Tag: Gasibu

Gunung-gunung di Gasibu

Oleh: Nandar Rusnandar (@nandarkhan)

Hari Minggu pagi memang asyik bila dimanfaatkan untuk sekadar jalan santai atau olah raga lari-lari kecil, di Bandung ada banyak tempat tempat yang disediakan untuk kegiatan olahraga ringan ini, salah satunya, Gasibu.

Lapangan Gasibu  sekarang sudah lebih bagus dibanding tahun-tahun kemarin, sudah tersedia jogging track berwarna biru mengelilingi lapangan utama, ditambah  dengan fasilitas  perpustakaan, taman, dan toilet yang bersih, membuat para pengunjung yang ingin melakukan aktivitas olahraga seperti bulu tangkis, senam, bermain sepatu roda, dan jogging merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana. Selain yang datang untuk berolah raga, ada pula yang hanya sekadar ngumpul bareng keluarga atau teman-temannya sambil duduk duduk dipinggir lapangan dan menikmati jajanan makanan yang tersedia di sana.

Hari ini saya sedang ingin jogging, menikmati hangatnya matahari sambil mendengarkan lagu dari earphone saja. Setelah lari beberapa putaran, saya pun  kelelahan dan melanjutkan dengan berjalan kaki santai saja. Tak sengaja, terasa ada yang menarik pandangan saya ketika asyik jalan kaki menyusuri  jogging track ini. Batas antara area biru dan lapangan bagian dalam yang berumput ternyata dibatasi oleh sebuah jalur lempengan seperti paving block, berukuran 40 x 40 cm, berwarna natural seperti batu semen, dan terdapat lobang di bagian pinggirnya, mungkin lobang itu berfungsi untuk serapan air bila hujan turun.

Ternyata, tidak semua lempengan batu semen itu polos, ada sebagian yang bergambar. Yaa betul saja, ini seperti prasasti, di permukaan lempengan tertulis nama gunung lengkap dengan keterangan ketinggian serta siluet gunung tersebut. Saya iseng-iseng mengelilingi lempengan batu semen itu dan terkumpul ada 17 lempeng nama gunung yang dipasang mengelilingi lapangan Gasibu. Uniknya, jarak lempengan nama gunung satu dengan lainnya itu tidak sama, saya menduga arah pemasangan nama-nama gunung ini disesuaikan dengan lokasi gunung sebenarnya berada. Continue reading

Mengungkap dan Mengenal Kembali Alat Transportasi di Bandung Baheula

Oleh: Novan Herfiyana (@novanherfiyana)

Siang itu, Waktu Indonesia bagian Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung sudah menunjukkan pukul satu. Hitungan menitnya lebih sedikitlah tanpa tawar-menawar ala penjual dan pembeli di pasar tradisional. Dalam suasana siang itu, kami, pegiat Aleut di Komunitas Aleut, sudah menuntaskan acara #NgaleutTransportasi.

Di luar kawasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung yang berada di Jalan Belitung No. 1 Kota Bandung, ada pegiat Aleut yang hendak pulang menuju kawasan Alun-alun Bandung yang berada di Jalan Asia Afrika. Mereka mempertimbangkan antara naik angkot atau berjalan kaki sebagaimana sejak awal acara yang ngaleut. Soalnya, motornya diparkirkan di kawasan Alun-alun Bandung.

Ada juga pegiat Aleut yang tinggal naik motor karena motornya sudah diparkirkan di tempat parkir di kawasan Taman Lalu Lintas. Pegiat Aleut yang “semacam” ini sudah mencermati lokasi akhir tempat acara. (Bandingkan dengan kesempatan lain ketika lokasi akhir tempat acara yang direncanakan di kawasan Gasibu, ternyata “terpaksa” berakhir di salah satu halaman minimarket di Jalan Banda karena hujan deras). Jangan lupakan pula pegiat Aleut yang tinggal memboseh sepeda karena sepeda yang dimilikinya diajak ngaleut.

Bagaimana dengan penulis sendiri? Saya sendiri tinggal memilih angkot yang berada di kawasan Taman Lalu Lintas. Malah ada beberapa alternatif trayek angkot yang menuju tempat tinggal saya. Dalam ngaleut kali ini, saya memang lebih memilih naik angkot daripada naik kendaraan (motor) sendiri yang mesti diparkirkan di lokasi awal acara (Monumen Km Bandung 0 + 00). Alasannya, kalau membawa motor, saya mesti balik lagi menuju lokasi awal acara sebagaimana sebagian pegiat Aleut tadi. (Sebetulnya mah “pilih-pilih” untuk parkir). Continue reading

#PojokKAA2015: Asia-Afrika Rasa Gasibu

Oleh: Yudha Bani Alam (@yudhaskariot)

Beraktifitas di minggu pagi memang cukup berat tapi tidak untuk yang berjiwa hidup sehat dan semangat berbelanja di pasar tumpah berkedok olahraga. Namun bagi saya daripada berdiam diri di rumah lebih baik Ngaleut dengan Komunitas Aleut. Ngaleut Minggu pagi ini (19 April 2015) bertema Ngaleut KAA. Saya berangkat dari rumah sekitar jam tujuh kurang lima belas menit, sempat tersendat di beberapa titik yang pada Minggu pagi menjadi titik pasar kaget. Mungkin untuk beberapa orang pasar kaget sudah menjadi hal yang lumrah, termasuk orang tua saya. Ada beberapa titik pasar kaget yang saya ketahui karena pasar kaget tersebut ada di jalur yang biasa saya lewati jika berpergian di Minggu pagi, seperti pasar kaget di Metro sesudah Rumah Sakit Al Islam, di kawasan Samsat yang dekat Carrefour Kiaracondong, dan yang paling terkenal adalah pasar kaget Gasibu.

Siapa yang tidak tahu seberapa terkenalnya pasar kaget Gasibu. Selain karena harga dari barang-barang yang dijual begitu miring alias kelewatan murah, yang menjadikan pasar kaget Gasibu begitu terkenal lannya adalah kepadataannya yang juga luar biasa kelewatan.  Sebelum para padagang di relokasi ke kawasan Monumen Perjuangan Rakyat yang hanya bergeser ke sisi utara dari Lapangan Gasibu, kepadatan di kawasan ini sangatlah parah yang menyebabkan kemacetan 1 kilometer di Jalan Diponogoro dan di Jalan Surapati. Kemacetan ini kadangkala tidak bisa dilewati sama sekali oleh kendaraan roda dua dan roda empat. Ada langkah bagus dan baik pada kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota Bandung yang baru, Bapak Ridwan Kamil dan Bapak Oded Danial yang merelokasi para pedagang di Lapangan Gasibu. Kepadatan mulai terasa berkurang dan tertata rapi tidak sampai memakan ruas Jalan Surapati walaupun kepadatan kadang masih terjadi karena banyaknya pengunjung ke pasar kaget tersebut.

Begitu kagetnya saya ketika sampai di kawasan Gedung Merdeka. Begitu padatnya di kawasan ini pada Minggu pagi kali ini, hal yang tidak pernah saya rasakan setiap berkunjung ke kawasan ini. Mulai dari Jalan Braga Selatan atau Jalan Braga Pendek yang sekarang memiliki B-R-A-G-A nya memulai kepadatan yang terjadi dikawasan ini. Huruf B-R-A-G-A yang terletak di halaman depan Gedung Denis Bank (sekarang Gedung BJB) menjadi salah satu konsentrasi foto-foto masyarakat yang mengunjungi kawasan ini. Dilanjutkan ke jalan Asia-Afrika yang kepadatannya sangat di luar dugaan. Bunyi klakson, deru mesin kendaraan bermotor dan keriuhan masyarakat yang memenuhi trotoar jalan bercampur menjadi satu yang mengingatkan kembali pada masa-masa pasar kaget Gasibu sebelum direlokasi: padat dan macet. Saking padatnya saya harus berjalan memutar dan bertemu kembali dengan B-R-A-G-A yang tadi saya lewati untuk menuju Jalan Banceuy dengan berjalan kaki bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Di depan Hotel Savoy Homann terjadi kepadatan yang menyebabkan kemacetan, sementara di sisi kanan dan kiri jalan ada masyarakat yang berjalan sambil menuntun sepedanya karena begitu padatnya jalan dikawasan ini dan tidak sedikit pula mayarakat yang asik berfoto-foto ria.

yudha7

Kepadatan di Depan Hotel Savoy Homann

Bisa dibilang antusiasme masyarakat terhadap wajah baru kawasan Gedung Merdeka ini sangat tinggi. Antusiasme masyarakat yang sangat tinggi ini pasti memiliki efek domino bagi kehidupan masyarakatnya, mulai dari naiknya index of happiness masyarakat sampai menjadi lahan basah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nya. Keramaian ini menjadi faktor penarik yang kuat untuk mendatangkan teman-teman pengusaha kecil dan menengah ke bawah yang menjajakan dagangan mereka, dari minuman sampai makanan. Ingat apa yang terjadi pada Lapangan Gasibu dulu dan pada Car Free Day Dago?.

yudha9

Kepadatan dan keramaian masyarakat di jalan Asia Afrika

yudha8

Penjual makanan dan minuman di Jalan Cikapundung Timur

Biasanya titik-titik keramaian ini akan berubah wajah dan fungsi awal, awalnya tempat olahraga menjadi pasar tumpah, dulunya ruang terbuka hijau jadi lapak jual-beli, awalnya bersih menjadi kumuh dan dulunya lancar jadi macet. Mudah-mudahan dengan antusiasme masyarakat yang tinggi, tinggi pula antusiasme masyarakat dalam menjaga dan melindungi kawasan ini. supaya tidak ada yang berubah satupun dari wajah dan fungsi awalnya. Itung-itung menjaga agar kita punya warisan untuk generasi selanjutnya dan mencetak sejarah dengan hilangnya pemikiran “liat aja, sebentar lagi juga rusak”.

Kenal Kanal Cikapayang

@A13Xtriple

Hari Minggu, 10 November 2013, bertepatan dengan Hari Pahlawan, @KomunitasAleut mengadakan “Ngaleut Kanal Cikapayang”. Mungkin ini sebagai apresiasi dari para penggiat @KomunitasAleut bagi pahlawan lokal Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara.

Walaupun hanya bersifat lokal, Bupati Martanagara memiliki banyak jasa bagi kemajuan kabupaten yang dipimpinnya. Kabupaten yang menjadi Kota Bandung kini, sedikit banyak masih merasakan manfaat dari apa yang dibangun Martanagara dalam masa pemerintahannya 1893-1918. Salah satu hasil karya Martanagara yang masih dirasakan manfaatnya adalah jalur kanal yang lebih dikenal dengan sebutan sungai Ci Kapayang.

Kanal atau saluran air ini dibangun oleh Martanagara dengan mengerahkan puluhan penduduk salah satu kampung tertua di Bandung yang letaknya di aliran sungai Ci Kapundung, yaitu kampung Balubur. Diceritakan ketika dalam proses pembangunan di daerah jembatan Ci Kapayang di sebelah utara Pasar Balubur sekarang, proyek ini menelan korban 6 orang meninggal. Kabarnya, karena tempat yang digali tersebut adalah makam kuno yang angker. Itu mungkin kabar mistisnya, namun yang jelas mungkin medan proyek pembangunan kanal yang berat.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandung Tempoe Dulu,” menceritakan kondisi kanal ini dahulu tebing pinggirnya masih lebar dan curam dengan air yang deras dan jernih. Derasnya air di aliran Ci Kapayang di daerah Balubur tepatnya berada di depan Rektorat ITB, di sekitar percabangan aliran Ci Kapayang yang ke timur ke arah Gasibu dan ke selatan ke arah Pieterspark.

Aliran Ci Kapayang ke arah Pieterspark yang deras, dahulu sering dipergunakan sebagai arena bermain bagi anak-anak. Jika hari mulai senja, anak-anak bergerombol di aliran Ci Kapayang tersebut dengan perahu yang terbuat dari kayu; di tengah-tengah perahu tersebut ditancapkan sebatang lilin, kemudian dihanyutkan di aliran Ci Kapayang. Anak-anak bergerombol mengikuti kerlap-kerlip nyala lilin di perahu mereka ke arah Pieterspark. Bagi adik-adik kecil yang belum mampu membuat perahu kayu sendiri, mereka memanfaatkan kulit buah dari tanaman cucurutan atau sepatu-dua (sepatu dewa).

Kulit-buah tanaman Ki Acret (Spathodea Campanulata) ini kira-kira panjangnya 15-20 cm, yang bila terbelah dua bentuknya mirip perahu. Dulu kabarnya tanaman ini banyak ditemui di daerah Jl. Sumatera, Jl. Taman Sari, sebelah utara Pasar Balubur, atau sepanjang jalan raya ke Pangalengan. Namun, dalam penelusuran kemarin di daerah Balubur-Rektorat ITB tidak ditemukan lagi pohon Ki Acret tersebut. Mungkin karena daerah Balubur-Rektorat ITB dan daerah Jl. Cikapayang sudah banyak berubah sejak pembangunan jalan layang Pasupati.

Jalan layang yang diresmikan tahun 2005 itu telah mengubah lingkungan aliran kanal Ci Kapayang di daerah Balubur-Rektorat ITB hingga ke daerah lapangan Gasibu. Namun perubahan lingkungan aliran Ci Kapayang juga tercatat sudah terjadi pada tahun 1950-an ketika aliran Ci Kapayang yang masih jernih dan deras airnya itu dipergunakan untuk budidaya ikan dalam keramba yang mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan aliran sungai.

Copy of SAM_3365
Tebing sisi sungai Ci Kapayang pada tahun 1980-an sudah berubah dipenuhi rumah dan perkampungan seperti di daerah aliran Ci Kapayang di belakang Apotik Kimia Farma, perempatan Jl. Dago-Jl. Riau. Kondisi tebing aliran Ci Kapayang yang sudah dipenuhi permukiman saat ini bisa juga dilihat di daerah Sasak Gantung, di tebing sisi Ci Kapayang dan Cikapundung.

Selama lebih dari 100 tahun sejak pembangunannya, aliran kanal ini masih dimanfaatkan bagi saluran drainase kota Bandung. Bisa disebutkan kota Bandung masih bergantung pada peninggalan Martanagara ini. Karena rasanya kota yang semakin padat ini tidak lagi membangun kanal sefenomenal Ci Kapayang. Padahal jika hujan lebat selalu terjadi banjir cileuncang menggenangi Bandung.

Kepopuleran dan manfaat dari Ci Kapayang bisa dibuktikan dari masih dikenalnya aliran sungai tersebut bagi masyarakat yang tinggal di aliran kanal tersebut. Seperti ibu-ibu di daerah Taman Hewan, yang mencuci di sumur umum warga, dengan pasti mengatakan jika got selebar 2,5m didepannya adalah Ci Kapayang. Sekelompok anak di Gang Abah Winata di derah yang sama juga memanfaatkan aliran Ci Kapayang untuk berenang.

Copy of SAM_3369
Tak terbayang apakah anak-anak itu gatal-gatal atau tidak, karena sepanjang aliran Ci Kapayang di daerah Taman Hewan, Pelesiran, itu saat ini dipenuhi sampah dan limbah rumah tangga. Seorang teman kuliah yang keluarganya sudah tinggal selama 3 generasi di tepi aliran Ci Kapundung, dengan pasti menunjukkan saluran air di seberang rumahnya di kawasan Sasak Gantung, adalah Ci Kapayang. Bahkan dia menunjukkan di sebelah mana Ci Kapayang bermuara kembali ke sungai Ci Kapundung. Daerah Sasak Gantung (sasak=jembatan; jembatan gantung yang merupakan salah satu jembatan hasil karya Martanagara) adalah satu dari tiga tempat Ci Kapayang bermuara setelah mengalir dari hulunya di Sungai Ci Kapundung, di daerah Lebak Gede.

Ada beberapa pendapat mengapa Martanagara membangun kanal Ci Kapayang. Ada yang berpendapat bahwa Ci Kapayang dibangun sebagai saluran irigasi untuk mengairi ladang dan sawah di kota Bandung, karena pada masa pemerintahannya Martanagara mengintensifkan penanaman singkong yang saat itu sedang naik pasarannya di Dunia. Dalam masa pemerintahaan Martanagara pula luas sawah di Bandung terus bertambah, dari 800ribu bau di  tahun 1896 menjadi 1juta bau di tahun 1912.

Namun mungkin alasan Martanagara membangun kanal Ci Kapayang yang masih jelas terlihat tujuannya adalah untuk  mengalirkan air sungai Ci Kapundung ke daerah-daerah yang tidak dilalui aliran sungai besar, dengan fungsi sebagai aliran drainase baik bagi aliran air tanah, maupun aliran air kotor, sekaligus untuk mengairi taman-taman yang dibangun di Bandung, di antaranya Jubileumpark (Taman Sari), Ijzermanpark (Taman Ganesha), Pieterspark (Taman Merdeka/Taman Balai Kota), Insulindepark (Taman Lalu-lintas), dan Molukenpark (Taman Maluku). Pemerintah kota saat itu membangun taman-taman yang bersifat terbuka dengan salah satu tujuannya adalah menyediakan tempat rekreasi yang murah, sekaligus tempat berinteraksi warga kota baik dengan sesama warga maupun dengan alam.

Sarana rekreasi dan berinteraksi dengan alam inilah yang mungkin sudah sangat berkurang di kota Bandung saat ini. Sehingga warganya dengan usahanya sendiri menciptakan sarana rekreasi bagi dirinya. Bandingkan dengan warga kota baheula yang disediakan taman-taman luas dengan konsep penataan yang jelas, mulai dari tanaman yang ditanam di taman-taman tersebut hingga ke sistem pengairan dengan kanal seperti contoh Ci Kapayang di atas.

Copy of SAM_3269
Gambaran warga kota yang merindukan ruang terbuka hijau inilah yang dapat ditemui di lahan bekas Jubileumpark, di sekitaran Kebon Binatang. Di bantaran Ci Kapundung bisa ditemui seorang bapak yang menyirami bibit tanaman pepaya thailand. Pak Latif, yang bekerja sebagai satpam di sebuah kantor pengacara memperoleh biji pepaya thailand tersebut dari kantor tempatnya bekerja. Karena bertempat tinggal di daerah lembah Jl. Cihampelas yang merupakan pemukiman yang padat dan tanpa lahan untuk bercocok tanam, Pak Latif menyalurkan hobi bercocok tanamnya di bak beton di taman pinggiran Ci Kapundung, tak jauh dari pintu air Lebak Gede.

Dia juga memanfaatkan tanah lahan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) untuk menanam pohon pepaya yang sudah besar. Warga lain menggunakan lahan di belakang Kebun Binatang Bandung yang dialiri Ci Kapayang untuk membuat kolam ikan, sebagian untuk berternak dan yang lainnya untuk dijadikan kolam pemancingan. Warga kota terus merindukan taman terbuka yang mudah diakses untuk berekreasi dan berinteraksi dengan alam. Bukan taman tertutup seperti yang disebutkan Pak Kunto di bukunya “Taman yang dilihat boleh dipegang jangan”.

Copy of SAM_3263

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑