Tag: Hella S. Haase

Di Sana… di Negla (Bagian 2/2)

Oleh Guriang

(Bagian Pertama)

Ketika Jerman masuk ke Bloemendal pada bulan September 1944 dan menganggap wilayah itu sebagai daerah Kamp, Carla dan Marga pun harus mengungsi ke Overveen, sementara ibu mereka dirawat di rumah sakit setelah operasi fibroid dan sedang mengidap trombosis paru. Carla kemudian tinggal terpisah walaupun masih tetap di Overveen, kemudian bersama pacarnya, Theo Brans, mengungsi ke Marlot, di pinggiran Den Haag. Singkatnya, Carla, Marga, dan ibunya mengalami masa-masa yang sangat berat akibat perang.

Karel membalas surat itu dengan kabar yang kurang beratnya, di antaranya menyebutkan beberapa nama yang meninggal di kamp: van Rhijn (Malabar), Vol Z (Wanasari), van Dincklage (Arjasari), Heimer (Purbasari), Brants (Lodaya), Bertling (Sedep), van Gogh (Sinagar), Harmsen (Negla), dll.

Karel bercerita bahwa saat Jepang masuk ke Negla, mereka merangsek ke dalam rumah dengan bayonet terhunus dan mengambili senjata, kamera, dan barang-barang lain. Pada bulan November 1942, Karel dipanggil ke Bandung dan ditahan di kamp. Satu per satu pengusaha perkebunan masuk dan ditahan. Bulan Januari 1943, Karel dibawa kembali ke Negla dan diberi tugas sebagai juru tulis serta menyiapkan ekstrak kina dalam jumlah besar.  Saat itu Negla dikelola oleh eorang pemuda Jepang di Sedep. Tak lama kemudian, Karel kembali dibawa ke tahanan di Bandung.

Selain Karel, Artz yang mengelola Kebun Gambung pun dikembalikanke posisinya dan setelah itu kembali diinternir lagi. Sepertinya pada waktu itu tentara Jepang memerlukan orang-orang tertentu untuk tetap melanjutkan bekerja sementara waktu pada bidang-bidang tertentu.

Pengalaman Karel dalam kamp dimulai di Hotel Istana, Bandung, sejak 22 November 1942 sampai 15 Januari 1943. Lalu kembali ke Negla sampai Desember 1943, kemudian ditahan kembali di Depot Batalyon-1 Bandung. Pada bulan Februari 1944 dipindahkan ke Kamp IV Batalyon-9 Cimahi sampai dengan 15 Agustus 1945. Walaupun saat itu statusnya sudah bebas, namun ada perintah dari militer Sekutu agar para tahanan untuk sementara tetap tinggal di tempat. Selanjutnya ia pindah ke Batalyon 15 Bandung dan baru keluar bebas dan ditempatkan di Lombokstraat 25A pada 10 Februari 1946.

Karel Kerkhoven di Lombokstraat 25A. Foto tahun 1946.
Continue reading

Di Sana… di Negla (Bagian 1/2)

Oleh Guriang

“Di sana!” kata Marga, sambil menunjuk ke arah topi yang berada di atas lemari pajangan di ruang tamu rumahnya di Belanda kepada Wijnt van Asselt. “Di sana”adalah di Hindia Belanda, di wilayah pergunungan perbatasan antara Pangalengan dengan Garut. Negla.

Para pembaca novel Heeren van de Thee karya Hella S. Haase tentu ingat bagaimana novel itu dibuka dengan kata-kata “Di sini” oleh kakek Marga, Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918), ketika memutuskan bahwa itulah tempat yang tepat, kawasan pergunungan Gamboeng, untuk membuka usaha perkebunannya.

Terasa nian nuansa berbeda antara “Di sini” dari Ru(dolf) Kerkhoven dan “Di sini” dari Marga. Ru mengucapkannya dengan rasa optimis, dengan bayangan masa depan yang akan ditempuhnya dengan bekerja keras. Masa depan yang gemilang.

Marga mengucapkan “Di sana” dengan rasa berat. Ada rasa kehilangan. Masa lalu yang panjang di lembah-lembah berhutan lebat di antara pergunungan Kancana, Papandayan, dan Kendeng. Topi yang ditunjuknya itu adalah simbol semua masa lalunya di Negla. Topi itu pemberian dari tukang kebun keluarganya yang bernama Ardi sebagai kado perpisahan ketika Marga dan keluarganya akan berangkat menuju negeri leluhurnya dan meninggalkan Hindia Belanda. Topi itu terus berada di sana, di atas lemari pajangannya, sebagai pengingat pada apa yang telah hilang.

Van Asselt menemukan salinan puisi karya Leo Vroman yang sudah diedit oleh Marga dari tumpukan arsip keluarga Kerkhoven. Begini bunyinya: Korn malam ini dengan cerita  /  Tentang bagaimana Indie menghilang  /  Saya akan mendengarkan seratus kali  /  Dan aku akan menangis selamanya. Baris kedua itu sebenarnya berbunyi: Tentang bagaimana perang menghilang.

Apa yang dapat diserap dari cerita ini selain kesan kehilangan yang begitu mendalam dirasakan oleh Marga.

Margaretha Cornelia Kerkhoven (1923-2013) adalah putri kedua pasangan Karel Felix Kerkhoven (1887-1966) dengan Cornelia Wiegert (1895-1983). Ia dilahirkan di Bandung pada 18 Maret 1923. Kakaknya, Charlotte Elfriede Kerkhoven yang biasa dipanggil Carla, berusia selisih tiga tahun, juga dilahirkan di Bandung pada 9 Juni 1920. Sejak kecil, kedua anak perempuan ini tinggal bersama orang tuanya yang baru saja membuka perusahaan perkebunan di lembah antara pergunungan Kendeng, Papandayan, dan Kancana. Saat ini merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

Bila nama Karel Felix Kerkhoven kurang dikenal, mungkin perlu diingatkan bahwa ia adalah putra kelima pendiri perusahaan perkebunan terkemuka, Gamboeng, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918). Ibunya, Jenny Elisabeth Henriette Roosgaarde Bisschop (1858-1907). Setelah wafat, kedua orang tuanya dimakamkan di belakang rumah tinggal mereka yang besar di Gamboeng.

Rudolph pula yang memilih tempat dan mengusahakan hak sewa lahan di kaki Gunung Papandayan itu pada tahun 1898. Ketika itu nama daerahnya masih disebut sebagai Kantjana, sesuai dengan nama gunung yang ada di dekatnya. Ia membagi lahan itu menjadi empat petak, Kantjana I, II, III, dan IV, dan menyimpan dana di Kantjanafond’s untuk kelak digunakan anak-anaknya membangun dan mengelola perkebunan yang sudah sejak lama direncanakannya itu.

Pembukaan hutan di Kantjana. Foto tahun 1921.
Continue reading

Sang Juragan Teh

Oleh : Hevi Fauzan* (@hevifauzan)

Buku ini menceritakan perjuangan seorang petani teh, Rudolf Eduard Kerkhoven, yang berhasil membuka lahan di Gambung, sebuah daerah di sebelah selatan kota Bandung. Mula-mula terbit tahun 1992.

Dalam bahasa Belanda, buku ini diberi judul “Heren Van de Thee”. Buku biografi ini disusun berdasarkan surat-surat koresponden sekitar pelaku utama, keluarga, dan para pemodal perkebunan. Walaupun berdasarkan fakta sejarah, namun uraian di buku ini mampu menghidupkan tokoh-tokohnya karena penuturannya lebih mendekati pada novel. Mungkin kita bisa menyebutkan buku ini sebagai novel sejarah non-fiksi.

Latar waktu peristiwa terjadi di sekitar akhir abad 19, ketika Priangan sedang beristirahat dari sistem Preanger Stelsel yang berlangsung selama 150 tahun. Di tahun 1870, UU Agraria yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda membuat para pengusaha partikelir mulai memasuki Hindia, termasuk kawasan Priangan.

Priangan adalah daerah yang sangat cantik dan juga subur. Keadaan ini membuat Martinus Antonius Weselinus Brouwer mengatakan bahwa “Bumi Pasundan (Priangan) lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Bagaimana tidak? Bagi Negeri Belanda, Priangan adalah anugerah. Sebelum menerapkan system tanam paksa (Cultuur Stelsel), VOC dan pemerintah Belanda terlebih dahulu mengeksploitasi Priangan lewat tanaman kopi dari tahun 1720.

Dalam buku disertasinya yang berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Jan Breman menjelaskan bahwa keuntungan pemerintah Belanda dari tanam paksa di Jawa termasuk Priangan dari tahun  1831 sampai 1866 mencapai 500 juta Gulden, suatu jumlah yang mampu melunasi hutang sekaligus membuat Belanda mampu melakukan modernisasi dengan lebih leluasa.

Karena sangat mencintai Priangan dan daerah sekitarnya, pemerintah Hindia Belanda sangat memanjakan daerah ini. Misalnya saja, daerah ini merupakan daerah non-Pantai Utara yang dilalui Jalan Raya Pos Besar. Bandung, ibukota karesidenan Priangan dicalonkan sebagai bakal ibu kota Hindia menggantikan Batavia walaupun rencana ini kemudian gagal.

Bukti lainnya, provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibuat pemerintah dibandingkan provinsi lainnya, terutama yang ada di Jawa, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jawa Barat dibentuk pada tahun 1926, sedangkan Jawa Timur di tahun 1929, dan Jawa Tengah tahun 1930. Priangan pun menjadi daerah yang dikuasai Belanda pasca perjanjian Renville (1948) yang membuat pasukan Siliwangi harus hijrah ke barat.

Kembali ke buku “Sang Juragan Teh”, Hella S. Haase—sang penyusun, merupakan penulis Belanda yang lahir di Batavia. Bukunya yang semula berbahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2015, dan mempunyai ketebalan 430 halaman. Sampulnya menggambarkan seorang pria dengan gagah berkuda melewati perkebunan teh, didominasi warna hijau dan coklat, dua kombinasi warna pepohonan dan tanah.

Perjalanan hidup Rudolf Eduard Kerkhoven setelah dia mendarat di Jawa, yaitu membuka perkebunan, membina keluarga dan mengurus anak-anaknya, sampai terakhir dia meninggalkan Gambung diceritakan dengan cukup baik dan informatif. Gaya penerjemahan buku ini pun sangat baik sehingga saya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca buku ini dalam edisi bahasa Indonesia.

Buku ini memupuskan bayangan saya bahwa orang Belanda yang datang ke Nusantara tinggal menikmati hasil alamnya, tanpa harus bekerja keras, terus berfoya menikmati harta hasil eksploitasi mereka. Bayangan ini pupus setelah membaca kehidupan pria yang lahir di Avereest, Belanda , 25 April 1847 itu, yang disusun penulis sebagai suami, ayah, dan pengusaha yang baik. Dia digambarkan sebagai sosok idealis yang menjauhi sifat hura-hura.

Selain itu, buku ini menggambarkan bagaimana sistem modal berjalan di perusahaan-perusahaan teh Priangan. Diceritakan, bahwa Rudolf Eduard Kerkhoven membangun perkebunan tehnya dengan tanaman modal dari rekan dan keluarganya, sehingga untuk melakukan perubahan struktur keuangan misalnya, suami dari Jenny Elisabeth Henriete Roosgaarde Bisschop–salah satu cicit Gubernur jendral Daendels ini, harus berusaha keras memperoleh ijin dari para pemodal.

Kehidupan masyarakat Sunda, terutama etos kerja mereka disinggung sedikit di buku ini, juga pemandangan alam sekitar Gambung. Buku ini juga bercerita bagaimana transportasi sebelum masuknya jalur kereta api di Priangan. Perjalanan dari Gambung ke Bogor dan Batavia harus dilalui dengan menggunakan kereta kuda menyusuri Jalan Raya Pos dalam waktu yang lama. Dalam buku ini diceritakan bagaimana jalur Bandung-Cianjur memakai kereta kuda menghabiskan waktu 16 jam perjalanan.

Buku ini cocok bagi pecinta sejarah, utamanya bagi pembaca yang mencari biografi seorang pengusaha teh di Hindia Belanda karena menceritakan perkembangan awal perkebunan teh. Selain itu, kisah ini layak untuk dijadikan bahan dalam mempelajari kehidupan sosial, ekonomi, bahkan transportasi Hindia Belanda sebelum masuknya jalur kereta api ke Priangan.

Di atas itu semua, buku “Sang Juragan Teh” kiranya bisa dinikmati oleh siapa saja; untuk sekadar mengusir kesepian, sambil menikmati secangkir teh, di malam yang berhiaskan rintik dan rintih hujan. [ ]

  • Hevi Fauzan lebih senang memposisikan dirinya sebagai Bobotoh Persib. Berminat pada dunia per-keretaapi-an, dan bergiat di Komunitas Aleut.

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/17/sang-juragan-teh/

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑