Tag: dobi

Menelusuri Kampung Dobi: Menakar Cadangan Air Kota Bandung

Oleh: Willy Akhdes (@willygeologist)

Masalah kekurangan pasokan air bersih Kota Bandung telah lama mencuat dalam beberapa tahun ke belakang. Pada tahun 2015, beberapa kecamatan mengalami kelangkaan air bersih yang sangat parah. Masyarakat mendapati bak-bak penampungan air mereka kosong dan sumber mata air berhenti mengalirkan salah satu kebutuhan primer mereka.

Berubahnya fungsi ekologi pada beberapa kawasan berakibat pada berkurangnya kawasan imbuhan air tahan (groundwater recharge area). Pembangunan yang berjalan tidak mengikuti acuan rencana tata ruang kota telah merubah daerah-daerah resapan air menjadi tanah yang dilapisi beton-beton penyangga gedung-gedung bertingkat. Mengakibatkan berkurangnya jumlah air yang dapat dialirkan dari daerah resapan ke lapisan pembawa air (akuifer). Belum lagi pengambilan air tanah dalam melalui sumur pemboran yang melebihi kapasitas, mengakibatkan penurunan muka air tanah 2-4 meter/tahun, bahkan pada beberapa daerah industri mencapai 6 meter/tahun.(Irawan, 2009). Padahal Untuk memperbaruinya kembali diperkirakan memerlukan waktu belasan tahun, puluhan tahun, bahkan beratus tahun (Sunarwan, 1997). Hasil penelitian volume air yang meresap dan menjadi air tanah di Bandung sekitar 108 juta m3, padahal pengambilan melalui sumur pemboran, yang resmi adalah 1.438 sumur ditambah sumur yang belum terdaftar mencapai 140 juta m3.

Secara geologi, dengan penyusun batuan vulkanik yang memiliki permeabilitas dan porositas sangat baik, Cekungan Bandung adalah cekungan yang paling baik untuk menampung dan menyimpan air tanah. Didukung oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum sebagai DAS terbesar di Jawa Barat yang mengaliri beberapa sub-DAS, termasuk Cikapundung, seharusnya dapat memenuhi kebutuhan air seluruh warga kota. Continue reading

Melacak Jejak Kampung Dobi Bersama Aleut dan Ingatan Tentang Mata Air di Cipaku

Oleh: Nurul Ulu (@bandungdiary)

Dobi yang saya tahu adalah peri di film Harry Potter. Kalau Dobi di Bandung apa artinya?
Karena Penasaran saya daftar jadi peserta Ngaleut pada hari minggu 2 Oktober 2016. Judul acara jalan-jalan Komunitas Aleut hari itu adalah melacak jejak Kampung Dobi di Bandung.
Kampung Dobi merupakan salah satu yang tertua. Dobinya sudah tidak ada. Jadi cuma bisa lihat bekas-bekasnya doang.
Stasiun kereta api Bandung jadi titik pertama kami berkumpul. Jam 8 pagi di bawah langit yang kelabu, kami beranjak menuju jalan-jalan kecil di depan stasiun. Ada Jalan H. Akbar dan Jalan Mesri. Nama jalan lainnya saya gak ingat (dan gak cari tahu di peta :D).

Kolam mata air Ciguriang

Jadi apa itu Dobi?
Dobi adalah laundry. Pencuci pakaian, maksudnya. Dobi itu artinya orang yang punya skill mencuci pakaian, sampai-sampai jadi profesi yang termashyur. Kampung Dobi gak cuma ada di Bandung, tapi terdapat di sepanjang Sumatera hingga Jawa. Dobi bisa jadi berasal dari Bahasa India, karena di India sana juga ada Dobi yang artinya sama.
Kalau orang zaman sekarang gak mau cuci pakaian sendiri, perginya ke Laundry. Nah orang zaman dulu perginya ke Kampung Dobi. Mereka yang minta pakaiannya dicucikan ini termasuk orang-orang Belanda.
Tiap hari Dobi-dobi mencuci, selalu pada malam hari. Nyuci bajunya di samping mata air Ciguriang. Pakaian dibanting-banting, digosok-gosok dengan sabun batangan. Sabun ini mereka gunakan untuk mandi dan mencuci peralatan juga. Satu sabun, untuk semua kegunaan 😀
Karena nyucinya malam hari, geng Dobi ini sambil nyuci sambil nyanyi. Bertalu-talu dengan pakaian yang mereka banting-banting ke batu (papan) penggilasan. Sebenarnya tujuannya supaya semangat aja sih, karena kalau gak nyanyi mungkin suasananya sepi dan bikin ngantuk kali ya 😀
Kampung Dobi di Bandung terletak di belakang Jalan Mesri. Tepat di belakang GOR Pajajaran.
Kata bapak-bapak tua yang merupakan warga setempat dan mendadak jadi narasumber kami, dahulu pohon di Kampung Dobi lebih banyak lagi. Ada pohon Aren (Kawung) makanya di situ disebut Kebon Kawung. Juga dua pohon Kiara yang menaungi kolam mata air Ciguriang.
Saya lihat ada satu Pohon Aren sih, kurus dan menjulang tinggi dengan dahan-dahannya yang kering. Apa itu satu-satunya sisa pohon dari masa lampau? Ternyata bukan. Baru ditanam sih, ya sekitar puluhan tahun namun bukan dari tahun 1900an.

Melihat ada satu Pohon Aren aja di situ saya kok rasanya agak sedih ya. Memperhatikan Pohon Aren dan memendarkan pandangan menyaksikan pemukiman, kolam mata air yang jernih dan di sisinya ada sampah, juga menatap sisa tempat para Dobi mencuci. Diselingi bau pesing yang menyeruak dan angin yang sejuk karena kami berdiri di bawah pepohonan rindang.

Dahulu seperti apa ya pemandangannya. Mencuci pakaian di tengah kebon kawung. Terus kan airnya dingin banget. Bagaimana cara mereka menghangatkan diri? Kayaknya bersiduru kali ya, di sekitar situ ada kompor kayu mungkin. Kan mereka harus minum atau mengemil sesuatu supaya tubuh tetap hangat. Berarti harus ada yang mengirim air minum dan makanan kan. Eh gimana sih hehehe rasa penasaran makin menjadi-jadi.

Sayang sekali orang yang berprofesi sebagai Dobi sudah meninggal. Gak ada jejak hidup yang dapat kami ulik sejarahnya. Padahal ingin sekali bertanya pada mereka.
Berapa pakaian yang mereka cuci dalam waktu semalam?
Berapa upahnya?
Nyucinya tiap hari?
Gimana rasanya mencuci pakaian pada malam hari hingga fajar menyingsing di bawah naungan pepohonan rindang? Serem gak? 😀 Ada pengalaman horor gak? (halah)
Siapa kliennya? Ada orang terkenal gak?
Setelah dicuci, pakaiannya disetrika gak?
Kampung Dobi ini asli orang Bandung semua atau ada pendatang?
Arya cerita sewaktu Komunitas Aleut ke Kampung Dobi di tahun 2011, masih ada yang mencuci di tempat pencuciannya ini. Mereka lihat sendiri. Sementara si bapak tua itu bilang terakhir kali Dobi-dobi mencuci adalah di tahun 80an. Mungkin yang Aleut lihat waktu itu warga yang sedang mencuci pakaiannya sendiri ya. Bukan Dobi. Ah entahlah.
Di sekitar Kampung Dobi ini banyak mata airnya. Bersama Aleut saya lihat satu mata air lain selain Ciguriang. Namanya Susi, Sumur Siuk. Mata air ini kondisinya jauh lebih bersih dan terjaga. Di sisi mata air ada bangunan yang terdiri dari kamar mandi. Warga setempat masih mencuci dan mandi di situ. Ambil airnya gampang banget, tinggal disiuk alias tinggal diambil dengan cibuk dan byur byurrr tumpahkan ke tubuh sendiri.
Sumur Siuk ini dangkal. Sekitar 3 meter kali ya. Bentuknya melebar seperti kolam. Tiap sisi dibangun dinding setinggi 3 meter dan atapnya terbuka. Saya gak tahu sih di belakang dinding itu ada apa. Semoga gak ada yang bawa tangga dan ngintip orang mandi karena kamar mandinya terhubung langsung ke Sumur Siuk ini. Kamar mandi mah beratap. Mata airnya yang enggak.
Air di Sumur Siuk ini jernih sekali. Saya bisa lihat dasarnya. Rasanya aneh lihat ada mata air yang sanggup bertahan di antara kepungan pemukiman. Alhamdulillah.
Dari Sumur Siuk, Aleut berjalan lagi. Kami balik arah karena ada urusan lain jadi gak ikut Ngaleut hingga acara selesai. Kalau lihat foto-foto acaranya, mereka mengunjungi mata air lainnya.
Bandung memang terdiri dari banyak mata air. Namanya juga pegunungan. Di tempat saya tinggal sekarang, Ledeng, juga pernah ada banyak mata air (banyak bangetngetgetnget). Sayang sekali mata airnya sudah pada kering. Satu mata air terdekat dari rumah ada di tebing, di Cipaku. Menuju ke sana kami harus turun tangga yang curam-curam ukuran tangganya.
Karena kakek saya yang memperbagus kondisi mata airnya dan beliau juga yang membangun akses berupa tangga, termasuk kakek saya juga yang membangun tempat pencucian, maka Pak Aki -panggilan saya untuk kakek- yang memberi nama untuk mata air tersebut.
Beliau menamakan mata airnya Ci Iim. Ci = air. Iim = nama anak kesayangannya (Siti Fatimah, nick namenya Iim).
Ci Iim dan mata air lainnya yang ada di dataran lebih tinggi mengairi pesawahan di Cipaku. Yes, Cipaku itu dulunya lembah yang bisa jadi tadinya hutan sih. Cuma saya ingatnya Cipaku itu sawah luaaaaas sekali. Hijau membentang dan di sisi sawahnya ada pemukiman penduduk dan hutan. Sawah-sawah itu milik kakek saya. Dulu keluarga besar saya sering botram (piknik makan-makan) di saung di sawah Cipaku. Sekarang sawahnya sudah tidak ada, sudah jadi perumahan.
Jejak mata airnya masih ada, tapi ya tinggal puing-puing. Mata airnya sudah tinggal kenangan. Sudah mati. Kakek saya pun sudah meninggal di tahun 2008.
Ya begitulah cerita Ngaleut hari minggu kemarin. Ngaleut yang menyenangkan sekaligus membuat saya agak sedih sih karena ingat Pak Aki, Ci Iim, dan kenangan indah akan pemandangan sawah-sawah di Cipaku.

Continue reading

Finding Dobi: Menapaki Jejak Legenda Kampung Dobi di Bandung

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

“Sekarang sumber air sudekat,
beta sonde pernah terlambat lagi”

Begitu bunyi kalimat populer dari sebuah iklan air mineral beberapa tahun silam.  Kalimat itu sepertinya mencerminkan perjalanan saya dan kawan-kawan di hari minggu lalu (2/10). Sebuah poster bertuliskan “Ngaleut Kampung Dobi” yang diedarkan Komunitas Aleut di dunia maya jumat siang, cukup kuat menggerakkan kaki saya untuk hadir di Stasiun Bandung jam 7 pagi di hari Minggu.

Dobi yang saya tau, seorang peri yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di cerita Harry Potter, yang ternyata tak terlalu jauh pula artinya yang merupakan tukang cuci. Kampung Dobi ini tertulis dalam buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karangan Alm. Haryoto Kunto yang disebut-sebut sebagai kuncennya Bandung. Dalam bukunya ia bercerita mengenai salah satu kampung tertua di Kota Bandung yang para penduduknya berprofesi sebagai tukang cuci. Nama kampungnya sendiri tidak disebut demikian, orang hanya mengenalnya lewat nama Kebon Kawung yang memang sebelumnya ditumbuhi banyak pohon kawung (aren). Namun kini hanya tertinggal satu saja pohon kawung di daerah Kebon Kawung Bandung. Continue reading

Serupa tapi Tak Sama: Dhobi Ghat (Mumbai) & Kampung Dobi (Bandung)

Oleh: Gina Azriana (@GiNa_AzriaNa_Na)

Mencuci merupakan suatu kegiatan yang sederhana Mencuci dapat dilakukan di rumah atau di tempat terbuka seperti di kali atau di sungai. Siapa menyangka, dari kegiatan mencuci tersebut justru dimanfaatkan sebagian orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adalah Dhobi Ghat, salah satu tempat mencuci terbuka di Mumbai, India.

14494652_10202350190592752_1325656387439288677_n
Dhobi Ghat, Mumbai, India. Tempat pencucian terbuka yang menjadi daya tarik bagi wisatawan asing di India. (www.worldcrunch.com)

Pusat pencucian terbuka. Kalian jangan membayangkan cucian sedikit dengan satu atau dua orang saja yang melakukannya. Tidak.

Bayangkan saja, ada beberapa daerah yang sengaja dibuat untuk memudahkan setiap orang dalam mencuci. Setiap orang berada dalam sekat – sekat yang dipisahkan dengan sebuah tembok batu berbentuk persegi empat . Di dalamnya disediakan bak pencuci yang terbuat dari batu serta beberapa batang sabun untuk mencuci. Tidak ada mesin cuci disini. Semua dilakukan dengan tangan. “Mesin cuci manusia” mungkin kita bisa membayangkannya seperti itu. Kegiatan mencuci di sini, tidak sama dengan kegiatan mencuci modern yang saat ini dapat kita lihat di mana – mana. Cara mereka mencuci pun berbeda.

Di pagi hari, mereka sudah bersiap di tempat mereka masing – masing, cucian yang datang pun bukan merupakan cucian mereka sendiri, melainkan cucian yang memang merupakan pesanan dari seluruh pelosok india. Tak jarang, cucian berasal dari rumah – rumah atau penginapan serta hotel. Setiap orang yang mencuci melakukan pekerjannya sebagai buruh cuci, satu orang dapat mengerjakan berpuluh – puluh cucian. Continue reading

Laundry Tempo Dulu di Ciguriang

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Tukang Dobi di Kebon Kawung
Tukang Dobi di Kebon Kawung

Malam ini, saya baru selesai membaca tulisan Chika Aldila tentang pengalamannya saat NgAleut Basa Bandung Halimunan. Tulisan ini menarik dan menggoda saya untuk menambah cerita tentang salah satu titik perjalanannya. Titik itu adalah mata air Ciguriang di Kebon Kawung.

Dalam tulisan Chika, pengguna mata air Ciguriang adalah warga Kebon Kawung yang akan disunat. Tapi sebetulnya ada satu pengguna Ciguriang lainnya yang bernama tukang dobi atau tukang binatu atau nama kerennya adalah tukang laundry.

Ada beberapa hal menarik tentang tukang dobi di mata air Ciguriang. Pertama, mereka baru bisa menggunakan mata air Ciguriang setelah membayar satu sen. Kedua, mereka bekerja pada malam hari hingga pagi hari. Jadi mereka obor dan satu sen sebelum bekerja di mata air Ciguriang.

Lalu, seperti apa cara mereka mencuci baju? Apa menggunakan mesin cuci atau mencuci dengan papan gilas?

Nah, cara kerja mereka tentunya berbeda dengan binatu sekarang. Saat itu, mereka mencuci dengan membantingkan baju ke batu. Sambil mencuci dan membanting baju, mereka kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Sunda yang kadang-kadang terdengar oleh warga Kebon Kawung yang akan tidur.

Oh iya, tukang dobi di mata air Ciguriang berasal dari berbagai pelosok di kota Bandung. Mereka datang berombongan ke mata air Ciguriang. Walaupun demikian, ada warga asli Kebon Kawung yang telah turun-temurun menjadi tukang dobi di mata air Ciguriang.

Sayangnya, tempo kini tukang dobi di Ciguriang tinggal cerita saja. Sudah jarang orang Kebon Kawung melihat tukang dobi mencuci baju dan mendengar nyanyian tukang dobi di mata air Ciguriang pada malam hari.

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2016/04/06/laundry-tempo-dulu-di-ciguriang/

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑