja di masa mendatang kefotografisannya tetap terasa, minimal bisa saya pakai buat bikin foto prewed sama si dia suatu saat nanti.

 

Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2015/04/01/memotret-braga-era-kolonial-vs-kekinian/