Tag: H. Mesri

Yang Belum Kering di Kampung Dobi

kampung dobi celana

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Hampir tiap subuh, selama bertahun-tahun, ibu saya mencuci pakaian kami sekeluarga dengan tangannya, dengan berjongkok. Air cucian bikin kakinya pecah-pecah. Ibu saya mulai tak kuat berlama-lama jongkok. Mesin cuci merk Korea bekas kemudian hadir di rumah kami.

Meski enggak sampai meruntuhkan budaya patriarkis, setidaknya ia meringankan beban kerja domestik ibu saya. Mesin cuci, seperti mesin lainnya, datang bak juru selamat, menawarkan jalan yang lebih baik dan menyisakan kita pada romantisasi akan hari-hari lalu sebelum ia ada. Bunyi sikatan pada cucian, yang konstan, melodis dan menenangkan berganti jadi deru mekanis yang membosankan.

Mesin cuci adalah ia yang bertanggung jawab mematikan sebuah binatu komunal di satu kampung di Kebon Kawung. Seperti Kebon Kawung yang sekarang cuma ada satu dua pohon arennya, Kampung Dobi hanya tinggal nama, ditinggal para dobi, atau tukang cuci, yang sudah terlalu kemarin untuk bersaing melawan mesin. Sama nasibnya seperti sumber air di sana yang bernama Ciguriang, yang mungkin sudah ditinggal pergi sang guriang, atau penunggunya, karena makin seret.

Menyusur Kampung Dobi, Memeras yang Terkenang

Kampung Dobi menjadi tema ngaleut Minggu ini (9/12). Titik kumpul di Stasiun Bandung.

Continue reading

Terinspirasi Tulisan Pak Hari

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

Sabtu, 20 Juni 2015, siang tadi saya mengunjungi rumah almarhum Haryoto Kunto bersama Komunitas Aleut. Rumah beliau yang terletak di Jalan H. Mesri cukup dekat dengan halaman dan parkiran Stasiun Bandung sebelah utara. Sekitar jam 10, kami tiba di rumah beliau. Sebuah rumah jaman dahulu yang mengalami perbaikan sebagai bagian dari pemeliharaan koleksi buku-buku almarhum yang akrab dipanggil Pak Hari itu.

Bagi saya pribadi, penulis yang tersohor dengan sebutan Kuncen Bandung tersebut adalah seorang inspirator. Belasan tahun yang lalu, Saya membaca beberapa tulisan beliau di Harian Pikiran Rakyat yang selalu bapak saya bawa setiap sore dari kantor. Dua buku terkenal beliau, yang menjadi acuan bagi mereka yang akan mempelajari Kota Bandung, pernah saya lalap masing-masing dalam satu malam. Saya ingat, di pertengahan 90-an, saya melalap satu buku Wajah Bandung Tempo Dulu di suatu malam minggu, setelah saya meminjamnya dari perpustakaan sekolah.

Di masa itu, saya lebih senang meminjam buku bergenre sejarah dan sastra lama. Selain dua buku tersebut, buku novel lama seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dll, adalah buku yang sering saya pinjam dari perpustakaan. Buku yang saya pinjam tersebut sebenarnya memperlihatkan ketertarikan saya kepada dunia humaniora, yang dipandang sebelah mata oleh orang tua saya, dibanding dunia eksakta yang di level selanjutnya tidak saya fahami. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑