Tag: J. E. A. von Wolzogen Kühr

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Kop Bandoengsche Kunstkring dalam brosur aturan keanggotaan. Diterbitkan secara mandiri pada tahun 1910

“Dapatkah kita membayangkan hidup tanpa seni? Tentu saja sebagian besar dari kita tidak akan mampu melakukannya, karena seni telah memberikan makna spiritual yang lebih dalam bagi kehidupan kita, sebagaimana yang telah terbukti selama 25 tahun terakhir.”

Kalimat di atas merupakan penggalan kata sambutan dari J. E. A. von Wolzogen Kühr – Walikota Bandung periode 1928-1933 – yang ditulis di halaman pembuka buku peringatan 25 tahun berdirinya Bandoengsche Kunstkring. Kühr adalah ketua kehormatan Bandoengsche Kunstkring. Ia melanjutkan posisi pendahulunya, Bertus Coops, yang juga pernah menjabat sebagai Walikota Bandung. Selain Coops dan Kühr, sederet nama penting lainnya pernah memiliki keterkaitan dengan perkumpulan bernama Bandoengsche Kunstkring. Berikut ini sebagian kisahnya.

J. E. A. Von Wolzogen Kühr
(Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan pecinta seni di Bandung yang didirikan pada tahun 1905. Wadah ini dibentuk dengan tujuan mengakomodir para peminat maupun pelaku seni dalam upaya pemajuan kebudayaan di Kota Bandung. Perkumpulan ini didirikan beriringan dengan Bandung yang tengah dalam proses perubahan status menuju kota mandiri. Seni menjadi salah satu bidang yang tak luput dari perhatian selain pembangunan fisik.

Kenapa Bandung?

Bandung merupakan kota kedua yang memiliki perkumpulan seni setelah Batavia. Pembentukannya di kota ini mendahului kota-kota besar lain yang telah lebih dulu mapan – baik secara infrastruktur maupun jumlah penduduk – seperti Semarang atau Surabaya. Meskipun sedang berbenah besar-besaran, Bandung masih terbilang sebagai kota kecil yang sepi.

Dalam buku peringatan 25 tahunnya yang berjudul sederhana, “Bandoengsche Kunstkring 1905-1930; Gedenkschrift”, Bandoengsche Kunstkring menjelaskan beberapa alasan mengapa perkumpulan ini bisa hadir lebih dulu di Bandung. Dengan nada sedikit satir, mereka menyebut faktor cuaca sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Cuaca yang dingin membuat segala pekerjaan di Bandung tidak terasa melelahkan. Oleh sebab itu warganya masih memiliki tenaga dan pikiran untuk memikirkan kerja-kerja kesenian.

Faktor kedua adalah orang-orangnya. Secara kebetulan Bandung saat itu dihuni oleh orang-orang yang memiliki ide dan visi yang sama dalam bidang seni. Kesamaan ide itu ditopang dengan kemampuan para pendirinya dalam menerjemahkan ide ke dalam program organisasi.

Read more: Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Awal Pendirian

Perkumpulan ini diinisiasi oleh seorang hakim terkemuka, A. J. van den Bergh. Ia yang pertama kali membuat aturan rumah tangga dan rancangan keuangannya. Meski begitu ia tidak pernah masuk ke dalam jajaran pengurus.

Tongkat kepemimpinan yang pertama justru jatuh ke tangan arsitek P. A. J. Moojen. Pemilihan Moojen sebagai ketua bisa jadi dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama bertahun-tahun menduduki jabatan serupa di Nederlandsch-Indische Kunstkring di Batavia. Oleh sebab itulah ia diharapkan mampu memimpin organisasi yang baru ini.

Sementara itu posisi sekretaris diisi oleh W. F. M. van Schaik, pemimpin redaksi Preangerbode. Ia baru tiba dari Belanda membawa semangat idealismenya. Kepemimpinan ini menandai berdirinya Bandoengsche Kunstkring secara resmi pada tanggal 15 Januari 1905. Kegiatan pertama Bandoengsche Kunstkring digelar pada pekan perayaan Paskah tahun 1905. Sebuah pameran diselenggarakan di Pendopo atas izin dari Bupati Bandung saat itu, R. A. A. Martanagara. Pameran ini menampilkan beragam hasil kerajinan seni lokal, seperti anyaman, tenunan, batik, ukiran kayu, keris, lampu tembaga, patung kayu, dan berbagai benda lainnya. Meskipun cuaca kurang mendukung, acara tersebut tetap menarik perhatian publik. Bahkan warga meminta tambahan satu hari lagi sebelum pameran ini diakhiri. (De Preangerbode, 22 April 1905).

Masih di tahun yang sama, Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar kegiatan. Kali ini mereka menggelar pameran seni terapan karya-karya pelukis Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Ia merupakan seorang pelukis, illustrator, dan etnografer yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Pameran ini digelar selama 6 hari dengan menampilkan karya-karya jenis etsa dan ukiran kayu Nieuwenkamp. Selain pameran, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan permainan musik piano. (De Preangerbode, 1 November 1905).

Potret Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp (De Boekenwereld, 31: 4, 2015) dan Karyanya Hoogvlakte van Bandoeng op Java 1913 (Rijksmuseum)

Pameran ini menjadi kegiatan terakhir Bandoengsche Kunstkring di tahun 1905. Sedianya mereka telah merencanakan ceramah dan pertunjukan musik dari sepasang pianis, Madlener & Vrins (Johannes Josephus Carolus Madlener dan istrinya, Catharina Henrietta Maria Vrins), namun urung terlaksana di tahun yang sama. Pertunjukan ini baru bisa dilangsungkan pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Januari 1906 dan berlokasi di gedung Societeit Concordia.

Iklan pertunjukan Madlener & Vrins (De Preangerbode, 9 Januari 1906)

Menjelang perayaan Paskah, perkumpulan ini kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang ditampilkan adalah ratusan cetakan karya pelukis Albrecht Dürer. Acara ini diulas sangat panjang dan mengisi halaman depan De Preangerbode edisi 10 April 1906.

Sebagai penutup tahun, digelar sebuah pameran lagi. Kali ini menampilkan cetakan karya pelukis besar dari Belanda, yaitu Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669). Pameran ini digelar dari tanggal 7 sampai 11 Oktober 1906. Tahun itu dipilih bertepatan dengan 300 tahun Rembrandt.

Iklan pameran karya Rembrandt (De Preangerbode, 11 Oktober 1906)

Tidak banyak kegiatan Kunstkring pada tahun 1907. Sejauh pencarian saya, mereka hanya menggelar sebuah pameran karya seni dari Jogja dan lukisan cat air yang langsung diampu oleh sang ketua, P. A. J. Moojen. Kedua tema iNI digelar secara bersamaan di gedung Societeit Concordia pada bulan Februari 1907. Bulan berikutnya mereka menggelar rapat umum yang juga dipublikasikan melalui suratkabar De Preangerbode, edisi 18 Maret 1907. Salah satu agenda dalam rapat umum ini adalah pemilihan pengurus.

Rapat umum itu menandai dimulainya era surut perkumpulan Bandoengsche Kunstkring. Selama hampir 5 tahun perkumpulan ini vakum. Faktor yang paling berpengaruh adalah banyaknya pengurus yang mengalami mutasi, termasuk Moojen yang harus kembali ke Batavia. Barulah pada tahun 1912 organisasi ini perlahan bergeliat lagi.

Bersambung…

Pembukaan Masjid Cipaganti, 27 Januari 1934

Oleh: Aditya Wijaya

Masjid Besar Cipaganti di tahun 1933-1934 (Locale Techniek)

Siapa sih Bandoenger yang tidak mengenal Jaarbeurs? Jaarbeurs alias Pameran Dagang Tahunan di Kota Bandung itu, pada tahun 1933, sudah menginjak edisi ke-14.  Kegiatan pameran dagang ini sudah sangat kasohor sejak pertama diselenggarakan pada tahun 1920.

Sudah menjadi kebiasaan, panitia Jaarbeurs akan mengundang seluruh awak media untuk mengikuti sebuah tur sebagai bagian dari kegiatan ini. Tur ini dimaksudkan untuk melihat stan-stan yang dihadirkan di Jaarbeurs. Tur ini dipandu dengan cara menyenangkan oleh Bapak H. Ph. Chr. Hoetjer, Ketua Dewan Pengawas Jaarbeurs.

Tur dimulai dari gedung utama. Di sana terlihat pameran hadiah-hadiah yang ditujukan untuk para pemenang lotre Jaarbeurs, di antaranya ada dua buah mobil yang bagus, sepeda motor, dan beberapa kulkas.

Ruang-ruang di Jaarbeurs tahun ini diisi juga oleh stan Technical Handelmij. Sementara stan lainnya oleh De Rooy, lalu ada produsen produk-produk terbaru dalam bidang sanitasi, lampu, perlengkapan listrik, dan peralatan rumah tangga.

Sementara itu, ada sebuah stan dengan judul De Inheemsche Nijverheid atau Industri Pribumi. Stan ini mengambil tempat yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu memasuki stan ini di Gedung C, perhatian langsung tertuju pada fasad masjid baru di Cipaganti yang layak untuk diperhatikan secara mendetail.

Kesan umum para awak media setelah mengikuti tur mengatakan bahwa Dewan Direksi Jaarbeurs berhasil membuat area-area di Jaarbeurs terlihat lebih ceria dan menarik, meskipun dengan catatan masih banyaknya tempat yang kosong. Hiasan untuk berbagai fasilitas hiburan menawarkan aspek yang sangat istimewa, akan sangat berkontribusi pada jumlah kunjungan yang lebih sering dan menciptakan suasana yang intim.

Peresmian Masjid

Hari Sabtu, 27 Januari 1934 pada pukul 10 pagi, dilaksanakan peresmian masjid baru di Cipaganti. Peresmian ini dilakukan oleh Kepala Penghulu R. H. Abdul Kadir. Pembangunan masjid dimulai pada bulan November 1932 dan desainnya telah dipamerkan pada Pameran Tahunan Jaarbeurs tahun 1933. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid ini adalah sekitar 11 ribu gulden.

Di antara para tamu yang hadir, terlihat: Residen Bandoeng, Bapak M. F. Tydeman; Wali Kota Bandoeng, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kühr; Asisten-residen Sonnevelt dan Velthuizen; Bapak E. Gobee, Penasehat Urusan Pribumi; Patih Bandoeng; Kepala Penyelidik Politik H. H. Albreghs; perancang masjid Prof. C. P. Wolff Schoemaker; para wali kota, Ir. H. Biezeveld, Tjen Djin Tjong, dan Ating Atma di Nata; Kolonel H. P.  Chr. Hoetjer; Ir. Coumans; dan Bapak Anggabrata, sebagai pembangun Masjid.

Setelah semua hadirin duduk di pendopo yang disiapkan di sebelah Masjid, patih mengambil kesempatan untuk menyambut semua tamu. Kemudian diserahkan kepada Bapak Anggbarata, yang menjelaskan tentang pembangunan tempat ibadah ini, lalu menyerahkannya kepada Kepala Penghulu.

Dalam bagian “Pedagang Indonesia” pada daftar alamat di Bandung tahun 1941 tertera nama Anggabrata sebagai Bouw en Grondbejrif dengan alamat Gr. Lengkong 64 (Delpher)

Selanjutnya, Kepala Penghulu, R. H. Abdul Kadir, menyambut semua tamu. Beliau berbicara tentang pembangunan Masjid. Sejumlah orang Eropa dan berbagai perusahaan Eropa telah berkontribusi pada pembangunan tempat ibadah ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan bantuan untuk menyelesaikan rumah sakral yang berharga bagi umat Islam ini.

Kemudian Prof. Wolff Schoemaker, sebagai perancang masjid berbicara kepada para hadirin dalam bahasa Sunda dan memberikan penjelasan singkat tentang proses pembangunannya.

Setelah pidato-pidato ini selesai, dibuka kesempatan bagi para tamu untuk mengunjungi masjid, para tamu Eropa diminta oleh kepala penghulu untuk melepas sepatu mereka. Hampir semua tamu memanfaatkan kesempatan tersebut.

Masjid Cipaganti

Masjid Baru Cipaganti di Nijlandweg Bandung saat itu dipandang sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga cantik. Masjid ini didesain oleh seorang arsitek yang sudah sangat dikenal namanya, terutama di Kota Bandung, yaitu Prof. C. P. Kemal Wolff Schoemaker, dengan Anggabrata sebagai kontraktornya. Pendirian masjid dilakukan dengan keterbatasan dan persediaan biaya yang sangat sedikit. Dengan pertolongan Bupati Bandung saat itu, dipergunakanlah banyak hasil karya seni pribumi. Terlebih yang menarik perhatian adalah hiasan dari ubin berbahan tanah yang dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung. Selain itu ada juga hiasan berbahan besi, sementara semua bagian kayunya dibuat oleh murid-murid pribumi dari Gemeentelijke Ambachtsschool.

Kiri: Lampu utama masjid buatan Laboratorium Keramik di Bandung. Kanan: Mihrab menghadap kiblat, tempat Imam memimpin shalat.
Terlihat mihrab tempat Imam shalat (Locale Techniek)
Terlihat arah luar masjid dari gapura pintu masuk (Locale Techniek)

Jika kita masuk lebih dalam ke ruangan masjid, akan terlihat sebuah lampu berukuran besar. Lampu ini tergantung di bagian tengah masjid dengan rancangan Islam. Mangkuk di bagian bawah lampu mempunyai bagian yang tengah-tengahnya terbuat dari albash dengan hiasan berupa huruf-huruf kaligrafi Arab. Lampu ini juga memiliki 25 titik penerangan terhias dengan plat-plat berbahan kuningan, dengan tulisan beberapa lafal Al-Quran. Lampu ini dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung.

Dasar plengkung masjid berbentuk bangunan persegi dengan hiasan pita yang lurus. Semuanya ini mendapatkan lapisan dari ubin glasuur berwarna hijau, memberikan rupa yang cantik, terutama karena warna ubin glasuur hijau mendekati warna tembaga. Di pinggirannya tertulis lafal Al-Quran.

Sinar matahari dapat masuk dari arah selatan melalui rangkaian jendela yang memiliki kaca berwarna. Di kanan kiri masjid terdapat dua tempat untuk mengambil wudhu. Tempat wudhu ini berbentuk bangun pojok segi delapan dengan lapisan tegel glasuur.

Tujuh buah pancuran dipasang sekeliling tempat wudhu. Pancuran di sebelah barat sengaja tidak dipasang, hal ini bertujuan agar orang yang mengambil wudhu jangan sampai menyingkur arah kiblat.

Tempat berwudhu (Locale Techniek)
Tampak depan masjid (Locale Techniek)

Itulah gambaran singkat kondisi Masjid Cipaganti pada saat awal pembukaannya. Saat ini jika rekan-rekan berkunjung ke Masjid Cipaganti, masih dapat merasakan keaslian pada bagian utama masjid yang belum banyak berubah. Lampu utama masih seperti aslinya dan beberapa hiasan yang menempel juga rasanya masih sesuai aslinya buatan Laboratorium Keramik di Bandung.

Sumber:

1. Majalah Locale Techniek Maret 1934

2. Koran De Koerier 24 Juni 1933

3. Koran De Koerier 26 Januari 1934

4. Koran De Koerier 27 Januari 1934

5. Koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Januari 1934

***

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑