Tag: Gang Siti Munigar

Sekitar Bandung Lautan Api: Mashudi

Oleh: Komunitas Aleut

CIBATU

Mashudi dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 11 September 1919, sebagai anak keenam dari sebelas bersaudara. Orang tuanya, pasangan Otjin Karnesih dan Masdan Nataatmadja berasal dari Tasikmalaya yang datang ke Cibatu untuk berdagang. Bila diurut ke atas lagi, kakek dari ayah dan ibunya adalah adik-kakak, putra dari Uyut Sar’an. Saudagar batik dari Pekalongan yang menjadi pengusaha sukses di Tasikmalaya. Kerabat dari orang tuanya banyak yang tinggal di Kota Garut, umumnya menjadi pedagang yang cukup berhasil, seperti Haji Abdullah dan Haji Djamhari.

Dengan bantuan seorang kontroleur Van den Berg, Mashudi dan saudara-saudaranya dapat bersekolah di Christeijke Hollandsch Inlandsche School di Kota Garut. Perjalanan bersekolah dari Cibatu ke Garut setiap hari ditempuh pergi pulang dengan menggunakan kereta api.

Stasiun Cibatu tahun 1930. Foto: Spoorwegstation op Java.

HIS DAN MULO DI TASIKMALAYA

Ketika sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP) milik Paguyuban Pasundan dibuka di Tasikmalaya tahun 1927, orang tua Mashudi memutuskan pindah ke Tasikmalaya agar anak-anaknya dapat bersekolah di sana. Mashudi yang masih di tingkat dasar pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Jalan Kebontiwu, tak jauh dari rumah besar keluarganya di Jalan Gunungladu (sekarang Jalan Yudanegara). Rumah mereka berhadapan dengan kolam renang Gunung Singa.

Ayah Mashudi melanjutkan usaha di bidang perikanan dan pertanian, sedangkan ibunya, yang biasa dipanggil Eneh, membantu dengan berdagang batik dan perhiasan buatan toko De Concurrent di Jalan Braga, Bandung.

Orang tuanya memiliki sepasang sapi perah yang susunya dikonsumsi oleh keluarga, dan bila berlebih, dijual ke apotek atau toko di Jalan Cihideung. Mashudi yang kebagian tugas untuk menggembalakan sapi dan mengantarkan penjualan susu ke toko.

Mashudi mulai mengenal semangat kebangsaan sejak masih sekolah HIS. Seorang gurunya yang kemudian menjadi kepala sekolah, Meneer Atmodipuro, merintis berdirinya KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), yang menggunakan lambang bendera merah putih. Mereka biasa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu KBI yang digubah oleh WR Supratman.

Dalam setiap upacara, mereka menaikkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mashudi aktif dalam kepanduan, dan selalu menjadi pemimpin regu. Seringkali mereka berlatih sambil di kemping di Gunung Galunggung atau Gunung Sawal.

Lulus HIS, Mashudi masuk ke MULO Pasundan yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari rumah. Kelak, banyak alumnus sekolah ini yang namanya dikenal secara nasional, seperti Thoyib Hadiwijaya yang menjadi menteri selama 13 tahun, Edi Martadinata (KSAL), Umar Wirahadikusumah (Wapres RI), Solihin GP (Gubernur Jabar), dan Dody Tisna Amidjaja (Dirjen Perguruan Tinggi).

Lulus dari MULO, Mashudi melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta. Minat pendidikan dan literasi dalam keluarga ini memang cukup kuat. Ketika di Cibatu mereka berlangganan surat kabar Bintang Timur yang dikelola oleh Parada Harahap dan De Comentaren yang dikelola oleh Sam Ratulangi. Di Tasikmalaya, ditambah lagi dengan langganann koran AID (Algemeene Indische Dagblad). Kakaknya, Bandi, berlangganan Popular Mechanic, terbitan Amerika.

Continue reading

Lagi, tentang Jalan Siti Munigar

Oleh: Komunitas Aleut

Ngaleut Siti Munigar, 15 Januari 2024. Foto: Komunitas Aleut.

Setelah penulisan di sini, pencarian asal usul nama Gang atau Jalan Siti Munigar masih belum selesai, walaupun tidak berarti juga dikerjakan dengan intensif. Seluangnya waktu saja, atau bila kebetulan menemukan cerita baru, ya dikumpulkan dulu buat ditulis lagi kelak.

Walaupun agak ragu, tapi setelah tulisan di atas ini, kami coba cari juga informasi tentang nama yang cukup aneh itu, Reindent van Hos’t Munigar’eun, yang konon adalah orang Belanda yang disebut sebagai ayahnya Siti Munigar dalam tulisan Pak Aan Merdeka Permana. Ya, tidak jauh dari yang terbayangkan sebelum mencari, engga ketemu.

Kemudian dilanjutkan dengan memeriksa buku daftar alamat yang ada pada kami, mulai dari tahun 1936, 1941, sampai 1950, engga nemu apa-apa juga, selain dua nama ini: Hafkenscheid dengan alamat Gang Siti Moenigar 168/22E dan G. G. Heuvelman di Siti Moenigar 29/22E. Selebihnya, tetep poek.

Yang agak terang adalah informasi dari kegiatan Ngaleut Siti Munigar hari kemarin, tanggal 15 Januari 2024, dari seorang warga lokal yang menyebutkan bahwa dulu ada nama Siti Munigar dimakamkan di kompleks makam keluarga di Siti Munigar. Dari hasil pencarian ke lokasi, dan dengan memeriksa satu per satu nisan yang ada di sana, ternyata tidak kami temukan juga nama itu.

Memang tidak semua nisan dapat diperiksa dengan baik, karena ada yang sudah sangat sangat aus tulisannya sehingga sulit atau malah tidak dapat dibaca lagi isinya, ada juga makam-makam yang tidak bernama atau sudah kehilangan nisannya, dan dua-tiga makam yang posisinya sudah sangat sulit untuk didekati karena terhalang belukar yang lebat dan tinggi. Tapi paling tidak, bapak yang biasa menjaga kompleks makam tersebut mengatakan tidak ada nisan dengan nama Siti Munigar di situ, sambil menyarankan untuk memeriksa nama-nama dalam buku silsilah Orang Pasar.

Ya, itulah yang kami lakukan seusai kegiatan ngaleut, memeriksa buku silsilah, dan… ketemu! Ternyata memang ada nama Siti Munigar dalam sejarah keluarga Orang Pasar. Setelah diurut-urut, kira-kira seperti ini gambarannya:

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑