Tag: Gedung Sate

Bonus Biotour Volume#2 : Museum Gedung Sate

Bonus Biotour Volume#2 : Tiket Museum Gedung Sate

Pintu Masuk Museum Gedung Sate | Photo Komunitas Aleut

Oleh : Rulfhi Pratama (@rulfhi_rama)

Tentunya kamu sangat senang karena mendapatkan tiket Museum Gedung Sate yang diberikan oleh Indischemooi dan Mooi Bandoeng sebagai bonus kegiatan Biotour volume #2. Kamu bersama rombongan berjalan dari Cibeunying Park menuju Museum Gedung Sate. Rasa lelah yang tadi mendera kamu rasanya hilang seketika, kamu berada pada barisan paling depan, tak sabar ingin segera sampai di sana.

Setibanya di halaman belakang Gedung Sate, kamu merasa senang. Wajar saja ini kali pertama kamu menginjakan kaki di Gedung Sate. Pintu masuk Museum Gedung Sate tak terlampau jauh dari pintu gerbang belakang. Setibanya di pintu masuk Museum Gedung Sate, kamu pun berbaris bersama rombongan. Kaki mu gemetar, jantungmu berdebar, rasa penasaran hinggap dalam benakmu. Dilewatilah pintu masuk Museum Gedung Sate. Continue reading

“Harta Karun” di Bandung

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

11845230_10205995710866404_5683106335191072412_o

Berdasarkan pendataan pada tahun 1950, kurang lebih setelah kondisi politik nasional mulai stabil, di Bandung setidaknya terdapat 5 perpustakaan yang menyimpan puluhan hingga ratusan ribu buku. Koleksi terbesar dimiliki Perpustakaan Militer dengan 600.000 buku, disusul perpus. Museum Geologi dengan 50.000 buku, dan ITB dengan sekitar 30.000 buku. Sebagian besar koleksi perpustakaan tersebut bisa jadi merupakan limpahan dari perpustakaan pusat di Gouvernements Bedrijven (Gedung Sate).

Harta Karun berupa koleksi buku sebanyak itu (tentunya sebagian besar merupakan buku antik), kemungkinan besar masih tersimpan baik di tempat-tempat tersebut. Walaupun pastinya sebagian sudah berpindah tangan menempati ruangan-ruangan para kolektor.

Nah apabila Bandung mau menjadi “Kota Buku” yang sesungguhnya, tinggal buka saja akses kepada harta karun tersebut. Tentunya dengan pengawasan dan perawatan yang memadai. Buku-buku tua itu pun termasuk Heritage. Namun entah bagaimana nasibnya apabila dibiarkan terongok di tempat-tempat yang tak terjangkau tangan manusia.

Batu Templek: Cisanggarung Hingga Gedung Sate

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Minggu (22/8/2015), saya bersama Komunitas Aleut ngaleut di Kawasan Cisanggarung. Selama ngaleut, setiap anggota Komunitas Aleut mendapat tugas untuk mengamati keadaan di Kawasan Cisanggarung. Mulai dari penambang batu hingga air terjun menjadi bahan pengamatan kami.

Batu templek

Batu templek

Untuk saya, kumpulan batu berwarna hitam yang terserak di Kawasan Cisanggarung menjadi bahan pengamatan saya. Lalu karena penasaran, saya menanyakan batu tersebut kepada penambang batu. Ternyata batu berwarna hitam yang berserakan itu bernama batu templek.

Sambil memegang batu templek, saya menanyakan asal batu templek kepada penambang batu tersebut.

Ternyata batu templek, yang saya pegang, berasal dari bongkah – bongkah batu besar di Kawasan Cisanggarung. Bongkah – bongkah tersebut kemudian digali dan dipotong oleh penambang sesuai dengan ukuran yang diperlukan-pipih atau berbentuk balok.

Batu templek, yang sudah diproses oleh penambang, digunakan sebagai lantai dan dinding dalam pembangunan rumah atau gedung.

Setelah mendengar cerita penambang batu tersebut, saya mulai mengingat – ingat buku – buku yang bercerita tentang batu templek. Lalu, muncul buku karya Haryoto Kunto berjudul Balai Agung di Kota Bandung dalam ingatan saya. Continue reading

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (2)

Merekam Denyut Nadi Pusat Kota

Membaca roman Rasia Bandoeng karya Chabanneau dapat membawa kita melancong ke pusat Kota Bandung pada periode awal 1916 dengan deskripsi yang cukup detail. Tampak kuat sekali kesan bahwa mobilitas orang-orang Tionghoa saat itu berada di pusat-pusat kota. Misalnya kediaman tokoh utama roman, yaitu Tan Djia Goan yang berlokasi di Kebonjati.

Dalam roman itu digambarkan bahwa rumah milik Tan Djia Goan adalah sebuah rumah gedong yang cukup megah di Kebonjati. Letaknya berada di samping Rumah Sakit Padri, tepat di depan rumah sakit tersebut ada Hotel Express. Jika disesuaikan dengan konteks Bandung saat ini, agak sulit memastikan letak rumah Tan Djia Goan itu.

Roman (2) 17 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 2) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 24 Februari 2015.

Mengikuti alur cerita tan Djia Goan dan keluarganya membimbing kita memahami suasana pusat Kota Bandung saat itu. Kehidupan kaum pedagang di Pasar Baru dan sekitar Pecinan, aktivitas pelacuran di kawasan Tegallega dan Suria Ijan, hingga kebiasaan tayub bangsa bumiputra yang juga dilakukan orang Tionghoa dalam kenduri yang mereka selenggarakan.

Latar atau setting kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini adalah contoh deskripsi atas Gang Kapitan di Kampung Cibadak, kediaman Tan Tjin Hiauw. “Di depan gardu, ada satu gang yang biasa disebut Gang Kapitan, karena mulut gang yang sebelah kaler, ada dekat sekali sama rumahnya Tuan Tan Joen Liong, letnan dari bangsa Tiong Hoa di Bandung”. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑