
Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
“Sebentar lagi, tinggal lewat gunung itu, langsung laut,” janji saya saat melindas jalanan Naringgul.
Kata “sebentar” mengundang beragam makna, bisa sebuah jebakan sekaligus pembebasan, seringnya hanya janji kosong. Kengerian bagi para murid belet yang lembar jawabannya
masih melompong saat diultimatum oleh pengawas dengan kata tadi bahwa ujian akan segera berakhir. Sukacita bagi suami yang ditenangkan dengan kata itu bahwa tanggungan dalam perut istrinya selama berbulan-bulan akan jadi tangis orok. Bagi pemimpi menyedihkan, bagi pengusaha perfeksionis, kata “sebentar” punya parameter waktu berbeda.
Dengan kata “sebentar” tadi, saya serasa pengkhotbah yang melakukan kebohongan publik yang mewanti-wanti bahwa hari akhir sudah dekat, untuk kemudian menginsafi bahwa wacana kiamat adalah klise usang, hasil dari ketakutan dan kedunguan manusia di tiap zaman. Kata “sebentar” membenarkan diri atas ketaktahuan dan kesoktahuan. Tapi saya masih bisa berdalih, kata “sebentar” yang saya pakai berfungsi bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberi ketenangan.
Terbukti, sepanjang jalan Naringgul-Cidaun, perempuan di jok belakang saya terus memeluk tasnya dan terlelap. Jalanan Cianjur setelah dari arah Ciwidey siang itu hanya menawarkan terik dan kondisi ideal untuk mengantuk. Curug-curug kurang air, hanya mengalirkan pipis bocah. Hamparan sawah, diselingi rumah-rumah, serta tebing-tebing gunung yang kering makin meninabobokan siapa saja siang itu. Tentu, mengantuk apalagi tidur saat berkendara adalah cara bunuh diri paling kalem. Apalagi saat bermotor, mengantuk sedikit saja, keseimbangan bakal agak goyah. Masalahnya, kantuk lebih sering melanda mereka yang dibonceng.
Saya tak merutuki, justru merasa terbebaskan. Beban untuk menciptakan dialog berganti menjadi beban untuk menyeimbangkan diri agar motor tetap melaju aman. Setelah turunan curam Naringgul yang selalu sukses memanaskan cakram motor saya dan bikin rem blong, jalanan selanjutnya memang agak landai berbukit-bukit, tapi relatif mulus. Sebelumnya, sehabis Rancabali, kecepatan bermotor kelompok agak memelan. Kantuk menusuk. Bagi yang pernah membonceng Akay melintas malam-malam di Gunung Gelap, Pameungpeuk, Garut, saya tak merasa kesulitan, apalagi perempuan di jok belakang tidur dengan cukup tertib.
Continue reading