
Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
Hampir tiap subuh, selama bertahun-tahun, ibu saya mencuci pakaian kami sekeluarga dengan tangannya, dengan berjongkok. Air cucian bikin kakinya pecah-pecah. Ibu saya mulai tak kuat berlama-lama jongkok. Mesin cuci merk Korea bekas kemudian hadir di rumah kami.
Meski enggak sampai meruntuhkan budaya patriarkis, setidaknya ia meringankan beban kerja domestik ibu saya. Mesin cuci, seperti mesin lainnya, datang bak juru selamat, menawarkan jalan yang lebih baik dan menyisakan kita pada romantisasi akan hari-hari lalu sebelum ia ada. Bunyi sikatan pada cucian, yang konstan, melodis dan menenangkan berganti jadi deru mekanis yang membosankan.
Mesin cuci adalah ia yang bertanggung jawab mematikan sebuah binatu komunal di satu kampung di Kebon Kawung. Seperti Kebon Kawung yang sekarang cuma ada satu dua pohon arennya, Kampung Dobi hanya tinggal nama, ditinggal para dobi, atau tukang cuci, yang sudah terlalu kemarin untuk bersaing melawan mesin. Sama nasibnya seperti sumber air di sana yang bernama Ciguriang, yang mungkin sudah ditinggal pergi sang guriang, atau penunggunya, karena makin seret.
Menyusur Kampung Dobi, Memeras yang Terkenang
Kampung Dobi menjadi tema ngaleut Minggu ini (9/12). Titik kumpul di Stasiun Bandung.
Continue reading